Intan Memendam Cinta
Irgi mampir di pom bensin yang letaknya cukup dekat dengan rumah Intan. Setelah bahan bakar motornya cukup penuh, ia memakai topi merahnya, dan tidak memakai helm cakilnya lagi karena sudah hampir sampai di tujuan. Beberapa menit kemudian ia membunyikan bel rumah Intan. Cicik yang sedang makan, berkata pada Intan yang sedang mencuci piring di wastafel,
Irgi mampir di pom bensin yang letaknya cukup dekat dengan rumah Intan. Setelah bahan bakar motornya cukup penuh, ia memakai topi merahnya, dan tidak memakai helm cakilnya lagi karena sudah hampir sampai di tujuan. Beberapa menit kemudian ia membunyikan bel rumah Intan. Cicik yang sedang makan, berkata pada Intan yang sedang mencuci piring di wastafel,
“Itu pasti dia. Ayo
sambut!”
Intan tersenyum malu. Ia
yang hanya memakai kaos singlet putih atau kaos tanpa lengan, segera masuk ke
kamar untuk mengambil baju. Ia berjalan sambil memakai baju lengan panjang
merah muda. Ia buka pintu ruang tamu, dan tampaklah Irgi yang membawa plastik
putih berisi pizza. Dilihatnya pemuda yang sudah mencuri hatinya itu
berpenampilan seperti biasanya, memakai topi merah dan jaket kelabu tua.
Intan menyambutnya dengan
senyum manisnya. Irgi pun tersenyum sambil menunduk, lalu berkata, “Pizzanya
Mbak (menyerahkan pizza, lalu mengambil nota di saku). Enam puluh lima.”
Intan menerimanya, lalu
diam beberapa detik sambil melirik Irgi. Setelah itu ia tersenyum sambil berkat
lembut, “Sebentar ya Mas..”
“Iya..” sahut Irgi. Ia
menatap Intan yang melangkah ke dalam. Ia yang tampaknya juga mulai merasakan
benih asmara, bergumam, “Baju merah muda itu membuat dia terlihat manis sekali.
Dia cocok sekali pakai warna pink.”
Namun karena tidak ingin
larut dalam khayalan yang terlalu tinggi, ia langsung memalingkan mukanya
keluar. Sekitar satu menit kemudian ia mendengar suara sandal berjalan.
Dilihatnya Intan yang tersenyum manis, lalu berkata, “Ini Mas (menyerahkan uang
pada Irgi).”
“Uangnya seratus ya Mbak..”
ujar Irgi sambil merogoh saku di jaketnya. “Kembalinya, tiga puluh lima.”
Intan tersenyum, “Eh nggak
usah Mas, ambil aja.”
“Wah...ini kembaliannya
kebanyakan Mbak...”
“Nggak papa...” jawab Intan sambil menggelengkan kepalanya. Diam sebentar.
Irgi menunduk, setelah itu menatap Intan. Sedetik kemudian Intan menunduk
sambil tersenyum manis sekali. Lesung di kedua pipinya itu semakin menambah
keelokan wajahnya. Setelah menunduk beberapa detik, Intan kembali menatap Irgi
dengan bibir tetap tersenyum. Irgi yang juga tersenyum, berkata, “Ya
udah..makasih banyak ya Mbak.”
Intan mengangguk sambil tetap
tersenyum. Irgi bicara lagi, “Semoga Allah membalas kebaikan Mbak.” Diam
beberapa detik, “Saya pamit dulu.”
“Iya (mengangguk)..”
“Permisi Mbak.”
Intan menatap Irgi yang
melangkah pergi. Dengan kedua bibir tetap tersenyum, Intan memanggil, “Mas..!”
“Iya?” sahut Irgi menoleh.
Diam beberapa detik. Intan yang sebenarnya mau bilang, “Besok ke sini lagi ya,”
atau “Mampir dulu,” atau bahkan “Aku jatuh hati padamu,” hanya bilang:
“Eehmm...” setelah itu menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Enggak, nggak
jadi (tersenyum malu). Maaf..”
Irgi tersenyum, lalu
berkata, “Permisi Mbak (sambil mengangguk).”
