Sunday 28 July 2013

New LIAR: Kuda Mas (Kurir dan Gadis Manis) ; Bagian Sepuluh

PATAH HATI
Sore itu Irgi ditelepon Wiwit. Irgi yang baru pulang kerja, harus terkejut mendengar berita buruk yang dibawa Wiwit. Katanya Bayu berulah lagi. Kemarin malam Bayu mengikuti lomba ngetrack lagi, dan tanpa sengaja ia dan kawannya-kawannya bertemu Geng Macan lagi. Dengan kemampuan membalapnya yang sekarang, Bayu berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, termasuk pembalap jagoannya geng Macan. Bayu agak beruntung karena Jajang, pimpinan geng Macan yang galak dan kejam itu tidak ada.
         
Besok paginya Bayu dkk terlibat tawuran dengan beberapa anggota geng Macan. Perkelahian hebat antar geng itu akhirnya dimenangkan oleh Bayu cs, namun akibatnya cukup fatal. Otong, salah seorang sobat Bayu yang juga dikenal baik oleh Irgi, terluka parah, dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Karena terluka parah, Otong harus dirawat di UGD. Di sisi lain Bayu merasa puas karena beberapa anggota geng Macan ada yang terluka parah. Ia puas karena berhasil membuat mereka setengah ‘mampus.’
          Namun Bayu yang masih muda itu tidak pernah berpikir penjang tentang tindakan brutalnya. Ia tidak pernah berpikir tentang resiko besar yang akan dihadapinya nanti. Betapa marahnya Unang atau Jajang melihat keberanian dan kenekatan Bayu. Apalagi adik kandung musuh bebuyutannya itu juga sudah membuat beberapa anak buah pilihannya terluka parah. Si pendek kekar berkepala plonthos itu marah besar. Dulu ia hanya membenci Irgi, namun sekarang ia juga membenci semua orang yang dekat dengan Irgi. Ia bertekad ingin menghancurkan orang-orang yang dicintai Irgi.
          “Tapi lo tenang aja Ndra..” ujar Wwit lewat Hand Phone-nya. “Gue udah nyiapin temen-temen untuk melindungi lo sama Bayu. Tenang aja ya?”
          “Iya Wit..trims banyak. Lo memang saudara gue.”
          Betapa gelisahnya Irgi mendengar berita buruk di atas. Namun ia bertekad untuk tidak melabrak Bayu karena ia sudah bosan ribut terus dengan adiknya yang mbeling itu. Ia dan Bayu sudah bertengkar selama bertahun-tahun, jadi sekarang ia tidak mau ribut lagi. Semua itu karena sekarang ia sudah bertekad menjadi orang baik, juga karena kasihan pada Rini, ibundanya tercinta, orang tua satu-satunya yang masih ada. Lebih dari itu, sekarang hatinya menjadi lembut karena hubungan kasihnya dengan Si Manis Lesung Pipi.
          Dengan wajah murung ia bergumam, “Barusan dua minggu yang lalu aku merasakan kehangatan cinta. Barusan dua minggu yang lalu aku berbahagia bersama Intan, gadis yang kucintai dengan tulus, gadis yang sekarang bertahta di kamar hatiku. Eh sekarang aku harus pusing lagi karena Geng Macan.” Diam sebentar, “Ya Allah..tidak bisakah aku hidup normal? Tidak bisakah aku jadi orang baik-baik? Orang yang tidak punya musuh, tidak punya masalah berat, tidak begini dan begitu?”
          Diam sebentar, “Untuk masalah Geng Macan, aku benar-benar harus menyembunyikan dari Intan. Intan nggak boleh tahu sedikit pun. Nanti bisa runyam.”
          Irgi mengambil foto Intan di mejanya yang menjadi satu dengan lemari. Foto berbingkai dengan ukuran sekitar 11 x 15 cm itu bergambar Intan yang sedang tersenyum manis. Gadis jelita itu memakai baju merah muda. Irgi mengelus pipi kekasihnya sambil tersenyum, lalu berkata dalam hati, “Kamu nggak boleh sampai berurusan sama Geng Macan. Sama sekali nggak boleh.” Diam sebentar, “Dengan segenap kemampuanku, aku akan berusaha keras untuk melindungimu..seperti janjiku kemarin.”
          Beberapa hari kemudian, tepatnya di sore hari, Irgi dan motor pembawa donatnya melawati sebuah jalan yang agak sepi. Jalan itu sudah cukup dekat dengan rumah Cicik. Irgi yang berjalan dengan kecepatan sedang, tidak menyadari kehadiran rombongan motor di belakangnya. Jumlah mereka sekitar tujuh orang dengan tiga motor bebek. Ada di antara mereka yang cenglu.* Ooh, ternyata mereka Jajang dan beberapa anak buahnya.  
          *Catatan Kaki: Bonceng telu (boncengan bertiga).
          Mereka langsung menghadang Irgi, lalu menyuruhnya berhenti. Irgi yang tidak sempat lari atau bersembunyi, akhirnya pasrah saja. Kini Irgi dikepung tujuh-delapan lelaki yang rata-rata kekar, walaupun tidak begitu tinggi. Salah seorang bawahan Jajang langsung melepas helm cakilnya. Jajang mendekati Irgi yang menunduk karena  menahan rasa takut. Dengan bibir cengar-cengir karena menahan amarah yang menggelora, Jajang berkata,
          “Lama nggak ketemu ya?” diam sebentar, “Makin gagah aja lo..” diam sebentar, “Adik lo juga makin kurang ajar!” Diam sejenak, “Gue pernah ngomong sama lo (menunjuk muka Irgi). Adik lo itu suruh hati-hati! Tapi lo nggak pernah mau dengerin gue!” diam sejenak, “Lo sama adik lo udah bosan hidup ya!? haa (mencengkeram jaket Irgi)!? Apa lo pengen bernasib kayak Otong!? Haa!?”
          Irgi yang menatap bawah, menjawab dengan tenang, “Lo cuma mau ngambil hak dia kan?”
          “APAA!? Ngambil hak adik lo (mengguncangkan tubuh Irgi)!? Bangsat! Huh (kelima jari kanan mencengkeram pipi empuk Irgi)! Mau nge-tes gue lo!? Haa!? Mau nge-tes gue!?”
          Kelima jari kanan Jajang melepas pipi Irgi, lalu kedua tangannya kembali mengguncangkan tubuh Irgi sambil berkata, “Lo belum kapok sama gue!? Belum  kapok gue hajar!? Haa!? Belum kapok gue buat setengah mampus!?”
          Sementara itu, di sebuah kios kecil yang jaraknya dengan tempat kejadian terpaut sekitar 15 meter, datanglah Lili dan Intan. Rupanya mereka ingin membeli sesuatu. Sementara Intan melihat barang yang dipajang, Lili melihat seseorang yang sedang melihat keributan. Lili mendekati lelaki empat puluh tahunan itu, lalu bertanya, “Kok kelihatannya ribut banget. Ada kejadian apa Pak?”
          “Nggak tahu Neng. Mas yang nganter donat itu tiba-tiba dihadang.”
          “Mas yang nganter donat?” tanya Lili agak terkejut. Ia mengamati dengan cermat, dan sedetik kemudian ia tersentak, “Ya Allah! itu Irgi!”
          Lili langsung memanggil Intan yang sedang membeli sesuatu. Intan mendekat, dan Lili berkata, “Lihat Nik. Siapa orang yang mau dipukuli itu.” Diam sebentar, “Itu Irgi!”
          Monik pun tersentak, “Ya ampun! Mas Gik!”
          Intan dan Lili melihat Irgi yang jaketnya dicengkeram oleh lelaki botak berwajah sangar. Sesaat kemudian Jajang mengambil pemukul dari kayu besi, kayu yang keras, pemukul yang biasa dipakai untuk permainan kasti atau base ball. Ia arahkan kayunya ke muka Irgi, lalu berkata, “Lo tahu akibatnya kalau berani ngajak ribut gue!” diam sejenak, “Siapapun yang berani ngajak ribut gue, dia akan menderita panjang! Siapapun yang udah ngajak ribut gue, dan dia nggak mau minta maaf sama gue, gue jamin...hidupnya nggak akan tenang. Gue serius!”
          Jajang mendekati motor Irgi, lalu memukulkan kayunya ke kotak di jok motor Irgi. Ia pukul kotak itu beberapa kali. Kotak untuk tempat donat itu hancur berkeping-keping. Intan dan Lili yang melihat kejadian ini dari jarak sekitar 15 meter, hanya bisa berkata, “Ya Allah.” Dua gadis ini ketakutan, terutama Intan. Di tempat itu tidak ada siapapun yang bisa membantu Irgi, kecuali pria separuh baya pemilik kios, yang tentunya tidak akan mampu membantu Irgi mengatasi Geng Macan.
          Jajang mengacungkan kayu pemukulnya ke muka Irgi, lalu mengancam, “Ini peringatan terakhir. Gue beri waktu seminggu.” Diam sejenak, “Kalau besok adik lo nggak mau nemuin gue...lo...temen-temen lo...keluarga lo...dan semua orang yang lo cintai...gue habisi!”
          Irgi tersentak mendengar kalimat ‘Semua orang yang dicintainya akan dihabisi.’ Hatinya langsung berseru, “INTAN!” Ia tidak menyadari kalau kekasih hatinya itu sekarang ada di dekatnya. Sekarang Intan dan Lili sedang mengintip di balik pohon yang berada di sebuah taman kecil. Mereka melihat Irgi yang mau dipukul Jajang dengan kayu. Setelah merasa puas marah-marah, Jajang dan konco-konconya meninggalkan Irgi yang bengong.          
          Dengan tubuh lemas seperti kehilangan darah, Irgi mendekati motornya, motor restoran donat tempat ia bekerja. Ia sentuh kotak penyimpan donat yang sudah menjadi serpihan. Dengan wajah bermuram durja, ia menatap atas, lalu berkata lirih, “Ya Allah...ternyata Engkau belum menghendaki aku terbebas dari gangguan keparat-keparat itu.”
