PATAH HATI
Sore itu Irgi ditelepon Wiwit. Irgi yang baru pulang kerja, harus terkejut mendengar berita buruk yang dibawa Wiwit. Katanya Bayu berulah lagi. Kemarin malam Bayu mengikuti lomba ngetrack lagi, dan tanpa sengaja ia dan kawannya-kawannya bertemu Geng Macan lagi. Dengan kemampuan membalapnya yang sekarang, Bayu berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, termasuk pembalap jagoannya geng Macan. Bayu agak beruntung karena Jajang, pimpinan geng Macan yang galak dan kejam itu tidak ada.
Besok paginya Bayu dkk terlibat tawuran dengan beberapa anggota geng Macan. Perkelahian hebat antar geng itu akhirnya dimenangkan oleh Bayu cs, namun akibatnya cukup fatal. Otong, salah seorang sobat Bayu yang juga dikenal baik oleh Irgi, terluka parah, dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Karena terluka parah, Otong harus dirawat di UGD. Di sisi lain Bayu merasa puas karena beberapa anggota geng Macan ada yang terluka parah. Ia puas karena berhasil membuat mereka setengah ‘mampus.’
---XXXXX---
Sore itu Irgi ditelepon Wiwit. Irgi yang baru pulang kerja, harus terkejut mendengar berita buruk yang dibawa Wiwit. Katanya Bayu berulah lagi. Kemarin malam Bayu mengikuti lomba ngetrack lagi, dan tanpa sengaja ia dan kawannya-kawannya bertemu Geng Macan lagi. Dengan kemampuan membalapnya yang sekarang, Bayu berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, termasuk pembalap jagoannya geng Macan. Bayu agak beruntung karena Jajang, pimpinan geng Macan yang galak dan kejam itu tidak ada.
Besok paginya Bayu dkk terlibat tawuran dengan beberapa anggota geng Macan. Perkelahian hebat antar geng itu akhirnya dimenangkan oleh Bayu cs, namun akibatnya cukup fatal. Otong, salah seorang sobat Bayu yang juga dikenal baik oleh Irgi, terluka parah, dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Karena terluka parah, Otong harus dirawat di UGD. Di sisi lain Bayu merasa puas karena beberapa anggota geng Macan ada yang terluka parah. Ia puas karena berhasil membuat mereka setengah ‘mampus.’
Namun Bayu yang masih muda
itu tidak pernah berpikir penjang tentang tindakan brutalnya. Ia tidak pernah
berpikir tentang resiko besar yang akan dihadapinya nanti. Betapa marahnya
Unang atau Jajang melihat keberanian dan kenekatan Bayu. Apalagi adik kandung
musuh bebuyutannya itu juga sudah membuat beberapa anak buah pilihannya terluka
parah. Si pendek kekar berkepala plonthos
itu marah besar. Dulu ia hanya membenci Irgi, namun sekarang ia juga membenci
semua orang yang dekat dengan Irgi. Ia bertekad ingin menghancurkan orang-orang
yang dicintai Irgi.
“Tapi lo tenang aja Ndra..”
ujar Wwit lewat Hand Phone-nya. “Gue
udah nyiapin temen-temen untuk
melindungi lo sama Bayu. Tenang aja ya?”
“Iya Wit..trims banyak. Lo
memang saudara gue.”
Betapa gelisahnya Irgi
mendengar berita buruk di atas. Namun ia bertekad untuk tidak melabrak Bayu
karena ia sudah bosan ribut terus dengan adiknya yang mbeling itu. Ia dan Bayu sudah bertengkar selama bertahun-tahun,
jadi sekarang ia tidak mau ribut lagi. Semua itu karena sekarang ia sudah
bertekad menjadi orang baik, juga karena kasihan pada Rini, ibundanya tercinta,
orang tua satu-satunya yang masih ada. Lebih dari itu, sekarang hatinya menjadi
lembut karena hubungan kasihnya dengan Si Manis Lesung Pipi.
Dengan wajah murung ia
bergumam, “Barusan dua minggu yang
lalu aku merasakan kehangatan cinta. Barusan
dua minggu yang lalu aku berbahagia bersama Intan, gadis yang kucintai dengan
tulus, gadis yang sekarang bertahta di kamar hatiku. Eh sekarang aku harus
pusing lagi karena Geng Macan.” Diam sebentar, “Ya Allah..tidak bisakah aku
hidup normal? Tidak bisakah aku jadi orang baik-baik? Orang yang tidak punya
musuh, tidak punya masalah berat, tidak begini dan begitu?”
Diam sebentar, “Untuk masalah Geng Macan, aku
benar-benar harus menyembunyikan dari Intan. Intan nggak boleh tahu sedikit
pun. Nanti bisa runyam.”
Irgi mengambil foto Intan
di mejanya yang menjadi satu dengan lemari. Foto berbingkai dengan ukuran
sekitar 11 x 15 cm itu bergambar Intan yang sedang tersenyum manis. Gadis
jelita itu memakai baju merah muda. Irgi mengelus pipi kekasihnya sambil
tersenyum, lalu berkata dalam hati, “Kamu nggak boleh sampai berurusan sama Geng
Macan. Sama sekali nggak boleh.” Diam sebentar, “Dengan segenap kemampuanku,
aku akan berusaha keras untuk melindungimu..seperti janjiku kemarin.”
Beberapa hari kemudian,
tepatnya di sore hari, Irgi dan motor pembawa donatnya melawati sebuah jalan
yang agak sepi. Jalan itu sudah cukup dekat dengan rumah Cicik. Irgi yang
berjalan dengan kecepatan sedang, tidak menyadari kehadiran rombongan motor di
belakangnya. Jumlah mereka sekitar tujuh orang dengan tiga motor bebek. Ada di antara
mereka yang cenglu.* Ooh, ternyata
mereka Jajang dan beberapa anak buahnya.
*Catatan Kaki: Bonceng telu (boncengan bertiga).
Mereka langsung menghadang
Irgi, lalu menyuruhnya berhenti. Irgi yang tidak sempat lari atau bersembunyi,
akhirnya pasrah saja. Kini Irgi dikepung tujuh-delapan lelaki yang rata-rata
kekar, walaupun tidak begitu tinggi. Salah seorang bawahan Jajang langsung
melepas helm cakilnya. Jajang mendekati Irgi yang menunduk karena menahan rasa takut. Dengan bibir cengar-cengir
karena menahan amarah yang menggelora, Jajang berkata,
“Lama nggak ketemu ya?”
diam sebentar, “Makin gagah aja lo..” diam sebentar, “Adik lo juga makin kurang
ajar!” Diam sejenak, “Gue pernah ngomong sama lo (menunjuk muka Irgi). Adik lo
itu suruh hati-hati! Tapi lo nggak pernah mau dengerin gue!” diam sejenak, “Lo sama adik lo udah bosan hidup ya!?
haa (mencengkeram jaket Irgi)!? Apa lo pengen
bernasib kayak Otong!? Haa!?”
Irgi yang menatap bawah,
menjawab dengan tenang, “Lo cuma mau ngambil
hak dia kan?”
“APAA!? Ngambil hak adik lo (mengguncangkan
tubuh Irgi)!? Bangsat! Huh (kelima jari kanan mencengkeram pipi empuk Irgi)!
Mau nge-tes gue lo!? Haa!? Mau nge-tes gue!?”
Kelima jari kanan Jajang
melepas pipi Irgi, lalu kedua tangannya kembali mengguncangkan tubuh Irgi
sambil berkata, “Lo belum kapok sama gue!? Belum kapok gue hajar!? Haa!? Belum kapok gue buat
setengah mampus!?”
Sementara itu, di sebuah
kios kecil yang jaraknya dengan tempat kejadian terpaut sekitar 15 meter,
datanglah Lili dan Intan. Rupanya mereka ingin membeli sesuatu. Sementara Intan
melihat barang yang dipajang, Lili melihat seseorang yang sedang melihat
keributan. Lili mendekati lelaki empat puluh tahunan itu, lalu bertanya, “Kok
kelihatannya ribut banget. Ada kejadian apa Pak?”
“Nggak tahu Neng. Mas yang nganter donat itu tiba-tiba dihadang.”
“Mas yang nganter donat?”
tanya Lili agak terkejut. Ia mengamati dengan cermat, dan sedetik kemudian ia
tersentak, “Ya Allah! itu Irgi!”
Lili langsung memanggil
Intan yang sedang membeli sesuatu. Intan mendekat, dan Lili berkata, “Lihat
Nik. Siapa orang yang mau dipukuli itu.” Diam sebentar, “Itu Irgi!”
Monik pun tersentak, “Ya
ampun! Mas Gik!”
Intan dan Lili melihat Irgi
yang jaketnya dicengkeram oleh lelaki botak berwajah sangar. Sesaat kemudian Jajang mengambil pemukul dari kayu besi,
kayu yang keras, pemukul yang biasa dipakai untuk permainan kasti atau base
ball. Ia arahkan kayunya ke muka Irgi, lalu berkata, “Lo tahu akibatnya kalau
berani ngajak ribut gue!” diam sejenak, “Siapapun yang berani ngajak ribut gue,
dia akan menderita panjang! Siapapun yang udah ngajak ribut gue, dan dia nggak
mau minta maaf sama gue, gue jamin...hidupnya nggak akan tenang. Gue serius!”
Jajang mendekati motor
Irgi, lalu memukulkan kayunya ke kotak di jok motor Irgi. Ia pukul kotak itu
beberapa kali. Kotak untuk tempat donat itu hancur berkeping-keping. Intan dan
Lili yang melihat kejadian ini dari jarak sekitar 15 meter, hanya bisa berkata,
“Ya Allah.” Dua gadis ini ketakutan, terutama Intan. Di tempat itu tidak ada
siapapun yang bisa membantu Irgi, kecuali pria separuh baya pemilik kios, yang
tentunya tidak akan mampu membantu Irgi mengatasi Geng Macan.
Jajang mengacungkan kayu
pemukulnya ke muka Irgi, lalu mengancam, “Ini peringatan terakhir. Gue beri
waktu seminggu.” Diam sejenak, “Kalau besok adik lo nggak mau nemuin gue...lo...temen-temen lo...keluarga lo...dan semua orang yang lo cintai...gue
habisi!”
Irgi tersentak mendengar
kalimat ‘Semua orang yang dicintainya akan dihabisi.’ Hatinya langsung berseru,
“INTAN!” Ia tidak menyadari kalau kekasih hatinya itu sekarang ada di dekatnya.
Sekarang Intan dan Lili sedang mengintip di balik pohon yang berada di sebuah
taman kecil. Mereka melihat Irgi yang mau dipukul Jajang dengan kayu. Setelah
merasa puas marah-marah, Jajang dan konco-konconya meninggalkan Irgi yang
bengong.
Dengan tubuh lemas seperti
kehilangan darah, Irgi mendekati motornya, motor restoran donat tempat ia
bekerja. Ia sentuh kotak penyimpan donat yang sudah menjadi serpihan. Dengan
wajah bermuram durja, ia menatap atas, lalu berkata lirih, “Ya Allah...ternyata
Engkau belum menghendaki aku terbebas dari gangguan keparat-keparat itu.”