Ketika berjalan menuruni
tangga, Irgi sempat menatap Intan satu detik. Irgi yang berusaha untuk tidak
berpikiran macam-macam, langsung tancap gas. Setelah Irgi pergi, Intan
menyandarkan tubuhnya di pintu, lalu tersenyum manis. Dengan hati semakin
bahagia, ia bergumam, “Tadi aku mau ngomong apa ya? Aahhh...kenapa tadi aku
nggak jadi ngomong?” diam sebentar, “Tapi aku betul-betul belum berani ngomong.
Hmm...mungkin lain kali aja, kalau waktunya udah lebih tepat.”
Malam harinya Intan melamun
di kamarnya. Wajah Irgi yang lumayan tampan, teduh dan lembut, juga kepribadian
dan akhlaknya yang baik, benar-benar membuat Intan semakin kasmaran. Pohon cinta
di taman hatinya semakin tumbuh subur. Bibir hatinya berkata, “Dia memang ganteng
luar-dalam.”
Intan yang sedang tenggelam
dalam lautan asmara, tidak sadar kalau Cicik mengintipnya dari pintu kamarnya
yang terbuka agak lebar. Cicik menggelengkan kepala sambil tersenyum gembira.
Ia berjalan mengendap, lalu berkata, “Lagi ngelamunin
siapa?”
Intan yang duduk di
ranjang, tersenyum malu. Cicik langsung duduk di sampingnya, lalu menyentuh
bahunya, dilanjutkan dengan mengelus rambutnya yang panjang. Ia tersenyum,
”Kelihatannya senang banget. Emang
tadi sore ada apa?” diam sebentar, “Sekarang jujur aja Nik. Nggak usah malu sama
gue, atau malu sama Lili.” Diam sejenak, “Lo jatuh cinta sama Irgi kan?”
Intan hanya tersenyum malu.
Cicik membelai rambut Intan, lalu berkata, “Kalau lo udah nganggap gue sama
Lili sebagai sobat terbaik lo, harusnya lo nggak perlu malu sama kita. Lo nggak
perlu bikin rahasia di antara kita.” Diam sebentar. “Monik yang manis..jujurlah
sama gue, sama Lili.” Diam sebentar. “Tolong jawab pertanyaan gue dengan
sejujur-jujurnya. Jawablah pertanyaan gue dengan kejujuran dari hati lo yang
terdalam. Bisa?”
Intan hanya mengangguk
tanpa menatap Cicik. Cicik berkata, “Kapan lo mulai jatuh hati sama Irgi?”
Intan hanya diam sambil
tersenyum malu. Cicik melanjutkan, “Kalau menurut firasat gue..lo mulai jatuh
hati waktu dia bersedia lo suruh nganter
titipannya Tika.” Diam sebentar, “Perasaan cinta lo makin bertambah waktu dia nemuin buku kesayangan lo yang udah lama
hilang. Betul?”
Intan mengangguk sambil
tersenyum manis. Cicik tersenyum gembira, “Makasih atas kejujuran lo. Kita
dukung seratus persen. Bagi kita, lo sama dia memang cocok, cocok banget.”
“Jangan ngelantur deh,”
ujar Intan semakin tersipu.
“Sumpah Nik. Lo sama Irgi
cocok banget. Betul!”
Hening sebentar. Intan yang
hatinya semakin berbunga-bunga, menatap Cicik, lalu berkata, “Cik...”
“Iya?”
Intan menarik nafasnya,
lalu berkata, “Sebenarnya, tadi sore...”
Intan menceritakan
pertemuannya dengan Irgi tadi sore. Cicik tersenyum, “Aduh Niik. Kenapa lo
nggak terus terang? Lo ngomong aja tentang perasaan lo sama dia..daripada
dadamu sesak. Cewek kan nggak dilarang ngomong duluan.”
“Gue belum siap Cik, belum
berani. Gue butuh waktu.”
Cicik membelai rambut
Intan, lalu bertutur, “Oke Manis, lo memang butuh waktu. Tapi kalau nanti udah
tiba waktunya, lo benar-benar harus ngomong ke dia. Harus! Lo nggak boleh
memendam cinta. Nanti hatimu bisa sakit.” Diam beberapa detik, “Lo nggak perlu mikir hasilnya. Lo nggak perlu mikir gimana tanggapan dia nanti. Yang
penting lo udah berani ngomong.”
“Mudah-mudahan Cik. Doa’in gue punya keberanian untuk
ngomong.”
