IIN ( Irgi-Intan )
Jam 21.00 atau jam sembilan malam. Irgi mencuci piring di wastafel, lalu membersihkan meja makan. Sesaat kemudian HP-nya berbunyi, tanda ada pesan masuk. Ia bergegas menuju kamarnya, lalu mengambil HP-nya di ranjang. Ternyata itu pesan dari Intan yang berbunyi: “Katanya mau ngasih tahu kepanjangannya IIN? Mana? Udah kutunggu dari tadi lho.”
---XXXXX---
Jam 21.00 atau jam sembilan malam. Irgi mencuci piring di wastafel, lalu membersihkan meja makan. Sesaat kemudian HP-nya berbunyi, tanda ada pesan masuk. Ia bergegas menuju kamarnya, lalu mengambil HP-nya di ranjang. Ternyata itu pesan dari Intan yang berbunyi: “Katanya mau ngasih tahu kepanjangannya IIN? Mana? Udah kutunggu dari tadi lho.”
Irgi bergumam sambil tersenyum, “Oh iya, hampir aja lupa. Wah, dia pasti
udah ngambek nih.”
Intan yang sedang duduk
menghadap meja di kamarnya, mendengar HP-nya berbunyi. Ia membuka HP-nya yang
ia taruh di ranjang, lalu membaca pesan dari Irgi. Bunyinya: “Mohon maaf Mbak, saya masih ada sedikit
pekerjaan rumah. Lima menitan lagi saya kasih tahu. Tunggu ya?”
Intan pun menurut. Lima
menit kemudian Irgi mengirim sms berbunyi: “Baik,
sekarang saya kasih tahu. IIN, singkatan dari...Irgi-Intan.”
Intan diam sejenak.
Perlahan-lahan senyum bahagia tersungging di bibirnya yang indah. Sesaat
kemudian Irgi mengirim pesan lagi, isinya: “Mohon
maaf kalau berlebihan dan kurang berkenan di hati. Kita ini bukan apa-apa,
belum jadi apa-apa, jadi kalau kurang enak didengar, ya dilupakan aja.
Makasih..”
Intan yang masih tersenyum
manis, membalas, “Kenapa masih bilang
kita bukan siapa-siapa? Kita kan udah cukup dekat. Aku senang mendengarnya. Dan
aku setuju IIN.”
Irgi tidak bisa mengungkapkan
kebahagian di hatinya selain dengan tersenyum. Besok paginya Intan terlihat
bahagia sekali. Ia berjalan ke ruang makan sambil tersenyum-senyum. Cicik dan
Lili yang sedang nongkrong di situ, melihat wajah ayu Intan yang begitu cerah.
Lili berkata, “Cieee! Kelihatannya bahagia banget. Lagi dapet apa nih? Kalau lagi dapet
nikmat ya dibagi-bagi dong.”
Intan yang mau membuat
sarapan pagi, hanya tersenyum manis. Lili berkata lagi, “Kelihatannya lagi dapet nikmat besar nih. Kita dibagi
dong.”
Intan yang sedang membuat
roti tawar, berkata lembut, “Tiap hati kita dapet
nikmat. Nikmat dari Yang Maha Sempurna. Nikmat iman, nikmat sehat, nikmat
waktu luang, nikmat rasa persaudaraan..”
Lili mendekati Intan, lalu bertanya, “Emang udah tahu artinya IIN?”
Intan hanya diam dengan
bibir tetap tersenyum. Cicik ikut mendekat, lalu bertutur, “Ya jelas udah
tahulah. Kalau belum tahu, dia nggak mungkin sebahagia ini. Iya kan Nik? He he
he.”
Lili duduk di samping Intan
yang makan roti tawar, lalu bertanya, “Terus gimana semalem? Udah jadian?”
“Jadian apa sih (tersipu)?
Lo ini...”
“Nggak papa jadian, kita dukung kok. Ya nggak Cik?”
“Kita dukung seratus
persen!” sahut Cicik yang ikut duduk di samping Intan. Kini Intan diapit kedua
sobatnya. Cicik berkata, “Udahlah Nik, jadian aja..nggak papa. Emang apalagi yang lo cari kalau bukan itu.”
Intan tersenyum manis,
“Kita berteman dulu aja ah. Teman baik, teman dekat..”
“Teman tapi mesra.”
Lili berkata, “Yang
jelas..mulai sekarang lo harus sering minta
dia ke sini. Harus! Terutama kalau malem minggu. he he he..”
Lagi-lagi Intan hanya diam
dengan bibir tersenyum manis. Besoknya Intan menulis surat untuk Irgi. Isinya
sebagai berikut:
“Mas Gik, kuucapkan terima kasih atas
kejujuranmu. Kuucapkan terima kasih atas kebaikanmu selama ini. Aku nggak tahu
harus ngomong apa. Yang jelas aku bahagia sekali. Terus terang aja, waktu Mas
Gik mau kuminta mampir ke rumah Tina untuk nganter titipannya, saat itulah aku
mulai merasakan sesuatu yang ‘istimewa’ di hatiku. Ditambah waktu Mas Gik
menemukan bukuku di rumah Tina, aku benar-benar merasa hal ‘istimewa’ di hatiku
itu semakin membesar. Tentu saja aku merasa semakin istimewa.
Intinya, aku atau Mas Gik nggak perlu
ngomong langsung. Mungkin karena kita sama-sama nggak berani ngomong. Yang
penting kita sama-sama udah tahu perasaan kita. Yang penting kita udah tahu
perasaan ‘istimewa’ di hatiku ini, perasaan ‘istimewa’ terhadap Mas Gik. Untuk
yang terakhir kukatakan: Mas Gik memang cowok yang nyaris sempurna. Udah
ganteng, gagah, ramah, cekatan, rendah hati dll. Bagiku, Mas Gik ganteng
luar-dalam.
Oke, ini aja yang ingin kusampaikan.
Sekarang aku benar-benar lega, lega karena udah mengungkapkan rasa ‘istimewa’
ini. Makasih banyak untuk perhatiannya, dan mohon maaf kalau ada yang kurang
berkenan di hatimu. Wassalam..
Keterangan : Rasa ‘istimewa’ itu
artinya Cinta. Merasa ‘istimewa’ berarti Jatuh Cinta.
Intan Monik Cahyani
Betapa bahagianya Irgi
setelah membaca surat di atas. Kesedihannya karena ditinggal ayahnya untuk
selamanya, seolah hampir hilang seratus persen. Semua itu karena benih cinta
yang baru pertama kali ia rasakan di hatinya. Ia langsung menyerahkan surat
istimewa itu pada Wiwit. Tentu saja Wiwit gembira sekali. Ia berkata,
“Ini bener-bener surat hebat Men.”
Diam sejenak, “Lo berhasil Ndra. Hah ha haa! Selamat ya?”
“Selamat apa ah (tersenyum
malu)!? Tugas dan kewajibanku masih banyak Wit..jadi gue nggak boleh
berlarut-larut dalam kesenangan.”
Wiwit menyentuh bahu Irgi,
“Iya Ndra, gue ngerti. Tugas dan kewajiban harus dijalani sampai kapan pun.
Tapi lo nggak perlu tegang, nggak perlu terlalu serius. Lo harus rileks. Lo
harus refreshing.” Diam sejenak,”Dan untuk
saat ini, refreshing lo
adalah...Intan Monik Cahyani. Hah ha haa!!”
Irgi tersenyum malu, lalu
menonjok dada kanan Wiwit. Wiwit berkata, “Aduh! Sakit Men! Heh he. Jadikanlah Intan sebagai penawar luka hati lo. Hah ha
haa!!”
Setelah gelak tawa dua
pemuda ini berhenti, Irgi bertanya, “Eh Wit...menurut lo..surat ini perlu gue
bales nggak?”
“Nggak perlu. Tapi kalau lo
mau bales, ya lebih bagus. Maksud gue, biar dia tahu kalau lo juga perhatian.
Lo harus tau Ndra..cewek akan makin jatuh cinta kalau diperhatikan terus.”
Irgi tersenyum sambil
mengangguk-angguk. Beberapa hari kemudian ia membalas surat Monik. Isinya
sebagai berikut:
Saya ucapkan terima kasih kembali untuk Mbak Intan Monik, terima kasih
atas kejujuran dan ketulusannya. Saya pun merasakan hal ‘istimewa’ itu, dan
inilah pertama kalinya saya merasakan hal ‘istimewa’ itu. Mbak Intan benar,
kita nggak perlu ngomong langsung kalau kita memang sama-sama nggak berani.
Yang terpenting hati kita udah sama-sama merasakan.
Saya nggak tahu harus ngomong atau
berbuat apa. Saya juga nggak peduli dengan perkataan orang nanti. Yang jelas,
kita hanya berteman baik atau bersahabat. Soal istilah atau sebutan, itu
terserah orang-orang yang nanti akan menilai. Kita nggak usah peduli dengan
penilaian orang tentang kita. Mereka mau menyebut kita pasangan kekasih, dua
sejoli atau apapun, ya terserah mereka. Yang jelas, kita cukup menyebut diri
kita sebagai teman baik, sahabat atau saudara. Dan saya sudah bahagia sekali
bisa berteman baik sama Mbak Intan Monik Cahyani.
Untuk yang terakhir, saya mau ngomong
jujur. Betapa bahagianya cowok yang kelak bisa menjadi teman hidup Mbak Intan.
Betapa bahagianya cowok yang kelak bisa memiliki Mbak Intan untuk selamanya.
Dan untuk saat ini saya bahagia sekali karena bisa jadi teman dekatnya Mbak
Intan, cewek Cantik, Manis, kalem, sederhana dan apa adanya. Sungguh, Mbak
Intan Monik manis luar dalam.
Ya udah, ini aja yang ingin saya
sampaikan. Makasih banyak untuk waktu dan perhatiannya. Mohon maaf kalau ada
kata-kata yang kurang sedap di hati. Wassalam..
Irgi/Indra
Intan menutup surat di
atas, lalu menempelkannya di dadanya. Ia tersenyum manis sekali, tanda kalau
hatinya semakin bahagia. Benarkah ia akan merasakan kebahagiaan sejati karena
jalinan asmaranya dengan Irgi? Benarkah Irgi juga akan menemukan wanita terbaik
dalam hidupnya? Benarkah kesedihannya karena ditinggal sang ayah bisa terobati
berkat hubungan kasihnya dengan Intan? Sanggupkah ia mengendalikan dirinya
dalam menjalani cinta pertama dalam hidupnya? Kita lihat saja selanjutnya.
---XXXXX---
Sore itu Irgi kembali
mengantar donat ke rumah Intan. Ketika Irgi berbincang sejenak dengan Intan di
serambi atas, datanglah sebuah mobil sedan yang dikendarai oleh seorang lelaki
muda sebaya Irgi. Wajahnya lumayan, bulat dan imut. Kulit kuning langsat, badan
agak gemuk. Kelihatannya ia orang kaya, atau orang yang berasal dari kalangan
atas. Sore ini ia berpakaian sangat rapi. Ketika sampai di pagar rumah, ia
melihat Intan berbincang dengan Irgi. Intan terlihat sangat gembira. Namun
begitu melihat kehadirannya, senyum manis Intan mendadak hilang.
Tentu saja Irgi terkejut
melihat muka Intan tiba-tiba cemberut. Ia menoleh ke belakang, dilihatnya
seorang pemuda berpakaian rapi yang melambaikan tangannya. Pemuda berwajah imut
itu tersenyum. Ia langsung menghampiri Intan dan Irgi yang sedang berbincang.
Ia menunduk dengan bibir tetap tersenyum, lalu berkata lembut,
“Maaf mengganggu, sebentar
aja...”
Irgi pun mengangguk sambil
tersenyum. Pemuda itu mendekati Intan, lalu berkata, “Aku cuma mau ngasih ini (menyerahkan sebuah
undangan).”
Intan menatap undangan itu
dengan serius. Si Pemuda bermuka imut berkata lagi, “Aku berharap kamu bisa
datang.” Diam sejenak, “Misalkan besok kamu bisa datang, tolong ajak Cicik sama
Lili. Tapi kalau kamu nggak bisa datang, ya aku minta doa restu aja.”
Ia menatap arlojinya, lalu
berkata, “Oke, gitu aja. Makasih. Salam buat Cicik dan Lili.”
Intan hanya mengangguk
tanpa tersenyum. Si muka imut mendekati Irgi, lalu berkata, “Maaf kalau saya
ngganggu..”
“Oh enggak Mas,” sahut Irgi
tersenyum, “saya juga mau terusan.”
Si muka imut tersenyum,
lalu menyodorkan tangan kanannya, “Kenalkan..saya Syahrul. Panggilannya Syahrul
atau Alul.”
Irgi agak tersentak, “Ooo
(menjabat tangan Syahrul dengan kedua tangannya), jadi ini Mas Syahrul atau Mas
Alul.”
Syahrul tersenyum, “Anda sudah
kenal saya?”
Irgi tersenyum, “Ya cuma diceritain Mbak Cicik sama Mbak Lili.”
“Ooo (mengangguk-angguk).
Terus anda ini siapa?”
“Saya Irgi.”
“Ooo...jadi ini yang
namanya Irgi.”
