Monday 15 July 2013

New LIAR: Kuda Mas (Kurir dan Gadis Manis) ; Bagian Ketujuh

Intan Memendam Cinta 
            Irgi mampir di pom bensin yang letaknya cukup dekat dengan rumah Intan. Setelah bahan bakar motornya cukup penuh, ia memakai topi merahnya, dan tidak memakai helm cakilnya lagi karena sudah hampir sampai di tujuan. Beberapa menit kemudian ia membunyikan bel rumah Intan. Cicik yang sedang makan, berkata pada Intan yang sedang mencuci piring di wastafel,




          “Itu pasti dia. Ayo sambut!”
          Intan tersenyum malu. Ia yang hanya memakai kaos singlet putih atau kaos tanpa lengan, segera masuk ke kamar untuk mengambil baju. Ia berjalan sambil memakai baju lengan panjang merah muda. Ia buka pintu ruang tamu, dan tampaklah Irgi yang membawa plastik putih berisi pizza. Dilihatnya pemuda yang sudah mencuri hatinya itu berpenampilan seperti biasanya, memakai topi merah dan jaket kelabu tua.
          Intan menyambutnya dengan senyum manisnya. Irgi pun tersenyum sambil menunduk, lalu berkata, “Pizzanya Mbak (menyerahkan pizza, lalu mengambil nota di saku). Enam puluh lima.”          
          Intan menerimanya, lalu diam beberapa detik sambil melirik Irgi. Setelah itu ia tersenyum sambil berkat lembut, “Sebentar ya Mas..”
          “Iya..” sahut Irgi. Ia menatap Intan yang melangkah ke dalam. Ia yang tampaknya juga mulai merasakan benih asmara, bergumam, “Baju merah muda itu membuat dia terlihat manis sekali. Dia cocok sekali pakai warna pink.”
          Namun karena tidak ingin larut dalam khayalan yang terlalu tinggi, ia langsung memalingkan mukanya keluar. Sekitar satu menit kemudian ia mendengar suara sandal berjalan. Dilihatnya Intan yang tersenyum manis, lalu berkata, “Ini Mas (menyerahkan uang pada Irgi).”
          “Uangnya seratus ya Mbak..” ujar Irgi sambil merogoh saku di jaketnya. “Kembalinya, tiga puluh lima.”
          Intan tersenyum, “Eh nggak usah Mas, ambil aja.”
          “Wah...ini kembaliannya kebanyakan Mbak...”
          “Nggak papa...” jawab Intan sambil menggelengkan kepalanya. Diam sebentar. Irgi menunduk, setelah itu menatap Intan. Sedetik kemudian Intan menunduk sambil tersenyum manis sekali. Lesung di kedua pipinya itu semakin menambah keelokan wajahnya. Setelah menunduk beberapa detik, Intan kembali menatap Irgi dengan bibir tetap tersenyum. Irgi yang juga tersenyum, berkata, “Ya udah..makasih banyak ya Mbak.”    
          Intan mengangguk sambil tetap tersenyum. Irgi bicara lagi, “Semoga Allah membalas kebaikan Mbak.” Diam beberapa detik,  “Saya pamit dulu.”
          “Iya (mengangguk)..”
          “Permisi Mbak.”
          Intan menatap Irgi yang melangkah pergi. Dengan kedua bibir tetap tersenyum, Intan memanggil, “Mas..!”
          “Iya?” sahut Irgi menoleh. Diam beberapa detik. Intan yang sebenarnya mau bilang, “Besok ke sini lagi ya,” atau “Mampir dulu,” atau bahkan “Aku jatuh hati padamu,” hanya bilang: “Eehmm...” setelah itu menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Enggak, nggak jadi (tersenyum malu). Maaf..”
          Irgi tersenyum, lalu berkata, “Permisi Mbak (sambil mengangguk).”
          Ketika berjalan menuruni tangga, Irgi sempat menatap Intan satu detik. Irgi yang berusaha untuk tidak berpikiran macam-macam, langsung tancap gas. Setelah Irgi pergi, Intan menyandarkan tubuhnya di pintu, lalu tersenyum manis. Dengan hati semakin bahagia, ia bergumam, “Tadi aku mau ngomong apa ya? Aahhh...kenapa tadi aku nggak jadi ngomong?” diam sebentar, “Tapi aku betul-betul belum berani ngomong. Hmm...mungkin lain kali aja, kalau waktunya udah lebih tepat.”