Hening sejenak. Intan
kembali menatap Cicik dengan serius, lalu berkata lagi, “Cik..”
“Iya Manis?”
“Ehmm...menurut
lo...perasaan dia sama gue gimana?” diam sejenak. “Menurut lo...dia juga ada
‘rasa’ sama gue nggak?”
Cicik tersenyum, “Kalau
lihat sikapnya selama ini, gue yakin, dia juga ada hati sama lo. Percayalah.”
Diam sejenak, “Menurut gue...dia cuma malu, minder, merasa nggak pantas. Dia
merasa hanya kurir makanan, sementara lo cewek kaya. Hi hi hi.”
Intan tersenyum, “Padahal
gue bukan anak orang kaya. Gue cuma nebeng
di istana ini. Hi hi hi.”
---XXXXX---
Beberapa waktu kemudian
Irgi harus mengalami nasib buruk yang berkaitan dengan masa depannya. Ia di-PHK
baik-baik dari restoran pizza. Sebagai bentuk penghargaan atas pengabdiannya
selama satu setangah tahun, ia diberi pesangon Rp. 600.000. Maji yang polos itu
sudah berusaha bertindak adil dan bijaksana. Dengan sangat berat hati, pria
kecil berusia hampir lima puluh itu terpaksa memecat karyawan terbaiknya. Semua
itu karena ia ingin menjamin keselamatan semua karyawannya, juga ingin
memelihara masa depan restorannya.
Irgi yang sudah
menggembleng dirinya dengan ibadah, sejak ayahnya pergi untuk selamanya, tidak
begitu sedih atau kecewa dengan keputusan Maji, apalagi sampai mendendam pada
lelaki yang sudah mengangkatnya sebagai karyawan andalan di restorannya. Ia
memang sedih, kecewa dan tersinggung, namun tidak berlarut-larut karena ia
sangat mengerti keadaan. Dengan merendahkan hati ia berkata pada Maji,
“Saya sangat berterima
kasih pada Bapak, berterima kasih atas bantuan Bapak yang sangat Banyak, juga
berterima kasih atas kepercayaan Bapak selama ini. Tapi saya belum bisa
membalas kebaikan Bapak sedikit pun. Makanya itu, saya mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Saya mohon maaf kalau selama bekerja kemarin saya banyak
membuat kesalahan. Mohon maaf juga kalau saya belum bisa memberi yang terbaik
buat restoran ini. Insya Allah, kebaikan
Bapak akan dibalas Allah, baik di dunia ini, maupun di akhirat kelak.”
“Amin!” sahut Maji terharu.
“Kita hanya putus hubungan kerja di sini, bukan putus hubungan pertemanan atau
persaudaraan kita. Betul kan?”
“Betul sekali Pak. Pak Maji
dan semua karyawan di sini sudah saya anggap keluarga.”
Maji mengangguk, “Kamu pun
juga sudah kuanggap keluargaku. Kamu nggak usah kuatir soal masa depanmu. Kamu
juga nggak usah kuatir soal job (pekerjaan). Insya Allah, rejekimu akan datang jika
Allah sudah menghendaki.”
Irgi mengangguk, Maji
melanjutkan, “Kalau besok-besok aku ada job
lain, atau kalau aku punya teman yang punya usaha, kamu pasti kuhubungi.”
“Trima kasih Pak.” Diam
beberapa detik, “Kalau saya sudah nggak di sini, Bapak nggak perlu kuatir lagi
soal Geng Macan...sebab inti permasalahan mereka ada di saya sama Bayu, juga
teman-teman balapan saya dulu.”
Maji mengangguk sambil
tersenyum, lalu bertutur, “Kapan pun kamu butuh bantuan, selama aku masih
bantu, Insya Allah pasti kubantu. Itu
janjiku.”
“Trima kasih banyak Pak.”
Irgi dan Maji bersalaman
erat, setelah itu Irgi berpamitan pada semua temannya sesama karyawan. Pagi itu
juga Irgi sudah bukan kurir pizza lagi. Ia berhenti menjadi kurir pizza
sebagaimana ia berhenti membalap dulu. Bedanya, kalau balapan dulu ia berhenti
karena keinginannya sendiri. Ia berhenti membalap karena ingin menjadi orang
baik-baik, ingin meninggalkan kekerasan, ingin hidup normal dll.