Irgi tersenyum, “Mas udah
tahu saya?”
“Ya udah dengar dari
teman-temannya Intan. Yang katanya penjual donat, yang sebelumnya kurir pizza.”
“Betul Mas.”
Syahrul atau Alul menatap
penampilan Irgi, mulai dari kaki hingga kepala. Ia tersenyum, “Bagus
kok..keren.”
Irgi tersenyum malu, “Mas
Syahrul ini, bisa aja.”
Syahrul menatap Intan, lalu
berkata, “Kamu kok nggak ngenalin dia
sama aku? Aku kan ikut senang kalau kamu udah ada lagi.”
Intan tetap diam dengan
wajah cemberut. Irgi menatap arlojinya, lalu berkata, “Ya udah Mas, saya pamit
dulu.”
“Lho, kok terburu-buru? Aku
ngganggu ya?”
“Sama sekali enggak Mas,
saya masih harus keliling. Saya duluan ya?”
“Ya udah, barengan..”
Irgi dan Syahrul
meninggalkan Intan yang masih diam saja. Dua pemuda ini berjalan bersama menuju
pintu gerbang. Mereka berjalan sambil ngobrol. Tinggi badan Syahrul sedikit
lebih pendek dari Irgi. Kira-kira selisih 5 cm. Intan yang masih berdiri
mematung, menatap undangan yang ia pegang. Ternyata itu undangan resepsi atau
pesta pernikahan. Di undangan itu ada tulisan: ‘Alul dan Indri.’ Maksudnya
Syahrul Hermawan dan Indriyani. Setelah membaca undangan itu, Intan kembali
menatap Irgi dan Syahrul yang berdiri di pagar rumahnya.
Syahrul berkata, “Anda
cocok sama Intan.”
Irgi tersipu, “Mas Alul
jangan gitu. Saya sama Mbak Intan cuma teman baik.”
“Teman tapi mesra. He he..”
“Nggak Mas, betul. Untuk
sejauh ini, kami hanya berteman baik. Saya sendiri belum berani lebih dari
itu.”
Syahrul menyentuh bahu
Irgi, “Berarti anda juga udah tahu kalau saya...mantannya Intan (melirik
Intan).”
Irgi mengangguk. Syahrul
melanjutkan, “Besok kalau Mas Gik ada waktu luang, atau lagi nggak ada acara,
Mas Gik bisa datang ke resepsiku.”
“Oh iya Mas, Insya Allah, saya usahakan. Makasih.”
Setelah Syahrul dan
mobilnya pergi, Irgi bergumam, “Jadi dia yang namanya Syahrul Hermawan, mantan
pacarnya Intan.“ diam sejenak, “Bahkan menurut kabar kuat, dia bukan cuma
pacarnya. Dia hampir menikahi Intan, tapi nggak jadi entah kenapa. Wallahu a’lam. Hanya Allah yang tahu.”
Malam harinya Irgi di-sms
Intan. Intan bertanya, “Apa yang sudah
kalian bicarakan tadi sore? Kalian ngomongin aku ya?”
Irgi menyahut, “Nggak ngomong apa-apa Mbak. Saya cuma
ngomong, kita ini teman baik, sahabat atau saudara. Itu aja Mbak, betul!”
Intan tersenyum, lalu kembali meng-sms
Irgi: “Teman baik atau teman dekat
bagimu, tapi bagiku, udah lebih dari itu. Kalau aku ditanya orang, aku akan
menjawab, kita ini teman istimewa atau teman spesial.”
Irgi tersenyum gembira
melihat keseriusan Intan. Sekarang ia merasa berkewajiban untuk menjaga
perasaan Intan. Tentu saja hal itu menjadi beban baginya, namun di sisi lain ia
menjadi semangat dan termotivasi. Ia semakin bahagia dan tersanjung setelah
mengetahui ketulusan cinta Intan.
---XXXXX---
Minggu siang yang cerah,
Irgi diundang makan siang di rumah Cicik. Irgi datang dengan bersepeda. Di situ
sudah ada beberapa teman Intan. Salah satunya Tina dan dua pemuda yang usianya
beberapa tahun di bawah Irgi. Kira-kira sebaya Bayu atau lebih muda sedikit.
Irgi langsung diperkenalkan kepada dua pemuda tampan itu. Namanya Rudi, calon
pacarnya Lili, dan Sulis, teman kuliahnya Lili.
Kini di ruang tamu rumah
Cicik ada tujuh orang. Irgi duduk di dekat pintu bersama Intan. Cicik pun
menjelaskan, ia dan keluarganya Lili sedang mendapat nikmat. Dengan demikian
mereka ingin syukuran dengan mengadakan acara makan siang. Selain itu, ada
acara lain yang tidak kalah istimewa, yaitu: Rudi ingin menembak Lili,
sebagaimana Irgi menembak Intan kemarin. Setelah makan siang nanti, Rudi dan
Lili yang sudah berhubungan serius itu ingin menjadi pasangan kekasih. Irgi
tersenyum gembira mendengar penjelasan itu. Ia bertutur,
“Kalau soal Mas Rudi sama
Mbak Lili itu sifatnya udah cukup pribadi, jadi saya nggak perlu ikut-ikutan
lebih dalam.”
Tina menyahut, “Mereka akan
menjadi Ruli (Rudi-Lili). Mereka hanya ingin meniru IIN. Hi hi.”
Irgi tersenyum, “Mbak Tina
jangan salah paham.”
“Lho, salah paham gimana
Mas?” tanya Sulis. “Bukannya Mas Gik sama Intan udah jadi pasangan kekasih..?”
Irgi dan Intan saling
menatap. Intan yang memakai baju putih bermotif bunga merah itu tersenyum malu.
Irgi yang juga tersipu, berkata, “Saya sama Mbak Intan cuma teman baik.”
Cicik menyahut, “Lebih
tepat lagi, teman istimewa.”
Semuanya langsung tertawa
gembira. Rudi berkata, “Mas Gik nggak perlu malu. Akui ajalah. Sekarang ini
status Mas Gik udah beda, jadi harusnya Mas Gik bangga. Hah ha!”
“Status beda?” tanya Irgi.
“Maksudnya apa Mas?”
“Ya sekarang ini Mas Gik
punya cewek, cewek manis dan kalem. Sekarang dia duduk di samping Mas..”
Irgi tersenyum malu,
sedangkan Intan menatapnya dengan tersenyum manis. Dengan hati teramat gembira,
Irgi berkata lembut, “Makasih banyak.” Diam sejenak, “Tapi...saya tetap
merasa...hanya teman baik, sahabat...”
“Ya elah Mas Giiik!” ujar
Cicik. “Emang IIN itu singkatannya apa?”
Irgi tersenyum, Cicik melanjutkan, “IIN
tercipta karena kalian udah jadi pasangan. IIN kubuat karena melihat kalian
sangat serasi.” Diam sejenak, “Teman-teman, sekarang lihatlah mereka. Cocok
banget kan? sama-sama pemalu, sama-sama kalem, sama-sama santun. Setuju
nggak!?”
“SETUJUUU!!!” sahut
semuanya. Seusai makan siang dan menyantap makanan pencuci mulut, Intan meminta
agar mulai sekarang Irgi tidak usah memanggilnya ‘Mbak.’ Irgi cukup
memanggilnya Intan atau Monik. Hal itu agar mereka bisa semakin akrab. Irgi
yang tersenyum, berkata, “Iya Mbak..makasih.”
“Lho, kok Mbak lagi sih!?”
sahut Intan manja. Irgi tersenyum malu, “Maaf..” diam sejenak.
“Baiklah...Intan.”
Begitu doong..” ujar Sulis yang
langsung disambut sorak gembira oleh semuanya. Intan tersenyum manis sekali. Ia
terlihat semakin bahagia. Rudi berkata, “Kalau Mas Gik merasa nggak enak manggil namanya langsung, Mas Gik bisa manggil yang lain. Mungkin...Non,
Neng..Dik...Sis...atau...Yayang. hah ha ha!!”
Semuanya kembali tertawa
gembira. Irgi yang hanya tersenyum gembira, bergumam, “Aku setuju. Aku merasa
nggak enak manggil namanya langsung,
walaupun dia sendiri minta begitu.”
Setelah acara selesai, Irgi
dan kawan-kawan Cicik berpamitan. Irgi yang bersama Intan di bawah tangga
serambi atas, berkata, “Makasih banyak untuk jamuannya. Siang ini saya seneng banget.”
“Sama-sama,” sahut Intan tersenyum
manis. “Aku juga seneng banget.”
Irgi memakai topinya, lalu
berkata, “Saya pulang dulu Mbak..”
“Ya ampun Mas Gik...” ujar
Intan manja. “Kok Mbak lagi sih!? Intan atau Monik. Apa susahnya sih!?”
“Belum terbiasa..” sambung
Lili yang mau masuk ke rumah. Irgi tersenyum malu, “Maaf..ini kebiasaan.” Diam
sejenak. “Baiklah kalau begitu.” Diam sejenak, “Intan...aku pamit dulu ya?”
“Gitu doong..” ujar Lili
yang berada di serambi atas bersama Cicik. Intan tersenyum manis, lalu berkata,
“Hati-hati Mas Gik. Makasih.”
Intan melambaikan tangannya
sambil berkata ‘Byee.’ Irgi yang
berada di atas sepedanya, hanya tersenyum sambil mengangguk.
---XXXXX---
Sekarang beralih ke waktu
lain dan alam yang lain pula. Di suatu pagi yang cerah, Intan berjalan-jalan
sampai ke sebuah sungai yang airnya jernih. Pagi itu Intan memakai rok terusan
hijau kukus. Ada tali atau kain melingkar yang mengikat dahi dan rambutnya. Ia
menyentuh air sungai yang mengalir dengan tenang, lalu berkata, “Baru sekarang
aku melihat sungai sebening ini. Baru sekarang aku melihat pagi seindah ini.
Maha Suci Allah.”
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh
kehadiran empat pria kekar berwajah seram. Mereka ingin berlaku jahat pada
Intan. Dengan gerakan secepat kilat, mereka menangkap Intan yang tidak sempat
bergerak sedikit pun. Kini kedua lengan Intan dicengkeram erat oleh dua pria
berotot. Seorang pria bertubuh atletis yang tampaknya pemimpin mereka,
mendekati Intan yang ketakutan, lalu membelai rambut, dagu dan pipi si gadis
manis. Intan yang mau menangis, berkata,
“Mau apa kamu!? Lepaskan
aku!”
“Lepaskan? Enak aja. Huh!
Kamu udah dalam genggamanku.”
Pria berkumis tipis itu
hendak mencium pipi dan bibir Intan. Intan meronta sambil berseru, “Jangan Tuan!
Kumohon! Jangan sakiti aku! Jangaan!!”
“Tenang Maniis, tenaang.
Turuti perintahku kalau kamu ingin selamat.”
Intan yang sudah merasa tidak berdaya,
hanya bisa berseru, “TOLOOONG!!!”
“Percuma Manis..di sini
hanya ada kita. Hua ha ha haa!!!”
Beberapa detik kemudian
terdengar suara lelaki yang berseru, “BERHENTIII!!!”
Empat penjahat ini melihat
seorang pemuda yang muncul di balik pohon. Pemuda gagah dan tampan itu ternyata
Irgi. Si pemimpin kesal bukan main melihat irgi. Ia berkata, “Kamu lagi. huh!
Sukanya ganggu kerjaanku!”
“Lepaskan dia!” seru Irgi
tegas namun tetap tenang. Si kumis tipis berkata, “Huh! Berani benar nantang
aku. Sudah bosan hidup ya!?”
“Aku cuma minta kalian
melepas dia. Jangan ganggu dia.”
“Kalau kami nggak mau
melepas, gimana?” tanya satu dari tiga pria kekar. Irgi menyahut, “Ya kalian
harus siap mampus.”
“Dia sudah jadi mangsa
kami, jadi kami nggak akan melepas dia.” diam sejenak, lalu amarahnya meledak,
“Kamu yang akan mampus duluan!”
Pria berambut cokelat itu
memukul Irgi, namun Irgi dapat menangkisnya dengan mudah. Ia ganti memukul si
rambut cokelat dengan satu pukulan mantap. Rambut cokelat terpelanting beberapa
meter. Ia berbaring di tanah dengan mulut dan dada berdarah. Sedetik kemudian
nyawanya melayang. Si kumis tipis terkejut bukan main. Ia langsung menyuruh dua
anak buahnya yang tersisa untuk membereskan Irgi.
Dua pria gondrong itu
melepas Intan dari cengkeraman mereka, lalu menyerang Irgi dengan sepenuh
tenaga. Namun Irgi dapat mengatasi mereka dengan mudah. Kedua tinju pria kekar
itu ditangkis Irgi dengan kedua tapak tangannya, lalu ia pelintir kedua lengan
berotot itu. Kedua penjahat itu menjerit kesakitan. Irgi melakukan semua itu
dengan tenang dan mudah. Seusai memelintir tangan, Irgi membenturkan tubuh
keduanya, sehingga keduanya roboh di tanah dengan kondisi setengah mati.
Si kumis tipis yang tadi
marah besar, sekarang menjadi agak takut setelah melihat kehebatan Irgi.