          Setelah itu ia menunduk. Ia belum menyadari kehadiran Intan dan Lili. Dua gadis itu sekarang berdiri sekitar enam meter di hadapannya. Beberapa detik kemudian Irgi menatap depan agak ke samping. Ia terkejut melihat Intan dan Lili. Wajah dua sahabat itu tampak terkejut, ketakutan dan sedih, terutama Intan. Irgi berkata, “Monik. Mbak Lili.” Diam sebentar, “Kapan kalian ke sini?”
          Intan yang gelisah itu menggelengkan kepalanya, lalu menutup bibirnya. Wajah manisnya itu terlihat sangat kecewa. Sangat berbeda dengan dua minggu yang lalu, ketika ia memadu kasih dengan pria di hadapannya itu. Sesaat kemudian ia pergi dengan berjalan cepat. Irgi yang kebingungan, berusaha mengejarnya sambil berseru, “Non Intan! Tunggu!”
          Namun Lili menghadangnya. Gadis tinggi semampai berwajah manis itu juga terlihat sangat kecewa. Dengan wajah sedih ia berkata, “Siapa Mas?...Siapa mereka tadi!?” diam sejenak, “Kenapa mereka sampai mau mukulin kamu!? Siapa mereka Mas!?”
          “Tenang Mbak Lili, tenang. Akan kujelaskan baik-baik.”
          Lili menggelengkan kepala, “Yang paling baik, kamu harus segera jelasin ke Monik.”
          “Iya Mbak..makanya tadi aku mau ngejar dia. Aku mau jelasin dia.”
          Diam sebentar, lalu Lili berkata lagi, “Sekarang jawab dulu pertanyaanku. Siapa orang-orang tadi?”
          Irgi mengatur nafasnya yang berat, lalu berkata, “Mereka Geng Macan...geng motor saingan geng kami.”
          Lili tersentak, “Apa!? Geng motor!?” diam sebentar, “Jadi (melotot)...jadi kamu ini...anggota geng motor!?... Atau malah pimpinannya!?”
          “Bukan Mbak (menggelengkan kepala sambil mengacungkan kedua tapaknya)..aku bukan anggota geng motor. Ehmm...itu semua sudah jadi masa laluku.”
          Lili kembali menggelengkan kepala tanpa menatap Irgi, setelah itu bicara lagi, “Siapapun kamu...dan dari mana asalmu...yang jelas kamu orang yang banyak masalah. Buktinya? kamu sampai berurusan sama orang-orang tadi!” diam sejenak, “Kalau kamu nggak banyak masalah, mana mungkin orang-oang tadi sampai mau mukulin kamu!” diam sejenak, “Mas Gik...aku bener-bener kecewa sama kamu! Kecewa!”
          “Iyaa (mengangguk-angguk), aku ngerti. Aku terima semua hujatanmu. Tapi berilah aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Akan kujelaskan baik-baik.”
          Lili mengangguk, “Oke. Sekarang temui Monik. Kamu harus bertanggung jawab. Kamu udah janji untuk selalu berusaha menjaga perasaannya.”
          Singkat cerita, Irgi dan Intan sudah bertemu di halaman rumah Cicik. Irgi berkata, “Akan kujelaskan semuanya.”
          “Nggak perlu Mas,” sahut Intan marah. “Semuanya udah jelas bagiku. Ternyata kamu cuma seorang pembohong! Ternyata selama ini kamu bohongin aku!” Diam sejenak. “Kamu tega Mas?! Kamu tega bohongi aku!?”
          Irgi yang kebingungan, menyahut, “Nggak Manis, aku nggak bermaksud begitu. Aku nggak pernah berniat bohongi Non In.”
          “Tapi kenapa kamu nggak pernah cerita kalau kamu banyak masalah! Haa!?” diam sebentar, “Kamu kan bisa jujur Mas..jujur! Apalagi sama aku. Kamu bisa cerita ke aku.”
          Irgi diam sambil menunduk. Sikap Intan pada Irgi benar-benar berubah drastis. Intan yang biasanya lembut dan santun, sekarang marah-marah. Intan yang biasanya memanggil Irgi dengan ‘Mas Gik atau Mas,’ sekarang dengan tenangnya memanggil ‘kamu.’ Memang beginilah keadaan mayoritas orang yang akal sehatnya sedang kalah oleh nafsunya, entah nafsu amarah atau nafsu syahwat, termasuk gadis kalem seperti Intan. Dengan kedua mata berkaca-kaca, Intan berkata lagi,
          “Siapa kamu sebenarnya? Dari mana asalmu?” diam sejenak, “Masalah apa yang sudah kamu buat? Sampai kamu mau dihajar orang-orang tadi?” diam sejenak, “Kamu orang yang banyak masalah ya?” diam sejenak, “Siapa orang-orang tadi? Siapa yang gundul pendek tadi?” diam sejenak, “Kayaknya dia kejam banget ya? kayaknya dia tega mau bunuh kamu.”
          Irgi mengangguk-angguk. “Baik Non...sekarang kujelaskan baik-baik.” Diam sejenak. “Mereka geng motor. Namanya geng Macan. Yang gundul kekar tadi pimpinannya.”
          Intan tersentak, “Apa!? Geng motor!?”
          Irgi mengangguk. Intan mundur beberapa langkah, lalu berkata, “Jadi kamu berurusan sama geng motor!?”
          Irgi mengangguk, “Aku akrab sama dunia balap motor. Tapi itu sudah jadi masa laluku. Semua itu sebelum aku jadi kurir pizza.” Diam sebentar, “Waktu kita pertama ketemu di halte dulu, aku sudah nggak berurusan sama geng motor. Waktu itu aku sudah berusaha meninggalkan dunia balap motor untuk selamanya.”
          Intan yang mau menangis, menyahut, “Tapi sekarang mereka masih ngejar kamu. Mereka masih musuhin kamu. Berarti kamu masih bermasalah sama mereka!”
          “Iya..tapi semua ini gara-gara Bayu, adikku yang nakal banget, anak kesayangan almarhum bapakku. Semua ini karena dia ngambil motor mereka.”
          “APA (semakin terkejut)!!? Adikmu ngambil motor mereka!? Oohh. Berarti...berarti adikmu maling.” Diam sejenak, “Kamu benar-benar dari keluarga yang penuh masalah ya!?”
          Irgi mengatur nafasnya, lalu bertutur, “Adikku memang maling, tapi maling yang bener, bener karena motor yang dia colong itu motorku.” Diam sejenak, “Kira-kira hampir dua tahun yang lalu...malem-malem...aku dihadang sama Geng Macan. Aku dihajar, dipukulin, diinjak-injak, diludahi.” Diam sejenak, “Malem itu aku bener-bener udah sekarat. Aku bener-bener udah mau mati. Tapi Alhamdulillah, Allah masih ngasih aku umur. Yah, mungkin biar aku yang banyak dosa ini bisa bertobat dan menambah amal sholeh.”
          Kesabaran Irgi membuat amarah Intan menurun. Intan mengangguk-angguk, “Ceritamu untuk sementara bisa kuterima.” Diam sejenak, “Tapi sekarang kamu tetap orang yang banyak masalah. Itu yang sulit kuterima.”
          Intan melangkah mundur, kemudian naik tangga menuju teras atas. Irgi mengejar sambil berkata, “Non Intan, tunggu dulu! Aku belum selesai cerita!”
          Intan yang berada di tangga, membentak, “Cukup Mas! Cukup! Jangan ikuti aku!” Diam sejenak, “Aku udah telanjur sayang Mas. Aku udah telanjur sayang banget sama kamu (air mata menetes setitik). Tapi kamu malah ngecewain aku. Kamu malah nyakitin perasaanku!
          Irgi yang berada di bawah, berkata lembut, “Oke...kuterima hujatanmu, juga hujatan Lili tadi. Semua hujatan kalian itu benar.” Diam sebentar, “Aku memang orang yang hidupnya nggak karuan. Aku memang orang yang banyak masalah. Aku memang berasal dari kalangan yang nggak jelas, yang belum tentu bisa meraih masa depan yang cerah.” Diam sejenak, “Tapi berilah aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya.”
          “Tadi udah kamu jelasin..”
          “Iya, tapi tadi belum selesai, masih ada beberapa hal penting.”
          Intan memejamkan matanya, mengatur nafasnya yang sesak, setelah itu berkata dengan suara lebih lembut, “Baik Mas...kamu kuberi kesempatan.” Diam sejenak, “Datanglah ke sini dua-tiga hari lagi.”
          Irgi tersenyum, “Makasih banyak untuk pengertianmu.”
          Besok paginya Irgi mendapat dua kabar buruk. Pertama, ia mendapat sms dari Lili. Katanya, Intan tidak bisa menjalin hubungan, entah hubungan pertemanan, persaudaraan, atau yang lebih dari itu. Sejak kecil kedua ortunya sudah mempunyai prinsip kuat, bahwa ia tidak boleh berhubungan dengan orang yang banyak masalah, karena hal itu bisa menyengsarakan hidupnya. Contohnya, orang yang berasal dari keluarga yang broken home, orang yang banyak musuh, banyak hutang, tukang foya-foya, pekerjaan tidak jelas, dll. Sampai sekarang prinsip mulia itu masih ia pegang dan ia terapkan dalam kehidupannya.
          Sebenarnya Irgi bukan termasuk kriteria di atas. Secara umum Irgi termasuk pemuda baik-baik. Sayangnya, ia belum bisa menghilangkan statusnya sebagai pembalap jalanan, sebuah profesi yang identik dengan kekerasan, yang tentunya akan mendatangkan banyak musuh. Sekarang ia memang sudah berusaha keras untuk meninggalkan dunia balap motor, namun untuk melenyapkan statusnya secara total, ternyata butuh waktu yang tidak sebentar.
          Sedangkan kabar buruk yang kedua, Irgi dipecat dari restoran donat karena ia ketahuan bermasalah dengan Geng Macan. Ia cukup beruntung karena tidak disuruh mengganti kotak tempat donat yang kemarin dihancurkan Jajang. Sebagai bentuk penghargaan karena telah bekerja dengan baik selama tujuh bulan, Irgi mendapat pesangaon Rp. 300.000. Alasan pemecatannya itu persis dengan pemecatannya dari restoran pizza dulu.