Sekitar tiga minggu setelah
dipecat baik-baik dari restoran pizza, Irgi masih menganggur di rumah. Ia
sengaja menganggur dulu karena ingin istirahat, menenangkan diri dan membantu
ibunya membereskan rumah. Sedangkan Bayu, masih saja ngeluyur ke sana kemari untuk ngetrack.
Namun Irgi agak lega mendengar Bayu sudah tidak berurusan dengan Geng Macan
karena memang tidak pernah ketemu, tidak pernah ketemu karena Bayu sendiri
memilih menghindari geng motor yang paling ditakuti itu.
---XXXXX---
Sudah hampir dua bulan Irgi
tidak nongol di rumah Monik, Cicik
dan Lili. Irgi tidak pernah datang lagi ke rumah Cicik untuk mengantar pizza.
Tentu saja ketiga gadis cakep itu menjadi bingung dan cemas, terutama Si Manis
Lesung Pipi. Setiap hari hatinya bertanya, “Kenapa dia nggak pernah ke sini
lagi? ke manakah dia? Apakah dia sedang mengalami sesuatu? Apakah dia sedang
menghadapi musibah atau masalah berat?”
Sekarang masih ada kurir
dari restorannya Maji yang mengantar pizza ke rumah Monik, namun pengantarnya
sudah lain. Pengantarnya bukan Irgi lagi. Setiap ada pengantar pizza yang
datang, Intan selalu berharap yang datang itu Irgi, namun ia harus kecewa
beberapa kali karena yang datang itu karyawan lain. Ketika karyawan lain itu
datang, Lili dan Cicik meminta Intan untuk menanyakan Irgi, namun Intan tidak
pernah berani karena malu.
Tentu saja Intan yang sedang
jatuh hati itu semakin gelisah. Kerinduannya pada mantan pembalap jalanan itu
semakin hari semakin membesar. Ia menjadi tidak begitu semangat memesan pizza.
Ya tentu saja, sebab yang ia cari selama ini bukan pizzanya, tapi pengantarnya.
Bibir hatinya berkata, “Di manakah dia sekarang? Apa yang membuat dia nggak
pernah ke sini lagi? Apa sebabnya? Apa kemarin ada sikapku atau kata-kataku
yang secara tidak sengaja menyinggung perasaannya?”
Diam sejenak, lalu bergumam
lagi, “Segala sesuatu ada sebabnya, termasuk dia. Yah, pasti ada sebabnya dia
nggak pernah ke sini lagi. “Diam sejenak, “Aku harus cari tahu sebabnya.
Harus!”
Didorong oleh rasa
penasaran yang mendalam, akhirnya Intan memutuskan untuk mencari tahu sendiri
soal Irgi. Sore itu Intan datang ke restorannya Maji dengan mobil Jazz biru
muda, mobilnya Lili. Intan memakai kaos hijau muda lengan panjang dan celana
Jeans biru muda agak ketat. Setelah menoleh ke kanan-kiri, Intan menyeberang
jalan menuju restoran, lalu bertanya pada orang-orang yang kebetulan sedang
berada di luar restoran. Ternyata Wiwit juga ada di situ.
Intan kecewa setelah
mendengar penjelasan Wiwit tentang keluarnya Irgi. Ternyata Irgi sudah keluar
sejak hampir dua bulan yang lalu. Pantas, dia tidak pernah mengantar pizza lagi
ke rumahnya. Begitulah gumamnya. Ia berterima kasih pada Wiwit dan
teman-temannya, setelah itu berjalan ke sisi lain restoran itu. Ia menempelkan
mukanya di kaca jendela restoran, melihat-lihat sesuatu di dalamnya. Ia berharap
bisa menemukan jejak atau sesuatu tentang Irgi.
Sesaat kemudian kedua mata
indahnya terbentur pada sesuatu. Ia melihat foto seseorang yang dipasang di
dinding. Ternyata itu fotonya Irgi yang sedang tersenyum dan memakai topi
merah, topi seragam restoran. Di samping foto wajahnya ada piagam penghargaan
bertuliskan: ‘Irgi Indra Haryadi.’ Employee
of The Year 2009. Maksudnya, Karyawan Terbaik Tahun ini 2009.‘
Intan mengangguk-angguk
sambil tersenyum. Ia semakin bahagia setelah mengetahui prestasi Irgi di tempat
kerjanya. Ia tinggalkan restoran dengan hati semakin berbunga-bunga. Ia
melangkah ke mobilnya dengan bibir tetap tersenyum manis, seolah-olah Irgi ada
di hadapannya. Lesung di pipinya yang lonjong agak bulat itu membuat senyumnya
semakin menawan. Ketika sudah mau masuk
mobil, ia menatap restoran beberapa detik, setelah itu tersenyum lagi. Ia tetap
bahagia walaupun sudah tahu kalau Irgi sudah tidak bekerja di restoran
tersebut.