Dilihatnya Irgi yang begitu mudah membantai ketiga anak buahnya. Ia sempat
berpikir untuk mundur. Namun karena sombong dan keras kepala, akhirnya ia
memutuskan untuk berbuat seperti ketiga anak buahnya. Ia menyerang Irgi
bertubi-tubi, namun Irgi dapat menangkisnya dengan mudah. Begitu Irgi melihat
celah, ia langsung mengirim satu pukulan mantap yang menghujam perut lawan.
Melihat penjahat itu belum
roboh, Irgi kembali menghujamkan bogem kanannya ke dada lawan. Darah segar
muncrat dari mulut dan hidung si kumis tipis. Ia pun menyusul ketiga kawannya
ke alam abadi. Setelah membereskan empat penjahat itu, Irgi mendekati Intan
yang teraniaya. Intan yang tadi mau menangis, sekarang terlihat lebih tenang.
Irgi bertanya, “Gadis Manis nggak papa?”
Intan menggelengkan kepala.
Perlahan-lahan senyum manis tersungging di bibirnya. Irgi pun membalas senyum
manis itu. Intan berkata, “Kalau nggak ada Mas Gik, mungkin aku sudah menderita
selamanya. Makasih banyak ya Mas.”
“Berterima kasihlah pada
Allah..aku hanya perantara-Nya.”
Hening sejenak. Keduanya
saling menatap sambil tersenyum. Sesaat kemudian Irgi berkata, “Gadis manis
akan lebih manis kalau pakai ini (menunjukkan bunga mawar merah).”
Intan hanya diam sambil
tetap tersenyum. Irgi mendekati Intan, lalu memasang bunga merah itu di
telingan kanan Intan. Dengan ikat kepala dan bunga di telinga kanan, Intan
terlihat semakin menawan. Irgi tersenyum, lalu berkata lembut, “Dirimu gadis
paling elok yang pernah kulihat.”
Kata-kata indah itu membuat
Intan tersanjung. Ia tersenyum manis sekali. Irgi membelai pipi dan dagu Intan,
lalu bertanya, “Gadis Manis milik siapa?”
“Milik Mas Gik.”
Setelah berkata begitu,
Intan menaruh kepalanya di dada Irgi yang tegap. Irgi pun mengelus kepala Intan
dan membelai rambutnya. Kehangatan cinta merebak di hati kedua insan ini.
Sesaat kemudian Intan tersentak dari tidurnya. Dengan muka penuh peluh dan
rambut acak-acakan, Intan berkata, “Subhanallah.”
Intan keluar dari kamarnya,
lalu berjalan menuju meja makan untuk mengambil minuman. Setelah minum air di
gelas kecil, ia bergumam, “Mimpi mengerikan..tapi juga indah (tersenyum)..indah
sekali.”
Hening sejenak. Senyum
manis Intan menghapus ketakutan di wajahnya beberapa saat tadi. Ia bergumam
lagi, “Aku...aahh.” hening sejenak, “Aku...aku makin cinta.” Diam sejenak,
“Yahh...aku makin cinta dia.”
Sekarang beralih ke tempat
lain. Intan sedang berjalan di tepi sungai yang berada di sebuah perkampungan.
Sesaat kemudian ia melihat seoarang gadis kecil yang berdiri di sebuah gang
sempit. Intan bertanya, “Dini! Kamukah itu?”
“Ya Kak Intan, ini aku,
Dini.”
Intan tersenyum, “Ngapain kamu di situ? Bapak ibumu mana?
Kamu ke sini sama siapa?”
Dini diam saja, namun
beberapa detik kemudian wajahnya yang lucu itu menjadi tegang. Ia seperti
melihat sesuatu yang menakutkan. Tentu saja Intan terkejut. Ia bertanya,
“Din...kamu kenapa!?” lalu menoleh ke belakang. Tidak ada sesuatu atau apapun
di belakangnya. Setelah itu ia kembali menatap Dini yang berdiri sekitar enam
meter di hadapannya. Gadis imut itu terlihat semakin ketakutan. Intan yang juga
ketakutan, bertanya lagi,
“Din..kamu kenapa!? Ada
apa!?”
Dini menggelengkan kepalanya
yang bulat, lalu menyahut, “Kak Intan harus segera pergi dari sini. Di sini
tidak aman! Di sini banyak bahaya besar!”
“Apa!? Bahaya besar!?”
Dini mengangguk, “Cepat Kak!
Pergi sekaraang! Nanti mereka keburu datang!
Mereka mau menyakiti Kak Intan!”
“Mereka (menoleh kanan
kiri)!? Mereka siapa!?”
“Penjahat-penjahat penghuni
kampung ini! Cepat Kak Intan! Pergi sekaraang! Cepaaat!!”
“Iya-iya, Kak Intan pergi, tapi sama kamu ya?
ayo (mengulurkan tangannya)!”
Namun Dini malah melangkah
mundur sambil menggelengkan kepala. Ia berseru lagi, “Itu merekaa!!” sambil
menunjuk arah belakang Intan. Intan menoleh ke belakang. Dilihatnya rombongan
pria yang berjalan di jembatan sungai. Sepuluh pria berotot itu menampakkan wajah yang tidak
ramah. Mereka berjalan cepat ke arah Intan yang ketakutan. Tanpa pikir panjang
lagi, Intan langsung menggandeng Dini, lalu mengajaknya berlari. Intan agak
kesulitan berlari karena ia memakai rok sepanjang betis.
Apalah dayanya jika
dibanding pria-pria perkasa itu. Baru beberapa langkah, Intan dan Dini sudah
tertangkap. Indah hendak melawan, namun pemimpin penjahat itu langsung
menamparnya sampai ia jatuh. Pria kekar berkumis tebal itu tertawa binal,
tertawa yang menampakkan nafsu birahinya. Sambil berdiri di hadapan Intan yang
duduk di tanah, ia berkata, “Cantik sekali. Manis sekali. Hah! Hari ini aku
benar-benar beruntung. Hari aku dapet mangsa
nikmat dan segar. Hua ha haa!”
Ia langsung memoncongkan
bibirnya, ingin mencium bibir atau pipi Intan. Kedua tangannya yang bagai besi
itu mencengkeram erat kedua tangan Intan. Dini hanya bisa menangis melihat
Intan mau dinodai. Ia berteriak, “Lepaskan diaa! Kumohon Tuan-Tuan, kumohoon!
Jangan sakiti diaa!!”
Intan yang sudah tidak
berkutik, hanya bisa pasrah dengan berteriak, “TOLOOONG!!!”
Teriakan menyayat hati itu
malah semakin meledakkan tawa binal sepuluh bandit itu. Salah seorang dari
mereka berkata, “Semakin ketakutan malah semakin cantik. Hah ha haa! Sarapan
empuk Boss! Sikat aja!”
Namun tiba-tiba,
terdengarlah suara lelaki yang berseru, “Keparat-keparat! Lepaskan dia!”
Semuanya tersentak. Si
kumis tebal yang masih mencengkeram Intan, berseru, “Bedebah macam apa yang
berani ganggu aku!?”
“Aku!” sahut seorang pemuda
yang tiba-tiba muncul. Tangan kanannya memegang tongkat besi setinggi bahunya.
Wajahnya lumayan tampan, badan tinggi sedang dan atletis. Yah, siapa lagi dia
kalau bukan Irgi. Ia menatap si kumis tebal dengan tajam, lalu berkata, “Lepaskan
dia...atau urusan menjadi panjang.”
“Panjangkan aja urusan
ini..!” sahut si kumis tebal marah. “Dia sarapanku. Aku nggak akan berhenti
sarapan hanya karena cecunguk macam kamu!” hening sejenak, lalu berseru,
“Bocah-bocah, cecunguk ini (menunjuk Irgi) sarapan kalian. Cepat sikat!”
Sembilan pria kekar itu
langsung menghunus senjata tajam mereka, lalu serempak menyerang Irgi. Irgi
yang berdiri dengan tenang, mengibaskan tongkatnya ke sembilan bandit itu.
Tebasan tongkat sakti itu benar-benar seperti sapuan angin puyuh. Tebasannya
menghempaskan bandit-bandit itu. Sebagian besar dari mereka terluka parah,
bahkan ada yang sudah dijemput maut.
Betapa terkejutnya si kumis
tebal melihat semua bawahannya roboh di hadapannya. Ia memelototi Irgi dengan
hati bergetar. Inilah ketakutan pertama yang ia rasakan dalam hidupnya. Irgi
yang terlihat tenang sekali, berkata, “Kalau kamu mau melepas dia, kamu
kuampuni. Tapi kalau tidak, ya jangan salahkan aku.”
Kumis tebal melihat tubuh
semua bawahannya yang berserakan di tanah. Sebagian dari mereka sudah tinggal
mayat. Hati kecilnya mengaku takut pada pemuda perkasa di hadapannya itu. Namun
karena gengsi, ia berseru, “Cecunguk keparat! Selama ini aku tak terkalahkan!
Tak terkalahkan!”
“Kamu memang perkasa,” sahut Irgi
tenang. “kamu memang tak terkalahkan. Tapi kamu akan kalah oleh kesombonganmu
sendiri. Kamu akan kalah oleh nafsumu yang liar.”
“Tutup mulutmu (menghunus
parangnya)! Keparat! Akan kupenggal lehermu!”
Irgi memainkan tongkatnya
beberapa kali, kemudian menerima serangan golok si kumis tebal. Terjadilah
pertarungan sengit antara tongkat besi dan golok. Untuk beberapa detik keduanya
tampak seimbang, namun tak lama kemudian pemenangnya mulai terlihat. Tongkat
besi Irgi berhasil mementalkan golok dari tangan pemiliknya, kemudian menohok
keras perut lawan. Pukulan keras itu melemparkan kumis tebal beberapa
meter. Ia muntah darah, setelah itu
kabur dengan sisa tenaganya.
Irgi memutarkan atau
memainkan tongkatnya di udara, setelah itu menancapkannya di tanah. Ia menatap
Dini, lalu berkata, “Gadis Cilik, kamu nggak boleh main-main di sini lagi.
Tempat ini berbahaya. Mengerti?”
“Ya Kak Irgi.”
Irgi menyentuh kedua bahu
bocah itu, lalu memberinya sebatang permen cokelat. Dini senang sekali mendapat
cokelat itu. Ia cium tangan Irgi, lalu melangkah pergi. Setelah gadis kecil itu
lenyap dari pandangan, Irgi mendekati Intan yang masih duduk di tanah, lalu
bertanya, “Gadis Manis nggak papa?”
Pertanyaan itu membuat
Intan lega bukan main. Ia menggelengkan kepala sambil tersenyum, lalu berkata,
“Makasih banyak ya Mas..”
“Sama-sama,” jawab Irgi
mengangguk sambil tersenyum. “Berterima kasihlah pada Allah, Zat Yang Maha
Pengasih dan Penyayang. Aku hanya hamba-Nya yang lemah.”
Hening sejenak. Irgi
mengulurkan tangan kanannya pada Intan yang masih duduk di tanah. Intan yang
tersenyum malu, memberikan tangan kanannya yang halus. Tangan kanan Irgi
menariknya berdiri dengan perlahan. Kini keduanya berhadapan sambil tersenyum.
Setelah pada diam beberapa detik, Irgi berkata lembut,
“Gadis Manis akan semakin
manis kalau pakai ini (menyerahkan ikat kepala berbentuk rangkaian bunga
merah).”
Intan semakin tersipu dan
tersanjung. Ia terima ikat kepala berbentuk lingkaran itu, lalu ia pakaikan di
kepalanya, tepatnya di bagian dahi sampai ke belakang kepala. Yah, dia memang
terlihat cantik sekali dengan ikat kepala berbentuk rangkaian bunga itu. Irgi
tersenyum gembira, lalu berkata lembut, “Dirimu manis sekali. Dirimu
benar-benar menawan.”
Pujian itu membuat Intan
tersenyum manis sekali. Lesung pipinya terlihat jelas. Ia tersenyum manis
sambil menunduk beberapa detik, setelah itu kembali menatap Irgi yang berdiri
sekitar 120 cm di hadapannya. Irgi kembali mengulurkan tangannya. Intan pun
menyambutnya dengan tangan yang sama. Irgi bertanya, “Gadis Manis, sudah ada
yang punya belum?”
“Sudah,” diam sejenak.
“Yang punya...Mas Gik.”
Setelah berkata begitu, Intan meletakkan
kepalanya di dada Irgi yang cukup bidang. Irgi pun membelai rambut Intan yang
panjang dan indah. Sesaat kemudian Irgi terbangun dari tidurnya sambil berkata,
“Masya Allah!”
Ia melihat jam di meja. Jam
2.30 dini hari. Dengan muka berkeringat ia berkata, “Astaghfirullahal’azhim. Mimpi apa tadi?” diam sejenak, “Siapa gadis
cilik bernama Dini tadi?...Apa aku kenal dia?...Apa aku pernah ketemu dia?”
diam sejenak, “Mimpi aneh, cukup ngeri, tapi juga indah...indah sekali
(tersenyum).”