Setelah itu ia menunduk. Ia
belum menyadari kehadiran Intan dan Lili. Dua gadis itu sekarang berdiri
sekitar enam meter di hadapannya. Beberapa detik kemudian Irgi menatap depan
agak ke samping. Ia terkejut melihat Intan dan Lili. Wajah dua sahabat itu
tampak terkejut, ketakutan dan sedih, terutama Intan. Irgi berkata, “Monik.
Mbak Lili.” Diam sebentar, “Kapan kalian ke sini?”
Intan yang gelisah itu menggelengkan
kepalanya, lalu menutup bibirnya. Wajah manisnya itu terlihat sangat kecewa.
Sangat berbeda dengan dua minggu yang lalu, ketika ia memadu kasih dengan pria
di hadapannya itu. Sesaat kemudian ia pergi dengan berjalan cepat. Irgi yang
kebingungan, berusaha mengejarnya sambil berseru, “Non Intan! Tunggu!”
Namun Lili menghadangnya.
Gadis tinggi semampai berwajah manis itu juga terlihat sangat kecewa. Dengan
wajah sedih ia berkata, “Siapa Mas?...Siapa mereka tadi!?” diam sejenak,
“Kenapa mereka sampai mau mukulin
kamu!? Siapa mereka Mas!?”
“Tenang Mbak Lili, tenang.
Akan kujelaskan baik-baik.”
Lili menggelengkan kepala,
“Yang paling baik, kamu harus segera jelasin
ke Monik.”
“Iya Mbak..makanya tadi aku
mau ngejar dia. Aku mau jelasin dia.”
Diam sebentar, lalu Lili
berkata lagi, “Sekarang jawab dulu pertanyaanku. Siapa orang-orang tadi?”
Irgi mengatur nafasnya yang
berat, lalu berkata, “Mereka Geng Macan...geng motor saingan geng kami.”
Lili tersentak, “Apa!? Geng motor!?” diam
sebentar, “Jadi (melotot)...jadi kamu ini...anggota geng motor!?... Atau malah
pimpinannya!?”
“Bukan Mbak (menggelengkan
kepala sambil mengacungkan kedua tapaknya)..aku bukan anggota geng motor.
Ehmm...itu semua sudah jadi masa laluku.”
Lili kembali menggelengkan
kepala tanpa menatap Irgi, setelah itu bicara lagi, “Siapapun kamu...dan dari
mana asalmu...yang jelas kamu orang yang banyak masalah. Buktinya? kamu sampai
berurusan sama orang-orang tadi!” diam sejenak, “Kalau kamu nggak banyak
masalah, mana mungkin orang-oang tadi sampai mau mukulin kamu!” diam sejenak, “Mas Gik...aku bener-bener kecewa sama kamu! Kecewa!”
“Iyaa (mengangguk-angguk),
aku ngerti. Aku terima semua hujatanmu. Tapi berilah aku kesempatan untuk
menjelaskan semuanya. Akan kujelaskan baik-baik.”
Lili mengangguk, “Oke.
Sekarang temui Monik. Kamu harus bertanggung jawab. Kamu udah janji untuk
selalu berusaha menjaga perasaannya.”
Singkat cerita, Irgi dan
Intan sudah bertemu di halaman rumah Cicik. Irgi berkata, “Akan kujelaskan
semuanya.”
“Nggak perlu Mas,” sahut
Intan marah. “Semuanya udah jelas bagiku. Ternyata kamu cuma seorang pembohong!
Ternyata selama ini kamu bohongin
aku!” Diam sejenak. “Kamu tega Mas?! Kamu tega bohongi aku!?”
Irgi yang kebingungan,
menyahut, “Nggak Manis, aku nggak bermaksud begitu. Aku nggak pernah berniat
bohongi Non In.”
“Tapi kenapa kamu nggak
pernah cerita kalau kamu banyak masalah! Haa!?” diam sebentar, “Kamu kan bisa
jujur Mas..jujur! Apalagi sama aku. Kamu bisa cerita ke aku.”
Irgi diam sambil menunduk.
Sikap Intan pada Irgi benar-benar berubah drastis. Intan yang biasanya lembut
dan santun, sekarang marah-marah. Intan yang biasanya memanggil Irgi dengan
‘Mas Gik atau Mas,’ sekarang dengan tenangnya memanggil ‘kamu.’ Memang
beginilah keadaan mayoritas orang yang akal sehatnya sedang kalah oleh
nafsunya, entah nafsu amarah atau nafsu syahwat, termasuk gadis kalem seperti
Intan. Dengan kedua mata berkaca-kaca, Intan berkata lagi,
“Siapa kamu sebenarnya?
Dari mana asalmu?” diam sejenak, “Masalah apa yang sudah kamu buat? Sampai kamu
mau dihajar orang-orang tadi?” diam sejenak, “Kamu orang yang banyak masalah
ya?” diam sejenak, “Siapa orang-orang tadi? Siapa yang gundul pendek tadi?”
diam sejenak, “Kayaknya dia kejam
banget ya? kayaknya dia tega mau
bunuh kamu.”
Irgi mengangguk-angguk.
“Baik Non...sekarang kujelaskan baik-baik.” Diam sejenak. “Mereka geng motor.
Namanya geng Macan. Yang gundul kekar tadi pimpinannya.”
Intan tersentak, “Apa!?
Geng motor!?”
Irgi mengangguk. Intan
mundur beberapa langkah, lalu berkata, “Jadi kamu berurusan sama geng motor!?”
Irgi mengangguk, “Aku akrab
sama dunia balap motor. Tapi itu sudah jadi masa laluku. Semua itu sebelum aku
jadi kurir pizza.” Diam sebentar, “Waktu kita pertama ketemu di halte dulu, aku
sudah nggak berurusan sama geng motor. Waktu itu aku sudah berusaha
meninggalkan dunia balap motor untuk selamanya.”
Intan yang mau menangis,
menyahut, “Tapi sekarang mereka masih ngejar kamu. Mereka masih musuhin kamu. Berarti kamu masih
bermasalah sama mereka!”
“Iya..tapi semua ini
gara-gara Bayu, adikku yang nakal banget, anak kesayangan almarhum bapakku.
Semua ini karena dia ngambil motor
mereka.”
“APA (semakin terkejut)!!?
Adikmu ngambil motor mereka!? Oohh.
Berarti...berarti adikmu maling.” Diam sejenak, “Kamu benar-benar dari keluarga
yang penuh masalah ya!?”
Irgi mengatur nafasnya,
lalu bertutur, “Adikku memang maling, tapi maling yang bener, bener karena motor yang dia colong itu motorku.” Diam sejenak, “Kira-kira hampir dua tahun yang
lalu...malem-malem...aku dihadang
sama Geng Macan. Aku dihajar, dipukulin, diinjak-injak, diludahi.” Diam
sejenak, “Malem itu aku bener-bener udah sekarat. Aku bener-bener udah mau mati. Tapi Alhamdulillah, Allah masih ngasih aku umur. Yah, mungkin biar aku
yang banyak dosa ini bisa bertobat dan menambah amal sholeh.”
Kesabaran Irgi membuat
amarah Intan menurun. Intan mengangguk-angguk, “Ceritamu untuk sementara bisa
kuterima.” Diam sejenak, “Tapi sekarang kamu tetap orang yang banyak masalah.
Itu yang sulit kuterima.”
Intan melangkah mundur,
kemudian naik tangga menuju teras atas. Irgi mengejar sambil berkata, “Non
Intan, tunggu dulu! Aku belum selesai cerita!”
Intan yang berada di tangga, membentak, “Cukup
Mas! Cukup! Jangan ikuti aku!” Diam sejenak, “Aku udah telanjur sayang Mas. Aku
udah telanjur sayang banget sama kamu (air mata menetes setitik). Tapi kamu
malah ngecewain aku. Kamu malah nyakitin perasaanku!
Irgi yang berada di bawah,
berkata lembut, “Oke...kuterima hujatanmu, juga hujatan Lili tadi. Semua
hujatan kalian itu benar.” Diam sebentar, “Aku memang orang yang hidupnya nggak
karuan. Aku memang orang yang banyak masalah. Aku memang berasal dari kalangan
yang nggak jelas, yang belum tentu bisa meraih masa depan yang cerah.” Diam
sejenak, “Tapi berilah aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya.”
“Tadi udah kamu jelasin..”
“Iya, tapi tadi belum
selesai, masih ada beberapa hal penting.”
Intan memejamkan matanya,
mengatur nafasnya yang sesak, setelah itu berkata dengan suara lebih lembut,
“Baik Mas...kamu kuberi kesempatan.” Diam sejenak, “Datanglah ke sini dua-tiga
hari lagi.”
Irgi tersenyum, “Makasih
banyak untuk pengertianmu.”
Besok paginya Irgi mendapat
dua kabar buruk. Pertama, ia mendapat sms dari Lili. Katanya, Intan tidak bisa
menjalin hubungan, entah hubungan pertemanan, persaudaraan, atau yang lebih
dari itu. Sejak kecil kedua ortunya sudah mempunyai prinsip kuat, bahwa ia
tidak boleh berhubungan dengan orang yang banyak masalah, karena hal itu bisa
menyengsarakan hidupnya. Contohnya, orang yang berasal dari keluarga yang broken home, orang yang banyak musuh,
banyak hutang, tukang foya-foya, pekerjaan tidak jelas, dll. Sampai sekarang
prinsip mulia itu masih ia pegang dan ia terapkan dalam kehidupannya.
Sebenarnya Irgi bukan
termasuk kriteria di atas. Secara umum Irgi termasuk pemuda baik-baik.
Sayangnya, ia belum bisa menghilangkan statusnya sebagai pembalap jalanan,
sebuah profesi yang identik dengan kekerasan, yang tentunya akan mendatangkan
banyak musuh. Sekarang ia memang sudah berusaha keras untuk meninggalkan dunia
balap motor, namun untuk melenyapkan statusnya secara total, ternyata butuh
waktu yang tidak sebentar.
Sedangkan kabar buruk yang
kedua, Irgi dipecat dari restoran donat karena ia ketahuan bermasalah dengan Geng
Macan. Ia cukup beruntung karena tidak disuruh mengganti kotak tempat donat yang
kemarin dihancurkan Jajang. Sebagai bentuk penghargaan karena telah bekerja
dengan baik selama tujuh bulan, Irgi mendapat pesangaon Rp. 300.000. Alasan
pemecatannya itu persis dengan pemecatannya dari restoran pizza dulu.
Sungguh, Irgi benar-benar
bingung. Ia benar-benar sedang mendapat musibah, ujian atau teguran dari Sang
Penguasa jagat raya. Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah ungkapan yang
mungkin tepat untuk menggambarkan kondisi Irgi sekarang. Sudah dipecat dari
restoran donat karena sebab yang sebenarnya bukan salahnya, sekarang Intan
memberi sinyal kuning tentang hubungan asmara mereka. Apalagi kalau melihat
sikap Intan kemarin, kemungkinan besar si manis lesung pipi itu akan mengakhiri
hubungan istimewanya dengan Irgi.
Bagaimana tidak? Gadis yang
satu itu memang cantik dan manis luar dalam. Sudah manis, ramah, anteng dan tidak sombong. Namun khusus
kemarin ia marah-marah dan bersikap kasar pada pemuda yang berstatus kekasihnya
atau pacarnya. Tentu saja hal itu tidak mungkin ia lakukan kalau tidak ada
masalah besar. Tentu saja gadis selembut dia tidak mungkin sampai bersikap
seperti itu kalau bukan karena masalah serius.