Setelah sampai di rumah,
Intan langsung menceritakan semuanya pada kedua sobatnya. Ia kecewa sekaligus
gembira. Kecewa karena Irgi sudah keluar dari restorannya Maji. Menurut info
yang ia peroleh, Irgi keluar karena sudah tidak cocok dan ada sedikit masalah.
Padahal kenyataannya Irgi diberhentikan oleh atasannya. Namun ia juga gembira
karena menemukan foto Irgi bersama piagam penghargaan sebagai karyawan terbaik.
Cicik dan Lili segera
menghibur Intan yang kecewa. Lili berkata, “Tenang aja Nik...kita pasti bisa nemuin dia. Kita berdua yang akan cari
dia buat lo. Percayalah.”
“Iya Nik..lo jangan putus
asa,” sambung Cicik sambil memeluk kedua bahu Monik. “Kita sebagai sobat sejati
lo, akan ngelakuin apa aja buat lo.
Kebahagiaan lo kebahagiaan kita juga. Begitu juga sebaliknya. Kesedihan lo ya
kesedihan kita juga.”
“Makasih..” sahut Monik
tersenyum manis. “Lo berdua memang sahabat gue.”
Kini beralih ke lakon kita, dimana saat ia masih di
rumah saja karena membantu ibunya. Sekarang Irgi memiliki banyak waktu untuk
meningkatkan ibadahnya. Ia menjadi sering sholat berjama’ah di masjid, walaupun
belum lima waktu dan belum rutin. Sesekali ia juga sholat malam di kamarnya,
memohon agar pintu rejekinya segera dibuka. Semua kebiasaan positif itu ia
lakukan sejak menjadi kurir pizza. Sebelum itu ia hanya sholat kadang-kadang,
terutama ketika masih membalap. Di satu sisi ia memang masih ingin di rumah,
namun di sisi lain ia sudah mencoba mencari pekerjaan ke sana kemari, namun
sampai sekarang belum dapat.
Sore itu Irgi diundang
Wiwit ke rumahnya untuk diajak ngomong penting. Irgi mendatangi rumah Wiwit
dengan bersepeda. Rumah Wiwit itu tergolong kecil namun indah dan rapi. Setelah
basa-basi, Wiwit langsung ke perkara inti. Ternyata Wiwit hanya ingin menunjukkan
persahabatannya pada Irgi dengan memberi amplop berisi uang 300 ribu. Ia hanya
ingin menambah pesangon dari Maji kemarin. Awalnya Irgi menolak karena merasa
tidak pantas, namun Wiwit bertutur, “Gue hanya mau ikut menghargai jerih payah
lo.”
“Tapi gue nggak ngelakuin apapun buat lo.”
Wiwit tersenyum, “Gue hanya
ingin nambah penghargaan dari Pak Maji kemarin. Kalau kerja lo kemarin bisa
dihitung, uang segini jelas nggak cukup. Bahkan yang dari Pak Maji kemarin juga
nggak cukup. Tapi lihatlah nilainya...lihatlah artinya. Arti persahabatan
kita.” Diam sebentar, “Udah, trima aja (mencengkeram tangan Irgi yang memegang
amplop). Rejeki nggak boleh ditolak. Itu namanya nggak bersyukur.”
Irgi tersenyum gembira,
“Trims banyak Wit. Insya Allah, gue
akan berusaha membalas semua ini. Gue akan berusaha membalas semua kebaikan lo
selama ini.”
Irgi dan Wiwit berpelukan, setelah itu
Irgi memohon diri. Ketika mereka berada di serambi rumah itu, Wiwit berkata,
“Eh Ndra..kemarin ada cewek cantik nyari lo.”
