Sunday 14 July 2013

New LIAR: Kuda Mas (Kurir dan Gadis Manis) ; Bagian Keenam

Intan Jatuh Cinta
Gerimis membasahi bumi. Irgi mengantar dua pizza ke rumah Intan, dan Cicik yang menerima pizza itu. Sesaat kemudian Intan keluar untuk membayar pizza. Sore ini Intan terlihat manis sekali karena kaos kerah warna kuning yang dikenakannya. Begitu Irgi menerima uang dari Intan, hujan turun dengan derasnya.
Irgi nekat hendak jalan lagi, namun Intan yang berdiri di pintu, berkata,
       
   “Deras banget Mas, di sini dulu aja.”
          “I..iya Mbak..” sahut Irgi gugup. Intan menaruh  pizza di meja tamu, kemudian mendekati Irgi yang membelakanginya, lalu berkata lembut, “Mungkin Mas bisa tetap jalan, tapi nanti Mas bisa sakit, bisa flu, demam.” Diam sebentar, “Silahkan berteduh dulu Mas..nggak papa.”
          “Iya Mbak, makasih..” sahut Irgi tersenyum. Ia menatap hujan yang lebat, lalu berkata, “Sebenarnya tadi pagi saya udah beli mantel, tapi lupa bawa.”
          “Ya udahlah, di sini dulu aja..” sahut Lili yang tiba-tiba muncul, lalu menyentuh kedua bahu Intan yang berdiri di samping kanan Irgi. Cicik yang juga sudah muncul, menyambung, “Emang ngapain sih terburu-buru? Nggak ada yang ngelarang berteduh ke sini kok. Santai ajalah.”
          Diam sejenak. Cicik yang centil dan ceriwis itu berkata lagi, “Kalau ke sini jangan cuma nganter pizza. Sekali-kali mainlah. Ya nggak (mencubit tangan kiri Monik)? Hi hi hi...” diam sejenak, “Sekarang berteduh dulu Mas, jangan berdiri di situ terus, nanti masuk angin lho.”
          Irgi hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum malu. Setelah puas menggoda Irgi, Cicik dan Lili masuk ke dalam rumah. Kini Intan kembali berduaan dengan Irgi. Cicik dan Lili memang sengaja membiarkan mereka berduaan terus. Intan yang pemalu, memberanikan diri untuk mendekati Irgi. Ia menatap Irgi yang melihat hujan, lalu berkata lembut,
          “Silahkan duduk lho Mas..”
          “Iya Mbak, makasih...”
          “Mau berteduh di dalam juga bisa.”
          “Oh enggak Mbak, makasih...di sini aja.”       
          Irgi duduk di kursi, sedangkan Intan masuk ke dalam rumah. Irgi melihat hujan yang tak kunjung reda. Sesekali juga melirik ke pintu ruang tamu. Intan yang berada di ruang tengah, dipaksa kedua temannya untuk memberi minuman hangat pada Irgi. Intan yang malu-malu senang itu akhirnya mau saja menuruti keinginan kedua temannya yang centil itu. Ya tentu saja, sebab Intan mulai jatuh hati pada Irgi.
          Intan melangkah pelan sambil membawa gelas di atas cawan, sedangkan Cicik dan Lili menguntil di belakangnya. Setelah sampai di serambi, Intan berkata lembut sambil, “Ini Mas, ada minuman hangat.”
          Irgi terkejut, “Masya Allah Mbak. Apa ini? Kok repot-repot?”
          Intan tersenyum manis, “Nggak ada yang repot. Cuma air kok..”
         “Rejeki nggak boleh ditolak,” sambung Lili yang berada di belakang Intan. Intan berkata, “Sekedar untuk menghangatkan badan. Ini kan dingin banget.”
          Irgi merasa gado-gado, malu sekaligus senang. Ia langsung meneguk teh hangat itu. Intan yang masuk ke ruang tamu, dipaksa keluar lagi oleh kedua temannya. Ia berkata, “Suruh berteduh udah, ngasih minum udah. Terus sekarang gue harus ngapain lagi?”
          “Temani dia.” jawab Cicik. Intan tersentak, “Apa!? Gila lo. Nggak ah!”
          “Oalah Niik, nggak usah pura-pura deh. Sebenarnya lo mau kan? hi hi hi.”   
          “Lo emang kaget,” sambung Lili, “tapi kaget karena gembira kan? hi hi hi.”
          Intan yang sebenarnya memang mau itu akhirnya pasrah. Ia berdiri di samping Irgi, lalu berkata, “Hujannya masih deras ya?”