Di akhir sms Lili menjelaskan, sebenarnya
Intan tidak begitu mempersoalkan Irgi bermasalah dengan geng motor. Yang sangat
mengecewakan dan menyakitkan Intan, kenapa Irgi tidak berterus terang mengenai
masalahnya itu? Kenapa sejak pertama menjalin hubungan dulu Irgi tidak pernah
menceritakan masalahnya itu pada Intan? Kenapa Irgi tidak pernah menceritakan
siapa dirinya dan asal-usulnya?
Dengan tubuh
terhuyung-huyung, Irgi meninggalkan restoran donat sambil membawa uang
pesangon. Begitu sampai di rumah, Irgi langsung masuk ke kamarnya, kemudian
melihat foto Intan yang berada di atas meja. Ia duduk di ranjang sambil menatap
foto Intan. Ia sentuh pipi si gadis manis, tepatnya di lesung pipinya, lalu
bergumam, “Aku nggak cerita ke kamu karena aku sayang banget sama kamu.”
“Aku nggak pernah cerita
karena aku takut kamu nggak mau berhubungan sama aku. Aku nggak pernah cerita
karena aku takut kamu bakal ninggalin
aku.” Diam sejenak, menatap depan, lalu bergumam lagi, “Dan sekarang sudah
terjadi.” Diam sejenak, “Kemungkinan besar, kamu akan ninggalin aku untuk selamanya.”
Irgi kembali menatap foto
Intan, lalu berkata lagi dalam hati, “Kalau sejak awal kamu tahu siapa aku, aku
yakin, kamu nggak bakal jatuh cinta sama aku.” Diam sejenak. “Mungkin kamu
memang jatuh cinta sama aku. Tapi begitu tahu siapa aku, rasa cintamu akan
berkurang banyak. Dan sekarang inilah buktinya.”
---XXXXX---
Sore yang cerah menyelimuti
Jakarta dan sekitarnya. Jam 16.00 atau jam empat sore, Irgi dan Intan sudah
berada di teras atas rumah Cicik. Irgi berdiri di samping Intan yang duduk.
Intan yang wajahnya dingin, berkata, “Duduklah Mas..” tanpa menatap Irgi. Irgi
mengangguk, lalu duduk di sebelah kiri Intan. Irgi berusaha untuk duduk tidak terlalu dekat dengan Intan. Ia
melirik Intan yang menatap depan. Pandangan gadis jelita ini benar-benar
sedingin es. Sikapnya pada Irgi benar-benar sudah berbeda.
Setelah pada diam, Irgi
memecah keheningan dengan berkata, “Aku ini...mantan pembalap jalanan.”
Intan tersentak.
Perlahan-lahan ia menoleh ke Irgi, lalu bertanya, “Pembalap jalanan!?”
Irgi mengangguk, “Sebelum
menjadi kurir pizza...aku pembalap jalanan.”
Diam sebentar. Keduanya
menatap depan. Irgi berkata lagi, “Aku selalu menang di setiap lomba ngetrack yang kuikuti..dan jarang sekali
kalah. Makanya itu, orang-orang menganggap aku sudah pantas dijuluki Raja
Jalanan.” Diam sebentar, “Kecintaanku pada balapan membuaku terlena.
Kecintaanku pada balapan membuatku lupa sama semua kewajibanku. Kecintaanku
pada balapan mengalahkan segalanya.” Diam sejenak, “Aktivitasku, kuliahku,
pekerjaan rumahku, kewajibanku pada orang tua dan keluarga...semuanya
terbengkelai karena balapan.”
Diam sejenak, “Tapi setelah
ayahku dipanggil Allah...hati dan pikiranku berubah drastis.” Hening sejenak,
“Setelah ayahku meninggal, aku bisa total meninggalkan dunia balap motor, dunia
yang identik dengan kekerasan.“ diam sejenak karena mengatur nafas, setelah itu
bicara lagi,
“Setelah ayahku pergi untuk
selamanya...aku bisa meninggalkan dunia balap motor dengan sepenuh hati...dan
bertekad kuat untuk menjalani hidup normal, hidup seperti orang pada umumnya.”
Diam sebentar, “Tapi Bayu, adikku, adik kandungku satu-satunya...bukannya
ngikuti aku ninggalin ngetrack...eh malah ngelanjutin hobiku yang nggak baik itu.” Diam sejenak, “Dia
sendiri sebenarnya bertalenta untuk jadi orang sukses di masa depan. Dia punya
cukup potensi untuk jadi orang sukses. Tapi sayang...dia mbeling banget...keras kepala...nggak mau diatur, dll. Dia merasa
yakin masa depannya ada di balap motor.”
Diam sejenak sambil
mengatur nafas, lalu bicara lagi, “Pemimpin geng Macan...yang pendek kekar
kemarin...yang kepalanya botak...namanya Unang. Panggilannya Jajang.” Diam
sejenak, “Dia sangat galak, keras, bahkan kejam.” Diam sejenak, “Kalau sudah
marah, dia bisa lebih kejam dari macan kelaparan. Kalau ada hal yang nggak
berkenan di hatinya, dia bisa berbuat senekat-nekatnya.” Diam sejenak, “Semua
geng motor takut sama dia. Semua pembalap jalanan nggak ada yang bisa ngalahin dia. Dialah Raja jalanan saat
itu.”
Diam sebentar, “Tapi
setelah ketemu aku, terus kami bertanding...saat itulah dia mengalami kekalahan
untuk yang pertama kalinya.” Diam sejenak, “Dia yang selama ini paling hebat,
yang tak terkalahkan, akhirnya bisa takluk sama anak ingusan kayak aku.” Diam sebentar, “Dia nantang
aku lagi, tapi kalah lagi.” diam sebentar, “kami bertanding lima kali, dan dia
hanya menang sekali..jadi kedudukan kami 4-1.” Diam sebentar, “Dia benar-benar
sakit hati. Dia benar-benar dendam sama aku. Apalagi setelah status Raja
Jalanan jadi milikku...dia benar-benar ingin menghancurkan aku, menghancurkan
sobat-sobatku, orang-orang yang dekat sama aku, dan lain-lain.”
Diam sejenak, “Pada
dasarnya Jajang memang orang jahat. Hatinya nggak baik. Hatinya kotor. Hatinya
penuh emosi, dengki dan dendam. Semua itu karena dia ingin menang sendiri.
Semua itu karena dia merasa yang paling hebat.”
Hening sejenak. Pasangan
kekasih yang hubungannya mulai retak ini sejak tadi tidak saling menatap. Intan
hanya menatap depan dengan wajah dingin, sedangkan Irgi, kalau tidak menatap
depan ya menunduk. Demikianlah keadaan mereka sekarang. Padahal beberapa minggu
yang lalu mereka baru saja merasakan kehangatan cinta di lereng bukit. Beberapa
minggu yang lalu cinta kasih mereka seolah semakin menguat. Namun memang
seperti inilah huru-hara yang menimpa setiap orang yang sedang menjalani
asmara.
Irgi berdiri, kemudian
menjauhi Intan beberapa langkah. Ia berdiri di samping tembok yang mengelilingi
teras atas. Sambil sesekali menatap Intan yang wajahnya beku, Irgi melanjutkan,
“Mohon maaf kalau kemarin aku pernah bohongin
Non Intan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya.”
“Bohong soal apa?” tanya
Intan dingin dan tanpa menatap Irgi. Irgi menunduk, lalu menjawab, “Soal
penyebab aku sudah nggak kerja di restoran pizza-nya Pak Tarmaji. Pak Maji.”
Irgi menjelaskan, dulu dia
pernah bilang kalau dia keluar dari restoran pizza karena ada problem dan sudah tidak cocok. Padahal
kenyataannya dia dikeluarkan dari restoran tersebut. Dia dikeluarkan secara
baik-baik karena masalahnya dengan Geng Macan, masalah serius yang bisa
mengancam masa depan restoran pizza. Demikian juga dengan apa yang baru saja dia
alami sekarang. Dia baru saja di PHK dari restoran donat karena bermasalah
dengan Jajang cs.
Irgi bertutur, “Sebenarnya,
kalau bukan karena keparat Jajang, aku nggak akan dipecat dari restoran pizza.
Pak Maji melakukan itu karena terpaksa. Beliau melakukan itu dengan berat
hati.”
Diam sebentar. Irgi menatap
Intan yang sejak tadi tidak bereaksi sedikit pun. Paling hanya bereaksi sekali,
ketika ia terkejut mendengar Irgi mantan pembalap jalanan. Setelah itu ia
benar-benar seperti orang yang kehabisan darah. Wajahnya beku, tatapan matanya
kosong. Ia yang biasanya ramah dan hangat terhadap siapapun, sekarang lebih
dingin dari es. Ia yang biasanya sumeh,* sekarang
seperti orang yang kehilangan semangat hidup.
*Catatan Kaki: Murah senyum.
Irgi yang masih bersabar,
berkata, “Aku sudah cerita semuanya. Aku sudah cerita sejujurnya. Sekarang
terserah Neng Intan.” Diam sejenak, “Sekarang semua keputusan kuserahkan Neng
Intan.”
Kelembutan Irgi membuat
Intan sedikit bereaksi. Wajahnya yang tadi lebih dingin dari kulkas, sekarang
mulai menghangat. Wajah ayunya itu mulai berekspresi. Kedua mata indahnya mulai
bergerak-gerak. Ia menarik nafasnya yang berat, lalu berujar, “Aku bener-bener kaget Mas. Kaget dan
kecewa.”
“Iya (mengangguk), aku
ngerti.”
Diam sebentar, lalu Intan bicara
tanpa menatap Irgi, “Coba kamu cerita dari dulu, dari kemarin-kemarin..pasti
aku nggak akan sesedih ini.” Diam sejenak, “Kalau kamu cerita dari dulu, Insya Allah aku akan lebih bisa menerima
kekuranganmu. Kalau kamu cerita dari kemarin, dari saat kita mulai dekat, lalu
kita jadian...Insya Allah aku akan lebih
bisa menerima kamu apa adanya.”
Diam sebentar. Dengan kedua
mata berkaca-kaca, Intan melanjutkan, “Tapi kamu baru cerita sekarang.” Diam
sejenak, “Kamu baru cerita di saat semuanya sudah telat. Kamu baru cerita di saat aku bener-bener sudah sayang sama kamu. Kamu baru cerita di saat aku
sudah menyerahkan hatiku ke kamu.” Diam sejenak, “Aku sudah bilang sama
sahabat-sahabatku, teman-teman dekatku. Aku sudah bilang sama mereka. Aku sudah
bilang kalau hatiku sekarang milik Mas Irgi Indra Haryadi, cowok yang sangat
kusayang.”
Diam sebentar, “Tapi
kenapa?....kenapa cowok yang kusayang ini malah ngecewain aku? Kenapa cowok yang kusayang ini malah nyakitin aku? Kenapa cowok yang kusayang
ini nggak mau jujur sama pacarnya sendiri?...Kenapa?”