Irgi berjalan menuju ruang
makan untuk mengambil minuman. Ia duduk menghadap meja makan, lalu meneguk
segelas air. Ia bergumam, “Tapi aku harus hati-hati. Aku nggak boleh terlalu
cepat gembira berlarut-larut.” Diam sejenak, “Kata ustadz, mimpi indah itu bisa
bunga tidur, bisa petunjuk, tapi juga bisa bisikan iblis.”
Irgi kembali teringat
dengan mimpinya baru saja tadi. Mimpi yang terasa seperti betulan. Mimpi yang
begitu luar biasa, menegangkan sekaligus indah. Hatinya kembali bicara, “Tapi
aku nggak perlu menanyakan makna mimpiku tadi pada kyai, ustadz atau orang
sholeh. Cukup aku sendiri yang tahu.” Hening sejenak, lalu tersenyum, “Yang
jelas, mimpi tadi indah sekali.” Hening sejenak, “Mulai sekarang, aku akan berusaha
semampuku untuk menjaga dan melindungi Si Manis itu. Aku akan berusaha untuk
selalu menjaga perasaannya.”
Irgi kembali ke kamarnya,
lalu berdiri di depan kaca lemari di samping ranjang. Sambil meilihat dirinya
di kaca, ia bergumam lagi, “Oke Irgi, mulai sekarang kamu harus hati-hati. Kamu
harus selalu menjaga perasaan Intan. Jangan sekali-kali kamu menyakiti gadismu
itu. Dia orangnya kalem, jadi perasaannya sensitif sekali.” Diam sejenak,
“Ingat Irgi...ingatlah yang satu ini. Perasaan Intan. Jangan pernah menyakiti
perasaannya yang begitu lembut. Hargailah cintanya sebagaimana kamu menghargai
dirimu.” Diam sejenak, “Kecuali kalau kamu menyakiti dia tanpa sengaja,
menyakiti dia tanpa berniat begitu.”
Irgi tersenyum, lalu
melanjutkan bicara dalam batin, “Insya
Allah, aku nggak mungkin menyakiti dengan sengaja. Aku nggak mungkin
menyakiti gadis yang kucintai. Aku nggak mungkin menyakiti gadis yang sudah
menjadi penawar luka hatiku.” Diam sejenak, “Terus terang...dialah yang sudah
berhasil menghilangkan rasa rinduku pada Papa, juga yang sudah mengobati rasa
sesalku.”
Demikianlah mimpi serupa
yang dialami oleh IIN, dua muda-mudi yang hatinya sudah terikat oleh tali
cinta. Benarkah Intan semakin mencintai Irgi karena mimpi indahnya tadi?
Sanggupkah ia membuktikan ucapannya itu dengan tindakan? Sanggup pulakah Irgi
mewujudkan tekadnya untuk selalu berusaha menjaga perasaan Intan? Hanya waktu
yang akan bicara.
---XXXXX---
Sekarang Irgi menjadi agak
sering melamun, walaupun kadarnya tidak sebanyak Intan. Rini alias Sang Ibu
yang sesekali melihat Irgi melamun di ruang tamu atau di kamarnya, langsung
menegur sambil tersenyum, “Akhir-akhir ini Mama lihat kamu cukup sering
ngelamun.” diam sejenak, “Apa ada masalah lagi sama kerjaanmu?”
Irgi tersenyum, “Nggak Mah,
nggak ada apa-apa. Insya Allah
kerjaanku baik-baik aja.”
“Terus kenapa kamu jadi
agak sering ngelamun? Apa yang ada di pikiranmu?”
Hening sejenak. Rini menatap Irgi seperti
memendam sesuatu. Ia bicara lagi, “Atau jangan-jangan, kamu lagi jatuh cinta?”
diam sejenak, lalu tersenyum, “Eee..anak Mama lagi jatuh cinta ya?” diam sejenak,
“Anak Mama punya pacar?”
“Ah Mama...” sahut Irgi
tersipu. “Aku masih repot menggapai masa depan yang cerah, repot bantu Mama
ngurus rumah..”
Rini tersenyum, “Ya nggak papalah..kan bisa untuk motivasi. Kamu
kan udah dewasa, udah cukup umur.” Hening sejenak, “Kalau Mama boleh tahu,
siapa gadis yang udah mengisi hatimu?”
Irgi tersenyum,
“Pelangganku Ma...”
“Pelangganmu?”
“Iya..pelanggan pizza.”
Hening sejenak, lalu Rini
berkata, “Anaknya pasti cantik.”
Irgi tersenyum gembira.
Rini mendekati Irgi, kemudian menyentuh kedua bahu putra sulungnya, lalu
bertutur, “Siapapun dia, asal bisa membahagiakan kamu, Mama pasti ikut senang,
senang sekali.” Diam sebentar, “Kapan-kapan dia dikenalin Mama ya?”
Irgi mengangguk, “Insya Allah Ma, kalau ada kesempatan.”
Walaupun sudah berstatus
pasangan kekasih, Irgi tetap jarang bermain ke rumah Cicik untuk ngapelin Intan. Ia pernah ngapelin Intan dua kali, namun ia tidak
datang sendiri. Ia mengajak Wiwit sekaligus minta tunggangan. Wiwit berkata di
hadapan Intan, “Ini terakhir gue nganter
lo ke sini. Besok lo harus datang sendiri. Ya nggak Mbak Intan?”
Intan hanya menunduk sambil
tersenyum malu. Wiwit berkata, “Acara ini sifatnya udah pribadi, jadi gue nggak
mau ganggu lo sama Mbak Monik.”
“Betul sekali Mas,” sahut
Lili yang tiba-tiba muncul di ruang tamu. “Besok Mas nggak usah nemani dia lagi. Besok biar dia datang
sendiri. Kalau besok dia nggak datang sendiri, nanti Monik nggak mau nemui dia.
Setuju?”
Wiwit menyahut, “Syarat
yang bagus sekali Mbak. Hah ha ha!” diam sejenak, lalu menepuk paha Irgi, “Tapi
okelah kalau lo cuma mau minta tumpangan. Gue nggak keberatan nganter lo. Tapi ingat, cuma nganter.”
Irgi dan Intan tersipu.
Hati kecil mereka semakin bahagia. Dua minggu kemudian, tepatnya di malam
minggu, Irgi kembali ngapelin Intan.
Ia datang bersama Wiwit lagi, namun Wiwit hanya mengantar sampai di pintu
gerbang rumah Intan. Irgi meminta Wiwit untuk menemaninya, namun Wiwit berkata,
“Lo nggak boleh ingkar janji. Gue nggak mau ganggu urusan lo sama cewek lo.”
“Cewek gue apaan sih!?”
“Pokoknya sekarang lo harus
sendiri.”
“Tapi Wit, setelah
kurenungkan, gue nggak bakal berani sendirian.”
“Ya sekarang lo harus
berani. Lo harus latihan. Udah, sekarang masuk. Nanti kujemput jam berapa?”
“Tapi Wit..”
“Nggak ada tapi-tapian!
Sekarang masuk! Nanti kujemput dua jam lagi. oke!?”
“Dua jam?” sahut Irgi
terkejut. Ia menatap arlojinya, lalu berkata, “Jangan Wit, kelamaan. Sampai jam
sembilan aja.”
“Ya udah, terserah lo.
Pokoknya sekarang lo masuk. Gue tunggu di sini. Cepat!”
Irgi berjalan mengendap
menuju rumah Cicik. Ketika baru mau sampai tangga menuju teras atas, Irgi
menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang. Wiwit yang berada di atas
motor Tigernya, melambaikan tangannya, memberi isyarat agar Irgi bergerak
terus. Irgi yang masih ragu, menggelengkan kepalanya sambil berkata lirih, “Gue
nggak berani Wit, sumpah!”
Wiwit yang mulai kesal,
mengacungkan bogemnya ke Irgi. Irgi benar-benar bingung. Mau masuk sendirian
tidak berani, mau balik juga sayang karena sudah sampai di tujuan. Tinggal
selangkah lagi ia sudah ketemu dengan sang pujaan hati. Ketika mau naik tangga
menuju serambi atau teras atas, ia kembali menatap Wiwit, lalu memberi isyarat
bahwa ia tidak berani naik. Wiwit melepas helm cangkilnya, lalu menggelengkan
kepalanya. Irgi pun kembali menghampiri Wiwit, lalu berkata,
“Sory banget Wit, jantung
gue deg-degan terus..”
Wiwit menepuk dahinya, “Aduh
Indraaa. Lo kok kayak anak SD. Huh!”
diam sejenak, ”Terus kapan lo mau berani!? Kapan lo mau ke sini sendirian!?”
diam sejenak, “Jadi cowok harus tegas, pemberani..kayak waktu lo ngetrack dulu.”
Diam sejenak, “Lo payah banget ya.” Diam sejenak, “Balapan liar berani..bahkan
jadi juara..tapi ke rumah ceweknya sendiri nggak berani. Huh! Masa’ lo nggak
malu kalah sama adik lo.”
“Maaf banget Wit,” sahut
Irgi yang mukanya merah, “aku minta tolong sekali lagi. Kali ini yang terakhir.
Aku janji.” Diam sejenak, “Tolong lo ketuk pintunya, atau lo pencet belnya. Itu
aja Wit. Habis itu lo boleh pergi. Aku janji.”
Diam sebentar, lalu Wiwit
mengangguk, “Oke...gue tolong sekali lagi. Tapi awas kalau lo ingkar janji.”
Wiwit langsung naik ke
teras atas, lalu membunyikan bel di dekat pintu. Sedangkan Irgi berdiri di
dekat pagar dengan posisi menghadap jalan. Sesaat kemudian Wiwit kembali ke
motornya sambil berkata, “Udah tuh, sebentar lagi dia keluar.” Diam sejenak,
“Cepat ke atas! Jangan plin plan terus!”
“Iya Wit...thanks banyak ya.”
Begitu Wiwit dan motor
besarnya lenyap dari pandangan, Irgi mendengar suara lembut berbunyi, “Mas
Gik...”
Irgi menoleh perlahan.
Dilihatnya Intan berdiri sekitar dua meter di hadapannya. Gadis ayu itu memakai
rok terusan hijau tua. Dengan bibir tetap tersenyum, ia berkata, “Ngapain di situ?...Ayo ke dalam..”
“I..iya Mbak..”
“Ya ampuun, kok Mbak lagi
sih!?”
“Eh iya, maaf. Iya,
Intan..”
“Ya Elaah..!” seru Cicik di
teras atas. “Mau masuk aja minta ditemani Wiwit.” Diam sejenak sambil
menggelengkan kepala, lalu bicara lagi, “Mas..kamu ini anak kecil apa udah
dewasa? Kalau anak kecil, waktu ke sekolah dia minta dianter bapak ibunya. Tapi kalau udah SMP, SMA atau kuliah, ya dia
harus berangkat sendiri.” Diam sebentar, “Sekarang kamu yang mana Mas? Anak TK
atau mahasiswa?”
“Anak TK.” sambung Lili.
“Taman Kawak-kawak.” Diam sejenak, “Besok sekalian ngumpet aja ya, biar Monik nyari
kamu.”
Irgi hanya menunduk sambil
tersenyum malu. Ketika Irgi sudah duduk di kursi ruang tamu, Cicik berkata,
“Mas Gik, kenapa kamu masih malu atau takut ke sini sendirian? Emang Monik ini siapa? Ha? Monik masih
kamu anggap orang asing?”
Irgi hanya tersenyum sambil
melirik Intan yang duduk sekitar dua meter di hadapannya. Intan pun tersenyum
malu. Cicik melanjutkan, “Kamu harus tahu Mas..sekarang ini Monik bukan orang
asing bagimu. Sekarang Monik pacarmu, cewekmu, milikmu! Camkan itu!”
Lagi-lagi Irgi hanya
tersenyum malu. Intan berkata, “Ya udah, sekarang kalian masuk. Jangan ganggu
kami.”
Setelah dua gadis ceriwis
itu masuk ke dalam, Intan mendekatkan duduknya di samping Irgi. Irgi meliriknya
sambil tersenyum, lalu menunduk lagi. Intan memulai mengajak ngobrol beberapa
patah kata. Setelah berhenti sejenak, Intan berkata, “Aku ke dalam sebentar ya
Mas..”
“Iya, silahkan..”
Sekitar lima menit kemudian
Intan keluar lagi sambil membawa baki berisi segelas minuman dan semangkok
bubur ayam. Irgi berkata, “Masya Allah,
nggak usah repot-repot..”
“Nggak ada yang repot,
semua udah ada.” Diam sebentar, “Jika segala sesuatu kita lakukan dengan hati,
nggak ada yang terasa repot..termasuk sekarang ini. Aku melakukan dengan senang
hati.”
Gembira sekali Irgi
mendengar kata-kata indah itu. Intan berkata, “Silahkan diminum..”
“Iya, makasih.”
“Itu bubur ayam buatan
sendiri.”
“Oh iya? Wah, kayaknya enak nih.”
Irgi minum dua teguk,
setelah itu menyantap bubur ayam di hadapannya. Ketika menelan dua sendok, ia
bertanya, “Intan nggak makan?”
“Udah, tadi sore. Sekarang masih
kenyang.”
“Wah, aku jadi nggak enak
makan sendiri.”