          “Iya Mbak,” sahut Irgi tersenyum. Intan melihat teh yang diminum Irgi masih banyak, masih lebih dari separo. Ia berkata, “Tehnya kok baru diminum dikit?” diam beberapa detik, “Silahkan diminum lagi Mas. Dihabisin aja.”
          “Oh iya Mbak, makasih.”
          “Apa kurang manis?”
          “Enggak Mbak, udah pas kok.”
          Irgi kembali meminum teh hangat itu beberapa tegukan. Intan yang semakin percaya diri itu akhirnya memberanikan diri duduk di samping kanan Irgi. Suasana hening untuk beberapa detik. Irgi yang  agak gugup itu sesekali melirik Intan, begitu pula sebaliknya. Hati Intan bertanya, “Mau diajak ngomong apa ya? Bingung nih.” Diam sejenak, “Ngomong apa aja ah. Yang penting ada komunikasi.”
          Irgi menatap hujan, lalu berkata, “Sudah agak terang..”
          Intan mengangguk, “Tapi masih cukup deras.”
          Hening sejenak. Intan menatap Irgi yang menunduk sambil membawa gelas, lalu berkata, “Kok terburu-buru sih? Apa masih mau keliling?
          “Nggak juga Mbak..” sahut Irgi tersenyum malu. “Sekarang masih agak santai. Belum banyak order.”
          “Ya udah, di sini dulu aja.” Hening sejenak. “Udah lama kerja di pizza?”
          “Setahun lebih dikit,” sahut Irgi yang mulai berani menatap Intan. Intan mengangguk sambil tersenyum, lalu bertanya lagi, “Kira-kira mau kerja di pizza sampai kapan?”
          Irgi tersenyum, “Belum tahu Mbak.” Diam sejenak. “Saya nggak akan keluar kalau belum mampu.”
          “Belum mampu? Maksudnya?”
          “Ya kalau belum dapet pandangan lain yang lebih baik. Besok kalau udah dapet kerjaan lain yang lebih baik, saya pasti keluar. Tapi Insya Allah saya akan berusaha untuk nggak sering pindah-pindah kerja.”
          “Betul..” sahut Intan mengangguk dan tersenyum. “Kita nggak perlu menekuni berbagai bidang atau pekerjaan. Cukup satu bidang, kita kerjakan dengan serius, kita kerjakan dengan sepenuh hati.”
          “Betul Mbak,“ sahut Irgi sambil menatap Intan sekilas. “Insya Allah saya akan berusaha seperti yang Mbak nasehatkan.”
          Kata-kata itu membuat Intan tersanjung. Ia mengangguk sambil tersenyum manis. Dilihatnya teh di gelas Irgi sudah kosong. Ia bertanya, “Tehnya mau tambah?”
          “Oh enggak Mbak, udah cukup..makasih banyak.”
          Setelah hujan berhenti, Irgi langsung berpamitan dan berterima kasih atas teh hangatnya. Intan seperti berusaha menahan Irgi untuk tetap di situ, namun ia belum mempunyai keberanian yang cukup. Gadis manis ini seperti agak berat berpisah dengan Irgi. Ketika Irgi berjalan di bawah tangga menuju serambi tempat Intan berdiri, Intan memanggilnya, “Mas.!“
          “Iya Mbak?” sahut Irgi menoleh ke atas. Dilihatnya Cicik dan Lili sudah muncul di belakang Intan. Intan menatap kedua temannya, lalu tersenyum malu. Dengan keberanian yang dipaksakan, Intan berkata lembut, “Mas...boleh nggak, kita manggil...Mas Gik?”
          Hening beberapa saat. Irgi tersenyum malu, lalu menyahut, “Boleh Mbak, silahkan mau panggil saya apa, terserah Mbak-Mbaknya..”
          Intan tersenyum gembira, begitu pula dengan kedua kawannya. Setelah Irgi pergi, Lili berkata, “Mas Gik. Cieee...!”
          Cicik menyambung, “Besok lagi lo harus nahan dia lebih lama. Kalau perlu, suruh ke sini kalau lagi libur.”
          “Setuju!” sahut Lili. “Dia ke sini karena kerja, jadi wajar kalau dia sering terburu-buru. Hi hi hi.”
          “Kalian ngomong apa sih!?” sahut Intan dengan muka merah, merah karena malu sekaligus gembira. Cicik menyahut, “Kita cuma berpikir, gimana agar lo bisa sering ketemu Mas Gik (mencubit dagu Intan ).”
          Intan semakin tersipu. Ia bertutur, “Lo yang punya ide manggil dia gitu, harusnya tadi lo yang ngomong.”     
          “Tapi lo lebih pantas, dan tadi lo udah ngelakuin dengan baik. Hi hi hi.”