          Sungguh, Irgi benar-benar bingung. Ia benar-benar sedang mendapat musibah, ujian atau teguran dari Sang Penguasa jagat raya. Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah ungkapan yang mungkin tepat untuk menggambarkan kondisi Irgi sekarang. Sudah dipecat dari restoran donat karena sebab yang sebenarnya bukan salahnya, sekarang Intan memberi sinyal kuning tentang hubungan asmara mereka. Apalagi kalau melihat sikap Intan kemarin, kemungkinan besar si manis lesung pipi itu akan mengakhiri hubungan istimewanya dengan Irgi.
          Bagaimana tidak? Gadis yang satu itu memang cantik dan manis luar dalam. Sudah manis, ramah, anteng dan tidak sombong. Namun khusus kemarin ia marah-marah dan bersikap kasar pada pemuda yang berstatus kekasihnya atau pacarnya. Tentu saja hal itu tidak mungkin ia lakukan kalau tidak ada masalah besar. Tentu saja gadis selembut dia tidak mungkin sampai bersikap seperti itu kalau bukan karena masalah serius.
          Di akhir sms Lili menjelaskan, sebenarnya Intan tidak begitu mempersoalkan Irgi bermasalah dengan geng motor. Yang sangat mengecewakan dan menyakitkan Intan, kenapa Irgi tidak berterus terang mengenai masalahnya itu? Kenapa sejak pertama menjalin hubungan dulu Irgi tidak pernah menceritakan masalahnya itu pada Intan? Kenapa Irgi tidak pernah menceritakan siapa dirinya dan asal-usulnya?
          Dengan tubuh terhuyung-huyung, Irgi meninggalkan restoran donat sambil membawa uang pesangon. Begitu sampai di rumah, Irgi langsung masuk ke kamarnya, kemudian melihat foto Intan yang berada di atas meja. Ia duduk di ranjang sambil menatap foto Intan. Ia sentuh pipi si gadis manis, tepatnya di lesung pipinya, lalu bergumam, “Aku nggak cerita ke kamu karena aku sayang banget sama kamu.”
          “Aku nggak pernah cerita karena aku takut kamu nggak mau berhubungan sama aku. Aku nggak pernah cerita karena aku takut kamu bakal ninggalin aku.” Diam sejenak, menatap depan, lalu bergumam lagi, “Dan sekarang sudah terjadi.” Diam sejenak, “Kemungkinan besar, kamu akan ninggalin aku untuk selamanya.”
          Irgi kembali menatap foto Intan, lalu berkata lagi dalam hati, “Kalau sejak awal kamu tahu siapa aku, aku yakin, kamu nggak bakal jatuh cinta sama aku.” Diam sejenak. “Mungkin kamu memang jatuh cinta sama aku. Tapi begitu tahu siapa aku, rasa cintamu akan berkurang banyak. Dan sekarang inilah buktinya.”

                                                        ---XXXXX---

          Sore yang cerah menyelimuti Jakarta dan sekitarnya. Jam 16.00 atau jam empat sore, Irgi dan Intan sudah berada di teras atas rumah Cicik. Irgi berdiri di samping Intan yang duduk. Intan yang wajahnya dingin, berkata, “Duduklah Mas..” tanpa menatap Irgi. Irgi mengangguk, lalu duduk di sebelah kiri Intan. Irgi berusaha untuk  duduk tidak terlalu dekat dengan Intan. Ia melirik Intan yang menatap depan. Pandangan gadis jelita ini benar-benar sedingin es. Sikapnya pada Irgi benar-benar sudah berbeda.
          Setelah pada diam, Irgi memecah keheningan dengan berkata, “Aku ini...mantan pembalap jalanan.”
          Intan tersentak. Perlahan-lahan ia menoleh ke Irgi, lalu bertanya, “Pembalap jalanan!?”
          Irgi mengangguk, “Sebelum menjadi kurir pizza...aku pembalap jalanan.”
          Diam sebentar. Keduanya menatap depan. Irgi berkata lagi, “Aku selalu menang di setiap lomba ngetrack yang kuikuti..dan jarang sekali kalah. Makanya itu, orang-orang menganggap aku sudah pantas dijuluki Raja Jalanan.” Diam sebentar, “Kecintaanku pada balapan membuaku terlena. Kecintaanku pada balapan membuatku lupa sama semua kewajibanku. Kecintaanku pada balapan mengalahkan segalanya.” Diam sejenak, “Aktivitasku, kuliahku, pekerjaan rumahku, kewajibanku pada orang tua dan keluarga...semuanya terbengkelai karena balapan.”
          Diam sejenak, “Tapi setelah ayahku dipanggil Allah...hati dan pikiranku berubah drastis.” Hening sejenak, “Setelah ayahku meninggal, aku bisa total meninggalkan dunia balap motor, dunia yang identik dengan kekerasan.“ diam sejenak karena mengatur nafas, setelah itu bicara lagi,
         “Setelah ayahku pergi untuk selamanya...aku bisa meninggalkan dunia balap motor dengan sepenuh hati...dan bertekad kuat untuk menjalani hidup normal, hidup seperti orang pada umumnya.” Diam sebentar, “Tapi Bayu, adikku, adik kandungku satu-satunya...bukannya ngikuti aku ninggalin ngetrack...eh malah ngelanjutin hobiku yang nggak baik itu.” Diam sejenak, “Dia sendiri sebenarnya bertalenta untuk jadi orang sukses di masa depan. Dia punya cukup potensi untuk jadi orang sukses. Tapi sayang...dia mbeling banget...keras kepala...nggak mau diatur, dll. Dia merasa yakin masa depannya ada di balap motor.”
          Diam sejenak sambil mengatur nafas, lalu bicara lagi, “Pemimpin geng Macan...yang pendek kekar kemarin...yang kepalanya botak...namanya Unang. Panggilannya Jajang.” Diam sejenak, “Dia sangat galak, keras, bahkan kejam.” Diam sejenak, “Kalau sudah marah, dia bisa lebih kejam dari macan kelaparan. Kalau ada hal yang nggak berkenan di hatinya, dia bisa berbuat senekat-nekatnya.” Diam sejenak, “Semua geng motor takut sama dia. Semua pembalap jalanan nggak ada yang bisa ngalahin dia. Dialah Raja jalanan saat itu.”
           Diam sebentar, “Tapi setelah ketemu aku, terus kami bertanding...saat itulah dia mengalami kekalahan untuk yang pertama kalinya.” Diam sejenak, “Dia yang selama ini paling hebat, yang tak terkalahkan, akhirnya bisa takluk sama anak ingusan kayak aku.” Diam sebentar, “Dia nantang aku lagi, tapi kalah lagi.” diam sebentar, “kami bertanding lima kali, dan dia hanya menang sekali..jadi kedudukan kami 4-1.” Diam sebentar, “Dia benar-benar sakit hati. Dia benar-benar dendam sama aku. Apalagi setelah status Raja Jalanan jadi milikku...dia benar-benar ingin menghancurkan aku, menghancurkan sobat-sobatku, orang-orang yang dekat sama aku, dan lain-lain.” 
          Diam sejenak, “Pada dasarnya Jajang memang orang jahat. Hatinya nggak baik. Hatinya kotor. Hatinya penuh emosi, dengki dan dendam. Semua itu karena dia ingin menang sendiri. Semua itu karena dia merasa yang paling hebat.”         
          Hening sejenak. Pasangan kekasih yang hubungannya mulai retak ini sejak tadi tidak saling menatap. Intan hanya menatap depan dengan wajah dingin, sedangkan Irgi, kalau tidak menatap depan ya menunduk. Demikianlah keadaan mereka sekarang. Padahal beberapa minggu yang lalu mereka baru saja merasakan kehangatan cinta di lereng bukit. Beberapa minggu yang lalu cinta kasih mereka seolah semakin menguat. Namun memang seperti inilah huru-hara yang menimpa setiap orang yang sedang menjalani asmara.
          Irgi berdiri, kemudian menjauhi Intan beberapa langkah. Ia berdiri di samping tembok yang mengelilingi teras atas. Sambil sesekali menatap Intan yang wajahnya beku, Irgi melanjutkan, “Mohon maaf kalau kemarin aku pernah bohongin Non Intan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya.”
          “Bohong soal apa?” tanya Intan dingin dan tanpa menatap Irgi. Irgi menunduk, lalu menjawab, “Soal penyebab aku sudah nggak kerja di restoran pizza-nya Pak Tarmaji. Pak Maji.”
          Irgi menjelaskan, dulu dia pernah bilang kalau dia keluar dari restoran pizza karena ada problem dan sudah tidak cocok. Padahal kenyataannya dia dikeluarkan dari restoran tersebut. Dia dikeluarkan secara baik-baik karena masalahnya dengan Geng Macan, masalah serius yang bisa mengancam masa depan restoran pizza. Demikian juga dengan apa yang baru saja dia alami sekarang. Dia baru saja di PHK dari restoran donat karena bermasalah dengan Jajang cs.
          Irgi bertutur, “Sebenarnya, kalau bukan karena keparat Jajang, aku nggak akan dipecat dari restoran pizza. Pak Maji melakukan itu karena terpaksa. Beliau melakukan itu dengan berat hati.”
          Diam sebentar. Irgi menatap Intan yang sejak tadi tidak bereaksi sedikit pun. Paling hanya bereaksi sekali, ketika ia terkejut mendengar Irgi mantan pembalap jalanan. Setelah itu ia benar-benar seperti orang yang kehabisan darah. Wajahnya beku, tatapan matanya kosong. Ia yang biasanya ramah dan hangat terhadap siapapun, sekarang lebih dingin dari es. Ia yang biasanya sumeh,* sekarang seperti orang yang kehilangan semangat hidup.
*Catatan Kaki: Murah senyum.
          Irgi yang masih bersabar, berkata, “Aku sudah cerita semuanya. Aku sudah cerita sejujurnya. Sekarang terserah Neng Intan.” Diam sejenak, “Sekarang semua keputusan kuserahkan Neng Intan.”
