Intan Jatuh Cinta
Gerimis membasahi bumi. Irgi mengantar dua pizza ke rumah Intan, dan Cicik yang menerima pizza itu. Sesaat kemudian Intan keluar untuk membayar pizza. Sore ini Intan terlihat manis sekali karena kaos kerah warna kuning yang dikenakannya. Begitu Irgi menerima uang dari Intan, hujan turun dengan derasnya.
Irgi nekat hendak jalan lagi, namun Intan yang berdiri di pintu, berkata,
Gerimis membasahi bumi. Irgi mengantar dua pizza ke rumah Intan, dan Cicik yang menerima pizza itu. Sesaat kemudian Intan keluar untuk membayar pizza. Sore ini Intan terlihat manis sekali karena kaos kerah warna kuning yang dikenakannya. Begitu Irgi menerima uang dari Intan, hujan turun dengan derasnya.
Irgi nekat hendak jalan lagi, namun Intan yang berdiri di pintu, berkata,
“I..iya Mbak..” sahut Irgi
gugup. Intan menaruh pizza di meja tamu,
kemudian mendekati Irgi yang membelakanginya, lalu berkata lembut, “Mungkin Mas
bisa tetap jalan, tapi nanti Mas bisa sakit, bisa flu, demam.” Diam sebentar,
“Silahkan berteduh dulu Mas..nggak papa.”
“Iya Mbak, makasih..” sahut
Irgi tersenyum. Ia menatap hujan yang lebat, lalu berkata, “Sebenarnya tadi
pagi saya udah beli mantel, tapi lupa bawa.”
“Ya udahlah, di sini dulu
aja..” sahut Lili yang tiba-tiba muncul, lalu menyentuh kedua bahu Intan yang
berdiri di samping kanan Irgi. Cicik yang juga sudah muncul, menyambung, “Emang ngapain sih terburu-buru? Nggak ada yang ngelarang berteduh ke sini kok. Santai ajalah.”
Diam sejenak. Cicik yang
centil dan ceriwis itu berkata lagi, “Kalau ke sini jangan cuma nganter pizza. Sekali-kali mainlah. Ya
nggak (mencubit tangan kiri Monik)? Hi hi hi...” diam sejenak, “Sekarang
berteduh dulu Mas, jangan berdiri di situ terus, nanti masuk angin lho.”
Irgi hanya mengangguk-angguk
sambil tersenyum malu. Setelah puas menggoda Irgi, Cicik dan Lili masuk ke
dalam rumah. Kini Intan kembali berduaan dengan Irgi. Cicik dan Lili memang
sengaja membiarkan mereka berduaan terus. Intan yang pemalu, memberanikan diri
untuk mendekati Irgi. Ia menatap Irgi yang melihat hujan, lalu berkata lembut,
“Silahkan duduk lho Mas..”
“Iya Mbak, makasih...”
“Mau berteduh di dalam juga
bisa.”
“Oh enggak Mbak,
makasih...di sini aja.”
Irgi duduk di kursi,
sedangkan Intan masuk ke dalam rumah. Irgi melihat hujan yang tak kunjung reda.
Sesekali juga melirik ke pintu ruang tamu. Intan yang berada di ruang tengah,
dipaksa kedua temannya untuk memberi minuman hangat pada Irgi. Intan yang
malu-malu senang itu akhirnya mau saja menuruti keinginan kedua temannya yang
centil itu. Ya tentu saja, sebab Intan mulai jatuh hati pada Irgi.
Intan melangkah pelan
sambil membawa gelas di atas cawan, sedangkan Cicik dan Lili menguntil di
belakangnya. Setelah sampai di serambi, Intan berkata lembut sambil, “Ini Mas,
ada minuman hangat.”
Irgi terkejut, “Masya Allah Mbak. Apa ini? Kok
repot-repot?”
Intan tersenyum manis,
“Nggak ada yang repot. Cuma air kok..”
“Rejeki nggak boleh
ditolak,” sambung Lili yang berada di belakang Intan. Intan berkata, “Sekedar
untuk menghangatkan badan. Ini kan dingin banget.”