“Cewek cantik?” tanya Irgi
penasaran. Wiwit mengangguk. “Dia nanyain
lo. Katanya lo udah nggak pernah ke rumahnya lagi.”
“Nggak pernah ke rumahnya?
Emang ke rumahnya ngapain?”
“Ya nganter pizza-lah. Lo
ini...” diam sejenak, “Kayaknya dia
salah satu pelanggan lo.”
Irgi mengernyitkan dahinya,
“Pelangganku yang cantik banyak.”
“Iyaa, tapi yang ini lain.
Dia langsing agak gemuk. Rambutnya panjang, lurus agak ngombak.” Diam sebentar,
“Ada lesung di pipinya (menunjuk kedua pipinya).”
“Lesung pipi?” sahut Irgi
tersenyum. “Namanya siapa?”
“Aduh gue lupa. Coba gue
ingat-ingat..” diam sejenak, “Kalau nggak salah..Nunik-Nunik siapa gitu..”
“Nunik?”
Wiwit mengangguk, “Indah
atau Nunik. Ya...Indah Nunik.”
Irgi tersenyum, “Intan
Monik..”
“YAAA (Tertawa gembira)!
Intan Monik!” diam beberapa detik, “Orangnya gini Men (mengacungkan jempol). Udah cantik, manis, kalem, ramah. Dan
kelihatannya juga pinter.”
Diam beberapa detik. Irgi
tersenyum gembira. Wiwit bertanya, “Emang
siapa dia?” diam sejenak, “ Ooo (mengangguk-angguk), gue ngerti. Pasti dia salah
satu pelanggan yang jatuh cinta sama lo. Iya kan? He he.”
Irgi hanya diam sambil
tersenyum malu. Malam harinya, ketika Irgi mau tidur, ia terus kepikiran Intan.
Dengan tubuh berbaring di ranjang, ia bergumam, “Monik nyari aku?” diam sebentar, “Ngapain
ya?” diam sebentar. “Ah, jangan berkhayal dulu. Jangan terlalu cepat berpikiran
yang aneh-aneh. Mungkin dia memang ada perlu penting sama aku. Mungkin dia cuma
mau tanya, kenapa aku nggak pernah datang lagi ke rumahnya.” Diam sejenak.
“Tapi...kalau cuma tanya itu..ngapain
dia sampai datang ke restoran?”
Kabut kebingungan
menyelimuti hati dan benak Irgi. Ia benar-benar penasaran sekaligus gembira.
Namun lubuk hatinya yang terdalam mengakui kalau kegembiraannya lebih besar
dari kebingungannya. Ia teringat pertemuannya dengan Intan yang sudah beberapa
kali. Wajah gadis jelita itu seolah hadir di matanya. Dilihatnya si gadis manis
yang meminta tolong untuk mengantar titipan ke rumah Tina. Dilihatnya si gadis
manis yang tersenyum manis sambil berkata, “Boleh nggak, kita manggil..Mas Gik?”
Suara lembut yang berkata
‘Mas Gik’ itu terus terdengar di kedua telinga Irgi. Terdengar pula suara
lembut si gadis manis yang memanggilnya “Mas!” lalu ia menoleh, namun si gadis
hanya menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Enggak, nggak jadi (tersenyum
malu). Maaf...”
Irgi tersenyum gembira.
Hatinya mulai merasakan benih-benih cinta, sebagaimana yang dirasakan Intan.
Dengan kedua mata menatap langit-langit kamar, ia bergumam, “Manis sekali dia.” Diam sejenak, “Manis,
kalem, anteng.” Diam sejenak,
“Apalagi kalau pakai baju pink...kayak kemarin.” Diam sejenak. “Sudah ada
yang punya belum ya?”
Beberapa saat kemudian Irgi
tersentak sadar. Ia bergumam, “Eh..kenapa aku jadi mikirin dia terus? Emang
dia itu siapa? Dan aku juga siapa?” diam sejenak. “Aaah (menepuk dahi). Cewek
manis luar dalam kayak dia kok belum
ada yang punya. Nggak mungkin.” Diam sebentar. “Sudah Irgi, sudah! Bersihkan
pikiranmu, bersihkan hatimu. Jangan berkhayal terus. Jangan berkhayal
berlebihan. Jangan mimpi terlalu tinggi. Sadar Irgi, sadar!”