          Malam harinya Intan melamun di kamarnya. Wajah Irgi yang lumayan tampan, teduh dan lembut, juga kepribadian dan akhlaknya yang baik, benar-benar membuat Intan semakin kasmaran. Pohon cinta di taman hatinya semakin tumbuh subur. Bibir  hatinya berkata, “Dia memang ganteng luar-dalam.”
          Intan yang sedang tenggelam dalam lautan asmara, tidak sadar kalau Cicik mengintipnya dari pintu kamarnya yang terbuka agak lebar. Cicik menggelengkan kepala sambil tersenyum gembira. Ia berjalan mengendap, lalu berkata, “Lagi ngelamunin siapa?”
          Intan yang duduk di ranjang, tersenyum malu. Cicik langsung duduk di sampingnya, lalu menyentuh bahunya, dilanjutkan dengan mengelus rambutnya yang panjang. Ia tersenyum, ”Kelihatannya senang banget. Emang tadi sore ada apa?” diam sebentar, “Sekarang jujur aja Nik. Nggak usah malu sama gue, atau malu sama Lili.” Diam sejenak, “Lo jatuh cinta sama Irgi kan?”
          Intan hanya tersenyum malu. Cicik membelai rambut Intan, lalu berkata, “Kalau lo udah nganggap gue sama Lili sebagai sobat terbaik lo, harusnya lo nggak perlu malu sama kita. Lo nggak perlu bikin rahasia di antara kita.” Diam sebentar. “Monik yang manis..jujurlah sama gue, sama Lili.” Diam sebentar. “Tolong jawab pertanyaan gue dengan sejujur-jujurnya. Jawablah pertanyaan gue dengan kejujuran dari hati lo yang terdalam. Bisa?”
          Intan hanya mengangguk tanpa menatap Cicik. Cicik berkata, “Kapan lo mulai jatuh hati sama Irgi?”
          Intan hanya diam sambil tersenyum malu. Cicik melanjutkan, “Kalau menurut firasat gue..lo mulai jatuh hati waktu dia bersedia lo suruh nganter titipannya Tika.” Diam sebentar, “Perasaan cinta lo makin bertambah waktu dia nemuin buku kesayangan lo yang udah lama hilang. Betul?”
          Intan mengangguk sambil tersenyum manis. Cicik tersenyum gembira, “Makasih atas kejujuran lo. Kita dukung seratus persen. Bagi kita, lo sama dia memang cocok, cocok banget.”
          “Jangan ngelantur deh,” ujar Intan semakin tersipu.
           “Sumpah Nik. Lo sama Irgi cocok banget. Betul!”
          Hening sebentar. Intan yang hatinya semakin berbunga-bunga, menatap Cicik, lalu berkata, “Cik...”
          “Iya?”
          Intan menarik nafasnya, lalu berkata, “Sebenarnya, tadi sore...”
          Intan menceritakan pertemuannya dengan Irgi tadi sore. Cicik tersenyum, “Aduh Niik. Kenapa lo nggak terus terang? Lo ngomong aja tentang perasaan lo sama dia..daripada dadamu sesak. Cewek kan nggak dilarang ngomong duluan.”
          “Gue belum siap Cik, belum berani. Gue butuh waktu.”
          Cicik membelai rambut Intan, lalu bertutur, “Oke Manis, lo memang butuh waktu. Tapi kalau nanti udah tiba waktunya, lo benar-benar harus ngomong ke dia. Harus! Lo nggak boleh memendam cinta. Nanti hatimu bisa sakit.” Diam beberapa detik, “Lo nggak perlu mikir hasilnya. Lo nggak perlu mikir gimana tanggapan dia nanti. Yang penting lo udah berani ngomong.”
          “Mudah-mudahan Cik. Doa’in gue punya keberanian untuk ngomong.”
          Hening sejenak. Intan kembali menatap Cicik dengan serius, lalu berkata lagi, “Cik..”                                                
          “Iya Manis?”                                                           
          “Ehmm...menurut lo...perasaan dia sama gue gimana?” diam sejenak. “Menurut lo...dia juga ada ‘rasa’ sama gue nggak?”