          Kelembutan Irgi membuat Intan sedikit bereaksi. Wajahnya yang tadi lebih dingin dari kulkas, sekarang mulai menghangat. Wajah ayunya itu mulai berekspresi. Kedua mata indahnya mulai bergerak-gerak. Ia menarik nafasnya yang berat, lalu berujar, “Aku bener-bener kaget Mas. Kaget dan kecewa.”
          “Iya (mengangguk), aku ngerti.”
          Diam sebentar, lalu Intan bicara tanpa menatap Irgi, “Coba kamu cerita dari dulu, dari kemarin-kemarin..pasti aku nggak akan sesedih ini.” Diam sejenak, “Kalau kamu cerita dari dulu, Insya Allah aku akan lebih bisa menerima kekuranganmu. Kalau kamu cerita dari kemarin, dari saat kita mulai dekat, lalu kita jadian...Insya Allah aku akan lebih bisa menerima kamu apa adanya.”
          Diam sebentar. Dengan kedua mata berkaca-kaca, Intan melanjutkan, “Tapi kamu baru cerita sekarang.” Diam sejenak, “Kamu baru cerita di saat semuanya sudah telat. Kamu baru cerita di saat aku bener-bener sudah sayang sama kamu. Kamu baru cerita di saat aku sudah menyerahkan hatiku ke kamu.” Diam sejenak, “Aku sudah bilang sama sahabat-sahabatku, teman-teman dekatku. Aku sudah bilang sama mereka. Aku sudah bilang kalau hatiku sekarang milik Mas Irgi Indra Haryadi, cowok yang sangat kusayang.”
          Diam sebentar, “Tapi kenapa?....kenapa cowok yang kusayang ini malah ngecewain aku? Kenapa cowok yang kusayang ini malah nyakitin aku? Kenapa cowok yang kusayang ini nggak mau jujur sama pacarnya sendiri?...Kenapa?”
          Irgi menunduk dengan wajah memelas. Kata-kata gadisnya itu sangat menusuk hatinya. Ia berkata lembut, “Nona Manis, maafin aku ya? maafin aku beribu maaf.” Diam sejenak, “Aku sudah janji sama diriku sendiri, kalau aku sampai nyakitin Non In, aku bener-bener akan menghukum diriku.”
          Intan memejamkan matanya sambil menggelengkan kepala. Ia berdiri, kemudian berkata tanpa menatap Irgi, “Pertemuan kita sore ini kuanggap cukup.” Diam sejenak, “Sekarang aku mau mandi, terus istirahat. Aku capek banget. Diam sejenak, ”Makasih sudah mau datang ke sini. Makasih untuk semua infonya.”
          Ketika Intan berdiri di pintu ruang tamu, Irgi berkata, “Makasih juga untuk waktunya. Makasih banyak untuk pengertiannya.” Diam sejenak, lalu berkata lembut namun tegas, “Insya Allah...aku sudah berusaha melapangkan dadaku. Aku sudah berusaha untuk siap menerima keputusan pahit dari Neng.”
          “Keputusan pahit apa?” tanya Intan yang membelakangi Irgi. Irgi mengatur nafasnya, lalu menjawab, “Keputusan pahit...seandainya Neng Intan...berniat...memutus hubungan kita.”
          Setelah berkata begitu, Irgi langsung berpamitan. Intan yang sudah berada di dalam, menyandarkan tubuhnya di tembok. Air matanya menetes beberapa titik, namun langsung ia hapus. Benarkah ia memang berniat mengakhiri hubungan cintanya dengan mantan pembalap jalanan itu?

                                                                 ---xxx---

          Seminggu kemudian Irgi mendatangi rumah kosong yang menjadi markas geng Macan. Pisau lipat ia taruh di saku celananya. Ada sepuluh orang di rumah kosong itu. Mereka langsung siaga begitu melihat kehadiran Irgi. Hanya Jajang yang masih duduk santai. Ia bertanya, “Mana adik lo yang kurang ajar itu!?” diam sejenak, “Dia mau gue beri pelajaran, jadi dia harus datang!” diam sejenak, “Dia harus tahu siapa Jajang!”
          Irgi menggelengkan kepala, lalu berkata, “Cukup gue sebagai wakilnya.” Diam sejenak, “Kalau lo mau ngasih pelajaran adik gue...hadapi kakaknya dulu!”
          Keberanian Irgi itu langsung membakar emosi Jajang. Si gundul kekar yang tadi masih terlihat santai ini sekarang berdiri dan siap fight. Dengan bibir cengar-cengir menahan marah, ia berkata, “Sekarang lo udah jadi pemberani ya?” diam sejenak, “Lo bener-bener nggak kapok berurusan sama gue.”
          Diam sejenak, lalu membentak, “BANGSAT!! Lo bener-bener udah bosan hidup! Pagi ini lo bener-bener akan mampus!”
          Jajang menatap beberapa bawahannya, lalu berseru, “Jadikan dia sarapan pagi kalian! Jadikan dia sarapan anjing!”                                     
          Lima pemuda kekar itu langsung mengepung Irgi. Mereka siap menghabisi Irgi. Satu diantara mereka membawa pentung kayu. Irgi menunjuk Jajang, lalu berseru, “Botak keparat! Kalau lo memang jantan, ayo kita duel satu lawan satu! Kalau lo bukan pengecut, lo harus buktikan keberanian lo! Ayo kita duel yang satria! Jangan  main keroyokan terus! Jangan cuma ngandalin cecunguk-cecunguk lo ini! Ayo!”
           Jajang melotot sambil mengepalkan sepuluh jarinya. Tubuhnya bergetar keras menahan amarah. Ia berkata, “Jadi selama ini lo nganggap gue pengecut!? Jadi lo nganggap gue cuma ngandalin tenaga bocah-bocah gue!?” diam sejenak, lalu membentak, “BRENGSEK!!! Rupanya lo bener-bener ingin mampus!” diam sejenak, “Kalau cuma mau habisin lo, gue nggak butuh siapapun! Gue bisa habisin lo sendirian!”
          “Buktikan itu, botak jelek!” bentak Irgi. Jajang meminta semua bawahannya untuk menyingkir. Sesaat kemudian Jajang menggeram keras, lalu menyerang Irgi. Irgi pun menyambut serangan Jajang dengan berteriak. Untuk beberapa detik pertarungan tampak seimbang. Masing-masing saling menyerang dan menangkis. Baik Irgi maupun Jajang, sama-sama belum bisa menembus pertahanan lawan. Pukulan dan tendangan mereka sama-sama bisa ditangkis.
          Namun beberapa detik kemudian Jajang mulai unggul. Pukulan dan tendangannya menembus pertahanan Irgi. Hal itu membuat Irgi melangkah mundur dengan terhuyung-huyung. Jajang terus merangsek, dan akhirnya berhasil merobohkan Irgi. Irgi yang merasa saat ini sedang menjalani duel hidup mati, langsung bangkit lagi, kemudian menyerang Jajang yang lengah, lengah karena merasa sudah menang. Irgi berhasil memanfaatkan kelengahan lawannya. Tendangan kerasnya menghujam telak perut kekar Jajang, disusul dua pukulannya dengan tangan kanan-kiri. Dua pukulan itu menggasak muka Jajang.
          Irgi yang melihat Jajang terhuyung-huyung, langsung mengirim serangan lagi. Bogemnya kembali menggasak perut dan muka Jajang. Pimpinan geng Macan itu akhirnya roboh dengan bibir berdarah. Irgi sendiri juga berdarah sedikit di bagian hidungnya. Sambil siaga menanti Jajang yang mau berdiri lagi, ia usap setetes darah di hidungnya. Jajang bangkit sambil mengusap setetes darah di bibirnya. Ia berkata, “Hebat juga lo (mengangguk-angguk). Boleh juga.”
          Diam sejenak, setelah itu melotot sambil berseru, “Tapi itu belum cukup untuk ngalahin Jajang!”
          Jajang mengirim serangan beruntun pada Irgi. Ia menyerang dengan agak brutal karena emosinya yang menggelora. Serangan beruntun sepenuh tenaga itu membuahkan hasil. Irgi kembali melangkah mundur dengan terhuyung-huyung. Beberapa gebrakan kemudian Irgi roboh untuk yang kedua kalinya. Jajang mengejek, “Ini buktinya! Huh!” diam sejenak, “Kalau gue udah marah, nggak ada siapapun yang bisa ngalahin gue. Kalau gue mau, sejak dulu gue bisa habisin lo! Tapi gue nggak ngelakuin itu karena gue masih ngasih lo kesempatan, kesempatan untuk membela dri, kesempatan untuk minta ampun, kesempatan untuk mengakui kehebatan Geng Macan.”
          Irgi yang sedang berusaha bangun, menimpali, “Gue nggak bakal nyerah sama keparat kayak lo! Apalagi minta ampun. Nggak bakal!”
          Jajang memelototi Irgi yang sudah berdiri tegak, lalu berkata, “Berarti lo bener-bener udah siap mampus! Baiklah kalau begitu. Gue beri apa mau lo!”
          Mereka saling menyerang lagi. Irgi yang tampaknya sudah cukup lelah, semakin terdesak. Beberapa gebrakan kemudian Irgi kembali roboh, dan sangat sulit untuk berdiri lagi. Jajang yang masih terlihat lebih segar, berkata, “Lo udah kalah.” Diam sejenak, “Main-main udah selesai. Sekarang nggak ada lagi pengecut atau satria.” Diam sebentar, “Gue cuma mau ngasih kesempatan buat temen-temen gue. Kesempatan buat melumat lo!”
          Setelah berkata begitu, Jajang mempersilahkan semua atau sebagian besar bawahannya untuk menghabisi Irgi. Tujuh hingga delapan lelaki itu langsung mengepung Irgi yang masih duduk di lantai dengan hidung dan bibir berdarah. Irgi yang memang sudah tidak berkutik, berkata dalam hati, “Selamat tinggal Intan. Mudah-mudahan Allah berkenan menyatukan kita di alam abadi.”
          Namun mendadak terdengarlah suara yang berseru, “Irgiii!!!”