“Nggak papa..santai aja. Anggap aja rumah sendiri.” Diam sejenak, “Gimana?
Enak nggak?”
“Enak, rasanya pas. Nggak hambar, juga nggak terlalu
asin.” Diam sejenak, “Yang bikin Intan ya?”
“Iya, tadi sore, sama
Lili.”
Setelah menghabiskan bubur
ayam, Irgi menatap rok terusan yang dikenakan Intan, lalu berkata, “Ini baju
yang Intan pakai waktu pertama kita ketemu di halte. Iya kan? masih ingat
nggak?”
Intan tersenyum, “Ya lupa-lupa
ingatlah. Kok Mas Gik masih ingat sih?”
Irgi tersenyum, “Itu
termasuk hal penting, jadi sulit bagiku untuk cepat melupakan.” Diam sejenak, “Perlu
Intan ketahui. Kalau aku mengalami hal penting dalam hidupku, hal penting itu
aku akan terekam kuat di memoriku.”
Intan tersenyum manis,
“Berarti malam ini juga penting?”
Irgi mengangguk sambil
tersenyum, “Yahh...bisa dikatakan begitu.”
Keduanya tersenyum gembira.
Intan melihat bubur di mangkok Irgi sudah habis. Ia bertanya, “Mau tambah?”
“Oh enggak, nggak usah..”
“Masih ada kok..”
“Nggak, aku udah kenyang. Makasih
banyak.”
Sesaat kemudian Lili
muncul, lalu bertanya, “Gimana buburnya? Enak nggak?”
“Enak Mbak, rasanya pas. Makasih banyak ya?”
“Itu produk sendiri lho.
Yang bikin aku sama Monik.”
“Iya, Monik udah cerita. Makasih..”
Sesaat kemudian Irgi
menatap arloji di tangan kirinya. Lili bertanya, “Ngapain pulang sekarang? Malem minggu masih panjang kok.”
“Iyaa..” sambung Intan.
“Ngapain terburu-buru? Emang di rumah
ngapain?”
Irgi tersenyum malu,
“Makasih banyak untuk jamuannya. Aku nggak boleh kelamaan ninggal ibuku. Sekarang ibuku sendirian di rumah.”
“Kan ada adikmu..?” ujar
Lili. Irgi menyahut, “Adikku biasanya masih ngeluyur.”
Diam sejenak, “Aku pamit dulu. Makasih banyak untuk bubur ayamnya.”
Intan berniat mengantar
Irgi sampai ke pagar, namun Irgi meminta agar Intan sampai di serambi saja.
Intan pun menuruti kehendak sang kekasih. Ia berkata, “Ingat omongan Cicik
tadi.”
“Yang mana?”
Intan tersenyum, lalu
menjawab, “Mulai sekarang, aku bukan orang asing bagimu. Sekarang aku
adalah...teman istimewamu.”
Intan tetap tidak atau
belum berani bilang, “Sekarang aku pacarmu, cewekmu atau kekasihmu.” Semua itu
karena ia memang seoarang gadis pemalu dan santun. Ia berkata lagi, “Tadi
katanya setiap hal penting selalu tercatat di hati dan pikiranmu.” Diam
sebentar, “Bagiku...omongan Cicik ini sangat penting bagi kita. Jadi Mas harus
menyimpan di hati dan pikiranmu.”
Irgi tersenyum, lalu
berkata, “Oke...aku akan berusaha.”
Diam sebentar. Intan yang
berdiri sekitar 120 cm di hadapan Irgi, bertanya, “Bisa nggak tiap malem minggu
ke sini?”
Irgi tersenyum, “Aku nggak
bisa janji.” Diam sejenak, “Aku hanya berusaha menjaga hubungan kita.”
Intan tersenyum gembira
sambil mengangguk-angguk. Ia bertutur, “Makasih banyak ya?”
“Aku yang harus berterima
kasih.” Diam sebentar. “Udah malem. Aku balik dulu ya? byee..”
“Byee..” balas Intan sambil melambaikan kelima jari kanannya. Ia
masih menatap Irgi yang berjalan menuju pagar. Begitu Irgi sampai di pagar,
Wiwit langsung datang untuk mengantarnya pulang. Irgi menatap Intan yang masih
berdiri di teras atas, lalu ia lambaikan tangannya. Intan pun melambaikan
tangannya sambil berkata, “Hati-hati ya?”
Beberapa hari kemudian,
tepatnya di pagi hari, ketika Irgi mau berangkat kerja, ia memperlihatkan foto
Intan kepada Rini. Sang Ibu yang duduk menghadap meja makan, tersenyum gembira
melihat foto Intan yang sedang tersenyum manis. Ia berujar, “Ini sih, cantik
banget. Manis banget.”
“Juga kalem banget..”
sambung Irgi gembira. “Dia anteng,
pemalu, ramah..”
“Wah, berarti cocok sama
kamu (menyerahkan foto Intan). Kamu kan juga anteng dan kalem.”
Irgi tersenyum malu. Ia
tatap foto Intan beberapa detik, lalu berkata, “Dia kayak Emma Watson. Mama tahu Emma Watson nggak?”
“Yang mana?”
“Yang jadi Hermione,
ceweknya Harry Potter. Yang rambutnya pirang itu lho..”
“Ooo yang ituu
(mengangguk-angguk). Iya, mirip. Sama-sama manis.” Diam sejenak, “Tapi itu
wajahnya ada galaknya. Kalau Monik kan kalem.”
---XXXXX---
Malamnya, Irgi masih
mengingat perkataan Rini yang berbunyi, “Berarti dia cocok sama kamu. Kamu kan juga
anteng dan kalem.” Perkataan ibunya
tadi pagi itu seolah terdengar terus di telinganya. Ia bergumam, “Aku bukan anteng atau pendiam Ma..aku hanya
murung. Yah, murungnya itu yang buat aku kelihatan anteng.” Diam sejenak, “Aku pendiam dan murung karena masih sedih
ditinggal Papa untuk selamanya. Aku murung karena belum bisa berbuat yang
terbaik untuk Papa.”
Irgi menatap foto Intan.
Wajah aduhai itu membuat kegersangan di hatinya berkurang banyak. Ia tersenyum
gembira, lalu bergumam lagi, “Tapi setelah kehadiranmu...kesedihan dan rasa
sesal di hatiku ini mulai hilang. Kehadiranmu benar-benar mengobati luka
hatiku.” Diam sebentar, “Makasih banyak ya Manis.”
Setelah puas melamun dan merenung, Irgi
keluar dari kamarnya, lalu berjalan menuju ruang tengah untuk menonton TV.
Ketika ia baru menonton TV sekitar lima menit, ia mendengar Hand Phone di kamarnya berbunyi, tanda
ada sms masuk. Ia bergumam, “Kemungkinan besar Intan.”
Irgi masuk ke kamarnya,
lalu membuka HP-nya. Ternyata benar dugaannya, sms itu dari Intan. Bunyinya, “Lagi ngapain? Udah mau tidur belum? Aku
ganggu nggak?”
Irgi tersenyum, lalu
membalas, “Lagi nonton TV. Aku belum mau tidur,
belum begitu ngantuk.”
“Berarti aku nggak ganggu kan?”
“Sama sekali nggak. Khusus untuk
cewek manis yang satu ini, walau aku lagi repotnya kayak apa, nggak ada istilah
ganggu.”
Intan yang lagi tiduran di
ranjang, tersenyum manis sekali. Ia membalas, “Indah sekali kata-katamu. ‘Ingat Mas, mulai sekarang Monik bukan orang
asing bagimu. Sekarang dia pacarmu, cewekmu, milikmu.’ Itulah pesan Cicik
kemarin.”
Irgi tersenyum, lalu
menjawab, “Insya Allah, aku akan berusaha
untuk menjaganya.”
“Oke, makasih banyak. Dirimu memang pengertian.”
Beberapa menit kemudian
Irgi mengirim pesan berbunyi, “Mohon maaf
kalau aku tidak atau belum bisa memenuhi keinginan Monik.”
“Apa itu?” tanya Monik yang sudah mau tidur. Irgi menjawab, “Aku belum bisa, bahkan mungkin nggak bisa
kalau disuruh ke rumahmu tiap malem minggu. Tapi yakinlah Gadis Manis..dirimu
akan selalu ada di hati dan pikiranku. Percayalah.”
Intan agak terkejut mendengar
Irgi menyebutnya ‘Gadis Manis,’ terkejut karena gembira. Ia teringat dengan
mimpi indahnya beberapa waktu yang lalu, di mana saat itu Irgi memanggilnya
begitu. Ia tersenyum manis, lalu menyahut, “Kata-katamu
ini membuatku tersanjung. Hatiku berbunga-bunga.”
Demikianlah yang dilakukan
oleh IIN. Mereka bermesraan tanpa bersentuhan. Bahkan berjabat tangan pun
mereka belum pernah. Maksimal hanya duduk berdekatan, sebagaimana yang sudah
mereka lakukan beberapa kali, termasuk ketika Irgi ngapelin Intan kemarin. Lantas bagaimana ke depannya? Sanggupkah mereka
menahan godaan dan ujian?
Beberapa hari kemudian Irgi
masih terus mengingat kata-kata Cicik dan Monik yang berbunyi, “Sekarang dia
(Monik) bukan orang asing bagimu. Sekarang dia pacarmu, cewekmu, milikmu!
Camkan itu!.” Kalimat yang diucapkan dua gadis itu agak berbeda, namun intinya
sama. Bedanya, Intan yang pemalu itu memperhalus kata ‘pacarmu, cewekmu,
milikmu,’ menjadi ‘Teman Istimewamu.’
Kalimat itu terngiang terus
di telinga kepala dan telinga hati Irgi. Namun ia tidak terganggu dengan
kalimat itu. Justru sebaliknya, ia malah bahagia dan menjadi semangat dalam
beraktivitas. Ia menjadi termotivasi untuk terus berkarya dalam menyongsong
masa depan. Apalagi suara lembut Intan yang seolah terdengar terus di telinga
hatinya. Suara yang berbunyi, ‘Sekarang aku Teman Istimewamu,’ benar-benar
mampu mengobati luka hatinya karena kepergian ayahanda tercinta.
Kini Irgi duduk melamun di
sebuah tempat yang agak sepi dan indah. Di sekelilingnya hanya ada warna hijau
yang menyejukkan mata dan hati. Ia menatap foto Intan sambil tersenyum gembira.
Hatinya berkata, “Aku yang bodoh dan kuper (kurang perhatian) ini...yang dari dulu
nggak kenal pacaran...yang dari dulu nggak pernah punya teman cewek...sekarang
punya pacar yang nyaris sempurna.”
Diam sejenak, “Sudah
cantik, manis...manis sekali, kalem, rendah hati, anteng, pinter, dari keluarga menengah ke atas.” Diam sebentar, “Subhanallah. Ini benar-benar mimpi
indah yang jadi kenyataan.” Diam sebentar, “Dia mencintaiku. Dia mencintaiku
dengan tulus, dan aku pun mencintainya. Ohh (menatap atas dengan bibir tetap
tersenyum gembira)...Ya Allah...terima kasih untuk semua ini. Aku benar-benar
bahagia.” Diam sebentar, “Dan mudah-mudahan...kebahagiaan ini bisa terus
kurasakan. Amin 3x.”
Ia kembali menatap foto
Intan, lalu berkata, “Insya Allah,
aku akan berusaha semampuku untuk menjagamu, terutama perasaanmu.” Diam sebentar,
“Kalau aku sampai menyakiti perasaanmu dengan sengaja...aku benar-benar akan
menghukum diriku. Itulah janji yang kuucapkan untuk diriku.”
---XXXXX---
Sore itu Irgi kedatangan
tamu tak diundang dan tak dikenal. Ia kedatangan seorang pemuda berusia sedikit
di bawahnya. Wajahnya ganteng, walaupun penampilannya agak urakan. Badannya
seperti Irgi, tinggi sedang dan padat, bahkan lebih indah karena cukup berotot.
Ia memakai kaos kerah ketat, sehingga tampaklah bentuk badannya yang atletis. Celana
Jean biru tua ketat membungkus kedua kakinya. Pemuda berambut keriting agak
gondrong itu langsung memperkenalkan dirinya pada Irgi. Namanya Vicky
Diponegoro, panggilannya Vicky. Kedatangannya ke rumah Irgi sekarang untuk
silaturrahmi.
Ia berkata, “Mas Irgi
tenang aja. Saya sama sekali nggak berniat jahat sama anda. Saya juga bukan
temannya Jajang keparat itu.”
Irgi terkejut setelah
mengetahui Vicky sudah cukup banyak tahu tentang dirinya, namun Vicky yang
bersikap ramah itu langsung menjelaskan semuanya. Dia sudah cukup banyak tahu
Irgi dari Cicik dan Lili, juga dari Heru, salah seorang teman Irgi di
restorannya Maji. Heru itulah yang sudah memberi tahu alamat rumah Irgi. Vicky
dan Heru sudah berteman baik cukup lama. Vicky juga sempat menjadi pembalap
jalanan, namun hanya dua bulan karena sering diancam oleh Geng Macan. Itulah
sebabnya ia juga kenal Unang atau Jajang, bahkan ia sudah kenal Jajang sebelum
Irgi mengenal si botak jahat itu.