          Cicik tersenyum, “Kalau lihat sikapnya selama ini, gue yakin, dia juga ada hati sama lo. Percayalah.” Diam sejenak, “Menurut gue...dia cuma malu, minder, merasa nggak pantas. Dia merasa hanya kurir makanan, sementara lo cewek kaya. Hi hi hi.”
          Intan tersenyum, “Padahal gue bukan anak orang kaya. Gue cuma nebeng di istana ini. Hi hi hi.”       

                                                       ---XXXXX---

          Beberapa waktu kemudian Irgi harus mengalami nasib buruk yang berkaitan dengan masa depannya. Ia di-PHK baik-baik dari restoran pizza. Sebagai bentuk penghargaan atas pengabdiannya selama satu setangah tahun, ia diberi pesangon Rp. 600.000. Maji yang polos itu sudah berusaha bertindak adil dan bijaksana. Dengan sangat berat hati, pria kecil berusia hampir lima puluh itu terpaksa memecat karyawan terbaiknya. Semua itu karena ia ingin menjamin keselamatan semua karyawannya, juga ingin memelihara masa depan restorannya.
          Irgi yang sudah menggembleng dirinya dengan ibadah, sejak ayahnya pergi untuk selamanya, tidak begitu sedih atau kecewa dengan keputusan Maji, apalagi sampai mendendam pada lelaki yang sudah mengangkatnya sebagai karyawan andalan di restorannya. Ia memang sedih, kecewa dan tersinggung, namun tidak berlarut-larut karena ia sangat mengerti keadaan. Dengan merendahkan hati ia berkata pada Maji,
          “Saya sangat berterima kasih pada Bapak, berterima kasih atas bantuan Bapak yang sangat Banyak, juga berterima kasih atas kepercayaan Bapak selama ini. Tapi saya belum bisa membalas kebaikan Bapak sedikit pun. Makanya itu, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya mohon maaf kalau selama bekerja kemarin saya banyak membuat kesalahan. Mohon maaf juga kalau saya belum bisa memberi yang terbaik buat restoran ini. Insya Allah, kebaikan Bapak akan dibalas Allah, baik di dunia ini, maupun di akhirat kelak.”
          “Amin!” sahut Maji terharu. “Kita hanya putus hubungan kerja di sini, bukan putus hubungan pertemanan atau persaudaraan kita. Betul kan?”
          “Betul sekali Pak. Pak Maji dan semua karyawan di sini sudah saya anggap keluarga.”
          Maji mengangguk, “Kamu pun juga sudah kuanggap keluargaku. Kamu nggak usah kuatir soal masa depanmu. Kamu juga nggak usah kuatir soal job (pekerjaan). Insya Allah, rejekimu akan datang jika Allah sudah menghendaki.”
          Irgi mengangguk, Maji melanjutkan, “Kalau besok-besok aku ada job lain, atau kalau aku punya teman yang punya usaha, kamu pasti kuhubungi.”
          “Trima kasih Pak.” Diam beberapa detik, “Kalau saya sudah nggak di sini, Bapak nggak perlu kuatir lagi soal Geng Macan...sebab inti permasalahan mereka ada di saya sama Bayu, juga teman-teman balapan saya dulu.”
          Maji mengangguk sambil tersenyum, lalu bertutur, “Kapan pun kamu butuh bantuan, selama aku masih bantu, Insya Allah pasti kubantu. Itu janjiku.”
          “Trima kasih banyak Pak.”
          Irgi dan Maji bersalaman erat, setelah itu Irgi berpamitan pada semua temannya sesama karyawan. Pagi itu juga Irgi sudah bukan kurir pizza lagi. Ia berhenti menjadi kurir pizza sebagaimana ia berhenti membalap dulu. Bedanya, kalau balapan dulu ia berhenti karena keinginannya sendiri. Ia berhenti membalap karena ingin menjadi orang baik-baik, ingin meninggalkan kekerasan, ingin hidup normal dll.
