Intan Monik Cahyani
Pagi yang cerah menyelimuti bumi. Irgi datang lagi ke rumah Intan untuk mengantar pizza. Cicik yang menerima pizza karena kebetulan ia sedang di luar.
Ketika Irgi hendak pulang, Lili meminta Intan untuk mendekatinya. Intan
yang pendiam dan pemalu, mendekati Irgi yang mau naik motornya. Dengan
keberanian dipaksakan, Intan berkata lembut, “Mas..mau merepotkan sebentar bisa
nggak?”
“Ehmm..saya cuma mau minta
tolong sama Mas. Kira-kira bisa nggak?”
Irgi tersenyum, “Kalau
mampu pasti saya tolong. Apa?”
Intan tersenyum manis, lalu
berkata, “Ini (memperlihatkan bungkusan) pesanan temanku. Kemarin kita belum
sempat nganter ke rumahnya. Alamat
rumahnya ini (memperlihatkan secarik kertas pada Irgi). Cukup dekat dari sini.
Nah..ehmm..mumpung Mas Irgi mau
jalan, kira-kira bisa nggak Mas mampir sebentar ke rumah temanku? Cuma nganter barangnya ini.”
“Cuma itu?” tanya Irgi.
Intan mengangguk, “Tapi kalau Mas nggak lewat jalan itu ya udah, nggak usah
aja. Aku nggak mau ngerepotin Mas.”
Irgi tersenyum, “Saya
jarang lewat sana, tapi jalan itu sejalur sama jalan ke restoran saya. Ya udah,
biar saya bawa.”
Intan tersenyum gembira.
“Aduuh, kita ngerepotin ya?”
“Nggak Mbak, santai aja.
Kebetulan pagi ini saya belum ada order.”
“Makasih banyak
sebelumnya.”
“Sama-sama Mbak.”
Ketika Irgi sudah menghilang
dari rumah besar itu, Intan masih berdiri di halaman. Kedua mata indahnya terus
menatap kepergian Irgi. Cicik dan Lilik yang sejak tadi mengintip di pintu,
bergembira ria melihat Intan masih berdiri mematung. Mereka keluar ke serambi
atas, lalu berseru, “Berhasiil!!!” Tentu saja Intan malu sekali. Hatinya merasa
gado-gado. Terkejut, malu, tersanjung, takut sekaligus senang.
Kini beralih ke Irgi yang
sudah sampai di sebuah rumah kecil namun mewah. Ia mengetuk pintu rumah
tersebut, dan muncullah seorang gadis muda yang usianya sedikit di bawah Intan.
Irgi bertanya, “Ini betul rumahnya Mbak Tina?”
“Iya, saya sendiri.”
“Oh anda sendiri?
Kebetulan. Saya cuma nganter
titipannya Mbak Intan (menyerahkan bungkusan).”
“Mbak Intan?”
“Iya, Mbak Intan Monik.
Katanya ini pesanannya Mbak Tina kemarin”
“Ooo Mbak Moniik. Iya-iya
(menerima bungkusan itu). Nanti biar saya telpon Mbak Monik. Makasih ya Mas.”
Beberapa hari kemudian,
Irgi datang lagi ke rumah Tina untuk mengantar pizza. Ia mendapat konsumen baru
berkat pertolongannya pada Intan kemarin. Setelah menerima pizza, Tina meminta
Irgi untuk menunggu sebentar di serambi rumahnya yang indah itu. Irgi pun duduk
di dekat pot-pot bunga yang tertata rapi. Beberapa detik kemudian matanya
terbentur pada sebuah buku tipis yang berada di dekat pot besar. Irgi mengambil
buku tipis itu, lalu membuka isinya. Di halaman pertama buku itu ia melihat
nama: Intan Monik Cahyani.
Ketika mau membuka halaman
berikutnya, Tina muncul dengan membawa uang untuk membayar pizza. Irgi menerima
uang itu dengan tangan kiri membawa buku tipis. Setelah menerima uang dari
Tina, Irgi bertanya, “Maaf Mbak, saya cuma mau tanya. Buku ini saya temukan di
situ, di dekat pot besar. Di sini kok ada nama Intan Monik Cahyani? Memang ini
punya siapa?”
Tina tersenyum gembira,
“Ooo itu bukunya Monik yang udah lama hilang. Sampai sekarang dia masih
mengharapkan buku itu kembali.”
Irgi mengangguk-angguk.
Tina berkata lagi, “Ya udah, Mas kasihkan ke pemiliknya.”
“Besok sore saya mau ke
sana, nganter pesanan.”
“Ya udah, sekalian aja. Hi
hi..”
Irgi memohon diri, namun
baru beberapa langkah meninggalkan serambi rumah, Tina memanggilnya, lalu
berkata, “Kemarin aku sempat mengira...Masnya ini...pacarnya Monik.”
Irgi tersenyum malu. “Bukan
Mbak..saya cuma pengantar makanan.”
“Tapi menurutku, Masnya sama Monik cocok
kok.”
“Masa’ sih!?”
“Iya, betul.”
Irgi yang semakin tersipu,
menimpali, “Mbak Tina bisa aja.” Diam sejenak. “Ya udah Mbak, saya permisi
dulu. Makasih.”
“Hati-hati ya? Jangan lupa
bukunya. Nanti keburu dicari yang punya.”