Irgi melihat jam, setelah
itu bergumam lagi, “Sudah setengah sebelas. Stop mimpi indahnya. Besok bisa
telat sholat Shubuh di masjid. Sekarang harus tidur. Besok harus muter lagi untuk nyari kerja.”
---XXXXX---
Sore itu Lili dan Cicik bermain di rumah
teman mereka. Ketika mereka berpamitan, Cicik berjalan duluan menuju mobil,
sementara Lili masih berbincang dengan temannya di serambi rumahnya. Cicik mau
masuk ke mobil Jazz biru, namun mendadak matanya terbentur pada sesuatu. Ia
melihat seorang penjual donat yang sedang melayani pembeli di rumahnya. Penjual
donat itu memakai motor. Cicik seperti pernah melihat lelaki penjual donat itu.
Ia terus mengamati lelaki bertopi itu
dengan cermat. Jaraknya dengan lelaki itu terpaut sekitar lima belas meter. Beberapa
detik kemudian ia tersentak gembira. Lelaki penjual donat itu ternyata Irgi. Ia
langsung mendekati Lili yang masih ngobrol dengan temannya, kemudian ganti
menghampiri Irgi dengan perlahan. Setelah berdiri sekitar 2 meter di samping
Irgi, Cicik berkata, “Halo Mas Irgiii. Apa kabar?”
“Eh..Mbak Cicik!” sahut
Irgi tersentak gembira. Sesaat kemudian Lili datang, lalu menyapa, “Apa kabar
Mas Irgii?”
“Baik Mbak, Alhamdulillah.”
“Kok nggak bilang kemarin
udah keluar dari pizza?” ujar Lili. “Kita kan jadi bingung. Kita sempat mengira
Mas Gik dapet masalah atau musibah.”
Irgi tersenyum malu, “Saya
baik-baik aja Mbak, makasih. Ya maaf kalau nggak sempat ngabari Mbak-Mbaknya, soalnya kemarin saya keluarnya mendadak, jadi..”
“Ya udah,” potong Cicik,
“yang penting sekarang kita udah ketemu.” Diam sejenak. “Udah berapa lama
jualan donat.”
“Baru tiga minggu Mbak...”
“Ngurir lagi ya?”
“Iya Mbak. Memang hanya ini
yang bisa saya lakukan.”
“Besok mampir ke tempat
kita ya Mas..” ujar Lili.
“Ya Mbak, Insya Allah.” Diam sebentar. “Terus,
Mbak-Mbaknya ini ngapain di sini?”
Lili menyahut, “Lagi di
rumah teman kita. Itu rumahnya (menunjuk rumah pagar biru).”
“Ooo (mengangguk dan
tersenyum). Nggak nyangka bisa ketemu
Mbak Cicik sama Mbak Lili.”
“Pertemuan kita ini jelas bukan kebetulan,”
sahut Cicik. “Semua ini sudah kehendak-Nya.”
Irgi tersenyum.
Penampilannya persis seperti kemarin. Jaket cokelat tua dan topi biru laut,
juga motor bebek yang di jok belakangnya dipasang kotak fiber untuk menaruh
makanan. Sesaat kemudian Irgi memohon diri. Ketika ia mau menaiki motornya,
Cicik memanggilnya, lalu berkata, “Kamu dicari Monik.”
Irgi terkejut, “Mbak
Monik..nyari saya?”
Cicik dan Lili mengangguk,
lalu Lili berkata, “Sekarang kami mau ngomong serius, sebentar aja. Lagi
terburu-buru nggak?”
Irgi menggelengkan kepala.
Lili melanjutkan, “Oke kalau gitu. Sekarang kita mau ngomong serius, ngomong
soal Monik.”
Diam sejenak, lalu Cicik
berkata, “Mas..mulai sekarang kamu harus memahami perasaan Monik sama kamu
selama ini.”
Cicik yang ceriwis itu
langsung bercerita panjang lebar. Intinya, Intan jatuh hati pada Irgi. Sejak
kemarin-kemarin Intan ingin mengungkapkan perasaan cintanya pada Irgi, namun
tidak pernah berani melakukan karena ia seorang gadis yang pendiam dan pemalu.
Intan hanya ingin mengungkapkan cinta yang ia pendam di hatinya, dan ia sudah
lega bisa melakukan itu. Ia hanya ingin Irgi tahu perasaannya. Soal bagaimana
tanggapan Irgi, itu urusan belakangan.