          Ternyata itu Bayu dan kelima kawannya. Geng Macan tersentak melihat enam pemuda yang berdiri di pintu markas mereka. Bayu berseru, “Lo nggak papa Gik!?” 
          “Enggak!” sahut Irgi lega bukan main. Bayu langsung menyerang Jajang cs yang masih bengong karena terkejut. Jajang cs cukup kelabakan mendapat serangan mendadak dari Bayu dkk, walaupun jumlah mereka masih lebih banyak. Bayu yang tampaknya mulai insyaf itu membantu kakaknya berdiri, lalu bertanya, “Lo nggak papa?”
          Alhamdulillah..” sahut Irgi tersenyum. Ia menyentuh bahu sang adik, lalu berkata, “Sekarang biar gue beresin dulu botak jelek itu.”
          Geng Macan benar-benar kewalahan menghadapi serangan Bayu cs yang beruntun dan sepenuh tenaga. Apalagi sesaat kemudian kawan–kawan Bayu yang lain berdatangan. Jumlah mereka yang sesaat tadi hanya enam orang, sekarang menjadi lebih banyak dari geng Macan. Jajang yang berdiri memojok di tembok, terkejut bukan main melihat kekompakan kelompoknya Bayu. Ia yang selama ini angkuh, kini merasa takut untuk yang pertama kali dalam hidupnya.
           Karena tidak ingin mati konyol, akhirnya Jajang memutuskan untuk mengambil langkah seribu. Ia berlari melalui pintu belakang markasnya. Irgi yang sejak tadi memperhatikannya, berseru, “Gundul jelek! Mau ke mana lo!? Urusan kita belum selesai!”
          Jajang menoleh ke Irgi, setelah itu kembali berlari. Irgi mengikutinya melalui pintu belakang markas. Irgi mengejarnya sambil berseru, “Jajang! Balik lo! Buktikan kalau lo bukan pengecut!”
          Tampaknya Jajang sudah tidak mempedulikan omongan Irgi. Ia terus berlari menuju rumah-rumah kosong di dekat semak belukar lebat. Irgi yang terus mengejarnya, akhirnya berhasil memojokkannya di sebuah tembok rumah kosong. Jajang pun mau tidak mau harus menghadapi Irgi lagi. Irgi berkata,
          “Sekarang hanya ada kita berdua. Ayo kita lanjutkan duel kita yang tertunda.” Diam sejenak, “Buktikan kalau lo bukan pengecut, kayak ucapan lo tadi. Buktikan kalau lo memang seorang pemimpin geng besar.”
           Jajang meringis menahan marah, setelah itu berkata, “Oke kalau begitu.” Diam sejenak, “Inilah kesempatan untuk membuktikan siapa yang terkuat di antara kita.” Diam sejenak, “Tempat ini akan jadi kuburan lo. HIAAA!!”
          Jajang dan Irgi saling mencengkeram, saling memiting, dan saling bergulat di tanah. Irgi yang sempat unggul, berseru, “Lo udah hancurin hidup gue! Lo udah bikin hidup gue nggak tentrem! Hari ini gue akan hilangin kesombongan di hati lo!”
          Sesaat kemudian Jajang ganti unggul. Sambil memukul, mencakar dan menjambak rambut Irgi, Jajang berseru, “Siapapun yang udah berani nantang gue, hidupnya akan gue buat susah! termasuk lo, bedebah (menggebuk punggung Irgi dengan pukulan keras)!”     
          Irgi roboh di tanah. Jajang hendak merangseknya, namun Irgi langsung menghindar dengan bergulung-gulung, kemudian berdiri lagi. Dengan tekad bulat untuk segera membereskan Jajang, Irgi kembali menyerang dengan sisa tenaganya. Beberapa gebrakan kemudian ia berhasil merobohkan Jajang. Ia berseru, “Lo mau bertobat nggak!? Haa!? Lo mau sadar nggak!? Lo mau jadi orang baik nggak (menendang pinggang Jajang yang merangkak di tanah)!?”
          Si gundul pendek yang kekar itu akhirnya tidak berkutik. Irgi yang berdiri di hadapannya, berkata, “Kalau lo mau bertobat, lalu bertekad bulat untuk jadi orang baik, gue lepasin lo. Tapi kalau lo tetep bangga sama kejahatan lo...yah...terpaksa pagi ini gue habisin lo.” Diam sejenak, “Pilih mana!?”
          Jajang menggeram, lalu bangkit dengan sisa tenaganya. Ia berseru, “Gue pantang menyerah! Gue nggak pernah menyerah! Apalagi menyerah sama cecunguk kayak lo!”
          Jajang mencabut pisau lipatnya. Irgi tersentak. Ia langsung teringat kalau ia juga membawa pisau lipat di saku celana kanannya. Ia cabut pisau lipatnya, siap meladeni permainan Jajang selanjutnya. Jajang mengangguk-angguk, “Ooo...ternyata lo bener-bener udah siap duel sampai mati. Ternyata lo bener-bener udah siap mampus.” Diam sejenak, “Oke kalau begitu. Ucapkanlah selamat tinggal buat temen-temen lo...karena sebentar lagi...gue akan kirim lo ke NERAKA!!”
          Jajang menyerang Irgi dengan tiga tebasan pisau lipatnya, namun semuanya bisa ditangkis Irgi. Duel pisau lipat pun berlangsung sengit. Setelah beberapa detik tampak seimbang, Irgi mulai kewalahan. Tampaknya Jajang memang lebih jago memainkan pisau. Dua tebasannya mengenai lengan kanan-kiri Irgi yang di bawah siku. Irgi meringis menahan sakit, namun ia tidak boleh berhenti bergerak. Kalau berhenti sebentar saja, itu akan menjadi makanan empuk bagi Jajang yang ganas.       
          Serangan Jajang yang seperti ombak mengamuk itu semakin membuat Irgi terdesak. Satu tebasan pisaunya kembali mengenai Irgi. Kali ini yang terkena dadanya yang bagian tengah. Irgi masih beruntung karena tebasan maut itu hanya nyerempet. Irgi yang menyadari sedang nglakoni duel hidup mati, memutuskan untuk nekat menyerang. Ia tidak boleh mundur terus. Ia harus ganti menyerang agar bisa menemukan celah untuk melukai Jajang yang brutal.
          Berkat tekad duel yang menggelora, akhirnya Irgi berhasil membuat Jajang melangkah mundur. Ia berhasil menembus pertahanan Jajang. Tamparan tangan kirinya menghujam pipi kanan Jajang, disusul tendangan kaki kanannya yang menggasak perut si gundul. Beberapa detik kemudian pisau lipatnya berhasil melukai lengan kiri Jajang yang di atas siku. Jajang melangkah mundur sambil meringis. Jajang yang sesaat tadi sudah di atas angin, kini gantian terdesak. Ia tidak mengira kalau pemuda ganteng dan lembut seperti Irgi ternyata bisa duel sehebat itu.
          Ia semakin terdesak oleh kelengahan dan kesombongannya sendiri. Sesaat kemudian perutnya terkena tebasan pisau Irgi. Ia melangkah mundur dengan terhuyung-huyung. Irgi yang nafasnya juga hampir putus, langsung merangsek dengan sisa tenaganya. Ia benar-benar ingin mengakhiri permusuhannya dengan si botak kejam itu. Ia tebaskan pisaunya sekuat tenaga, dan akhirnya ia berhasil membuat pisau lipat Jajang terpental dari tangan pemiliknya.
          Jajang yang nekat itu ganti memberi perlawanan dengan tangan kosong. Kali ini gantian pisau lipat Irgi yang terpental dari tangannya, sehingga mereka kembali duel dengan tangan kosong. Beberapa gebrakan kemudian Irgi berhasil merobohkan Jajang. Jajang hendak bangun lagi, namun kali ini tenaganya benar-benar sudah habis. Jajang pun akhirnya takluk di tangan Irgi. Jajang yang duduk di tanah, ditodong Irgi dengan pisau lipatnya yang ia tempelkan di leher Jajang. Jajang berseru,
          “Tunggu apalagi!? Cepat selesaikan! Cepat habisi gue! Ayo!”
          Irgi menggelengkan kepala, “Gue bukan pembunuh atau perampok kayak lo.” Diam sejenak, “Gue sudah bertekad jadi orang baik. Orang baik itu bukan pembunuh.” Diam sejenak karena berdiri, “Lo juga bisa jadi orang baik...asal lo bener-bener mau bertobat.” Diam sejenak, “Mulai sekarang...kuatkan hati lo...kuatkan tekad lo...tekad untuk jadi orang baik, orang yang taat pada agama.”
          Diam sebentar. Jajang masih menatap Irgi dengan wajah penuh kebencian. Irgi sendiri terlihat jauh lebih tenang. Ia benar-benar mengharapkan Jajang mau bertobat. Sesaat kemudian datanglah kawan-kawan Irgi bersama Bayu dan Wiwit. Begitu melihat Jajang yang sudah tidak berdaya, mereka langsung mengeroyok dan menghajar si botak kekar itu. Salah satu dari mereka berseru, “Manusia sesombong lo, akhirnya bisa hancur juga ya!?”
          Inilah akibat kekejamanmu selama ini!” seru yang lain. Ada juga kawan Bayu yang berseru, “Yang kayak gini pimpinan geng Macan!? Bah! Omong kosong aja lo ya (menginjak perut Jajang)!?”
          Sudah! Sudah cukup!” seru Irgi sambil melerai kawan-kawannya. “Jangan menyerang orang yang sudah nggak berdaya!”
          Namun terlambat. Jajang sudah telanjur jadi bubur karena diinjak-injak oleh Bayu cs. Wiwit yang berdiri di samping Irgi, hanya bisa bengong. Setelah Jajang jadi dendeng, barulah mereka berhenti menghajar pimpinan geng Macan itu. Mereka meninggalkan Jajang yang muka dan badannya hancur. Irgi berkata, “Dia sudah menerima akibat dari kelakuan jeleknya selama ini.” diam sejenak, “Ya sudah sobatku semua, nanti biar diurus polisi lebih lanjut. Sekarang mari kita pulang.”