          Sekitar tiga minggu setelah dipecat baik-baik dari restoran pizza, Irgi masih menganggur di rumah. Ia sengaja menganggur dulu karena ingin istirahat, menenangkan diri dan membantu ibunya membereskan rumah. Sedangkan Bayu, masih saja ngeluyur ke sana kemari untuk ngetrack. Namun Irgi agak lega mendengar Bayu sudah tidak berurusan dengan Geng Macan karena memang tidak pernah ketemu, tidak pernah ketemu karena Bayu sendiri memilih menghindari geng motor yang paling ditakuti itu.

                                                     ---XXXXX---

          Sudah hampir dua bulan Irgi tidak nongol di rumah Monik, Cicik dan Lili. Irgi tidak pernah datang lagi ke rumah Cicik untuk mengantar pizza. Tentu saja ketiga gadis cakep itu menjadi bingung dan cemas, terutama Si Manis Lesung Pipi. Setiap hari hatinya bertanya, “Kenapa dia nggak pernah ke sini lagi? ke manakah dia? Apakah dia sedang mengalami sesuatu? Apakah dia sedang menghadapi musibah atau masalah berat?”
          Sekarang masih ada kurir dari restorannya Maji yang mengantar pizza ke rumah Monik, namun pengantarnya sudah lain. Pengantarnya bukan Irgi lagi. Setiap ada pengantar pizza yang datang, Intan selalu berharap yang datang itu Irgi, namun ia harus kecewa beberapa kali karena yang datang itu karyawan lain. Ketika karyawan lain itu datang, Lili dan Cicik meminta Intan untuk menanyakan Irgi, namun Intan tidak pernah berani karena malu.
          Tentu saja Intan yang sedang jatuh hati itu semakin gelisah. Kerinduannya pada mantan pembalap jalanan itu semakin hari semakin membesar. Ia menjadi tidak begitu semangat memesan pizza. Ya tentu saja, sebab yang ia cari selama ini bukan pizzanya, tapi pengantarnya. Bibir hatinya berkata, “Di manakah dia sekarang? Apa yang membuat dia nggak pernah ke sini lagi? Apa sebabnya? Apa kemarin ada sikapku atau kata-kataku yang secara tidak sengaja menyinggung perasaannya?”
          Diam sejenak, lalu bergumam lagi, “Segala sesuatu ada sebabnya, termasuk dia. Yah, pasti ada sebabnya dia nggak pernah ke sini lagi. “Diam sejenak, “Aku harus cari tahu sebabnya. Harus!”
          Didorong oleh rasa penasaran yang mendalam, akhirnya Intan memutuskan untuk mencari tahu sendiri soal Irgi. Sore itu Intan datang ke restorannya Maji dengan mobil Jazz biru muda, mobilnya Lili. Intan memakai kaos hijau muda lengan panjang dan celana Jeans biru muda agak ketat. Setelah menoleh ke kanan-kiri, Intan menyeberang jalan menuju restoran, lalu bertanya pada orang-orang yang kebetulan sedang berada di luar restoran. Ternyata Wiwit juga ada di situ.
          Intan kecewa setelah mendengar penjelasan Wiwit tentang keluarnya Irgi. Ternyata Irgi sudah keluar sejak hampir dua bulan yang lalu. Pantas, dia tidak pernah mengantar pizza lagi ke rumahnya. Begitulah gumamnya. Ia berterima kasih pada Wiwit dan teman-temannya, setelah itu berjalan ke sisi lain restoran itu. Ia menempelkan mukanya di kaca jendela restoran, melihat-lihat sesuatu di dalamnya. Ia berharap bisa menemukan jejak atau sesuatu tentang Irgi.
          Sesaat kemudian kedua mata indahnya terbentur pada sesuatu. Ia melihat foto seseorang yang dipasang di dinding. Ternyata itu fotonya Irgi yang sedang tersenyum dan memakai topi merah, topi seragam restoran. Di samping foto wajahnya ada piagam penghargaan bertuliskan: ‘Irgi Indra Haryadi.’ Employee of The Year 2009. Maksudnya, Karyawan Terbaik Tahun ini 2009.‘
          Intan mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ia semakin bahagia setelah mengetahui prestasi Irgi di tempat kerjanya. Ia tinggalkan restoran dengan hati semakin berbunga-bunga. Ia melangkah ke mobilnya dengan bibir tetap tersenyum manis, seolah-olah Irgi ada di hadapannya. Lesung di pipinya yang lonjong agak bulat itu membuat senyumnya semakin menawan. Ketika sudah  mau masuk mobil, ia menatap restoran beberapa detik, setelah itu tersenyum lagi. Ia tetap bahagia walaupun sudah tahu kalau Irgi sudah tidak bekerja di restoran tersebut.