Irgi menunduk dengan wajah
memelas. Kata-kata gadisnya itu sangat menusuk hatinya. Ia berkata lembut,
“Nona Manis, maafin aku ya? maafin aku beribu maaf.” Diam sejenak,
“Aku sudah janji sama diriku sendiri, kalau aku sampai nyakitin Non In, aku bener-bener
akan menghukum diriku.”
Intan memejamkan matanya
sambil menggelengkan kepala. Ia berdiri, kemudian berkata tanpa menatap Irgi,
“Pertemuan kita sore ini kuanggap cukup.” Diam sejenak, “Sekarang aku mau
mandi, terus istirahat. Aku capek banget. Diam sejenak, ”Makasih sudah mau
datang ke sini. Makasih untuk semua infonya.”
Ketika Intan berdiri di
pintu ruang tamu, Irgi berkata, “Makasih juga untuk waktunya. Makasih banyak
untuk pengertiannya.” Diam sejenak, lalu berkata lembut namun tegas, “Insya Allah...aku sudah berusaha
melapangkan dadaku. Aku sudah berusaha untuk siap menerima keputusan pahit dari
Neng.”
“Keputusan pahit apa?” tanya
Intan yang membelakangi Irgi. Irgi mengatur nafasnya, lalu menjawab, “Keputusan
pahit...seandainya Neng Intan...berniat...memutus hubungan kita.”
Setelah berkata begitu,
Irgi langsung berpamitan. Intan yang sudah berada di dalam, menyandarkan tubuhnya
di tembok. Air matanya menetes beberapa titik, namun langsung ia hapus.
Benarkah ia memang berniat mengakhiri hubungan cintanya dengan mantan pembalap
jalanan itu?
---xxx---
Seminggu kemudian Irgi mendatangi rumah
kosong yang menjadi markas geng Macan. Pisau lipat ia taruh di saku celananya.
Ada sepuluh orang di rumah kosong itu. Mereka langsung siaga begitu melihat
kehadiran Irgi. Hanya Jajang yang masih duduk santai. Ia bertanya, “Mana adik
lo yang kurang ajar itu!?” diam sejenak, “Dia mau gue beri pelajaran, jadi dia
harus datang!” diam sejenak, “Dia harus tahu siapa Jajang!”
Irgi menggelengkan kepala,
lalu berkata, “Cukup gue sebagai wakilnya.” Diam sejenak, “Kalau lo mau ngasih pelajaran adik gue...hadapi
kakaknya dulu!”
Keberanian Irgi itu
langsung membakar emosi Jajang. Si gundul kekar yang tadi masih terlihat santai
ini sekarang berdiri dan siap fight. Dengan
bibir cengar-cengir menahan marah, ia berkata, “Sekarang lo udah jadi pemberani
ya?” diam sejenak, “Lo bener-bener
nggak kapok berurusan sama gue.”
Diam sejenak, lalu
membentak, “BANGSAT!! Lo bener-bener udah
bosan hidup! Pagi ini lo bener-bener akan
mampus!”
Jajang menatap beberapa
bawahannya, lalu berseru, “Jadikan dia sarapan pagi kalian! Jadikan dia sarapan
anjing!”
Lima pemuda kekar itu
langsung mengepung Irgi. Mereka siap menghabisi Irgi. Satu diantara mereka
membawa pentung kayu. Irgi menunjuk Jajang, lalu berseru, “Botak keparat! Kalau
lo memang jantan, ayo kita duel satu lawan satu! Kalau lo bukan pengecut, lo
harus buktikan keberanian lo! Ayo kita duel yang satria! Jangan main keroyokan terus! Jangan cuma ngandalin cecunguk-cecunguk lo ini!
Ayo!”
Jajang melotot sambil mengepalkan
sepuluh jarinya. Tubuhnya bergetar keras menahan amarah. Ia berkata, “Jadi
selama ini lo nganggap gue pengecut!? Jadi lo nganggap gue cuma ngandalin tenaga bocah-bocah gue!?” diam
sejenak, lalu membentak, “BRENGSEK!!! Rupanya lo bener-bener ingin mampus!” diam sejenak, “Kalau cuma mau habisin lo, gue nggak butuh siapapun!
Gue bisa habisin lo sendirian!”
“Buktikan itu, botak
jelek!” bentak Irgi. Jajang meminta semua bawahannya untuk menyingkir. Sesaat
kemudian Jajang menggeram keras, lalu menyerang Irgi. Irgi pun menyambut
serangan Jajang dengan berteriak. Untuk beberapa detik pertarungan tampak
seimbang. Masing-masing saling menyerang dan menangkis. Baik Irgi maupun
Jajang, sama-sama belum bisa menembus pertahanan lawan. Pukulan dan tendangan
mereka sama-sama bisa ditangkis.
Namun beberapa detik
kemudian Jajang mulai unggul. Pukulan dan tendangannya menembus pertahanan Irgi.
Hal itu membuat Irgi melangkah mundur dengan terhuyung-huyung. Jajang terus
merangsek, dan akhirnya berhasil merobohkan Irgi. Irgi yang merasa saat ini
sedang menjalani duel hidup mati, langsung bangkit lagi, kemudian menyerang
Jajang yang lengah, lengah karena merasa sudah menang. Irgi berhasil
memanfaatkan kelengahan lawannya. Tendangan kerasnya menghujam telak perut
kekar Jajang, disusul dua pukulannya dengan tangan kanan-kiri. Dua pukulan itu
menggasak muka Jajang.
Irgi yang melihat Jajang terhuyung-huyung,
langsung mengirim serangan lagi. Bogemnya kembali menggasak perut dan muka
Jajang. Pimpinan geng Macan itu akhirnya roboh dengan bibir berdarah. Irgi
sendiri juga berdarah sedikit di bagian hidungnya. Sambil siaga menanti Jajang
yang mau berdiri lagi, ia usap setetes darah di hidungnya. Jajang bangkit
sambil mengusap setetes darah di bibirnya. Ia berkata, “Hebat juga lo
(mengangguk-angguk). Boleh juga.”
Diam sejenak, setelah itu
melotot sambil berseru, “Tapi itu belum cukup untuk ngalahin Jajang!”
Jajang mengirim serangan
beruntun pada Irgi. Ia menyerang dengan agak brutal karena emosinya yang
menggelora. Serangan beruntun sepenuh tenaga itu membuahkan hasil. Irgi kembali
melangkah mundur dengan terhuyung-huyung. Beberapa gebrakan kemudian Irgi roboh
untuk yang kedua kalinya. Jajang mengejek, “Ini buktinya! Huh!” diam sejenak,
“Kalau gue udah marah, nggak ada siapapun yang bisa ngalahin gue. Kalau gue mau, sejak dulu gue bisa habisin lo! Tapi gue nggak ngelakuin itu karena gue masih ngasih lo kesempatan, kesempatan untuk
membela dri, kesempatan untuk minta ampun, kesempatan untuk mengakui kehebatan
Geng Macan.”
Irgi yang sedang berusaha
bangun, menimpali, “Gue nggak bakal nyerah
sama keparat kayak lo! Apalagi
minta ampun. Nggak bakal!”
Jajang memelototi Irgi yang
sudah berdiri tegak, lalu berkata, “Berarti lo bener-bener udah siap mampus! Baiklah kalau begitu. Gue beri apa
mau lo!”
Mereka saling menyerang
lagi. Irgi yang tampaknya sudah cukup lelah, semakin terdesak. Beberapa
gebrakan kemudian Irgi kembali roboh, dan sangat sulit untuk berdiri lagi. Jajang
yang masih terlihat lebih segar, berkata, “Lo udah kalah.” Diam sejenak,
“Main-main udah selesai. Sekarang nggak ada lagi pengecut atau satria.” Diam
sebentar, “Gue cuma mau ngasih
kesempatan buat temen-temen gue.
Kesempatan buat melumat lo!”
Setelah berkata begitu,
Jajang mempersilahkan semua atau sebagian besar bawahannya untuk menghabisi
Irgi. Tujuh hingga delapan lelaki itu langsung mengepung Irgi yang masih duduk
di lantai dengan hidung dan bibir berdarah. Irgi yang memang sudah tidak
berkutik, berkata dalam hati, “Selamat tinggal Intan. Mudah-mudahan Allah
berkenan menyatukan kita di alam abadi.”
Namun mendadak terdengarlah
suara yang berseru, “Irgiii!!!”
Ternyata itu Bayu dan
kelima kawannya. Geng Macan tersentak melihat enam pemuda yang berdiri di pintu
markas mereka. Bayu berseru, “Lo nggak papa
Gik!?”
“Enggak!” sahut Irgi lega
bukan main. Bayu langsung menyerang Jajang cs yang masih bengong karena
terkejut. Jajang cs cukup kelabakan mendapat serangan mendadak dari Bayu dkk,
walaupun jumlah mereka masih lebih banyak. Bayu yang tampaknya mulai insyaf itu
membantu kakaknya berdiri, lalu bertanya, “Lo nggak papa?”
“Alhamdulillah..” sahut Irgi tersenyum. Ia menyentuh bahu sang adik,
lalu berkata, “Sekarang biar gue beresin
dulu botak jelek itu.”
Geng Macan benar-benar
kewalahan menghadapi serangan Bayu cs yang beruntun dan sepenuh tenaga. Apalagi
sesaat kemudian kawan–kawan Bayu yang lain berdatangan. Jumlah mereka yang
sesaat tadi hanya enam orang, sekarang menjadi lebih banyak dari geng Macan.
Jajang yang berdiri memojok di tembok, terkejut bukan main melihat kekompakan
kelompoknya Bayu. Ia yang selama ini angkuh, kini merasa takut untuk yang
pertama kali dalam hidupnya.
Karena tidak ingin mati
konyol, akhirnya Jajang memutuskan untuk mengambil langkah seribu. Ia berlari
melalui pintu belakang markasnya. Irgi yang sejak tadi memperhatikannya,
berseru, “Gundul jelek! Mau ke mana lo!? Urusan kita belum selesai!”
Jajang menoleh ke Irgi,
setelah itu kembali berlari. Irgi mengikutinya melalui pintu belakang markas.
Irgi mengejarnya sambil berseru, “Jajang! Balik lo! Buktikan kalau lo bukan
pengecut!”
Tampaknya Jajang sudah
tidak mempedulikan omongan Irgi. Ia terus berlari menuju rumah-rumah kosong di
dekat semak belukar lebat. Irgi yang terus mengejarnya, akhirnya berhasil
memojokkannya di sebuah tembok rumah kosong. Jajang pun mau tidak mau harus
menghadapi Irgi lagi. Irgi berkata,
“Sekarang hanya ada kita
berdua. Ayo kita lanjutkan duel kita yang tertunda.” Diam sejenak, “Buktikan
kalau lo bukan pengecut, kayak ucapan
lo tadi. Buktikan kalau lo memang seorang pemimpin geng besar.”
Jajang meringis menahan
marah, setelah itu berkata, “Oke kalau begitu.” Diam sejenak, “Inilah
kesempatan untuk membuktikan siapa yang terkuat di antara kita.” Diam sejenak,
“Tempat ini akan jadi kuburan lo. HIAAA!!”
Jajang dan Irgi saling
mencengkeram, saling memiting, dan
saling bergulat di tanah. Irgi yang sempat unggul, berseru, “Lo udah hancurin hidup gue! Lo udah bikin hidup
gue nggak tentrem! Hari ini gue akan hilangin kesombongan di hati lo!”