          Betapa gembiranya Irgi dan bekas geng motornya. Ancaman paling menakutkan bagi mereka selama ini sekarang sudah musnah. Mereka meninggalkan tempat itu dengan hati lega dan tersenyum gembira. Namun mendadak, salah seorang dari kawan Irgi terkejut. Ia menunjuk ke belakang. Ternyata Jajang lenyap. Tentu saja Irgi, Wiwit, Bayu dan semuanya seperti disambar petir. Sesaat tadi Jajang sudah sekarat. Jangankan berdiri untuk berjalan atau berlari, mau duduk saja kelihatannya sudah sulit sekali.
          “Apa-apaan nih!?” ujar Bayu. “Memang dia sakti ya? memang nyawanya lebih dari satu?”
          Kecemasan langsung mencengkeram hati Wiwit cs. Mereka menatap sekeliling mereka, mencoba mencari Jajang yang hilang. Irgi yang terlihat paling cemas, berkata lirih, “Ternyata kita belum berhasil membereskan dia. Ternyata dia masih jadi ancaman bagi kita. Bahkan kali ini bisa serius.”
          “Kok bisa?” tanya Otong, pemuda ganteng berambut gondrong yang kemarin terluka karena dihajar anak buah Jajang. “Dia kan udah terluka parah, jadi kemungkinan untuk balas dendam udah minim.”
          Irgi menyahut, “Mudah-mudahan dia memang terluka parah terus. Syukur kalau sudah sembuh dia bisa jadi orang baik. Tapi kalau dia bisa sembuh total, dia pasti akan menghimpun tenaga yang lebih besar untuk menghabisi kita.”
          Bayu menyahut, “Udahlah Gik...lo jangan terlalu baik. Lo jangan terlalu berharap dia bisa jadi orang baik. Orang berhati iblis kayak dia...kayaknya nyaris nggak mungkin jadi orang baik.”
          “Iya Ndra,” sahut Otong sambil menyentuh bahu Irgi. “Menurut gue, niat baik lo terlalu tinggi untuk keparat kayak dia.”
           Wiwit menyambung, “Tapi...kemungkinan kedua yang disebut Indra tadi betul.” Diam sejenak, “Kita harus waspada misalkan dia bisa sembuh total. Kalau dia bisa sembuh total, dia akan semakin dendam sama kita.” Diam sejenak, “Dia akan semakin gila, dan kegilaannya itu bisa bikin dia lebih kejam dari sekarang. Apalagi kalau besok dia berhasil menghimpun kekuatan yang lebih besar, dia bisa lebih mudah untuk melumat kita.”
          Benarkah dugaan dan kecemasan yang dirasakan Irgi cs itu akan terwujud? Lantas ke manakah Jajang menghilang? Benarkah dia yang tadi sudah setengah mati itu masih memiliki tenaga untuk berlari, kemudian bersembunyi atau menghilang? Ternyata dia masih berada di dekat situ. Ia bersama sesosok tubuh tinggi besar yang memakai penutup kepala dan baju serba hitam. Ia dan sosok aneh itu bersembunyi di semak belukar yang berada di halaman rumah kosong. Setelah Irgi dkk pergi, ia dan sosok aneh itu muncul dari persembunyian mereka.
          Sosok misterius itu memapah tubuhnya yang terluka parah. Di antara sadar dan tidak, Jajang bertanya “Siapa anda (suara lemah)? Apa anda...mau menyakiti aku?”
          “Tenang Bung, aku di pihakmu.”
          “Di pihakku?”
          “Iya. Sudah, tenangkan dulu dirimu. Sekarang kamu mau kubawa menghadap bossku. Aku berbuat begini hanya karena disuruh bossku.”
          “Siapa...boss anda itu?”
          “Nanti kamu akan tahu sendiri. Sekarang ikut aku dulu.”
          Sosok kekar bertopeng itu membawa Jajang dengan motor Honda Mega-Pro. Jajang yang kondisi fisiknya sudah setengah mati, hanya bisa pasrah. Ia sandarkan tubuh dan kepalanya di punggung lebar si misterius. Beberapa saat kemudian Jajang terbangun dari pingsannya. Ia mendapati tubuhnya berada di atas sofa empuk. Sofa itu berada di sebuah ruangan yang agak sempit namun mewah. Ruangan itu mirip ruang keluarga sebuah rumah. Jajang melihat si pria misterius yang membawanya tadi duduk sekitar dua meter di hadapannya.
          Ia juga melihat sesosok tubuh pria yang duduk membelakanginya di dekat sebuah meja. Dengan posisi membelakangi Jajang, pria berjas cokelat tua itu berkata, “Selamat datang di markasku, Bung Unang Sudibyo atau Bung Jajang.”
          Jajang tersentak, “Siapa anda? Kok sudah tahu nama lengkapku. Tempat apa ini? di mana aku sekarang?”
          “Sudah kubilang di markasku. Heh he he. Gimana luka-lukamu? Sudah agak sembuh kan?”
          “Ya, aku merasa badanku sudah jauh lebih enak.”
          “Dia (menunjuk si misterius bertopeng) yang ngobatin lukamu, dibantu beberapa anak buahku yang lain.” Diam sejenak. Dengan posisi tetap membelakangi Jajang, ia bicara lagi, “Kemarin pagi kamu pingsan sampai sore. Saat itulah mereka menyembuhkan lukamu yang sudah kelewat parah.” diam sejenak, “Tadi malam kamu mengigau. Kamu berteriak-teriak, ‘Indra! Awas lo! Suatu saat gue pasti bisa habisin lo!’ ” 
          Diam sebentar. Pria aneh ini meminta pria yang menolong Jajang untuk membuka topengnya. Si pria tinggi besar bertopeng membuka topengnya. Ia seorang pria dewasa. Usianya sebaya Jajang, sekitar 31-32 tahun. Ia mendekati Jajang yang masih duduk di ranjang, lalu menyodorkan tangan kanannya sambil berkata, “Aku Ucok.”
          Jajang menjabat tangan Ucok, setelah itu Ucok kembali ke tempat berdirinya tadi. Jajang yang mulai merasa tenang, berkata pada bossnya Ucok, “Kuucapkan terima kasih banyak atas pertolongan anda.” Diam sejenak, “Tapi kenapa anda nolong aku?”
          “Karena aku ingin kita bekerja sama. Aku hanya ingin mempraktekkan ilmuku, mempraktekkan hasil eksperimen-ku selama tujuh tahun.”
          Jajang tersentak, “Ingin mempraktekkan ilmu anda?”
          “Betul. Hah ha haa!”
          Jajang agak merinding mendengar tawa binal itu, tawa binal dengan suara berat dan serak. Setelah tertawa binal, si pria aneh membalikkan tubuhnya dengan perlahan. Jajang melotot melihat wajah pria di hadapannya itu. Wajah yang begitu buruk dan mengerikan. Wajah akibat terluka parah. Ia melihat seorang pria berkepala botak seperti dirinya. Usianya sekitar 46-47 tahun. Posturnya tinggi besar, namun tidak setinggi dan sebesar  Ucok. Ia mendekati Jajang yang masih duduk di ranjang, lalu berkata, “Namaku Hendratmo. Panggilanku Hen. Boss Hen.”
          Jajang yang mulai merinding, hanya mengangguk-angguk sambil berkata, “Boss Hen..”
          Ucok berkata, “Beliau ini dokter sekaligus kimiawan hebat. Beliau lulusan Universitas Sains Jerman.”
          “Dokter dan kimiawan?” gumam Jajang yang semakin takut sekaligus takjub.          Hendratmo tersenyum, “Bang Jajang, kamu pasti heran, kenapa aku bisa tahu nama lengkapmu, juga musibah yang baru saja kamu alami.” Diam sejenak, “Kamu pasti juga bertanya-tanya. Kenapa wajahku bisa sejelek atau seseram ini. iya kan? heh he he.” Diam sejenak, “Tapi kamu nggak usah kuatir. Inti pembicaraan kita sekarang, atau inti maksudku ingin ngajak kamu kerja sama...aku bisa bantu kamu balas dendam.”
          Jajang tersentak, “Bantu aku balas dendam?”            
          Hendratmo mengangguk. “Aku bisa bantu kamu melibas Indra, musuh bebuyutanmu itu.”
          Jajang melotot, “Anda juga sudah tahu Indra?”         
          “Ya jelaslah, aku ilmuwan hebat kok. Hah ha ha haa!”    
          Ucok menyambung, “Kamu harus tahu Bang. Selama ini aku sama Boss Hen selalu ngawasin dan ngikutin aktivitasmu.”
          Jajang semakin terlongong-longong setelah mendengar penjelasan itu. Hendratmo berkata lagi, “Bang Jajang..kamu harus tahu satu hal ini.” diam sejenak, Yang bikin wajahku rusak begini...Mahmud. Mahmud Haryadi.” Diam sejenak, “Kamu kenal Mahmud Haryadi?”
          Kayaknya aku pernah dengar nama itu. Siapa ya?”
          Hendratmo tersenyum, “Ya siapa lagi kalau bukan bapaknya Indra.”

          Jajang mengernyitkan dahinya, lalu mengangguk, “Yang sudah meninggal itu kan?” diam sebentar, “Pantesan, nama itu kok nggak asing di telingaku.” Diam sebentar, “Ya, aku ingat sekarang. Waktu dia meninggal dulu, temen-temenku yang ngasih tahu namanya.” Diam sejenak, “Terus gimana Mahmud bisa melukai Boss Hen sampai separah ini? gimana ceritanya?” 
          Hendratmo bercerita. Ketika masih muda dulu ia juga boss sebuah geng seperti Jajang. Bedanya, kalau gengnya Jajang geng motor, sedangkan gengnya Hendratmo hanya kumpulan pemuda yang tidak beres, yang hobinya ngeluyur, begadang dan merampok. Hendratmo sendiri temannya Mahmud, mendiang ayahnya Irgi, waktu mereka kuliah di UI. Sejak menjadi mahasiswa semester awal, Mahmud dan Hendratmo sudah bermusuhan karena perbedaan watak mereka. Mahmud yang sholeh itu selalu menasehati Hendratmo untuk bertobat, namun Hendratmo tidak pernah mau mendengar nasehat Mahmud.