          Setelah sampai di rumah, Intan langsung menceritakan semuanya pada kedua sobatnya. Ia kecewa sekaligus gembira. Kecewa karena Irgi sudah keluar dari restorannya Maji. Menurut info yang ia peroleh, Irgi keluar karena sudah tidak cocok dan ada sedikit masalah. Padahal kenyataannya Irgi diberhentikan oleh atasannya. Namun ia juga gembira karena menemukan foto Irgi bersama piagam penghargaan sebagai karyawan terbaik.
          Cicik dan Lili segera menghibur Intan yang kecewa. Lili berkata, “Tenang aja Nik...kita pasti bisa nemuin dia. Kita berdua yang akan cari dia buat lo. Percayalah.”
          “Iya Nik..lo jangan putus asa,” sambung Cicik sambil memeluk kedua bahu Monik. “Kita sebagai sobat sejati lo, akan ngelakuin apa aja buat lo. Kebahagiaan lo kebahagiaan kita juga. Begitu juga sebaliknya. Kesedihan lo ya kesedihan kita juga.”
          “Makasih..” sahut Monik tersenyum manis. “Lo berdua memang sahabat gue.”
          Kini beralih ke lakon kita, dimana saat ia masih di rumah saja karena membantu ibunya. Sekarang Irgi memiliki banyak waktu untuk meningkatkan ibadahnya. Ia menjadi sering sholat berjama’ah di masjid, walaupun belum lima waktu dan belum rutin. Sesekali ia juga sholat malam di kamarnya, memohon agar pintu rejekinya segera dibuka. Semua kebiasaan positif itu ia lakukan sejak menjadi kurir pizza. Sebelum itu ia hanya sholat kadang-kadang, terutama ketika masih membalap. Di satu sisi ia memang masih ingin di rumah, namun di sisi lain ia sudah mencoba mencari pekerjaan ke sana kemari, namun sampai sekarang belum dapat.  
          Sore itu Irgi diundang Wiwit ke rumahnya untuk diajak ngomong penting. Irgi mendatangi rumah Wiwit dengan bersepeda. Rumah Wiwit itu tergolong kecil namun indah dan rapi. Setelah basa-basi, Wiwit langsung ke perkara inti. Ternyata Wiwit hanya ingin menunjukkan persahabatannya pada Irgi dengan memberi amplop berisi uang 300 ribu. Ia hanya ingin menambah pesangon dari Maji kemarin. Awalnya Irgi menolak karena merasa tidak pantas, namun Wiwit bertutur, “Gue hanya mau ikut menghargai jerih payah lo.”
          “Tapi gue nggak ngelakuin apapun buat lo.”
          Wiwit tersenyum, “Gue hanya ingin nambah penghargaan dari Pak Maji kemarin. Kalau kerja lo kemarin bisa dihitung, uang segini jelas nggak cukup. Bahkan yang dari Pak Maji kemarin juga nggak cukup. Tapi lihatlah nilainya...lihatlah artinya. Arti persahabatan kita.” Diam sebentar, “Udah, trima aja (mencengkeram tangan Irgi yang memegang amplop). Rejeki nggak boleh ditolak. Itu namanya nggak bersyukur.”
          Irgi tersenyum gembira, “Trims banyak Wit. Insya Allah, gue akan berusaha membalas semua ini. Gue akan berusaha membalas semua kebaikan lo selama ini.”
          Irgi dan Wiwit berpelukan, setelah itu Irgi memohon diri. Ketika mereka berada di serambi rumah itu, Wiwit berkata, “Eh Ndra..kemarin ada cewek cantik nyari lo.”
          “Cewek cantik?” tanya Irgi penasaran. Wiwit mengangguk. “Dia nanyain lo. Katanya lo udah nggak pernah ke rumahnya lagi.”
           “Nggak pernah ke rumahnya? Emang ke rumahnya ngapain?”