Sesaat kemudian Jajang
ganti unggul. Sambil memukul, mencakar dan menjambak rambut Irgi, Jajang
berseru, “Siapapun yang udah berani nantang gue, hidupnya akan gue buat susah!
termasuk lo, bedebah (menggebuk punggung Irgi dengan pukulan keras)!”
Irgi roboh di tanah. Jajang
hendak merangseknya, namun Irgi langsung menghindar dengan bergulung-gulung,
kemudian berdiri lagi. Dengan tekad bulat untuk segera membereskan Jajang, Irgi
kembali menyerang dengan sisa tenaganya. Beberapa gebrakan kemudian ia berhasil
merobohkan Jajang. Ia berseru, “Lo mau bertobat nggak!? Haa!? Lo mau sadar
nggak!? Lo mau jadi orang baik nggak (menendang pinggang Jajang yang merangkak
di tanah)!?”
Si gundul pendek yang kekar
itu akhirnya tidak berkutik. Irgi yang berdiri di hadapannya, berkata, “Kalau
lo mau bertobat, lalu bertekad bulat untuk jadi orang baik, gue lepasin lo. Tapi kalau lo tetep bangga sama kejahatan
lo...yah...terpaksa pagi ini gue habisin
lo.” Diam sejenak, “Pilih mana!?”
Jajang menggeram, lalu
bangkit dengan sisa tenaganya. Ia berseru, “Gue pantang menyerah! Gue nggak
pernah menyerah! Apalagi menyerah sama cecunguk kayak lo!”
Jajang mencabut pisau
lipatnya. Irgi tersentak. Ia langsung teringat kalau ia juga membawa pisau
lipat di saku celana kanannya. Ia cabut pisau lipatnya, siap meladeni permainan
Jajang selanjutnya. Jajang mengangguk-angguk, “Ooo...ternyata lo bener-bener udah siap duel sampai mati.
Ternyata lo bener-bener udah siap
mampus.” Diam sejenak, “Oke kalau begitu. Ucapkanlah selamat tinggal buat temen-temen lo...karena sebentar
lagi...gue akan kirim lo ke NERAKA!!”
Jajang menyerang Irgi dengan
tiga tebasan pisau lipatnya, namun semuanya bisa ditangkis Irgi. Duel pisau
lipat pun berlangsung sengit. Setelah beberapa detik tampak seimbang, Irgi
mulai kewalahan. Tampaknya Jajang memang lebih jago memainkan pisau. Dua
tebasannya mengenai lengan kanan-kiri Irgi yang di bawah siku. Irgi meringis
menahan sakit, namun ia tidak boleh berhenti bergerak. Kalau berhenti sebentar
saja, itu akan menjadi makanan empuk bagi Jajang yang ganas.
Serangan Jajang yang seperti ombak mengamuk
itu semakin membuat Irgi terdesak. Satu tebasan pisaunya kembali mengenai Irgi.
Kali ini yang terkena dadanya yang bagian tengah. Irgi masih beruntung karena
tebasan maut itu hanya nyerempet. Irgi
yang menyadari sedang nglakoni duel
hidup mati, memutuskan untuk nekat menyerang. Ia tidak boleh mundur terus. Ia
harus ganti menyerang agar bisa menemukan celah untuk melukai Jajang yang
brutal.
Berkat tekad duel yang
menggelora, akhirnya Irgi berhasil membuat Jajang melangkah mundur. Ia berhasil
menembus pertahanan Jajang. Tamparan tangan kirinya menghujam pipi kanan Jajang,
disusul tendangan kaki kanannya yang menggasak perut si gundul. Beberapa detik
kemudian pisau lipatnya berhasil melukai lengan kiri Jajang yang di atas siku.
Jajang melangkah mundur sambil meringis. Jajang yang sesaat tadi sudah di atas
angin, kini gantian terdesak. Ia tidak mengira kalau pemuda ganteng dan lembut
seperti Irgi ternyata bisa duel sehebat itu.
Ia semakin terdesak oleh
kelengahan dan kesombongannya sendiri. Sesaat kemudian perutnya terkena tebasan
pisau Irgi. Ia melangkah mundur dengan terhuyung-huyung. Irgi yang nafasnya
juga hampir putus, langsung merangsek dengan sisa tenaganya. Ia benar-benar
ingin mengakhiri permusuhannya dengan si botak kejam itu. Ia tebaskan pisaunya
sekuat tenaga, dan akhirnya ia berhasil membuat pisau lipat Jajang terpental
dari tangan pemiliknya.
Jajang yang nekat itu ganti
memberi perlawanan dengan tangan kosong. Kali ini gantian pisau lipat Irgi yang
terpental dari tangannya, sehingga mereka kembali duel dengan tangan kosong.
Beberapa gebrakan kemudian Irgi berhasil merobohkan Jajang. Jajang hendak
bangun lagi, namun kali ini tenaganya benar-benar sudah habis. Jajang pun
akhirnya takluk di tangan Irgi. Jajang yang duduk di tanah, ditodong Irgi
dengan pisau lipatnya yang ia tempelkan di leher Jajang. Jajang berseru,
“Tunggu apalagi!? Cepat
selesaikan! Cepat habisi gue! Ayo!”
Irgi menggelengkan kepala,
“Gue bukan pembunuh atau perampok kayak
lo.” Diam sejenak, “Gue sudah bertekad jadi orang baik. Orang baik itu bukan
pembunuh.” Diam sejenak karena berdiri, “Lo juga bisa jadi orang baik...asal lo
bener-bener mau bertobat.” Diam
sejenak, “Mulai sekarang...kuatkan hati lo...kuatkan tekad lo...tekad untuk
jadi orang baik, orang yang taat pada agama.”
Diam sebentar. Jajang masih
menatap Irgi dengan wajah penuh kebencian. Irgi sendiri terlihat jauh lebih
tenang. Ia benar-benar mengharapkan Jajang mau bertobat. Sesaat kemudian
datanglah kawan-kawan Irgi bersama Bayu dan Wiwit. Begitu melihat Jajang yang
sudah tidak berdaya, mereka langsung mengeroyok dan menghajar si botak kekar
itu. Salah satu dari mereka berseru, “Manusia sesombong lo, akhirnya bisa hancur
juga ya!?”
Inilah akibat kekejamanmu
selama ini!” seru yang lain. Ada juga kawan Bayu yang berseru, “Yang kayak gini
pimpinan geng Macan!? Bah! Omong kosong aja lo ya (menginjak perut Jajang)!?”
Sudah! Sudah cukup!” seru
Irgi sambil melerai kawan-kawannya. “Jangan menyerang orang yang sudah nggak
berdaya!”
Namun terlambat. Jajang
sudah telanjur jadi bubur karena diinjak-injak oleh Bayu cs. Wiwit yang berdiri
di samping Irgi, hanya bisa bengong. Setelah Jajang jadi dendeng, barulah
mereka berhenti menghajar pimpinan geng Macan itu. Mereka meninggalkan Jajang
yang muka dan badannya hancur. Irgi berkata, “Dia sudah menerima akibat dari
kelakuan jeleknya selama ini.” diam sejenak, “Ya sudah sobatku semua, nanti
biar diurus polisi lebih lanjut. Sekarang mari kita pulang.”
Betapa gembiranya Irgi dan
bekas geng motornya. Ancaman paling menakutkan bagi mereka selama ini sekarang
sudah musnah. Mereka meninggalkan tempat itu dengan hati lega dan tersenyum
gembira. Namun mendadak, salah seorang dari kawan Irgi terkejut. Ia menunjuk ke
belakang. Ternyata Jajang lenyap. Tentu saja Irgi, Wiwit, Bayu dan semuanya
seperti disambar petir. Sesaat tadi Jajang sudah sekarat. Jangankan berdiri
untuk berjalan atau berlari, mau duduk saja kelihatannya sudah sulit sekali.
“Apa-apaan nih!?” ujar
Bayu. “Memang dia sakti ya? memang nyawanya lebih dari satu?”
Kecemasan langsung
mencengkeram hati Wiwit cs. Mereka menatap sekeliling mereka, mencoba mencari
Jajang yang hilang. Irgi yang terlihat paling cemas, berkata lirih, “Ternyata
kita belum berhasil membereskan dia. Ternyata dia masih jadi ancaman bagi kita.
Bahkan kali ini bisa serius.”
“Kok bisa?” tanya Otong,
pemuda ganteng berambut gondrong yang kemarin terluka karena dihajar anak buah
Jajang. “Dia kan udah terluka parah, jadi kemungkinan untuk balas dendam udah
minim.”
Irgi menyahut,
“Mudah-mudahan dia memang terluka parah terus. Syukur kalau sudah sembuh dia
bisa jadi orang baik. Tapi kalau dia bisa sembuh total, dia pasti akan
menghimpun tenaga yang lebih besar untuk menghabisi kita.”
Bayu menyahut, “Udahlah
Gik...lo jangan terlalu baik. Lo jangan terlalu berharap dia bisa jadi orang
baik. Orang berhati iblis kayak dia...kayaknya nyaris nggak mungkin jadi orang
baik.”
“Iya Ndra,” sahut Otong
sambil menyentuh bahu Irgi. “Menurut gue, niat baik lo terlalu tinggi untuk
keparat kayak dia.”
Wiwit menyambung,
“Tapi...kemungkinan kedua yang disebut Indra tadi betul.” Diam sejenak, “Kita
harus waspada misalkan dia bisa sembuh total. Kalau dia bisa sembuh total, dia
akan semakin dendam sama kita.” Diam sejenak, “Dia akan semakin gila, dan
kegilaannya itu bisa bikin dia lebih kejam dari sekarang. Apalagi kalau besok
dia berhasil menghimpun kekuatan yang lebih besar, dia bisa lebih mudah untuk melumat
kita.”
Benarkah dugaan dan
kecemasan yang dirasakan Irgi cs itu akan terwujud? Lantas ke manakah Jajang
menghilang? Benarkah dia yang tadi sudah setengah mati itu masih memiliki
tenaga untuk berlari, kemudian bersembunyi atau menghilang? Ternyata dia masih
berada di dekat situ. Ia bersama sesosok tubuh tinggi besar yang memakai penutup
kepala dan baju serba hitam. Ia dan sosok aneh itu bersembunyi di semak belukar
yang berada di halaman rumah kosong. Setelah Irgi dkk pergi, ia dan sosok aneh
itu muncul dari persembunyian mereka.
Sosok misterius itu memapah
tubuhnya yang terluka parah. Di antara sadar dan tidak, Jajang bertanya “Siapa
anda (suara lemah)? Apa anda...mau menyakiti aku?”
“Tenang Bung, aku di
pihakmu.”
“Di pihakku?”
“Iya. Sudah, tenangkan dulu
dirimu. Sekarang kamu mau kubawa menghadap bossku. Aku berbuat begini hanya
karena disuruh bossku.”
“Siapa...boss anda itu?”
“Nanti kamu akan tahu
sendiri. Sekarang ikut aku dulu.”