          Hendratmo yang pemimpin geng itu sering membawa kebiasaan buruknya ke kampus. Ia sering menyakiti mahasiswa-mahasiswi yang tidak mau menuruti keinginannya, juga sering merampas uang mereka. Bahkan tidak jarang ia berlaku kasar terhadap dosen dan karyawan kampus. Perilakunya mirip Bayu, bahkan lebih kelewatan. Ia sering menghajar karyawan dan pemilik warung di kampus, namun sampai sejauh itu ia belum terkena ancaman DO karena ia rajin kuliah dan mengerjakan tugas. Mahmud sendiri mengakui kalau Hendratmo itu sebenarnya cerdas, bahkan jenius. Namun segala kelebihannya itu seolah tidak berarti akibat keburukan akhlaknya.
          Berkali-kali Mahmud dan Hendratmo hampir berkelahi, namun selalu gagal karena dipisah teman-temannya, juga beberapa karyawan kampus yang kebetulan memergoki mereka. Mahmud sendiri hanya meladeni dan membela dirinya, juga karena menolong teman-temannya dari ancaman Hendratmo. Untuk saat itu, hanya Mahmud yang paling berani menentang kebejatan moral Hendratmo. Dan puncak permusuhan mereka ketika Hen, panggilannya, baru saja diwisuda.
          Hanya selang beberapa hari setelah Hen menjadi insinyur, Hen dan kawan-kawannya berniat menghabisi Mahmud. Sore itu ia dan tujuh kawannya siap meluruk kost Mahmud. Begitu Mahmud keluar dari kamarnya, Hen dan tujuh kawannya langsung merangsek Mahmud. Namun apa yang terjadi? Ternyata Mahmud sudah siaga. Begitu Hen dkk hendak mengeroyoknya, dari samping dan belakang kostnya muncullah tiga hansip dan sepuluh pemuda yang rata-rata kekar. Tiga hansip itu yang biasa mengontrol keamanan di kampung tersebut. Sedangkan sepuluh pemuda itu sebagian teman kuliahnya Mahmud.
          Alangkah terkejutnya Hen melihat lawannya lebih banyak dari kawan-kawannya. Karena sudah telanjur basah, Hen terpaksa melawan tiga belas pria itu. Tawuran sengit pun terjadi, dan akhirnya dimenangkan oleh Mahmud cs. Orang sebaik Mahmud, tidak heran kalau banyak yang simpati. Mahmud menjelaskan pada Hen yang sudah tidak berdaya karena dihajar teman-temannya. Ia mendengar bocoran informasi dari salah seorang teman kampusnya. Katanya Hen mau menyerangnya tiga hari kemudian. Hen dan gengnya akan menyerangnya di saat ia sedang lengah.
          Berkat bocoran berita itulah Mahmud bisa siaga. Kawan-kawannya pun siap melindunginya sekuat tenaga. Hasilnya? Luar biasa. Mahmud yang pura-pura lengah dan tidak berdaya itu akhirnya berhasil meringkus Hendratmo dan gengnya. Hendratmo yang babak belur, membentak Mahmud, “Terkutuk kamu! Bangsat!”
          Diam sejenak karena mengatur nafas, “Perang ini belum selesai! Grrhh! Sekarang aku boleh kalah. Tapi lain waktu, kamu akan kuinjak-injak! Dengarkan sumpahku ini!”     
          “Bertobatlah, Hendratmo...” sahut Mahmud tenang. “Bertakwalah pada Allah. Allah Maha Pengampun.”
          “Tutup mulutmu! Nggak usah ceramahi aku! Sampai kapan pun kamu tetap musuhku!” diam sejenak, “Kamu dan keturunanmu akan kuteror selamanya!”
          Sesaat kemudian datanglah lima kawan Hen. Tentu saja Hen bersorak karena mendapat tambahan tenaga. Namun kegembiraannya itu hanya berlangsung sebentar karena sesaat kemudian datanglah rombongan polisi. Jumlah mereka sekitar lima orang. Mereka langsung meringkus Hen dkk. Hen sendiri akhirnya bisa kabur dengan dipapah kedua temannya.
          Besoknya Hen diobati oleh kawannya yang seorang dokter. Atas saran kawannya itulah Hen melanjutkan studi S 2-nya di Hamburg, Jerman. Di sana ia bertemu dengan seorang dokter hebat namun jahat. Dokter jahat itu menjadi dosennya. Dari dokter itulah ia mempelajari segala macam percobaan untuk manusia dan hewan, percobaan yang hanya untuk memperturutkan hawa nafsunya. Selain kuliah menjadi dokter, Hen juga nyambi kuliah di jurusan Kimia Organik. Kejeniusan dan ketekunannya itu membuahkan hasil yang menakjubkan. Sayangnya, semua itu hanya ia gunakan untuk kejahatan. Demikianlah kisahnya.
          Bibir Jajang cengar-cengir setelah mendengar cerita di atas. Ia berkata, “Jadi bapaknya Indra yang sudah bikin wajah anda kayak gini?”
          Hen mengangguk sambil tersenyum, “Sebenarnya..kalau ada kesempatan..aku ingin melumat Mahmud. Aku ingin membalas perlakuannya 23 tahun yang lalu. Tapi sayang, dia keburu mati.”
          Jajang menggeram, lalu berseru, “Bajingan kamu Indra! Bajingaaan!!” diam sejenak, “Aku semakin ingin menghancurkan dia! Aku ingin menghancurkan dia dengan tanganku sendiri!”
          Hen tersenyum, “Kalau dengan kondisimu sekarang, itu mustahil.” Diam sejenak, “Makanya, sekarang aku mau bantu kamu menghancurkan brengsek itu. Kalau kamu mau, aku akan mewujudkan semua keinginanmu. Hah ha ha!”
          Jajang yang sudah sangat serius, bertanya, “Apa yang akan Boss Hen lakukan sama aku? Apa yang harus kulakukan?”
          Hen tersenyum, lalu menyentuh bahu kiri Jajang, “Tenang sobat, jangan terburu-buru. Yang penting kamu mau melakukan apapun yang kuminta.”
          “Aku mau! Yang penting aku bisa balas dendam!”
          “Baiklah kalau begitu. Hah ha ha!” diam sejenak, “Aku mau ngasih kamu kekuatan. Syaratnya, kamu harus mau jadi kelinci percobaanku.”
          “Kelinci percobaan!?”
          Hen mengangguk. Jajang mengernyitkan dahinya, setelah itu menyahut, “Baik. Nggak masalah. Demi keinginanku.”
          “Bagus sekali. Ternyata aku nggak salah pilih orang. Hah ha haa!” diam sejenak, “Oke Bang  Jajang, sekarang ikut aku. Kita ke kamar rahasiaku.”
          “Kamar rahasiamu?”
          “Ya..di labku.”
          Jajang berjalan mengikuti Hendratmo, namun baru beberapa langkah ia berhenti sambil berkata, “Tunggu dulu! Ada yang mau kutanyakan. Bisa?”
          “Silahkan.”
          Jajang menatap Ucok, lalu berkata, “Tadi katanya dia sama anda mengawasi aktivitasku selama ini. Anda juga sudah tahu statusku sebagai boss Geng Macan. Gimana caranya? Kenapa aku sama sekali nggak merasa diawasi kalian?”
          Hen langsung menceritakan semuanya. Ucok itu ternyata juga anggota geng motor bernama geng Kacau, sebuah geng kelas teri di DKI Jakarta, geng motor yang tidak terkenal. Anggota-anggotanya juga tidak begitu mahir ngetrack. Begitu pula dengan Dono, pimpinannya yang sering dikalahkan oleh Jajang dan Irgi. Ucok sendiri tidak begitu mahir balapan, namun ia jago berkelahi karena menguasai beberapa ilmu bela diri. Ucok berkata,
          “Geng motor mana yang belum pernah dengar nama Unang atau Jajang?”
          Jajang mengangguk-angguk, setelah itu kembali berjalan mengikuti Hen. Beberapa langkah kemudian tibalah mereka di sebuah ruangan yang tidak begitu besar. Jajang terkejut begitu diajak masuk ke ruangan itu. Di dalam ruangan itu ada sebuah alat aneh. Jajang bertanya, “Alat apa ini?”
           “Ya ini hasil karyaku selama tujuh tahun. Alat inilah yang akan bantu kamu melumat Indra brengsek itu. Alat inilah yang akan ngasih kamu kekuatan dahsyat.”
          “Kok bisa? Gimana caranya?”
          Hen tersenyum, “Tunggulah sebentar lagi. Yang penting kamu nggak usah takut. Percayalah. Aku benar-benar ingin bantu kamu.”
          Jajang bergumam, “Aku belum pernah lihat alat aneh ini. Bentuknya lucu.” Diam sebentar, “Tapi aku juga yakin kalau alat ini bener-bener canggih.”
          Hen menjelaskan. Alat aneh itu berfungsi untuk menguatkan otot saraf dan tulang makhluk hidup, baik hewan maupun manusia. Di dalamnya mengandung cairan imun atau cairan kekebalan, campuran unsur helium, lithium, titanium dan logam adamantium, logam buatan yang dicairkan. Cairan kekebalan itu juga mengandung zat campuran yang bisa merubah sel. Dengan demikian, tubuh siapapun yang terkena cairan itu, kekuatannya akan menjadi beberapa kali lipat.
          Jajang terperangah mendengar semua penjelasan Hendratmo. Hatinya menjadi ragu untuk dijadikan kelinci percobaan. Namun begitu mengingat dendamnya pada Indra, ia langsung mengangguk mantap. Hendratmo tertawa binal sekeras-kerasnya. Ia menyentuh bahu Jajang, “Bagus sekali sobatku. Kita memang sudah berjodoh. Huah ha ha haa!!”