          “Ya nganter pizza-lah. Lo ini...” diam sejenak, “Kayaknya dia salah satu pelanggan lo.”
          Irgi mengernyitkan dahinya, “Pelangganku yang cantik banyak.”
          “Iyaa, tapi yang ini lain. Dia langsing agak gemuk. Rambutnya panjang, lurus agak ngombak.” Diam sebentar, “Ada lesung di pipinya (menunjuk kedua pipinya).”
          “Lesung pipi?” sahut Irgi tersenyum. “Namanya siapa?”
          “Aduh gue lupa. Coba gue ingat-ingat..” diam sejenak, “Kalau nggak salah..Nunik-Nunik siapa gitu..”
          “Nunik?”
          Wiwit mengangguk, “Indah atau Nunik. Ya...Indah Nunik.”
          Irgi tersenyum, “Intan Monik..”
          “YAAA (Tertawa gembira)! Intan Monik!” diam beberapa detik, “Orangnya gini Men (mengacungkan jempol). Udah cantik, manis, kalem, ramah. Dan kelihatannya juga pinter.”
          Diam beberapa detik. Irgi tersenyum gembira. Wiwit bertanya, “Emang siapa dia?” diam sejenak, “ Ooo (mengangguk-angguk), gue ngerti. Pasti dia salah satu pelanggan yang jatuh cinta sama lo. Iya kan? He he.”
          Irgi hanya diam sambil tersenyum malu. Malam harinya, ketika Irgi mau tidur, ia terus kepikiran Intan. Dengan tubuh berbaring di ranjang, ia bergumam, “Monik nyari aku?” diam sebentar, “Ngapain ya?” diam sebentar. “Ah, jangan berkhayal dulu. Jangan terlalu cepat berpikiran yang aneh-aneh. Mungkin dia memang ada perlu penting sama aku. Mungkin dia cuma mau tanya, kenapa aku nggak pernah datang lagi ke rumahnya.” Diam sejenak. “Tapi...kalau cuma tanya itu..ngapain dia sampai datang ke restoran?”
          Kabut kebingungan menyelimuti hati dan benak Irgi. Ia benar-benar penasaran sekaligus gembira. Namun lubuk hatinya yang terdalam mengakui kalau kegembiraannya lebih besar dari kebingungannya. Ia teringat pertemuannya dengan Intan yang sudah beberapa kali. Wajah gadis jelita itu seolah hadir di matanya. Dilihatnya si gadis manis yang meminta tolong untuk mengantar titipan ke rumah Tina. Dilihatnya si gadis manis yang tersenyum manis sambil berkata, “Boleh nggak, kita manggil..Mas Gik?”
          Suara lembut yang berkata ‘Mas Gik’ itu terus terdengar di kedua telinga Irgi. Terdengar pula suara lembut si gadis manis yang memanggilnya “Mas!” lalu ia menoleh, namun si gadis hanya menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Enggak, nggak jadi (tersenyum malu). Maaf...”
          Irgi tersenyum gembira. Hatinya mulai merasakan benih-benih cinta, sebagaimana yang dirasakan Intan. Dengan kedua mata menatap langit-langit kamar, ia bergumam,  “Manis sekali dia.” Diam sejenak, “Manis, kalem, anteng.” Diam sejenak, “Apalagi kalau pakai baju pink...kayak kemarin.” Diam sejenak. “Sudah ada yang punya belum ya?”
          Beberapa saat kemudian Irgi tersentak sadar. Ia bergumam, “Eh..kenapa aku jadi mikirin dia terus? Emang dia itu siapa? Dan aku juga siapa?” diam sejenak. “Aaah (menepuk dahi). Cewek manis luar dalam kayak dia kok belum ada yang punya. Nggak mungkin.” Diam sebentar. “Sudah Irgi, sudah! Bersihkan pikiranmu, bersihkan hatimu. Jangan berkhayal terus. Jangan berkhayal berlebihan. Jangan mimpi terlalu tinggi. Sadar Irgi, sadar!”
          Irgi melihat jam, setelah itu bergumam lagi, “Sudah setengah sebelas. Stop mimpi indahnya. Besok bisa telat sholat Shubuh di masjid. Sekarang harus tidur. Besok harus muter lagi untuk nyari kerja.”