Ia terus bicara panjang
lebar, dan akhirnya ia mengaku kalau ia pernah berteman dekat dengan Intan. Ia
berkata, “Mungkin Intan hanya nganggap aku teman dekat, tapi aku udah nganggap
dia pacar.” Diam sejenak, “Dia sempat jadi cewekku. Yah, tiga bulan aja.”
Irgi mengangguk-angguk,
lalu bertanya, “Apa yang membuat Intan memutus Mas Vicky?”
Vicky tersenyum malu,
“Mungkin dia nggak tahan sama aku. Aku ini nakal, amburadul, tukang ngeband. Aku musisi kelas teri. He he
he. Musisi jalanan.” Diam sejenak, “Anda pasti udah nebak kalau aku rocker
kelas tempe.”
Irgi tersenyum, “Iya, dari
penampilannya.” Diam sebentar, “Di grup band Mas Vicky bagian apa?”
“Gitaris sekaligus vokalis.
He he..”
“Wah, hebat dong. Apa nama
grupnya?”
“Tegar.”
Irgi mengangguk, “Sekarang
masih sering pentas nggak?”
“Udah bubar sejak enam
bulan yang lalu. Sekarang aku cuma bisa ngamen di pinggir jalan. Hah ha ha.”
Diam sejenak, “Anda harus tahu..Intan
itu juga pinter nyanyi. Suaranya
bagus, empuk, tinggi, bening..”
“Iya, saya udah dengar.
Dari suaranya sehari-hari aja udah kelihatan.”
Hening sejenak, lalu Vicky
berkata, “Mas Irgi...saya senang banget mendengar anda menjalin kasih sama
Intan. Saya senang banget mendengar si manis itu sekarang jadi cewek anda.”
“Mas Vicky bisa aja..”
potong Irgi tersipu. Vicky melanjutkan, “Si malem (manis kalem) itu terlalu
baik untuk seniman edan kayak saya.
Hah ha.”
“Mas Vicky jangan terlalu
merendah. Kalau saya lihat, Mas Vicky ini orang baik-baik kok.”
“Amin. Ya, Insya Allah sekarang aku sedang berusaha
jadi orang baik.” Diam sebentar, “Yang jelas Mas Irgi harus tahu. Aku senang
banget mendengar hubungan kalian. Si manis itu akhirnya jadi kekasihnya cowok
sebaik anda. Anda cocok banget sama dia. Dan aku yakin, yang bilang anda sama
Intan cocok banget bukan cuma aku. Iya kan!? heh he he.”
Irgi hanya diam sambil tersenyum.
Vicky melanjutkan, “Pokoknya sore ini aku mau ngomong banyak sama anda. Aku mau
ngomong penting soal mantan cewekku itu, juga mantan ceweknya Syahrul. Anda ada
waktu?”
Irgi mengangguk, “Alhamdulillah hari ini saya lagi
senggang.” Diam sejenak, “Mas Vicky saya
buatin minum ya?”
“Wah, nggak usah
repot-repot Mas..”
“Nggak ada yang repot
(berdiri). Sebentar ya?”
“Yah, rejeki nggak boleh
ditolak. Eh tunggu sebentar Mas!”
“Apa?”
“Aku minta ijin ngerokok
ya? dua-tiga batang aja.”
“Ya, silahkan, nanti
sekalian saya ambilkan asbak.”
“Oke, makasih sebelumnya.”
Sekitar lima menit kemudian
Irgi keluar sambil membawa asbak kayu dan segelas minuman dingin. Vicky
langsung menghisap rokok sambil minum dua tiga teguk, setelah itu berkata, “Sejak
diputus Syahrul, Intan sempat broken
heart agak parah.” Diam sejenak, “Mereka udah hampir nikah, kok tiba-tiba
batal. Dan sebabnya juga nggak jelas. Bahkan bapak ibunya Syahrul juga nggak
tahu. Syahrul sendiri cuma bilang, “Mungkin kami belum jodoh. ” Diam sebentar,
“Untuk mengobati luka hati yang cukup dalam, Intan menyibukkan dirinya dengan
segala macam kegiatan positif. Dan Alhamdulillah,
usahanya itu berhasil. Sekarang dia benar-benar udah bisa ngelupain si muka imut itu.”
Irgi mengangguk-angguk,
Vicky melanjutkan, “Sampai sekarang belum ada yang tahu penyebab mereka nggak
jadi nikah.” Diam sebentar, “Tapi sekarang dia udah dapet ganti yang lebih baik dan lebih pas.” Diam sejenak, “Dari segala sisi, anda mirip Intan Sisi psikis, anda baik. Anda tahu agama,
rendah hati, pendiam dan cukup pemalu. Dari sisi fisik, nggak usah ditanya.
Anda gagah dan tampan. Ha ha ha. Benar-benar cocok sama Intan.”
Irgi tersenyum malu, “Mas Vicky jangan
berlebihan. Justru Mas sendiri yang gagah dan tampan.”
Dua pemuda ganteng ini tertawa
gembira. Setelah menghisap rokok yang hampir habis, Vicky bicara lagi, “Banyak orang
yang meragukan omonganku. Itu karena mereka
hanya melihat penampilanku. Banyak orang yang nganggap aku ini hanya pembual
yang suka bercanda, yang nggak pernah serius dalam membicarakan sesuatu.” Diam
sejenak, “Aku sama sekali nggak nyalahin
mereka, soalnya aku memang kelihatan nakal, urakan, atau bahkan kayak anggota geng perampok. Yah, maklum
aja, aku kan seniman kelas teri. He he.” Diam sebentar, “Tapi kalau udah
membahas Intan, aku benar-benar serius. Kalau udah membahas Intan, aku nggak berani
bercanda sedikit pun. Kalau udah ngomongin dia, aku benar-benar ngomong dengan
sepenuh hatiku. Jadi sekarang anda harus percaya sama semua penjelasanku ini,
terutama penjelasan soal si manis itu.”
Irgi mengangguk, “Saya
percaya sama Mas Vicky, dan saya juga nggak
mempermasalahkan penampilan Mas Vicky yang sepintas kayak rocker, ugalan-udalan dll. Orang itu yang penting hatinya,
dan hatinya bisa dilihat dari akhlaknya sehari-hari.”
“Betul sekali. Cowok sebaik
anda, nggak heran bisa dapet Intan.”
Dua pemuda ganteng ini kembali
tertawa gembira. Vicky meneguk minumannya, lalu bicara lagi, “Satu hal penting yang perlu anda ketahui. Intan
itu anaknya sangat lembut, sangat kalem. Dia sangat mengutamakan perasaan,
walaupun ininya (menunjuk dahi) juga jalan. Ininya juga cerdas.” Diam sebentar,
“Makanya itu, aku pesan sama anda. Anda benar-benar harus mengutamakan
perasaannya. Anda benar-benar harus menjaga perasaannya.”
“Insya Allah,” sahut Irgi mengangguk. “Saya akan berusaha semampu
saya. Cicik sama Lili juga udah nasehatin
saya.”
Vicky mengangguk, “Itulah
ciri khas Intan. Itulah kelebihannya.” Diam sejenak sambil menyalakan rokok,
lalu melanjutkan, “Banyak cewek yang lebih dari Intan. Yang lebih cantik, lebih
pinter, lebih dari segi ekonomi. Tapi kalau lebih kalem atau lebih pengertian, kayaknya dikit banget. Aku berani jamin itu. He he he.”
Irgi ikut tersenyum. Vicky
menyentuh bahu kiri Irgi, lalu berkata, “Tapi aku berani sumpah Mas..anda sama
Intan memang cocok banget. He he he. Selamat ya (menyodorkan tangan kanannya).”
“Makasih banyak (menjabat
tangan Vicky sambil tersenyum gembira). “Insya
Allah, saya akan berusaha maksimal untuk menjaga perasaannya.”
“Bagus, bagus sekali.”
Vicky menatap jam dinding,
lalu berkata, “Oke, aku pamit dulu. Ini aja yang ingin kusampaikan.”
“Kok terburu-buru?”
“Udah cukup sore. Thanks untuk sirupnya. Mudah-mudahan,
semua infoku tadi bermanfaat.”
“Sangat bermanfaat.”
Irgi mengantar Vicky sampai
pagar rumah. Vicky menunggangi motornya, Honda Megapro, lalu bersalaman ala
panco dengan Irgi. Irgi berkata, “Kapan-kapan Mas Vicky main ke sini lagi ya?
jangan cuma mampir. Makasih banyak untuk semua infonya tadi. Aku benar-benar
dapet pelajaran berharga.”
“Sama-sama. Sudah kewajiban
kita untuk saling menolong.”
Setelah Vicky dan
Megapro-nya lenyap, Irgi bergumam, “Aku jadi tahu cowok-cowok yang pernah dekat
sama Monik. Ini benar-benar petunjuk yang sangat berharga bagiku.”
Irgi masuk ke rumah, lalu
melanjutkan bicara dalam hati, “Vicky tadi sebenarnya orang baik. Dia polos dan
apa adanya. Bahkan menurutku, dia lebih ganteng dari Syahrul.“ Diam sejenak,
lalu tersenyum geli, “Tapi...cewek sekalem Monik, gimana bisa mengerti jiwa
seniman nyentrik kayak dia. Cewek
sekalem Monik, gimana bisa cocok sama penyanyi kampungan kayak dia. Ha ha ha.”
Setelah masuk ke kamar,
Irgi kembali menatap foto Intan yang ia simpan di lemarinya. Ia menatap foto
gadisnya itu sambil tersenyum gembira, lalu bergumam lagi, “Cewek Manis, cewek
yang sekarang bertahta di kamar hatiku yang terdalam, dengarkan janjiku ini.”
diam sebentar, “Dengan segenap kekuatan dan kelebihan yang kumiliki...aku akan
berusaha untuk menjagamu, melindungimu, dan membahagiakanmu.”
Beberapa hari kemudian Irgi
menulis surat untuk Intan. Surat itu ia titipkan pada Lili ketika ia mau
berangkat kerja. Isinya sebagai berikut:
“Gadis manis, terus terang aja, aku nggak bisa kalau disuruh memanggil
dirimu dengan menyebut namamu langsung, walaupun maksudnya biar kita makin
akrab. Karena itu, ijinkan aku memanggilmu dengan selain namamu. Ijinkan aku
memanggilmu ‘Non, Neng, Dik, Nomis (Nona Manis), Gamis (Gadis Manis), dll. Pokoknya selain ‘Mbak.’ Aku melakukan ini
karena aku ingin menghormatimu, menghargaimu, dan terutama...ingin MENYAYANGIMU.”
Non Intan yang manis, sekarang aku
benar-benar bahagia. Berkat kehadiranmu, luka hatiku karena kepergian ayahku ke
alam abadi, terobati cukup banyak. Berkat kenal dirimu, rasa sesal di hatiku
selama ini, rasa sesal karena belum bisa membahagiakan ayahku, juga rasa
bersalah karena belum sukses, belum bisa membahagiakan ibuku,
saudara-saudaraku, dan semua orang yang kucintai, benar-benar berkurang banyak.
Berkat dirimu, semangat hidupku muncul kembali, semangat untuk menggapai masa
depan yang cerah. Berkat dirimu, semangatku untuk beraktivitas menjadi
menggelora bagai samudra.
Ketika aku lagi sedih, bingung atau
malas bekerja, aku langsung teringat dirimu. Begitu melihat fotomu, semangatku
untuk beribadah dan bekerja langsung menyala lagi. Makasih banyak ya Manis,
engkau benar-benar sudah mengisi kekosongan jiwaku. Tidak berlebihan kalau
sekarang ini aku menyebutmu Bunga Hatiku, karena dirimu memang sudah
menyejukkan hatiku, dirimu sudah menjadi penawar luka hatiku.”
Nah Cah Ayu, ini aja yang ingin
kusampaikan. Sekarang hatiku benar-benar lega dan bahagia. Makasih banyak untuk
waktu dan perhatianmu. Wassalam.”
Irgi Indra H
Betapa bahagianya Intan
setelah membaca surat di atas. Ia tersenyum manis sekali. Ia mengambil foto
Irgi yang memakai topi merah, topi seragam restoran pizza. Ditatapnya foto sang
pujaan hati sambil tersenyum bahagia, lalu berkata lembut, “Aku makin
mencintaimu.”
Setelah itu ia sms Irgi.
Isinya: “Sudah kubaca suratmu, surat yang
begitu indah. Aku senang sekali mendengar ketulusanmu. Makasih banyak ya?”
Irgi tersenyum gembira,
lalu menjawab, “Ya, sama-sama. Sekarang
ini nggak ada yang ingin kulakukan, selain berusaha membahagiakan gadis manisku
ini.”
Indah sekali kata-kata itu,
sehingga membuat Intan kembali tersenyum manis. Ia membalas, “Sekarang aku sudah bahagia sekali.
Kakandaku, makasih tak terhingga ya?”
“Sama-sama Manisku.”