Sosok kekar bertopeng itu
membawa Jajang dengan motor Honda Mega-Pro. Jajang yang kondisi fisiknya sudah
setengah mati, hanya bisa pasrah. Ia sandarkan tubuh dan kepalanya di punggung
lebar si misterius. Beberapa saat kemudian Jajang terbangun dari pingsannya. Ia
mendapati tubuhnya berada di atas sofa empuk. Sofa itu berada di sebuah ruangan
yang agak sempit namun mewah. Ruangan itu mirip ruang keluarga sebuah rumah.
Jajang melihat si pria misterius yang membawanya tadi duduk sekitar dua meter
di hadapannya.
Ia juga melihat sesosok
tubuh pria yang duduk membelakanginya di dekat sebuah meja. Dengan posisi
membelakangi Jajang, pria berjas cokelat tua itu berkata, “Selamat datang di
markasku, Bung Unang Sudibyo atau Bung Jajang.”
Jajang tersentak, “Siapa
anda? Kok sudah tahu nama lengkapku. Tempat apa ini? di mana aku sekarang?”
“Sudah kubilang di
markasku. Heh he he. Gimana luka-lukamu? Sudah agak sembuh kan?”
“Ya, aku merasa badanku
sudah jauh lebih enak.”
“Dia (menunjuk si misterius
bertopeng) yang ngobatin lukamu,
dibantu beberapa anak buahku yang lain.” Diam sejenak. Dengan posisi tetap
membelakangi Jajang, ia bicara lagi, “Kemarin pagi kamu pingsan sampai sore.
Saat itulah mereka menyembuhkan lukamu yang sudah kelewat parah.” diam sejenak,
“Tadi malam kamu mengigau. Kamu berteriak-teriak, ‘Indra! Awas lo! Suatu saat
gue pasti bisa habisin lo!’ ”
Diam sebentar. Pria aneh
ini meminta pria yang menolong Jajang untuk membuka topengnya. Si pria tinggi
besar bertopeng membuka topengnya. Ia seorang pria dewasa. Usianya sebaya
Jajang, sekitar 31-32 tahun. Ia mendekati Jajang yang masih duduk di ranjang, lalu
menyodorkan tangan kanannya sambil berkata, “Aku Ucok.”
Jajang menjabat tangan
Ucok, setelah itu Ucok kembali ke tempat berdirinya tadi. Jajang yang mulai
merasa tenang, berkata pada bossnya Ucok, “Kuucapkan terima kasih banyak atas
pertolongan anda.” Diam sejenak, “Tapi kenapa anda nolong aku?”
“Karena aku ingin kita bekerja sama. Aku
hanya ingin mempraktekkan ilmuku, mempraktekkan hasil eksperimen-ku selama tujuh tahun.”
Jajang tersentak, “Ingin
mempraktekkan ilmu anda?”
“Betul. Hah ha haa!”
Jajang agak merinding
mendengar tawa binal itu, tawa binal dengan suara berat dan serak. Setelah
tertawa binal, si pria aneh membalikkan tubuhnya dengan perlahan. Jajang
melotot melihat wajah pria di hadapannya itu. Wajah yang begitu buruk dan
mengerikan. Wajah akibat terluka parah. Ia melihat seorang pria berkepala botak
seperti dirinya. Usianya sekitar 46-47 tahun. Posturnya tinggi besar, namun
tidak setinggi dan sebesar Ucok. Ia
mendekati Jajang yang masih duduk di ranjang, lalu berkata, “Namaku Hendratmo.
Panggilanku Hen. Boss Hen.”
Jajang yang mulai
merinding, hanya mengangguk-angguk sambil berkata, “Boss Hen..”
Ucok berkata, “Beliau ini
dokter sekaligus kimiawan hebat. Beliau lulusan Universitas Sains Jerman.”
“Dokter dan kimiawan?”
gumam Jajang yang semakin takut sekaligus takjub. Hendratmo tersenyum, “Bang Jajang,
kamu pasti heran, kenapa aku bisa tahu nama lengkapmu, juga musibah yang baru
saja kamu alami.” Diam sejenak, “Kamu pasti juga bertanya-tanya. Kenapa wajahku
bisa sejelek atau seseram ini. iya kan? heh he he.” Diam sejenak, “Tapi kamu
nggak usah kuatir. Inti pembicaraan kita sekarang, atau inti maksudku ingin
ngajak kamu kerja sama...aku bisa bantu kamu balas dendam.”
Jajang tersentak, “Bantu
aku balas dendam?”
Hendratmo mengangguk. “Aku
bisa bantu kamu melibas Indra, musuh bebuyutanmu itu.”
Jajang melotot, “Anda juga
sudah tahu Indra?”
“Ya jelaslah, aku ilmuwan
hebat kok. Hah ha ha haa!”
Ucok menyambung, “Kamu
harus tahu Bang. Selama ini aku sama Boss Hen selalu ngawasin dan ngikutin
aktivitasmu.”
Jajang semakin terlongong-longong
setelah mendengar penjelasan itu. Hendratmo berkata lagi, “Bang Jajang..kamu
harus tahu satu hal ini.” diam sejenak, Yang bikin wajahku rusak begini...Mahmud.
Mahmud Haryadi.” Diam sejenak, “Kamu kenal Mahmud Haryadi?”
“Kayaknya aku pernah dengar nama itu. Siapa ya?”
Hendratmo tersenyum, “Ya
siapa lagi kalau bukan bapaknya Indra.”
Jajang mengernyitkan
dahinya, lalu mengangguk, “Yang sudah meninggal itu kan?” diam sebentar, “Pantesan, nama itu kok nggak asing di
telingaku.” Diam sebentar, “Ya, aku ingat sekarang. Waktu dia meninggal dulu, temen-temenku yang ngasih tahu namanya.”
Diam sejenak, “Terus gimana Mahmud bisa melukai Boss Hen sampai separah ini?
gimana ceritanya?”
Hendratmo bercerita. Ketika
masih muda dulu ia juga boss sebuah geng seperti Jajang. Bedanya, kalau gengnya
Jajang geng motor, sedangkan gengnya Hendratmo hanya kumpulan pemuda yang tidak
beres, yang hobinya ngeluyur, begadang
dan merampok. Hendratmo sendiri temannya Mahmud, mendiang ayahnya Irgi, waktu
mereka kuliah di UI. Sejak menjadi mahasiswa semester awal, Mahmud dan
Hendratmo sudah bermusuhan karena perbedaan watak mereka. Mahmud yang sholeh
itu selalu menasehati Hendratmo untuk bertobat, namun Hendratmo tidak pernah
mau mendengar nasehat Mahmud.
Hendratmo yang pemimpin
geng itu sering membawa kebiasaan buruknya ke kampus. Ia sering menyakiti
mahasiswa-mahasiswi yang tidak mau menuruti keinginannya, juga sering merampas
uang mereka. Bahkan tidak jarang ia berlaku kasar terhadap dosen dan karyawan
kampus. Perilakunya mirip Bayu, bahkan lebih kelewatan. Ia sering menghajar
karyawan dan pemilik warung di kampus, namun sampai sejauh itu ia belum terkena
ancaman DO karena ia rajin kuliah dan mengerjakan tugas. Mahmud sendiri
mengakui kalau Hendratmo itu sebenarnya cerdas, bahkan jenius. Namun segala
kelebihannya itu seolah tidak berarti akibat keburukan akhlaknya.
Berkali-kali Mahmud dan
Hendratmo hampir berkelahi, namun selalu gagal karena dipisah teman-temannya,
juga beberapa karyawan kampus yang kebetulan memergoki mereka. Mahmud sendiri
hanya meladeni dan membela dirinya, juga karena menolong teman-temannya dari
ancaman Hendratmo. Untuk saat itu, hanya Mahmud yang paling berani menentang
kebejatan moral Hendratmo. Dan puncak permusuhan mereka ketika Hen,
panggilannya, baru saja diwisuda.
Hanya selang beberapa hari
setelah Hen menjadi insinyur, Hen dan
kawan-kawannya berniat menghabisi Mahmud. Sore itu ia dan tujuh kawannya siap
meluruk kost Mahmud. Begitu Mahmud keluar dari kamarnya, Hen dan tujuh kawannya
langsung merangsek Mahmud. Namun apa yang terjadi? Ternyata Mahmud sudah siaga.
Begitu Hen dkk hendak mengeroyoknya, dari samping dan belakang kostnya
muncullah tiga hansip dan sepuluh pemuda yang rata-rata kekar. Tiga hansip itu
yang biasa mengontrol keamanan di kampung tersebut. Sedangkan sepuluh pemuda
itu sebagian teman kuliahnya Mahmud.
Alangkah terkejutnya Hen melihat
lawannya lebih banyak dari kawan-kawannya. Karena sudah telanjur basah, Hen
terpaksa melawan tiga belas pria itu. Tawuran sengit pun terjadi, dan akhirnya
dimenangkan oleh Mahmud cs. Orang sebaik Mahmud, tidak heran kalau banyak yang
simpati. Mahmud menjelaskan pada Hen yang sudah tidak berdaya karena dihajar
teman-temannya. Ia mendengar bocoran informasi dari salah seorang teman
kampusnya. Katanya Hen mau menyerangnya tiga hari kemudian. Hen dan gengnya
akan menyerangnya di saat ia sedang lengah.
Berkat bocoran berita
itulah Mahmud bisa siaga. Kawan-kawannya pun siap melindunginya sekuat tenaga.
Hasilnya? Luar biasa. Mahmud yang pura-pura lengah dan tidak berdaya itu
akhirnya berhasil meringkus Hendratmo dan gengnya. Hendratmo yang babak belur,
membentak Mahmud, “Terkutuk kamu! Bangsat!”
Diam sejenak karena
mengatur nafas, “Perang ini belum selesai! Grrhh! Sekarang aku boleh kalah.
Tapi lain waktu, kamu akan kuinjak-injak! Dengarkan sumpahku ini!”
“Bertobatlah, Hendratmo...”
sahut Mahmud tenang. “Bertakwalah pada Allah. Allah Maha Pengampun.”
“Tutup mulutmu! Nggak usah
ceramahi aku! Sampai kapan pun kamu tetap musuhku!” diam sejenak, “Kamu dan
keturunanmu akan kuteror selamanya!”
Sesaat kemudian datanglah
lima kawan Hen. Tentu saja Hen bersorak karena mendapat tambahan tenaga. Namun
kegembiraannya itu hanya berlangsung sebentar karena sesaat kemudian datanglah
rombongan polisi. Jumlah mereka sekitar lima orang. Mereka langsung meringkus
Hen dkk. Hen sendiri akhirnya bisa kabur dengan dipapah kedua temannya.
Besoknya Hen diobati oleh
kawannya yang seorang dokter. Atas saran kawannya itulah Hen melanjutkan studi
S 2-nya di Hamburg, Jerman. Di sana ia bertemu dengan seorang dokter hebat
namun jahat. Dokter jahat itu menjadi dosennya. Dari dokter itulah ia
mempelajari segala macam percobaan untuk manusia dan hewan, percobaan yang
hanya untuk memperturutkan hawa nafsunya. Selain kuliah menjadi dokter, Hen juga
nyambi kuliah di jurusan Kimia
Organik. Kejeniusan dan ketekunannya itu membuahkan hasil yang menakjubkan.
Sayangnya, semua itu hanya ia gunakan untuk kejahatan. Demikianlah kisahnya.
Bibir Jajang cengar-cengir
setelah mendengar cerita di atas. Ia berkata, “Jadi bapaknya Indra yang sudah
bikin wajah anda kayak gini?”