Irgi merasa gado-gado, malu
sekaligus senang. Ia langsung meneguk teh hangat itu. Intan yang masuk ke ruang
tamu, dipaksa keluar lagi oleh kedua temannya. Ia berkata, “Suruh berteduh
udah, ngasih minum udah. Terus
sekarang gue harus ngapain lagi?”
“Temani dia.” jawab Cicik.
Intan tersentak, “Apa!? Gila lo. Nggak ah!”
“Oalah Niik, nggak usah
pura-pura deh. Sebenarnya lo mau kan? hi hi hi.”
“Lo emang kaget,” sambung Lili, “tapi kaget karena gembira kan? hi hi hi.”
Intan yang sebenarnya memang mau itu
akhirnya pasrah. Ia berdiri di samping Irgi, lalu berkata, “Hujannya masih
deras ya?”
“Iya Mbak,” sahut Irgi
tersenyum. Intan melihat teh yang diminum Irgi masih banyak, masih lebih dari
separo. Ia berkata, “Tehnya kok baru diminum dikit?” diam beberapa detik, “Silahkan diminum lagi Mas. Dihabisin
aja.”
“Oh iya Mbak, makasih.”
“Apa kurang manis?”
“Enggak Mbak, udah pas kok.”
Irgi kembali meminum teh
hangat itu beberapa tegukan. Intan yang semakin percaya diri itu akhirnya
memberanikan diri duduk di samping kanan Irgi. Suasana hening untuk beberapa
detik. Irgi yang agak gugup itu sesekali
melirik Intan, begitu pula sebaliknya. Hati Intan bertanya, “Mau diajak ngomong
apa ya? Bingung nih.” Diam sejenak, “Ngomong apa aja ah. Yang penting ada
komunikasi.”
Irgi menatap hujan, lalu
berkata, “Sudah agak terang..”
Intan mengangguk, “Tapi
masih cukup deras.”
Hening sejenak. Intan
menatap Irgi yang menunduk sambil membawa gelas, lalu berkata, “Kok
terburu-buru sih? Apa masih mau keliling?”
“Nggak juga Mbak..” sahut
Irgi tersenyum malu. “Sekarang masih agak santai. Belum banyak order.”
“Ya udah, di sini dulu
aja.” Hening sejenak. “Udah lama kerja di pizza?”
“Setahun lebih dikit,” sahut Irgi yang mulai berani
menatap Intan. Intan mengangguk sambil tersenyum, lalu bertanya lagi,
“Kira-kira mau kerja di pizza sampai kapan?”
Irgi tersenyum, “Belum tahu
Mbak.” Diam sejenak. “Saya nggak akan keluar kalau belum mampu.”
“Belum mampu? Maksudnya?”
“Ya kalau belum dapet pandangan lain yang lebih baik.
Besok kalau udah dapet kerjaan lain
yang lebih baik, saya pasti keluar. Tapi Insya
Allah saya akan berusaha untuk nggak sering pindah-pindah kerja.”
“Betul..” sahut Intan
mengangguk dan tersenyum. “Kita nggak perlu menekuni berbagai bidang atau
pekerjaan. Cukup satu bidang, kita kerjakan dengan serius, kita kerjakan dengan
sepenuh hati.”
“Betul Mbak,“ sahut Irgi sambil
menatap Intan sekilas. “Insya Allah saya
akan berusaha seperti yang Mbak nasehatkan.”
Kata-kata itu membuat Intan
tersanjung. Ia mengangguk sambil tersenyum manis. Dilihatnya teh di gelas Irgi
sudah kosong. Ia bertanya, “Tehnya mau tambah?”
“Oh enggak Mbak, udah
cukup..makasih banyak.”