---XXXXX---
Minggu pagi yang cerah. Jam
08.00. Irgi diantar lagi oleh Wiwit ke rumah Intan. Kali ini Wiwit hanya sampai
di pintu gerbang. Irgi yang sudah percaya diri, langsung bertindak sendiri. Ia
membunyikan bel di dekat pintu rumah Cicik. Sesaat kemudian muncullah Lili.
Sambil tersenyum manis ia berkata, “Sebentar ya?”
Irgi mengangguk sambil
tersenyum. Samar-samar ia mendengar suara yang berbunyi, “Monik, yang ditunggu
udah datang.” Ia tersenyum gembira. Sekitar tiga menit kemudian ia mendengar
suara lembut yang berkata, “Mas Gik..”
Ia menoleh ke belakang.
Dilihatnya si gadis manis berdiri di pintu. Pagi yang cerah ini Intan terlihat
manis sekali. Ia benar-benar seperti bidadari dari kahyangan. Ia memakai rok
terusan merah muda sepanjang betis. Ada kain merah yang mengikat rambutnya yang
bagian atas, bagian ubun-ubun. Irgi agak tersentak melihat kain merah itu. Ia
langsung teringat dengan mimpinya, dimana saat itu ia memberikan kain kepala
pada Intan. Kain itu berbentuk bunga-bunga merah yang melingkar.
Intan yang melihat Irgi
menatapnya dengan serius, bertanya, “Kenapa Mas?”
“Oh enggak, nggak papa.” Diam sejenak, “Aku cuma mau
bilang...baju pink sama kain kepala
merah itu membuat Intan kelihatan maniiis sekali.”
“Makasih...” sahut Intan
tersenyum manis. Intan dan Irgi langsung duduk di ruang tamu. Intan duduk cukup
dekat di samping kanan Irgi. Irgi terlihat agak risih, walaupun juga terlihat
gembira. Ia jelas tidak enak untuk memberi tahu atau menasihati kekasihnya.
Apalagi ia teringat pesan Vicky dan Cicik, bahwa ia harus menjaga perasaan sang
kekasih. Mereka bercengkerama tanpa bersentuhan.
Sesaat kemudian Lili keluar
sambil membawa segelas minuman dan sepiring jajanan. Lili berkata, “Dihabisin ya?”
“Iya,” sahut Irgi
tersenyum, “makasih Mbak.”
Irgi menatap Intan, lalu bertanya, “Nggak
minum?”
“Nggak...Mas Gik aja.”
Irgi mengangguk, lalu
meneguk minuman di hadapannya. Dua sejoli ini kembali bercengkerama dengan
mesra, namun tetap tidak bersentuhan. Intan berkata, “Tadi kayaknya serius banget lihat kainku ini (menyentuh kain kepalanya).
Emang kenapa?”
“Nggak papa...”
“Nggak mungkin nggak papa.
Pasti ada sesuatu. Iya kan?”
Irgi tersenyum malu. Intan
melanjutkan, “Jadi Mas Gik tega menyembunyikan sesuatu dari aku (nada bicara
manja)?”
“Oh enggak, bukan begitu
maksudku.”
“Terus?”
“Ehmm...” diam sejenak,
“aku hanya berpikir, kalau hal yang kurang baik kuceritakan, nanti bisa bikin
Neng cemas atau merasa nggak nyaman.”
“Emang itu hal yang kurang baik ya?”
“Ya nggak juga sih.
Cuma...mungkin agak berlebihan.”
Intan tersenyum, “Aku siap
berlapang dada. Percayalah. Sekarang ceritalah. Aku siap dengerin.”
Irgi mengangguk,
“Baiklah...akan kuceritakan. Semua ini demi kebaikan kita. Demi tidak adanya
rahasia di antara kita.”
“Nah, tahu sendiri kan?”
Irgi mengatur nafasnya,
lalu berkata, “Kira-kira satu setengah bulan yang lalu, aku mimpi indah. Mimpi
tentang kita?”
“Mimpi indah tentang kita?”
Irgi menceritakan segala
hal yang dilihatnya dalam mimpinya kemarin. Ia melihat Intan bersama seorang
gadis kecil bernama Dini, usianya sekitar tujuh tahun. Intan hendak dinodai
gerombolan penjahat. Namun untunglah, Irgi datang untuk menolongnya dari
terkaman bandit-bandit. Irgi yang begitu perkasa itu dapat membantai
bandit-bandit itu dengan mudah. Setelah itu Irgi dan Intan menjadi pasangan
kekasih. Begitulah mimpi yang dialami Irgi, sebagaimana yang sudah dijelaskan
di bab sebelumnya.
Intan tersentak, “Ya
Allah!”
“Kenapa!?” tanya Irgi yang
juga terkejut. Intan menyahut, “Aku juga mimpi kayak gitu. Ya beda dikit..tapi intinya sama.”
“Masya Allah. Yang bener?”
Intan mengangguk mantap,
“Dan waktunya juga hampir sama. Sekitar satu setengah bulan yang lalu.”
Intan langsung menceritakan
mimpi yang ia alami. Mimpi yang sangat mirip dengan mimpinya Irgi. Irgi yang
terpana, berkata, “Subhanallah.
Allahu Akbar. Ini benar-benar luar
biasa.”
Hening sejenak. Intan
semakin mendekatkan duduknya di samping Irgi. Irgi yang menunduk, berkata,
“Kenapa ini bisa terjadi ya?” diam sebentar, “Apa artinya?”
Intan tersenyum,
“Artinya...kita memang udah dekat. Kita memang udah sehati.”
Irgi menatap Intan sambil
tersenyum, setelah itu kembali menunduk sambil berkata, “Mudah-mudahan.”
Diam sebentar, lalu Intan
berkata, “Ayo dilanjutkan makannya..”
“Oh iya, makasih.”
Irgi mengambil sepotong
roti di hadapannya. Sementara ia menyantap roti itu, Intan terus menatapnya
sambil tersenyum manis. Sikap Intan yang lembut dan perhatian itu malah membuat
Irgi gugup, gugup karena terlalu gembira. Intan bergumam, “Dia cuma berani
lihat aku sesekali aja...padahal kami udah jadian. Benar-benar santun.”
Setelah pada diam beberapa
detik, Intan berkata, “Mas...”
“Iya?” sahut Irgi sambil
menatap Intan beberapa detik, setelah itu kembali menunduk. Intan bertutur, “Jangan
lupa ya?”
“Lupa apa?”
“Hari selasa dua minggu
lagi. Nggak lupa kan?”
Irgi mengernyitkan dahinya,
lalu menyahut, “Maaf Neng, aku lupa bener.
Ada apa ya?”
Muka Intan langsung
cemberut. Ia berkata dengan nada manja, “Berarti selama ini Mas Gik belum
memperhatikan aku ya?”
“Maaf Neng, aku nggak
bermaksud begitu.” diam sejenak, “Coba kuingat-ingat.” Diam sejenak, “Selasa
dua minggu lagi. Ada acara apa ya?”
Intan bertanya, “Selasa dua
minggu lagi tanggal berapa? Bulan apa?”
Irgi berpikir cukup serius. Sesaat kemudian
ia tersenyum sambil menepuk dahinya, “Masya
Allaah.” Diam sebentar, “Selasa besok itu tanggal 23 maret..ultahmu.” diam
sebentar, “Maaf banget ya, aku bener-bener
lupa. Aku sering lupa kalau yang kayak
gitu.”
Intan yang sejak tadi
menatap Irgi, kini menatap depan dengan muka cemberut. Ia berkata, “Katanya aku
selalu ada di hati dan pikiranmu..tapi tanggal ultahku aja lupa. Huh! Ternyata
cuma di bibir.”
“Iyaa, maapin aku (mengatupkan kedua tapak tangannya). Insya Allah, mulai sekarang aku berjanji
untuk selalu mengingat tanggal ultahmu. Maapin
aku ya?” diam sebentar, “Gitu aja marah sih? Kalau marah nggak manis lagi lho.”
Intan tersenyum manis
dengan tetap menatap depan. Irgi yang juga tersenyum karena lega, bertanya, “Emang selasa besok ada pesta?”
Intan tersenyum,
“Yah..kecil-kecilan aja.” Diam sejenak, lalu menatap Irgi, “Itulah yang mau
kubicarakan sama Mas Gik.”
Irgi mengangguk sambil
tersenyum. Hari selasa tanggal 23 Maret 2010 besok Intan genap berusia 24
tahun. Rencananya besok Intan mau mengundang teman-temannya untuk merayakan
pesta sederhana. Namun karena hari lahirnya besok bertepatan pada hari selasa,
dimana hari itu banyak temannya yang tidak libur, maka ia menunda pesta
ultahnya menjadi hari minggu tanggal 28 Maret, lima hari kemudian. Rencananya
besok ia dan beberapa temannya akan berlibur ke tempat alami semacam gunung,
bukit, sungai atau hutan.
Irgi tersenyum, “Aku ngajak
Wiwit boleh nggak?”
“Silahkan..” sahut Intan
tersenyum gembira.
Dua minggu kemudian,
tepatnya di sore hari yang cerah, cerah karena tidak hujan atau mendung, Irgi
kembali mendatangi rumah kekasihnya. Ia masih mengenakan seragam restoran donat
karena ia baru pulang kerja. Begitu pintu rumah Cicik terbuka, yang muncul
langsung si gadis manis. Irgi pun langsung menyerahkan bungkusan kecil sambil
berkata, “Ini ada sedikit hadiah kecil. Selamat ulang tahun ya? semoga bahagia
dan sukses selalu.”
Intan menerima bingkisan
itu sambil tersenyum manis sekali. Ia berkata, “Makasih banyak. Ini benar-benar
kejutan.” Diam sejenak. “Apa ini?”
“Nanti dilihat sendiri.
Sama ini (menyerahkan bungkusan lagi yang lebih besar). Donat buatanku. Khusus
buat Non Intan.”
Inilah pertama kali mereka
bersentuhan, walau hanya berjabat tangan. Senyum Intan semakin manis. Ia
bertanya, “Jadi diam-diam bisa bikin donat?”
Irgi tersenyum, “Ya dikit-dikitlah, latihan. Ambil ilmu dari tempat kerja.”
Intan mengangguk-angguk
dengan bibir tetap tersenyum manis. Ia mengulurkan tangan kanannya pada Irgi,
lalu berkata lembut, “Makasih banyak ya?”
Irgi diam sebentar. Dengan
hati ragu dan bibir tetap tersenyum, ia ulurkan tangan kanannya yang agak
kasar, kemudian menjabat tangan Intan yang halus. Ia berkata, “Sama-sama. Sudah
kewajibanku.”
Intan tersenyum manis
sekali. Irgi berkata, “Ya udah, gitu aja. Aku terusan.”
“Nggak mampir dulu? Kubuatin es teh ya?”
Irgi tersenyum, “Makasih
banyak. Aku masih ada sedikit kerjaan.”
Setelah Irgi pulang, Intan
langsung masuk ke kamarnya, lalu membuka kado dari sang kekasih. Isinya gelang
merah muda dan bross berbentuk bunga. Intan tersenyum manis sekali, tanda ia
sangat menyukai hadiah sederhana itu. Malamnya ia sms Irgi. Isinya: “Kado yang sederhana, tapi sangat tepat dan
sangat cocok untukku.”
Irgi tersenyum, lalu
membalas, “Hanya itu yang bisa kuberikan
untuk Gadis Manis. Gimana? Suka nggak?”
“Suka sekali. Makasih banyak sekali
ya Mas?”
“Sama-sama Manis.”
---XXXXX---
Hari minggu pagi tanggal 28
Maret 2010. Di depan rumah Cicik sudah ada tiga mobil. Mobil Honda Jazz biru
muda milik Lili, Taft Feroza perak dan Vitara. Di situ sudah hadir Tina, Rudi
kekasih Lili, Sulis dan Rendi, pemilik Vitara merah, mobil yang dulu pernah
macet di jalan ketika gerimis, lalu Irgi membantu mendorongnya. Cicik langsung
mengenalkan Irgi dan Rendi. Irgi sendiri datang bersama Wiwit dengan motor
Tigernya.
Pagi yang cerah ini Intan
memakai baju putih bermotif bunga merah. Bawahannya rok biru muda sebetis.
Bross pemberian Irgi kemarin ia pasang
di dada kirinya. Irgi tersenyum melihat bross itu. Intan berkata, “Bagus banget.”
Irgi menimpali, “Kayak pemakainya.”
Intan tersenyum manis sekali.
Sesaat kemudian muncullah seoarang gadis kecil di belakang Intan. Gadis itu
berkata, “Kak Intan, aku nggak jadi ikut ya?”
“Kenapa?”
“Aku agak kurang enak
badan. Aku di sini ajalah, nunggu Kak Intan pulang.”
“Nggak bosan di sini
seharian?”
“Kan bisa nge-game.”
Intan tersenyum, “Ya udah
kalau gitu. Nanti kamu bisa istirahat di kamar Kak Intan. Kalau lapar, langsung
ambil makanan di kulkas, nggak usah beli di luar. Oke?”
“Iya kak...”