Hen mengangguk sambil
tersenyum, “Sebenarnya..kalau ada kesempatan..aku ingin melumat Mahmud. Aku
ingin membalas perlakuannya 23 tahun yang lalu. Tapi sayang, dia keburu mati.”
Jajang menggeram, lalu
berseru, “Bajingan kamu Indra! Bajingaaan!!” diam sejenak, “Aku semakin ingin
menghancurkan dia! Aku ingin menghancurkan dia dengan tanganku sendiri!”
Hen tersenyum, “Kalau
dengan kondisimu sekarang, itu mustahil.” Diam sejenak, “Makanya, sekarang aku
mau bantu kamu menghancurkan brengsek itu. Kalau kamu mau, aku akan mewujudkan
semua keinginanmu. Hah ha ha!”
Jajang yang sudah sangat
serius, bertanya, “Apa yang akan Boss Hen lakukan sama aku? Apa yang harus
kulakukan?”
Hen tersenyum, lalu
menyentuh bahu kiri Jajang, “Tenang sobat, jangan terburu-buru. Yang penting
kamu mau melakukan apapun yang kuminta.”
“Aku mau! Yang penting aku
bisa balas dendam!”
“Baiklah kalau begitu. Hah
ha ha!” diam sejenak, “Aku mau ngasih
kamu kekuatan. Syaratnya, kamu harus mau jadi kelinci percobaanku.”
“Kelinci percobaan!?”
Hen mengangguk. Jajang
mengernyitkan dahinya, setelah itu menyahut, “Baik. Nggak masalah. Demi keinginanku.”
“Bagus sekali. Ternyata aku
nggak salah pilih orang. Hah ha haa!” diam sejenak, “Oke Bang Jajang, sekarang ikut aku. Kita ke kamar
rahasiaku.”
“Kamar rahasiamu?”
“Ya..di labku.”
Jajang berjalan mengikuti
Hendratmo, namun baru beberapa langkah ia berhenti sambil berkata, “Tunggu dulu!
Ada yang mau kutanyakan. Bisa?”
“Silahkan.”
Jajang menatap Ucok, lalu
berkata, “Tadi katanya dia sama anda mengawasi aktivitasku selama ini. Anda
juga sudah tahu statusku sebagai boss Geng Macan. Gimana caranya? Kenapa aku
sama sekali nggak merasa diawasi kalian?”
Hen langsung menceritakan
semuanya. Ucok itu ternyata juga anggota geng motor bernama geng Kacau, sebuah
geng kelas teri di DKI Jakarta, geng motor yang tidak terkenal.
Anggota-anggotanya juga tidak begitu mahir ngetrack.
Begitu pula dengan Dono, pimpinannya yang sering dikalahkan oleh Jajang dan
Irgi. Ucok sendiri tidak begitu mahir balapan, namun ia jago berkelahi karena
menguasai beberapa ilmu bela diri. Ucok berkata,
“Geng motor mana yang belum
pernah dengar nama Unang atau Jajang?”
Jajang mengangguk-angguk,
setelah itu kembali berjalan mengikuti Hen. Beberapa langkah kemudian tibalah
mereka di sebuah ruangan yang tidak begitu besar. Jajang terkejut begitu diajak
masuk ke ruangan itu. Di dalam ruangan itu ada sebuah alat aneh. Jajang
bertanya, “Alat apa ini?”
“Ya ini hasil karyaku
selama tujuh tahun. Alat inilah yang akan bantu kamu melumat Indra brengsek
itu. Alat inilah yang akan ngasih
kamu kekuatan dahsyat.”
“Kok bisa? Gimana caranya?”
Hen tersenyum, “Tunggulah
sebentar lagi. Yang penting kamu nggak usah takut. Percayalah. Aku benar-benar
ingin bantu kamu.”
Jajang bergumam, “Aku belum
pernah lihat alat aneh ini. Bentuknya lucu.” Diam sebentar, “Tapi aku juga
yakin kalau alat ini bener-bener canggih.”
Hen menjelaskan. Alat aneh
itu berfungsi untuk menguatkan otot saraf dan tulang makhluk hidup, baik hewan
maupun manusia. Di dalamnya mengandung cairan imun atau cairan kekebalan, campuran unsur helium, lithium, titanium
dan logam adamantium, logam buatan
yang dicairkan. Cairan kekebalan itu juga mengandung zat campuran yang bisa
merubah sel. Dengan demikian, tubuh siapapun yang terkena cairan itu,
kekuatannya akan menjadi beberapa kali lipat.
Jajang terperangah
mendengar semua penjelasan Hendratmo. Hatinya menjadi ragu untuk dijadikan
kelinci percobaan. Namun begitu mengingat dendamnya pada Indra, ia langsung
mengangguk mantap. Hendratmo tertawa binal sekeras-kerasnya. Ia menyentuh bahu
Jajang, “Bagus sekali sobatku. Kita memang sudah berjodoh. Huah ha ha haa!!”
---XXXXX---
Sekarang kembali ke lakon
kita, dimana saat ini ia sedang melamun di kamarnya. Ia duduk di ranjang sambil
menatap foto Intan. Ia tersenyum, lalu bergumam, “Alhamdulillah..kemarin aku belum jadi mati. Dengan demikian, aku
masih bisa ketemu kamu. Aku masih bisa lihat kamu.” Diam sejenak, “Apapun
keputusanmu tentang hubungan kita, Insya
Allah aku sudah siap. Yang penting aku masih bisa ketemu kamu, atau sekedar
lihat kamu.”
Beberapa hari kemudian Irgi
kembali mendatangi kediaman Intan. Kedatangannya disambut dingin oleh Cicik. Si
centhil itu hanya bilang kalau Intan tidak bisa menemui karena sedang sibuk dan
tidak enak badan. Sikap Cicik sendiri berbeda jauh dari biasanya. Cicik yang
biasanya ceriwis dan murah senyum, sore itu ia hanya bicara sepatah dua patah
kata. Ia hanya mengangguk dan menggelengkan kepala. Tentu saja Irgi merasa
tidak nyaman. Ia pun pulang dengan tubuh lesu, seperti orang yang kekurangan
darah. Ia bergumam, “Padahal aku cuma mau ketemu dia sebentar. Maksimal lima
menit.”
Diam sejenak, “Sungguh
nggak enak sikap Cicik tadi. Beda jauh sama Cicik yang kemarin-kemarin.” Diam
sejenak, “Cah Ayu, benarkah kamu ingin mengakhiri hubungan kita selama enam
bulan ini?”
Besoknya Irgi datang lagi
ke rumah Cicik. Ketika Irgi masih berada di beberapa meter dari rumah Cicik, ia
melihat Intan dan Lili sedang berada di luar rumah. Tentu saja ia gembira
sekali. Ia berkata,
“Alhamdulillah. Akhirnya bisa ketemu kamu lagi.”
Ketika Irgi hampir sampai
di tujuan, Intan dan Lili masuk ke dalam rumah. Irgi pun melangkah ke teras
atas, kemudian membunyikan bel seperti biasanya. Beberapa menit kemudian pintu
terbuka. Kali ini Irgi melihat wajah baru. Di hadapannya berdiri seorang gadis
remaja yang manis. Rupanya ia pembantu baru di rumah itu. Namanya Fitri. Irgi
langsung mengutarakan keinginannya untuk bertemu Intan sebentar. Fitri berkata,
“Mbak Monik pergi sama Mbak Lili.”
Irgi tersentak mendengar
penjelasan itu. Hatinya berseru, “Baru saja kulihat dia di luar!” diam sejenak,
“Terus perginya kapan!? Lewat mana?” diam sejenak, “Apa rumah ini punya pintu
keluar yang lain!? Pintu keluar dari belakang misalnya? Atau dia punya ilmu
menghilang!?”
Irgi yang loyo ini langsung
mohon pamit pada Fitri. Yang sangat menyakitkan, Fitri tidak bertanya, ‘mungkin
ada pesan atau titipan buat Monik, dll.’ Sikapnya persis dengan sikap Cicik
kemarin. Ia hanya bilang, “Monik lagi pergi, Monik sedang sibuk, Monik sedang
tidak enak badan, dsb.”
Kini Irgi sedang duduk di
sebuah tempat yang cukup sepi. Ia melepas topinya, lalu mengambil foto Intan di
dompetnya. Ia menatap foto sang gadis yang sedang tersenyum manis, lalu berkata
dalam hati, “Jadi kamu benar-benar mau mengakhiri hubungan kita?” diam sejenak,
“Jadi kamu sudah nggak cinta aku lagi?”
Irgi menatap alam di
sekitarnya, lalu bergumam lagi, “Barusan
aku menemukan kehangatan cinta. Kehangatan cinta yang bisa menjadi pelipur
lara. Kehangatan cinta yang bisa mengobati luka hatiku.” Diam sejenak, “Sekarang,
kehangatan cinta itu sudah sirna. Sekarang sudah menjadi dingin, bahkan beku.”
Ia kembali menatap foto
Intan, lalu bergumam, “Maaf kalau aku sudah mengecewakan kamu. Maaf kalau aku
sudah menyakiti hatimu.” Diam sejenak, “Aku mau melakukan apa saja untuk
menebus kesalahanku. Aku mau melakukan apa saja. Yang penting kamu mau memaafkan
aku.”
Beberapa hari kemudian,
tepatnya di malam hari, Irgi masih terus melamunkan Intan, gadis tambatan hati
yang sekarang sudah menyalakan lampu kuning, lampu kuning untuk pertanda
hubungan mereka akan berakhir. Irgi bergumam, “Aku harus nekat. Aku harus
ketemu dia, sebentar saja. Setelah itu hati ini benar-benar akan plong.” Diam sejenak, “Oke..besok ke
rumahnya lagi. Kalau sekali ini gagal lagi, ya udah. Berarti Allah memang tidak
menghendaki.”
Sekarang beralih sejenak ke
Intan, dimana saat ini ia sedang bingung menentukan keputusannya. Sebagaimana
Irgi, sekarang Intan juga sedang melamunkan mantan pembalap jalanan itu.
Ditatapnya foto Irgi yang sedang tersenyum dan memakai topi merah. Setelah
merasa cukup melamun, ia keluar dari kamarnya, lalu menemui Fitri yang sedang
bersih-bersih. Dengan wajah cemas ia bertanya, “Jadi mukanya ada memarnya? Ada
bekas luka?”
“Iya Mbak, di pipi sama
bibir.” Diam sejenak, “Kemungkinannya ada dua. Habis kecelakaan atau habis
berkelahi.”
“Ya Allah..” sahut Intan
lirih. “Ya udah, makasih infonya.”
“Sama-sama Mbak.”
Intan meninggalkan fitri
yang lagi bersih-bersih. Ia duduk di sofa ruang tengah, lalu bergumam,
“Jangan-jangan, dia habis berkelahi sama geng Macan.” Diam sejenak, “Ya
Allah...kasihan bener dia.” Diam
sejenak, “Tapi dia selamat. Berarti dia dan teman-temannya berhasil membereskan
geng Macan.” Diam sejenak, “Yah, mudahan-mudahan begitu.”