Setelah hujan berhenti,
Irgi langsung berpamitan dan berterima kasih atas teh hangatnya. Intan seperti
berusaha menahan Irgi untuk tetap di situ, namun ia belum mempunyai keberanian
yang cukup. Gadis manis ini seperti agak berat berpisah dengan Irgi. Ketika Irgi
berjalan di bawah tangga menuju serambi tempat Intan berdiri, Intan
memanggilnya, “Mas.!“
“Iya Mbak?” sahut Irgi
menoleh ke atas. Dilihatnya Cicik dan Lili sudah muncul di belakang Intan. Intan
menatap kedua temannya, lalu tersenyum malu. Dengan keberanian yang dipaksakan,
Intan berkata lembut, “Mas...boleh nggak, kita manggil...Mas Gik?”
Hening beberapa saat. Irgi
tersenyum malu, lalu menyahut, “Boleh Mbak, silahkan mau panggil saya apa, terserah
Mbak-Mbaknya..”
Intan tersenyum gembira,
begitu pula dengan kedua kawannya. Setelah Irgi pergi, Lili berkata, “Mas Gik.
Cieee...!”
Cicik menyambung, “Besok
lagi lo harus nahan dia lebih lama. Kalau perlu, suruh ke sini kalau lagi
libur.”
“Setuju!” sahut Lili. “Dia
ke sini karena kerja, jadi wajar kalau dia sering terburu-buru. Hi hi hi.”
“Kalian ngomong apa sih!?”
sahut Intan dengan muka merah, merah karena malu sekaligus gembira. Cicik
menyahut, “Kita cuma berpikir, gimana agar lo bisa sering ketemu Mas Gik
(mencubit dagu Intan ).”
Intan semakin tersipu. Ia
bertutur, “Lo yang punya ide manggil dia
gitu, harusnya tadi lo yang ngomong.”
“Tapi lo lebih pantas, dan tadi
lo udah ngelakuin dengan baik. Hi hi
hi.”
---XXXXX---
Intan semakin terkesan
melihat Irgi yang santun, berpenampilan sederhana namun menawan. Rasa kagumnya
itu berawal ketika Irgi berhasil menemukan buku kesayangannya di rumah Tina,
beberapa waktu yang lalu. Sebelum itu Intan juga sudah simpati pada Irgi,
ketika Irgi ‘digarap’ kedua temannya dengan problem
pizza hangus. Seiring dengan waktu yang terus berjalan, benih-benih cinta
mulai tumbuh di taman hati Intan. Semakin hari benih-benih cinta itu semakin
tumbuh subur, dan akhirnya tumbuh menjadi pohon cinta.
Ketika Intan melamun di
ruang tengah atau ruang tamu, Cicik dan Lili sering memergokinya sedang
tersenyum-senyum sendiri. Tentu saja kedua kawannya yang usil itu langsung
menggodanya. Lili berkata, “Nona manis lagi ngelamunin
siapa? Kelihatannya indah sekali.”
Cicik menyambung, “Ya siapa
lagi kalau bukan kurir pizza yang keren itu.”
Intan pun berkata jujur
pada dirinya, bahwa ia telah jatuh cinta pada Irgi. Namun ia belum mau berterus
terang pada Cicik dan Lili, walaupun kedua kawannya itu sudah tahu. Ketika
melamun di kamar, Intan bergumam, “Dia benar-benar nyaris sempurna. Sudah
ganteng, gagah, baik, tidak sombong, ramah. Oohh..beruntung sekali cewek yang
bisa menjadi teman hidupnya kelak.”
Lantas bagaimana dengan
Irgi? Apakah ia juga merasakan hal yang sama? Kita lihat saja dia yang sekarang
sedang berbaring di ranjangnya. Dengan kedua mata masih terbuka, ia teringat
ucapan Intan beberapa hari yang lalu. Gadis manis dan kalem itu berkata lembut,
“Boleh nggak, kita manggil...Mas
Gik?”
Wajah menawan Intan seolah
hadir di kedua mata Irgi. Irgi tersenyum, lalu bergumam, “Menarik sekali gadis
itu. Manis, ramah, pinter...” Diam
sejenak, “Tapi jangan dulu ah! Aku belum ada waktu untuk cewek, apalagi
menikah. Aku masih banyak kerjaan. Aku masih harus membantu Mama mengurus
pekerjaan rumah, mengurus Bayu yang mbeling,
dll.”