Tentu saja Irgi terkejut,
namun terkejut karena gembira. Wajahnya gado-gado, bingung, cemas dan gembira,
namun gembiranya yang paling banyak. Cicik yang terlihat serius itu
melanjutkan, “Sekarang kamu harus ngomong sama kami. Kamu harus menjawab
sejujurnya.”
“Iya Mas,” sambung Lili,
“kamu nggak boleh bohong.”
“Memang Mbak mau tanya
apa?” ujar Irgi semakin bingung.
Cicik menjawab, “Mas
Gik..gimana tanggapanmu tentang perasaan Intan?”
“Tanggapan saya?” tanya
Irgi tidak mengerti. “Maksudnya..?”
“Ya elaah..ya tanggapanmu
tentang perasaannya Monik sama kamu. Masa gitu aja nggak paham sih?”
Irgi diam saja. Ia belum
bisa memberi jawaban apapun karena takut salah atau takut berakibat kurang
baik. Cicik melanjutkan, “Mas Gik...Monik mencintaimu. Dan kamu sendiri, juga
mencintai Monik nggak?” diam sejenak. “Kamu ada rasa cinta sama Monik
nggak?..walau cuma sedikit. Ada nggak? Jawab sejujurnya!”
Irgi semakin merasa tidak
karuan. Ia bergumam, “Ya ampun. Aku harus jawab apa nih?”
Lili berkata, “Jawablah
sesuai dengan apa yang di hatimu.”
“Iya Mbak (gugup), tapi
tolong, beri saya waktu...”
“Oke, tapi nggak usah
lama-lama ya?” sahut Lili. “Ini masalah penting. Ini menyangkut perasaan sobat
sejati kami.”
Diam sebentar. Irgi yang
sebenarnya merasa gembira, tetap merasa sulit untuk mengatakan sesuatu.
Lidahnya terasa berat untuk digerakkan. Cicik berkata lagi, “Kutanya sekali
lagi. Mas Gik...Intan mencintaimu. Nah, apakah kamu juga mencintai Intan? Apa
selama ini kamu juga ada rasa cinta sama Intan? Walau cuma sedikit, walau cuma
secuil?” diam sejenak, “Kamu tinggal jawab ‘Ya’ atau ‘Tidak,’ ‘ada’ atau ‘tidak.’
Beres kok, nggak usah pusing-pusing.”
Irgi hanya diam sambil
menunduk. Lili menyambung, “Oke Mas Gik...kalau kamu nggak bisa bilang ya atau
tidak, kamu bisa jawab dengan mengangguk atau menggelengkan kepala. Waktu kami
terbatas, jadi kamu harus segera menjawab sesuatu.” Diam sebentar, “Mas
Gik...kamu ada rasa cinta sama Intan nggak?”
Irgi mengatur nafasnya yang
terasa berat, setelah itu mengangguk. Tentu saja Cicik dan Lili tersentak
gembira. Cicik berkata, “Berarti kamu juga mencintai Intan?”
Irgi kembali mengangguk
sambil tersenyum malu. Cicik dan Lilik bersorak seperti anak kecil, setelah itu
saling berpelukan. Irgi hanya menggelengkan kepala dengan bibir tetap
tersenyum. Setelah itu ia mohon pamit. Cicik berseru, “Eeh, mau ke mana!?”
“Saya duluan Mbak, udah
agak gelap. Makasih..”
“Jangan lupa, besok ke
tempat kita.”
“Ya Mbak, kalau nggak
lupa.”
“Nggak boleh lupa! Besok
kamu harus nemuin Monik.”
Irgi tersenyum malu, “Iya
Mbak, Insya Allah.”
Setelah meninggalkan
perumahan itu, Irgi melajukan motor bebeknya dengan kencang. Sesaat kemudian ia
tiba di sebuah tempat sepi. Ia buka helmnya, dan tampaklah mukanya yang merah
hitam karena cemas bercampur bahagia. Ia
bergumam, “Benarkah jawaban yang kuberikan tadi? benarkah? Benarkah aku
memang menjawab ‘iya?’ hening sejenak, lalu tersenyum gembira, “Yah...kalau mau
jujur..aku memang harus mengangguk alias menjawab ‘iya.’ “ (bersambung)
---XXXXX---
0 comments:
Post a Comment