                                                   ---XXXXX---
         
          Intan semakin terkesan melihat Irgi yang santun, berpenampilan sederhana namun menawan. Rasa kagumnya itu berawal ketika Irgi berhasil menemukan buku kesayangannya di rumah Tina, beberapa waktu yang lalu. Sebelum itu Intan juga sudah simpati pada Irgi, ketika Irgi ‘digarap’ kedua temannya dengan problem pizza hangus. Seiring dengan waktu yang terus berjalan, benih-benih cinta mulai tumbuh di taman hati Intan. Semakin hari benih-benih cinta itu semakin tumbuh subur, dan akhirnya tumbuh menjadi pohon cinta.
          Ketika Intan melamun di ruang tengah atau ruang tamu, Cicik dan Lili sering memergokinya sedang tersenyum-senyum sendiri. Tentu saja kedua kawannya yang usil itu langsung menggodanya. Lili berkata, “Nona manis lagi ngelamunin siapa? Kelihatannya indah sekali.”
          Cicik menyambung, “Ya siapa lagi kalau bukan kurir pizza yang keren itu.”
          Intan pun berkata jujur pada dirinya, bahwa ia telah jatuh cinta pada Irgi. Namun ia belum mau berterus terang pada Cicik dan Lili, walaupun kedua kawannya itu sudah tahu. Ketika melamun di kamar, Intan bergumam, “Dia benar-benar nyaris sempurna. Sudah ganteng, gagah, baik, tidak sombong, ramah. Oohh..beruntung sekali cewek yang bisa menjadi teman hidupnya kelak.”
          Lantas bagaimana dengan Irgi? Apakah ia juga merasakan hal yang sama? Kita lihat saja dia yang sekarang sedang berbaring di ranjangnya. Dengan kedua mata masih terbuka, ia teringat ucapan Intan beberapa hari yang lalu. Gadis manis dan kalem itu berkata lembut, “Boleh nggak, kita manggil...Mas Gik?”
          Wajah menawan Intan seolah hadir di kedua mata Irgi. Irgi tersenyum, lalu bergumam, “Menarik sekali gadis itu. Manis, ramah, pinter...” Diam sejenak, “Tapi jangan dulu ah! Aku belum ada waktu untuk cewek, apalagi menikah. Aku masih banyak kerjaan. Aku masih harus membantu Mama mengurus pekerjaan rumah, mengurus Bayu yang mbeling, dll.”
          Diam sejenak, lalu bicara lagi dalam batin, “Kecuali kalau Allah memang sudah mempertemukan aku dengan jodohku. Ya apa boleh buat?”
          Lamunan Irgi terputus oleh suara SMS masuk di Hand Phone-nya. Ia bergumam, “Siapa sms malam-malam begini?”
          Irgi membuka Hand Phone-nya yang ia taruh di meja. Ternyata itu SMS dari Wiwit. Isinya, “Ndra, besok habis kerja lo mampir ke kantor gue ya? Bentar aja. Gue mau ngomong penting. Bisa kan?”