Gadis cilik itu naik ke
teras atas, kemudian masuk ke rumah. Irgi terkejut melihat gadis cilik itu. Ia
langsung teringat dengan mimpinya kemarin, mimpi tentang menolong Intan dari
cengkeraman penjahat. Di mimpinya itu ia melihat seorang gadis kecil bernama
Dini, gadis yang persis dengan anak yang baru saja diajak ngobrol Intan. Ia
mendekati Intan, lalu bertanya, “Siapa dia? Ponakanmu? Adik sepupumu?”
“Bukan, anak tetangga di
rumahku. Tapi kalau dianggap ponakanku atau adikku, ya no problem, soalnya kita udah akrab banget. Hi hi.”
“Namanya siapa?”
“Dini.”
Irgi tersentak, lalu
berkata lirih, “Allahu Akbar. Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Tiada
daya dan kekuatan, kecuali dari Allah.”
“Kenapa Mas?” tanya Intan keheranan. Irgi
mengatur nafasnya, lalu menyahut, “Dialah cewek cilik yang di mimpiku kemarin.
Namanya juga Dini.”
“Ya Allaah (tersenyum gembira)...ini
benar-benar hebat.”
“Oke semuanya!” seru Cicik
tiba-tiba. “Kita berangkat sekarang. Aku di mobilnya Lili, sama Monik, Tina,
Rudi. Rudi yang nyetir. Mas Gik sama Mas Wiwit silahkan pilih. Bisa
ikut mobilnya Rendi, atau Taftnya Sulis.”
Rendi menyentuh bahu Irgi,
“Sebaiknya Mas Gik ikut aku aja. Oke?”
Irgi tersenyum, “Saya nurut Mas, terserah...”
“Ikut Bung Rendi aja Ndra,”
sambung Wiwit, “lebih luas, lebih nyaman.”
“Mas Wiwit mau ikut aku?”
tanya Rendi. Wiwit menyahut, “Iya Bung, aku kurang sreg kalau naik mobil berdesakan.”
“Oke, mari. Mas Gik
sekalian?”
Irgi mengangguk sambil
tersenyum. Wiwit menyentuh bahunya, lalu berkata, “Lo harus bareng gue. Nggak bisa tidak.”
“Iya-iya, tenang aja.”
“Oke semuanya!” seru Cicik
lagi. “Untuk menyingkat waktu, dan biar nanti nggak kesorean atau kemalaman,
kita berangkat sekarang!”
Tiga mobil itu berangkat
dengan berbaris. Vitara merah Rendi di depan, Jazz Biru muda Lili di tengah,
dan Taft Feroza Sulis yang paling belakang. Rendi mengemudikan sendiri
mobilnya. Irgi duduk di sampingnya, sedangkan Gunawan dan Wardi, kawan Rendi,
duduk di jok kedua bersama Wiwit. Di mobil Jazz, Lili duduk di samping Rudi
yang mengemudi, sedangkan Intan, Cicik dan Tina di jok kedua. Di Taft Feroza,
Sulis mengemudian mobilnya. Di sampingnya ada Cahyono atau Cahyo, temannya. Sedangkan
Rani, pacarnya Sulis, duduk di jok kedua. Dengan demikian, jumlah total mereka
ada tiga belas orang.
Sekitar dua jam kemudian
tibalah mereka di tempat tujuan. Mereka berhenti di lereng bukit dengan
pemandangan sekitar yang menawan. Sulis yang pertama turun dari mobil, berseru,
“Yuhuiii! Udah lama banget gue nggak tempat-tempat kayak gini! Benar-benar surga dunia!”
Rendi berkata, “Oke, kita
berhenti di sini aja. Di sini tempat yang paling ideal.”
Semuanya setuju. Mereka
menurunkan barang dari mobil masing-masing, kemudian menggelar tikar di
rerumputan hijau yang berada di bawah pohon rindang. Sesaat kemudian makan
siang telah tersedia di hadapan mereka. Sebelum menyantap makan siang, mereka
mengucapkan ‘Happy birth day’ pada
Intan. Khusus teman-teman yang perempuan pada berpelukan dengan cipika-cipiki*
dengan Intan. Setelah pada kenyang menyantap hidangan yang sederhana namun
nikmat, Sulis berkata,
*Catatan Kaki: Cium pipi
kanan dan pipi kiri.
“Asyik banget nih. Hah ha.
Kalau tiap pekan bisa liburan kayak
gini..”
“Mimpi indah terus ya?”
ujar Rendi. Lili berkata, “Boleh aja Lis, asal lo yang bayarin semua.”
“Iya Lis,” sambung Cahyo,
“lo kan tinggal bilang bokap lo..”
Mereka terus bercanda ria
sambil menyantap hidangan di hadapan mereka. Wiwit pun kekenyangan karena
makannya cukup banyak. Hanya Irgi yang makannya sedikit. Sesaat kemudian Irgi
berdiri, lalu berkata, “Mohon maaf teman-teman, saya permisi sebentar, mau ke langgar,
mau dhuhuran dulu. Maaf ya?”
“Emang di sini ada langgar?” tanya Rudi. Irgi mengangguk, “Ada Mas,
kira-kira seratus meteran dari sini. Yang dekat hutan kecil tadi lho.”
Irgi meninggalkan rombongan
dengan berjalan agak cepat. Di antara tiga belas muda-mudi ini, hanya Irgi yang
memohon diri untuk mengerjakan sholat lima waktu. Setelah Irgi lenyap dari
pandangan, Rudi menatap Intan yang sedang bergembira ria, lalu berkata, “Cowok
lo hebat ya Nik. Udah ganteng, alim lagi.”
“Ya jelaslah,” sambung
Tina, “cowoknya Monik kok nggak hebat.”
Intan menunduk sambil tersenyum
malu. Kegembiraan di hatinya semakin bertambah. Sulis berkata, “Lo kok nggak nemenin dia Nik?” diam sejenak, “Temenin dia dong. Masa’ cowok lo dibiarin sendirian. Ayo temenin!”
“Iya Nik,” ujar Tina lagi.
“Buktikan kalau lo bener-bener serius
sama dia.”
“Dan inilah kesempatan emas
untuk membuktikan itu,” sambung Lili. Rani yang duduk di samping Sulis, ikut
komentar, “Mbak Monik kan lagi bahagia, jadi Mbak Monik juga harus berbagi
kebahagiaan sama teman dekat Mbak itu.”
“Teman dekat?” sahut Sulis. “Enak aja lo. Udah lebih dari itu. Teman
Istimewa. Ya nggak Nik?”
“Oh iya, maaf..” ujar Rani.
“Teman Istimewanya Mbak Monik.”
Rudi menyambung, “Alaah,
bilang aja pacar, kekasih. Nggak perlu malu atau takut. Kita semua udah tahu
kok. Dan kita juga udah dukung seratus persen. Setuju semuanya!?”
“SETUJUUU!!!”
Intan hanya tersenyum
manis. Hatinya semakin berbunga-bunga. Wiwit yang sedang makan jajan, berkata,
“Menurut firasat gue...nanti dia habis sholat nggak langsung ke sini. Nanti dia
mau jalan-jalan dulu. Nah, saat itulah Mbak Intan punya kesempatan emas.”
Rudi menyahut, “Bagus,
bagus sekali!”
Sesaat kemudian HP Wiwit
berbunyi. Ternyata Irgi memanggilnya. Irgi berkata, “Wit, gue nggak langsung
balik ke situ. Gue mau jalan-jalan dulu. Tolong sampaikan semuanya ya?
makasih..”
“Betul kan!?” ujar Wiwit.
“Hah ha ha! Benar-benar jitu firasatku.”
“Mas Wiwit kok bisa tahu?”
tanya Tina.
“Gue kan teman dekat dia,
jadi gue tahu kebiasaannya.”
“Ya udah Nik,” ujar Lili,
“cepat susul dia. Temani dia!”
Rudi bertutur, “Kita semua
udah tahu kalau kalian udah jadian. Tapi biar kalian semakin jadi, lo harus
bersama dia terus. Oke?”
Sulis menyembung, “Kita
udah tahu kalau selama ini lo sama dia berhubungan. Tapi biar hubungan kalian
makin matang..lo harus di sampingnya terus. He he he.”
Cicik berkata, “Kalau dia
cowok gue, gue nggak bakal membiarkan dia sendirian, walaupun dia lagi pengen sendiri.”
“Iya Nik,” sambung Tina.
“Buktikan kalau lo bener-bener
sepenuh hati. Udah sana, cepetan!”
Kini Irgi sedang duduk di
dekat semak belukar yang menghadap sawah, ladang dan bebukitan kecil. Sesaat
kemudian datanglah Intan yang membawa dua minuman di gelas plastik. Ia
mendekati Irgi yang duduk, lalu berkata lembut, “Haii..”
“Eh..? sahut Irgi
tersenyum. “Kirain siapa..”
“Ini (menyerahkan jus di
gelas plastik). Tadi belum dapet
kan?”
“Oh iya, makasih.”
Intan duduk di sekitar 80
cm di samping kanan Irgi. Ia ikut menatap pemandangan di hadapannya. Ia meneguk
jus di gelas plastik, lalu berkata sambil tersenyum, “Indah sekali ya?”
“Iya..” sahut Irgi
tersenyum. “Seindah cewek manis di sampingku ini.”
Dua sejoli ini saling
menatap beberapa detik, setelah itu kembali menatap depan. Intan menunduk
sambil tersenyum manis, setelah itu menatap Irgi beberapa detik, lalu berkata,
“Mas..”
“Iya?” jawab Irgi sambil
menatap Intan beberapa detik, setelah itu kembali menatap depan atau bawah.
Intan tersenyum, “Aku merasa...harus ngomong sesuatu..biar hatiku semakin
lega.” Diam sejenak, “Gimana Mas..menurutmu? kira-kira aku perlu ngomong
nggak?”
Irgi tersenyum, lalu
menatap Intan, “Walaupun hati kita udah merasakan, Neng tetap merasa perlu
ngomong?”
Intan mengangguk mantap
sambil tetap tersenyum. Irgi menatap bawah, lalu berkata, “Kalau Neng Intan
benar-benar merasa perlu ngomong, dan itu untuk melegakan hati Neng, ya
silahkan aja..nggak papa.”
Diam sebentar. Intan
tersenyum, lalu bicara lagi, “Kalau Mas Gik yang ngomong, gimana? Mau nggak?”
Irgi tersenyum, “Emang harus aku ya? emang kenapa kalau Non In yang ngomong?”
“Ya nggak masalah sih (nada
bicara manja). Cuma...kalau yang ngomong yang cewek...rasanya tetap kurang
etis. Jadi, yah...harus si cowok yang ngomong.”
“Begitu ya (tersenyum)?”
diam sejenak, “Okelah kalau itu permintaan Non In.” Diam sejenak, “Tapi terus
terang...aku tetap nggak berani ngomong langsung.”
“Ya nggak usah ngomong
langsung. Terserah gimana caranya.”
Irgi tersenyum, “Baiklah.”
Diam sejenak, “Ku-sms aja ya?”
“Oke (agak kemayu dan
manja)..”
Irgi mengeluarkan HP di saku bajunya, setelah
itu sms Intan. Isinya: “Non Intan yang
manis...aku mencintaimu.”
Intan langsung membalas, “Aku juga mencintaimu, Mas Gik. Bahkan,
akulah yang lebih dulu mencintaimu.”
Hening sejenak. Intan
duluan menatap Irgi yang tersenyum malu. Beberapa detik kemudian Irgi menatap
Intan yang tersenyum manis. Intan berkata, “Bisakah kita melakukan apa yang di
mimpi kita?”
“Maksudmu (tersentak
gembira)?”
Intan mengulurkan tangan
kanannya pada Irgi, lalu berkata, “Ulurkan tanganmu.” Diam sebentar, “Jabat
tanganku...”
Irgi yang gugup,
mengulurkan tangan kanannya dengan perlahan. Kelima jari kanannya memeluk tapak
kanan Intan yang halus. Intan tersenyum manis sambil berkata, “Terima kasih.”
Setelah itu tangan kanan Irgi melepas tangan kanan Intan. Intan semakin
mendekatkan duduknya pada Irgi. Dengan bibir tetap tersenyum manis, Intan
berkata lembut, “Sekarang berikan dadamu.” Diam sejenak, “Maukah?”
Irgi memejamkan kedua matanya,
setelah itu membukanya kembali sambil mengangguk. Ia membusungkan dada
kanannya, lalu berkata lembut, “Kemarilah, Manisku.”
Intan tersenyum manis
sekali. Tanpa ragu atau malu lagi, Intan langsung menaruh kepalanya di dada
Irgi yang cukup bidang. Irgi mengelus kepala dan membelai rambut gadisnya yang
panjang dan halus. Intan berkata lembut, “Lindungilah aku, Sayangku..”
Irgi menyahut, “Pasti,
Manisku. Aku akan melindungimu semampuku.”
Kehangatan cinta merebak ke
seluruh rongga hati mereka. Namun siapakah yang bisa memastikan kemesraan
mereka akan berlangsung terus? Sanggupkah IIN membuktikan ucapan mereka?
Sanggupkah IIN melanggengkan cinta mereka? Sanggupkah IIN menerima cobaan atau
ujian cinta yang pasti akan mereka hadapi di masa mendatang? Silahkan pembaca
terus menyimak kisah ini. (Bersambung)
0 comments:
Post a Comment