                                                        
                                                           ---XXXXX---
             
          Sore itu Lili dan Cicik bermain di rumah teman mereka. Ketika mereka berpamitan, Cicik berjalan duluan menuju mobil, sementara Lili masih berbincang dengan temannya di serambi rumahnya. Cicik mau masuk ke mobil Jazz biru, namun mendadak matanya terbentur pada sesuatu. Ia melihat seorang penjual donat yang sedang melayani pembeli di rumahnya. Penjual donat itu memakai motor. Cicik seperti pernah melihat lelaki penjual donat itu.
          Ia terus mengamati lelaki bertopi itu dengan cermat. Jaraknya dengan lelaki itu terpaut sekitar lima belas meter. Beberapa detik kemudian ia tersentak gembira. Lelaki penjual donat itu ternyata Irgi. Ia langsung mendekati Lili yang masih ngobrol dengan temannya, kemudian ganti menghampiri Irgi dengan perlahan. Setelah berdiri sekitar 2 meter di samping Irgi, Cicik berkata, “Halo Mas Irgiii. Apa kabar?”
          “Eh..Mbak Cicik!” sahut Irgi tersentak gembira. Sesaat kemudian Lili datang, lalu menyapa, “Apa kabar Mas Irgii?”
          “Baik Mbak, Alhamdulillah.”
          “Kok nggak bilang kemarin udah keluar dari pizza?” ujar Lili. “Kita kan jadi bingung. Kita sempat mengira Mas Gik dapet masalah atau musibah.”
          Irgi tersenyum malu, “Saya baik-baik aja Mbak, makasih. Ya maaf kalau nggak sempat ngabari Mbak-Mbaknya, soalnya kemarin saya keluarnya mendadak, jadi..”
          “Ya udah,” potong Cicik, “yang penting sekarang kita udah ketemu.” Diam sejenak. “Udah berapa lama jualan donat.”
          “Baru tiga minggu Mbak...”
          “Ngurir lagi ya?”
          “Iya Mbak. Memang hanya ini yang bisa saya lakukan.”
          “Besok mampir ke tempat kita ya Mas..” ujar Lili.
          “Ya Mbak, Insya Allah.” Diam sebentar. “Terus, Mbak-Mbaknya ini ngapain di sini?”
           Lili menyahut, “Lagi di rumah teman kita. Itu rumahnya (menunjuk rumah pagar biru).”
          “Ooo (mengangguk dan tersenyum). Nggak nyangka bisa ketemu Mbak Cicik sama Mbak Lili.”
         “Pertemuan kita ini jelas bukan kebetulan,” sahut Cicik. “Semua ini sudah  kehendak-Nya.”
          Irgi tersenyum. Penampilannya persis seperti kemarin. Jaket cokelat tua dan topi biru laut, juga motor bebek yang di jok belakangnya dipasang kotak fiber untuk menaruh makanan. Sesaat kemudian Irgi memohon diri. Ketika ia mau menaiki motornya, Cicik memanggilnya, lalu berkata, “Kamu dicari Monik.”
          Irgi terkejut, “Mbak Monik..nyari saya?”
          Cicik dan Lili mengangguk, lalu Lili berkata, “Sekarang kami mau ngomong serius, sebentar aja. Lagi terburu-buru nggak?”
          Irgi menggelengkan kepala. Lili melanjutkan, “Oke kalau gitu. Sekarang kita mau ngomong serius, ngomong soal Monik.”
          Diam sejenak, lalu Cicik berkata, “Mas..mulai sekarang kamu harus memahami perasaan Monik sama kamu selama ini.”    
          Cicik yang ceriwis itu langsung bercerita panjang lebar. Intinya, Intan jatuh hati pada Irgi. Sejak kemarin-kemarin Intan ingin mengungkapkan perasaan cintanya pada Irgi, namun tidak pernah berani melakukan karena ia seorang gadis yang pendiam dan pemalu. Intan hanya ingin mengungkapkan cinta yang ia pendam di hatinya, dan ia sudah lega bisa melakukan itu. Ia hanya ingin Irgi tahu perasaannya. Soal bagaimana tanggapan Irgi, itu urusan belakangan.  