Intan melihat daftar nama
di Hand Phone-nya. Dilihatnya nama
dan nomornya Irgi. Ia hendak menelpon atau sms pria yang sudah mencuri hatinya
itu, namun tidak jadi. Ia menepuk dahinya dan menggelengkan kepala, lalu
bergumam, “Untuk sementara ini aku nggak boleh hubungi dia lagi. Nggak boleh!”
---XXXXX---
Beberapa hari kemudian,
sekitar jam 16.15 atau jam empat sore lebih seperempat, Irgi memberanikan diri
untuk mendatangi rumah Intan lagi. Ini yang ketiga kalinya sejak Irgi bertemu
Intan di teras atas kemarin, beberapa hari sebelum Irgi cs menaklukkan geng
Macan. Ketika sampai di pagar rumah Cicik, Irgi bergumam, “Mudah-mudahan kali
ini aku bisa ketemu dia. Yah, ketemu dia sekali aja, sebentar aja. Setelah itu
semuanya akan beres.”
Begitu Irgi masuk ke
halaman rumah Cicik, ia melihat seorang wanita berusia hampir lima puluh.
Wanita itu sedang merawat tanaman di dekat tangga menuju teras atas. Irgi
mendekati wanita itu dengan perlahan, lalu mengucap salam. Wanita itu menoleh
ke Irgi, lalu bertanya, “Siapa ya? ada perlu apa?”
Irgi mengangguk sambil
tersenyum, “Maaf Bu, mengganggu sebentar. Saya mau ketemu Mbak Intan, sebentar
aja. Bisa?”
Wajah wanita bertubuh padat
dan agak tinggi itu langsung berubah menjadi serius. Ia bertanya, “Anda siapa?”
Irgi diam beberapa detik,
setelah itu menyahut, “Saya Irgi. Irgi atau Indra..”
“Ooo (wajah semakin
serius)...jadi ini yang namanya Irgi?”
“Iya Bu, saya..”
Diam sebentar. Wajah wanita
separuh abad itu memerah karena emosinya mulai naik. Ia berkata, “Mas Irgi atau
Mas Indra, atau siapapun anda..saya kasih tahu ya?” diam sebentar, “Kayaknya anda nggak bisa ketemu Monik
lagi. Kayaknya anda nggak bisa berhubungan sama Monik lagi.”
Kata-kata itu langsung
menghapus senyum di bibir Irgi. Irgi yang tadi masih terlihat sedikit ceria,
sekarang menjadi tegang. Ia berkata lembut, “Mohon maaf atas kelancangan saya.
Kalau boleh saya tahu, Ibu ini siapa?”
“Saya Bu Winda..yang punya
rumah ini.” diam sejenak, “Saya ibu kandungnya Cicik.”
“Ooo
(mengangguk-angguk)..ibu kandungnya Mbak Cicik. Pantes, mirip...”
Diam sebentar. Winda
mendekati Irgi dengan wajah serius, setelah itu berkata, “Maaf kalau saya
bersikap kasar sama anda. Tapi ini demi kebaikan kita semua.” Diam sejenak,
“Saya nggak berniat kasar atau galak sama anda. Saya hanya berusaha bersikap
tegas dan jelas.” Diam sebentar, “Kalau anda ke sini mau ketemu Monik, berarti
anda hanya buang tenaga. Keinginan anda itu hanya sia-sia.”
“Tapi Bu, saya cuma mau
ketemu Mbak Monik sebentar. Maksimal lima menit, atau bisa kurang. Saya janji
Bu.”
Winda menggelengkan kepala,
“Maaf Mas Irgi, saya nggak bisa memenuhi keinginan anda. Semua ini demi
kebaikan anda, kebaikan Monik, dan kebaikan kita semua.”
Irgi hanya melongo
mendengar keputusan Winda itu. Winda melanjutkan, “Monik itu udah kayak anakku. Ibunya sobatku, bahkan saudariku.
Jadi aku punya kewajiban untuk menjaga Monik.” Diam sebentar, “Kata Cicik sama
Lilik, anda orang baik dan terpelajar..jadi aku yakin, anda nggak bakal
memaksakan kehendak anda. Anda nggak bakal memaksa diri atau nekat untuk ketemu
Monik. Iya kan?”
Irgi menarik nafasnya yang
terasa berat, lalu berkata, “Jadi Bu Winda nggak mengijinkan saya ketemu Mbak
Monik? Walau cuma sebentar?”
Winda kembali menggelengkan
kepalanya. Setelah pada diam beberapa detik, Winda bicara lagi, “Demi tenangnya
suasana, sekarang sebaiknya anda pulang aja.”
Diam sejenak, “Maaf ya Mas, aku masih ada kerjaan.”
Winda berjalan ke teras
atas, meninggalkan Irgi yang berdiri di halaman. Setelah bengong hampir satu
menit, Irgi meninggalkan rumah Intan dengan langkah gontai. Beberapa detik
setelah Irgi membalikkan tubuhnya, dari balik pintu ruang tamu muncullah kepala
berambut hitam panjang. Yah, siapa lagi dia kalau bukan Intan. Kedua mata
indahnya menatap Irgi yang melangkah pergi. Ketika Irgi hampir sampai di pagar,
ia merasa ada sepasang mata yang mengintipnya. Ia pun menghentikan langkahnya,
kemudian membalikkan tubuhnya dengan perlahan.
Dilihatnya pintu ruang tamu
yang berada di atas, yang jaraknya dengan dirinya terpaut sekitar 10 meter. Ia
melihat Intan yang mengintipnya. Tentu saja Intan langsung menarik kepalanya
yang terlihat sedikit, lalu menyandarkan tubuhnya di pintu. Wajahnya bermuram
durja, menunjukkan kondisi hatinya yang sedang kacau. Hati kecilnya mengatakan,
sebenarnya ia juga ingin bertemu Irgi, namun ia juga sadar kalau hal itu ia
lakukan, nanti dampak buruknya akan lebih besar.
Irgi menatap pintu ruang
tamu dengan wajah memelas. Hati kecilnya mengatakan, tidak usah berharap lagi
bisa ketemu Intan, walau cuma sebentar, walau cuma dua menit, satu menit,
setengah menit, atau bahkan sepuluh detik. Jangankan bertemu si gadis manis,
sekedar melihatnya beberapa detik saja kemungkinan besar sudah tidak bisa.
Mantan kurir pizza dan
donat ini pun sadar. Ia turuti saja nasihat yang keluar dari hati nuraninya. Ia
tinggalkan rumah Cicik dengan kecewa berat, namun ia juga sadar bahwa itulah
kebenaran atau kenyataan. Yang namanya kebenaran itu harus diterima, apapun
wujudnya. Kebenaran harus diterima, walaupun sangat menyakitkan. Kebenaran
harus diakui, walaupun sangat tidak sesuai dengan keinginan kita. Prinsip iniah
yang membuat Irgi cukup tegar dalam menghadapi problem cintanya. Prinsip inilah yang membuat Irgi tetap
bersemangat untuk melanjutkan aktivitas hidupnya.
Setelah sampai di rumah,
Irgi duduk sejenak di ruang tamu. Ia ambil foto Intan di dompetnya, lalu menatap
wajah jelita itu. Ia bergumam, “Hampir bisa dipastikan. 90%, atau bahkan 95%
kamu akan mengakhiri hubungan kita.” Diam sejenak, “Baiklah kalau memang itu
maumu. Asal hatimu bisa lega, asal kamu bisa bahagia seperti kemarin-kemarin,
aku mau menuruti semua keinginanmu. Aku terima semua keputusanmu.”
Malamnya Irgi sms Intan. Isinya: “Dirimu yang ngajak kita jadian, dirimu juga
yang ngajak kita putus. Benar-benar fantastis. Tapi baiklah kalau memang ini
keinginanmu. Kuterima segala keputusanmu, yang penting hatimu bisa lega.”
Intan hendak membalas sms
di atas dengan sepatah dua patah kata, namun bibir dan kelima jarinya terasa
sulit untuk digerakkan. Lagipula, sudah beberapa hari, bahkan beberapa minggu
ia tidak menelepon atau sms Irgi. Ia yang jiwanya begitu tertekan, akhirnya
hanya bisa bergumam, “Kamu benar-benar berhati mulia, sampai bisa membaca
pikiran dan perasaanku.”
Ia mengambil foto Irgi yang
tergeletak di mejanya, foto Irgi yang memakai topi merah. Ia pandangi wajah
pria idaman yang kini semakin jauh dari dirinya, namun masih ada di hatinya.
Tanpa ia sadari, air matanya menetes ke pipinya, namun langsung ia hapus. Ia
yang merasa tidak karuan, marah, kecewa dan sedih, berniat merobek foto itu,
namun tidak jadi ia lakukan. Apa sebabnya? Karena pria di foto itu masih
bersemayam di kamar hatinya yang terdalam.
Dengan kedua mata basah
oleh air mata kepedihan, Intan bergumam, “Aku udah sayang banget sama kamu.
Tapi kenapa kamu malah ngecewain
aku!? Kenapa kamu malah nyakitin aku!?
Kenapa kamu nggak pernah berterus terang sama aku!? Memang selama kita pacaran
kemarin kamu nganggap aku apa? Haa!?” diam sejenak, “Katamu aku teman
istimewamu. Tapi mana buktinya? Mana!?”
Diam sejenak sambil
mengelus pipi Irgi, setelah itu bicara lagi dalam hati, “Kamu cowok terbaik
yang pernah kukenal. Kamu cowok teristimewa yang pernah jadi teman dekatku.”
Diam sejenak, “Tapi sayang...kamu nggak mau mengakui dirimu apa adanya. Kamu
nggak mau jujur dari awal.”
Intan memejamkan matanya,
menghapus air kesedihan yang membasahi lesung di kedua pipinya. Ia menaruh foto Irgi di
meja, setelah itu pandangannya tertuju pada benda lain. Kedua matanya yang
sembab itu menatap gelang pink dan
bross merah. Ia ambil kedua benda pemberian Irgi itu. Tangan kanannya yang
memegang kedua benda itu bergetar menahan emosi dan kekecewaan. Ia hendak
membenturkan kedua benda itu ke meja, namun lagi-lagi ia tidak jadi
melakukannya. Ia masih merasa sayang pada kedua benda itu, apalagi kepada
pemberinya.
Ia letakkan kedua benda itu
di tempat semula, setelah itu ia berusaha mengeringkan air matanya. Ia diam
sejenak sambil menutup kedua matanya. Ia berusaha menenangkan hatinya yang diselimuti
kabut kesedihan. Beberapa menit kemudian, setelah merasa lebih tenang, ia
kembali mengambil foto Irgi, kemudian menatapnya beberapa saat. Bibir hatinya
kembali berkata, “Baiklah Mas Gik...kalau sekarang kamu merasa tersiksa karena
ketidakjelasan sikapku. Besok akan kuperjelas sikapku. Akan kuperjelas
kelanjutan hubungan cinta kita.” Diam sejenak, “Kepastian yang menyakitkan
lebih baik dari ketidakjelasan.”
Siapapun orangnya, sesholeh
apapun, sekuat dan sehebat apapun iman dan ibadahnya, kalau menghadapi
ketidakpastian, pasti akan gelisah.” Diam sejenak, “Karena itu Mas Gik...demi
kedamaian hati kita, besok akan kuberi jawaban yang pasti tentang hubungan
kita.”
0 comments:
Post a Comment