Diam sejenak, lalu bicara
lagi dalam batin, “Kecuali kalau Allah memang sudah mempertemukan aku dengan
jodohku. Ya apa boleh buat?”
Lamunan Irgi terputus oleh
suara SMS masuk di Hand Phone-nya. Ia
bergumam, “Siapa sms malam-malam begini?”
Irgi membuka Hand Phone-nya
yang ia taruh di meja. Ternyata itu SMS dari Wiwit. Isinya, “Ndra, besok habis kerja lo mampir ke kantor
gue ya? Bentar aja. Gue mau ngomong penting. Bisa kan?”
Irgi menjawab, “Ya, Insya Allah kuusahakan,” setelah
itu bergumam, “Mau ngomong apa si Wiwit?” Diam sebentar, “Mudah-mudahan nggak ngeluhin kenakalan Bayu. Mudah-mudahan
Bayu nggak bikin ulah lagi.”
Besok sorenya Irgi menemui
Wiwit di kantornya, bengkel motor Suzuki elit. Jabatan Wiwit di bengkel besar
itu sudah tinggi. Ia langsung mengajak Irgi bicara panjang lebar. Sore itu Irgi
mendapat kabar agak buruk. Wiwit yang juga kenal dekat dengan Maji, bossnya Irgi,
menceritakan keluhan Maji tentang Geng Macan yang sudah beberapa kali
memerasnya. Tentu saja Irgi terkejut. Dengan demikian, masa depannya di
restorannya Maji sedikit banyak bisa terancam.
Maji tahu kalau Irgi sudah berhenti
dari dunia balap motor. Maji juga percaya bahwa Irgi sudah berusaha
meninggalkan kekerasan, namun dampak dari bidang yang pernah digelutinya itu
ternyata masih terasa sampai sekarang, dan itu memang tidak mudah untuk dihilangkan.
Maji bisa mengerti, namun Wiwit yang berusaha menjadi penengah itu juga ingin
agar Irgi mengerti, bahwa saat ini Maji sedang pusing memikirkan dirinya.
Pimpinannya itu masih bingung untuk mengambil keputusan yang jelas dan tegas.
Wiwit yang melihat Irgi
kebingungan, langsung menyentuh bahu Irgi, lalu berkata lembut, “Lo tenang aja
Ndra..nanti kita cari solusinya sama-sama. Ingat..lo termasuk teman terbaik
gue, jadi gue siap ngelakuin apapun
buat bantu lo, juga adik lo yang sampai sekarang masih mbeling.”
Kata-kata itu cukup
melegakan hati Irgi. Ia berkata, “Thanks Wit.
Lo emang sobat gue. Selama ini lo
udah kayak kakak gue.”
Wiwit mengangguk, Irgi
bicara lagi, “Lo udah sering bantu gue, tapi gue belum pernah membalas kebaikan
lo sedikit pun. Justru sebaliknya...gue malah sering nyusahin lo.”
Wiwit tersenyum sambil
menggelengkan kepala, “Lo saudara gue, jadi nggak ada istilah nyusahin.“ diam sejenak, “Oke, gue cuma
mau ngomong ini sama lo. Mudahan-mudahan lo bisa ngertiin kebingungan Boss lo itu.”
Irgi mengangguk, “Gue
sangat mengerti apa yang dirasakan Pak Maji sekarang. Beliau udah banyak bantu
gue, jadi gue harus tahu diri.” Diam sebentar, “Misalkan gue dipecat, itu sama
sekali bukan salah Pak Maji...sebab beliau melakukan semua itu untuk kebaikan
semua karyawannya, dan terutama untuk masa depan usahanya.”
“Ya jangan terlalu cepat
berpikir mau dipecatlah. Positive
thinking dong.”
Irgi tersenyum, “Ya
misalkan aja kok. Gue kan juga harus siap..” (bersambung)
---XXXXX---
0 comments:
Post a Comment