          Tentu saja Irgi terkejut, namun terkejut karena gembira. Wajahnya gado-gado, bingung, cemas dan gembira, namun gembiranya yang paling banyak. Cicik yang terlihat serius itu melanjutkan, “Sekarang kamu harus ngomong sama kami. Kamu harus menjawab sejujurnya.”
          “Iya Mas,” sambung Lili, “kamu nggak boleh bohong.”
          “Memang Mbak mau tanya apa?” ujar Irgi semakin bingung.
          Cicik menjawab, “Mas Gik..gimana tanggapanmu tentang perasaan Intan?”
          “Tanggapan saya?” tanya Irgi tidak mengerti. “Maksudnya..?”
          “Ya elaah..ya tanggapanmu tentang perasaannya Monik sama kamu. Masa gitu aja nggak paham sih?”
          Irgi diam saja. Ia belum bisa memberi jawaban apapun karena takut salah atau takut berakibat kurang baik. Cicik melanjutkan, “Mas Gik...Monik mencintaimu. Dan kamu sendiri, juga mencintai Monik nggak?” diam sejenak. “Kamu ada rasa cinta sama Monik nggak?..walau cuma sedikit. Ada nggak? Jawab sejujurnya!”
          Irgi semakin merasa tidak karuan. Ia bergumam, “Ya ampun. Aku harus jawab apa nih?”
          Lili berkata, “Jawablah sesuai dengan apa yang di hatimu.”
          “Iya Mbak (gugup), tapi tolong, beri saya waktu...”
          “Oke, tapi nggak usah lama-lama ya?” sahut Lili. “Ini masalah penting. Ini menyangkut perasaan sobat sejati kami.”
          Diam sebentar. Irgi yang sebenarnya merasa gembira, tetap merasa sulit untuk mengatakan sesuatu. Lidahnya terasa berat untuk digerakkan. Cicik berkata lagi, “Kutanya sekali lagi. Mas Gik...Intan mencintaimu. Nah, apakah kamu juga mencintai Intan? Apa selama ini kamu juga ada rasa cinta sama Intan? Walau cuma sedikit, walau cuma secuil?” diam sejenak, “Kamu tinggal jawab ‘Ya’ atau ‘Tidak,’ ‘ada’ atau ‘tidak.’ Beres kok, nggak usah pusing-pusing.”
          Irgi hanya diam sambil menunduk. Lili menyambung, “Oke Mas Gik...kalau kamu nggak bisa bilang ya atau tidak, kamu bisa jawab dengan mengangguk atau menggelengkan kepala. Waktu kami terbatas, jadi kamu harus segera menjawab sesuatu.” Diam sebentar, “Mas Gik...kamu ada rasa cinta sama Intan nggak?”
          Irgi mengatur nafasnya yang terasa berat, setelah itu mengangguk. Tentu saja Cicik dan Lili tersentak gembira. Cicik berkata, “Berarti kamu juga mencintai Intan?”
          Irgi kembali mengangguk sambil tersenyum malu. Cicik dan Lilik bersorak seperti anak kecil, setelah itu saling berpelukan. Irgi hanya menggelengkan kepala dengan bibir tetap tersenyum. Setelah itu ia mohon pamit. Cicik berseru, “Eeh, mau ke mana!?”
          “Saya duluan Mbak, udah agak gelap. Makasih..”
          “Jangan lupa, besok ke tempat kita.”
          “Ya Mbak, kalau nggak lupa.”
          “Nggak boleh lupa! Besok kamu harus nemuin Monik.”
          Irgi tersenyum malu, “Iya Mbak, Insya Allah.”
          Setelah meninggalkan perumahan itu, Irgi melajukan motor bebeknya dengan kencang. Sesaat kemudian ia tiba di sebuah tempat sepi. Ia buka helmnya, dan tampaklah mukanya yang merah hitam karena cemas bercampur bahagia. Ia  bergumam, “Benarkah jawaban yang kuberikan tadi? benarkah? Benarkah aku memang menjawab ‘iya?’ hening sejenak, lalu tersenyum gembira, “Yah...kalau mau jujur..aku memang harus mengangguk alias menjawab ‘iya.’ “  (bersambung)                                                 
                                                          ---XXXXX--- 
 

0 comments:

Post a Comment

 
;