          Irgi menjawab, “Ya, Insya Allah kuusahakan,” setelah itu bergumam, “Mau ngomong apa si Wiwit?” Diam sebentar, “Mudah-mudahan nggak ngeluhin kenakalan Bayu. Mudah-mudahan Bayu nggak bikin ulah lagi.”
          Besok sorenya Irgi menemui Wiwit di kantornya, bengkel motor Suzuki elit. Jabatan Wiwit di bengkel besar itu sudah tinggi. Ia langsung mengajak Irgi bicara panjang lebar. Sore itu Irgi mendapat kabar agak buruk. Wiwit yang juga kenal dekat dengan Maji, bossnya Irgi, menceritakan keluhan Maji tentang Geng Macan yang sudah beberapa kali memerasnya. Tentu saja Irgi terkejut. Dengan demikian, masa depannya di restorannya Maji sedikit banyak bisa terancam.
          Maji tahu kalau Irgi sudah berhenti dari dunia balap motor. Maji juga percaya bahwa Irgi sudah berusaha meninggalkan kekerasan, namun dampak dari bidang yang pernah digelutinya itu ternyata masih terasa sampai sekarang, dan itu memang tidak mudah untuk dihilangkan. Maji bisa mengerti, namun Wiwit yang berusaha menjadi penengah itu juga ingin agar Irgi mengerti, bahwa saat ini Maji sedang pusing memikirkan dirinya. Pimpinannya itu masih bingung untuk mengambil keputusan yang jelas dan tegas.
          Wiwit yang melihat Irgi kebingungan, langsung menyentuh bahu Irgi, lalu berkata lembut, “Lo tenang aja Ndra..nanti kita cari solusinya sama-sama. Ingat..lo termasuk teman terbaik gue, jadi gue siap ngelakuin apapun buat bantu lo, juga adik lo yang sampai sekarang masih mbeling.”
          Kata-kata itu cukup melegakan hati Irgi. Ia berkata, “Thanks Wit. Lo emang sobat gue. Selama ini lo udah kayak  kakak gue.”
          Wiwit mengangguk, Irgi bicara lagi, “Lo udah sering bantu gue, tapi gue belum pernah membalas kebaikan lo sedikit pun. Justru sebaliknya...gue malah sering nyusahin lo.”
          Wiwit tersenyum sambil menggelengkan kepala, “Lo saudara gue, jadi nggak ada istilah nyusahin.“ diam sejenak, “Oke, gue cuma mau ngomong ini sama lo. Mudahan-mudahan lo bisa ngertiin kebingungan Boss lo itu.”
          Irgi mengangguk, “Gue sangat mengerti apa yang dirasakan Pak Maji sekarang. Beliau udah banyak bantu gue, jadi gue harus tahu diri.” Diam sebentar, “Misalkan gue dipecat, itu sama sekali bukan salah Pak Maji...sebab beliau melakukan semua itu untuk kebaikan semua karyawannya, dan terutama untuk masa depan usahanya.”
          “Ya jangan terlalu cepat berpikir mau dipecatlah. Positive thinking dong.”
          Irgi tersenyum, “Ya misalkan aja kok. Gue kan juga harus siap..” (bersambung)
         
                                                     ---XXXXX---         
         

0 comments:

Post a Comment

 
;