Setelah Irgi pergi, Tina
bergumam sambil tersenyum, “Ganteng, gagah, baik lagi. Cocok sama Monik. Hi
hi..”
Besok sorenya Irgi datang
ke rumah Intan untuk mengantar pizza. Intan yang membuka pintu, menerima pizza
dari Irgi dengan tersenyum manis. Ketika ia sampai di ruang dalam untuk
mengambil uang, Cicik berkata, “Dia datang lagi ya? Hi hi.”
Intan yang tersipu,
berkata, “Lo aja sana yang bayar.”
“Nggak bisa. Pokoknya kalau
dia datang, harus lo yang nemuin.”
“Harus!” sambung Lili yang
baru selesai mandi. Perasaan Intan semakin tidak karuan, tidak karuan karena
gembira, gembira karena dipacokin*
terus sama Irgi. Ia kembali menemui Irgi untuk membayar pizza. Setelah menerima
uang dari Intan, Irgi berkata, “O iya Mbak, saya sekalian ngasih bukunya Mbak. Sebentar ya?”
*Catatan Kaki: Dijodohkan atau dipasangkan
“Buku saya?”
Irgi mengangguk sambil mengambil
sesuatu dari tas kecilnya, lalu menyerahkan buku tipis berwarna hijau muda
pada Intan. Intan menerima buku itu dengan tersenyum gembira, lalu bertanya, “Ketemu di mana?”
“Di rumah Mbak Tina.
Kemarin saya nggak sengaja nemu, di
dekat pot bunga.”
“Aduuh..makasih banget.
Kukira udah nggak bisa lagi lihat buku ini.”
Irgi ikut tersenyum
gembira, setelah itu memohon diri. Ketika ia hendak menaiki motornya, Intan
memanggilnya. Ia menoleh ke belakang, melihat Intan yang tersenyum manis. Intan
yang semakin simpati pada Irgi, berkata lembut, “Makasih banget ya?”
“Iya Mbak, sama-sama..”
sahut Irgi mengangguk dan tersenyum. Setelah Irgi pergi, Cicik dan Lili muncul
dari dalam rumah, lalu mendekati Intan yang masih belum beranjak dari tempatnya.
Cicik yang ceriwis itu berkata, “Makin akrab nih ye?”
Lili menyambung, “Makin
hari dia makin menarik kan?”
Intan tersipu, “Ah, kalian
ini ngomong apa?”
Cieee!!” seru keduanya
sambil mencubit perut dan bahu Intan. Benarkah gadis manis berlesung pipi ini
mulai tergoda, atau bahkan mulai jatuh cinta pada Irgi? Kita lihat saja
selanjutnya.
---XXXXX---
Siang itu restoran pizza
tempat Irgi bekerja kedatangan tamu tak diundang. Di ruangannya Maji, bossnya
Irgi, kedatangan dua orang yang terlihat tidak ramah. Ternyata itu Jajang dan
si gondrong kekar, tangan kanannya. Si gondrong berdiri di samping bossnya yang
duduk menghadap Maji. Kedua kakinya ditaruh di atas meja kerja Maji.
Benar-benar tidak sopan. Jajang berkata tanpa menatap Maji,
“Tambah lagi, gopek* (sambil menyodorkan tapak
kanannya pada Maji).”
Maji yang ketakutan, langsung
mengambil amplop dari laci di mejanya. Amplop berisi uang itu ia taruh di tapak
kanan Jajang. Jajang menghitung uang itu, lalu berkata, “Sekali lagi lo
telat...atau coba panggil polisi...habis lo!”
*Catatan Kaki: lima ratus
Maji
terkejut mendengar ancaman itu. Setelah Jajang dan si gondrong tinggi besar
pergi, Maji mengusap mukanya yang basah oleh keringat dingin. Beberapa saat
kemudian ia berkumpul dengan beberapa karyawan dan tangan kanannya. Ia dan
orang-orang pentingnya membahas masalah serius, masalah yang berhubungan dengan
keselamatan jiwa mereka. Mereka sudah tahu kalau dua lelaki jahat tadi hanya
bermusuhan dengan Irgi, namun akibatnya sampai pada mereka.
Salah seorang tangan
kanannya berkata, “Harusnya si gundul jelek tadi nggak boleh tahu Indra kerja
di sini.”
“Iya, Indra kurang
hati-hati menjaga diri..” sahut salah seorang karyawan. “Tapi semua ini bukan
murni salah Indra. Kita juga salah. Kita
kurang hati-hati.”
Maji mengangguk. “Aku
setuju. Indra nggak salah seratus persen. Ini salah kita juga. Harusnya kita
sering menjaga dan mengawasi Indra, biar tidak ketahuan orang-orang yang
berniat jahat sama dia.”
Lantas apa yang akan diputuskan
atau dilakukan Maji terhadap Irgi Indra Haryadi, karyawannya yang belum lama
ini ia angkat menjadi karyawan terbaik di perusahaannya? Benarkah ia akan memecat
Irgi yang sudah membawa banyak masalah di restorannya? Benarkah karir Irgi
sebagai kurir pizza akan segera berakhir? Sadarkah Irgi kalau ia sudah membawa
masalah besar bagi orang banyak? Sungguh, Maji benar-benar bingung. Ia tidak
mungkin memecat karyawan andalannya dalam waktu singkat. (bersambung)
---XXXXX---
0 comments:
Post a Comment