                                             
                                                     ---XXXXX---

          Sekarang kembali ke lakon kita, dimana saat ini ia sedang melamun di kamarnya. Ia duduk di ranjang sambil menatap foto Intan. Ia tersenyum, lalu bergumam, “Alhamdulillah..kemarin aku belum jadi mati. Dengan demikian, aku masih bisa ketemu kamu. Aku masih bisa lihat kamu.” Diam sejenak, “Apapun keputusanmu tentang hubungan kita, Insya Allah aku sudah siap. Yang penting aku masih bisa ketemu kamu, atau sekedar lihat kamu.”
          Beberapa hari kemudian Irgi kembali mendatangi kediaman Intan. Kedatangannya disambut dingin oleh Cicik. Si centhil itu hanya bilang kalau Intan tidak bisa menemui karena sedang sibuk dan tidak enak badan. Sikap Cicik sendiri berbeda jauh dari biasanya. Cicik yang biasanya ceriwis dan murah senyum, sore itu ia hanya bicara sepatah dua patah kata. Ia hanya mengangguk dan menggelengkan kepala. Tentu saja Irgi merasa tidak nyaman. Ia pun pulang dengan tubuh lesu, seperti orang yang kekurangan darah. Ia bergumam, “Padahal aku cuma mau ketemu dia sebentar. Maksimal lima menit.”
          Diam sejenak, “Sungguh nggak enak sikap Cicik tadi. Beda jauh sama Cicik yang kemarin-kemarin.” Diam sejenak, “Cah Ayu, benarkah kamu ingin mengakhiri hubungan kita selama enam bulan ini?”
          Besoknya Irgi datang lagi ke rumah Cicik. Ketika Irgi masih berada di beberapa meter dari rumah Cicik, ia melihat Intan dan Lili sedang berada di luar rumah. Tentu saja ia gembira sekali. Ia berkata, 
          “Alhamdulillah. Akhirnya bisa ketemu kamu lagi.”
          Ketika Irgi hampir sampai di tujuan, Intan dan Lili masuk ke dalam rumah. Irgi pun melangkah ke teras atas, kemudian membunyikan bel seperti biasanya. Beberapa menit kemudian pintu terbuka. Kali ini Irgi melihat wajah baru. Di hadapannya berdiri seorang gadis remaja yang manis. Rupanya ia pembantu baru di rumah itu. Namanya Fitri. Irgi langsung mengutarakan keinginannya untuk bertemu Intan sebentar. Fitri berkata, “Mbak Monik pergi sama Mbak Lili.”
          Irgi tersentak mendengar penjelasan itu. Hatinya berseru, “Baru saja kulihat dia di luar!” diam sejenak, “Terus perginya kapan!? Lewat mana?” diam sejenak, “Apa rumah ini punya pintu keluar yang lain!? Pintu keluar dari belakang misalnya? Atau dia punya ilmu menghilang!?”
          Irgi yang loyo ini langsung mohon pamit pada Fitri. Yang sangat menyakitkan, Fitri tidak bertanya, ‘mungkin ada pesan atau titipan buat Monik, dll.’ Sikapnya persis dengan sikap Cicik kemarin. Ia hanya bilang, “Monik lagi pergi, Monik sedang sibuk, Monik sedang tidak enak badan, dsb.”
          Kini Irgi sedang duduk di sebuah tempat yang cukup sepi. Ia melepas topinya, lalu mengambil foto Intan di dompetnya. Ia menatap foto sang gadis yang sedang tersenyum manis, lalu berkata dalam hati, “Jadi kamu benar-benar mau mengakhiri hubungan kita?” diam sejenak, “Jadi kamu sudah nggak cinta aku lagi?”
          Irgi menatap alam di sekitarnya, lalu bergumam lagi, “Barusan aku menemukan kehangatan cinta. Kehangatan cinta yang bisa menjadi pelipur lara. Kehangatan cinta yang bisa mengobati luka hatiku.” Diam sejenak, “Sekarang, kehangatan cinta itu sudah sirna. Sekarang sudah menjadi dingin, bahkan beku.”
          Ia kembali menatap foto Intan, lalu bergumam, “Maaf kalau aku sudah mengecewakan kamu. Maaf kalau aku sudah menyakiti hatimu.” Diam sejenak, “Aku mau melakukan apa saja untuk menebus kesalahanku. Aku mau melakukan apa saja. Yang penting kamu mau memaafkan aku.”
          Beberapa hari kemudian, tepatnya di malam hari, Irgi masih terus melamunkan Intan, gadis tambatan hati yang sekarang sudah menyalakan lampu kuning, lampu kuning untuk pertanda hubungan mereka akan berakhir. Irgi bergumam, “Aku harus nekat. Aku harus ketemu dia, sebentar saja. Setelah itu hati ini benar-benar akan plong.” Diam sejenak, “Oke..besok ke rumahnya lagi. Kalau sekali ini gagal lagi, ya udah. Berarti Allah memang tidak menghendaki.”
          Sekarang beralih sejenak ke Intan, dimana saat ini ia sedang bingung menentukan keputusannya. Sebagaimana Irgi, sekarang Intan juga sedang melamunkan mantan pembalap jalanan itu. Ditatapnya foto Irgi yang sedang tersenyum dan memakai topi merah. Setelah merasa cukup melamun, ia keluar dari kamarnya, lalu menemui Fitri yang sedang bersih-bersih. Dengan wajah cemas ia bertanya, “Jadi mukanya ada memarnya? Ada bekas luka?”
          “Iya Mbak, di pipi sama bibir.” Diam sejenak, “Kemungkinannya ada dua. Habis kecelakaan atau habis berkelahi.”
          “Ya Allah..” sahut Intan lirih. “Ya udah, makasih infonya.”
          “Sama-sama Mbak.”
          Intan meninggalkan fitri yang lagi bersih-bersih. Ia duduk di sofa ruang tengah, lalu bergumam, “Jangan-jangan, dia habis berkelahi sama geng Macan.” Diam sejenak, “Ya Allah...kasihan bener dia.” Diam sejenak, “Tapi dia selamat. Berarti dia dan teman-temannya berhasil membereskan geng Macan.” Diam sejenak, “Yah, mudahan-mudahan begitu.”
          Intan melihat daftar nama di Hand Phone-nya. Dilihatnya nama dan nomornya Irgi. Ia hendak menelpon atau sms pria yang sudah mencuri hatinya itu, namun tidak jadi. Ia menepuk dahinya dan menggelengkan kepala, lalu bergumam, “Untuk sementara ini aku nggak boleh hubungi dia lagi. Nggak boleh!”    
   
                                                        ---XXXXX---

          Beberapa hari kemudian, sekitar jam 16.15 atau jam empat sore lebih seperempat, Irgi memberanikan diri untuk mendatangi rumah Intan lagi. Ini yang ketiga kalinya sejak Irgi bertemu Intan di teras atas kemarin, beberapa hari sebelum Irgi cs menaklukkan geng Macan. Ketika sampai di pagar rumah Cicik, Irgi bergumam, “Mudah-mudahan kali ini aku bisa ketemu dia. Yah, ketemu dia sekali aja, sebentar aja. Setelah itu semuanya akan beres.”
          Begitu Irgi masuk ke halaman rumah Cicik, ia melihat seorang wanita berusia hampir lima puluh. Wanita itu sedang merawat tanaman di dekat tangga menuju teras atas. Irgi mendekati wanita itu dengan perlahan, lalu mengucap salam. Wanita itu menoleh ke Irgi, lalu bertanya, “Siapa ya? ada perlu apa?”
          Irgi mengangguk sambil tersenyum, “Maaf Bu, mengganggu sebentar. Saya mau ketemu Mbak Intan, sebentar aja. Bisa?”
          Wajah wanita bertubuh padat dan agak tinggi itu langsung berubah menjadi serius. Ia bertanya, “Anda siapa?”
          Irgi diam beberapa detik, setelah itu menyahut, “Saya Irgi. Irgi atau Indra..”
          “Ooo (wajah semakin serius)...jadi ini yang namanya Irgi?”
          “Iya Bu, saya..”
          Diam sebentar. Wajah wanita separuh abad itu memerah karena emosinya mulai naik. Ia berkata, “Mas Irgi atau Mas Indra, atau siapapun anda..saya kasih tahu ya?” diam sebentar, “Kayaknya anda nggak bisa ketemu Monik lagi. Kayaknya anda nggak bisa berhubungan sama Monik lagi.”
          Kata-kata itu langsung menghapus senyum di bibir Irgi. Irgi yang tadi masih terlihat sedikit ceria, sekarang menjadi tegang. Ia berkata lembut, “Mohon maaf atas kelancangan saya. Kalau boleh saya tahu, Ibu ini siapa?”
          “Saya Bu Winda..yang punya rumah ini.” diam sejenak, “Saya ibu kandungnya Cicik.”
          “Ooo (mengangguk-angguk)..ibu kandungnya Mbak Cicik. Pantes, mirip...”
          Diam sebentar. Winda mendekati Irgi dengan wajah serius, setelah itu berkata, “Maaf kalau saya bersikap kasar sama anda. Tapi ini demi kebaikan kita semua.” Diam sejenak, “Saya nggak berniat kasar atau galak sama anda. Saya hanya berusaha bersikap tegas dan jelas.” Diam sebentar, “Kalau anda ke sini mau ketemu Monik, berarti anda hanya buang tenaga. Keinginan anda itu hanya sia-sia.”
          “Tapi Bu, saya cuma mau ketemu Mbak Monik sebentar. Maksimal lima menit, atau bisa kurang. Saya janji Bu.”
          Winda menggelengkan kepala, “Maaf Mas Irgi, saya nggak bisa memenuhi keinginan anda. Semua ini demi kebaikan anda, kebaikan Monik, dan kebaikan kita semua.”
          Irgi hanya melongo mendengar keputusan Winda itu. Winda melanjutkan, “Monik itu udah kayak anakku. Ibunya sobatku, bahkan saudariku. Jadi aku punya kewajiban untuk menjaga Monik.” Diam sebentar, “Kata Cicik sama Lilik, anda orang baik dan terpelajar..jadi aku yakin, anda nggak bakal memaksakan kehendak anda. Anda nggak bakal memaksa diri atau nekat untuk ketemu Monik. Iya kan?”
          Irgi menarik nafasnya yang terasa berat, lalu berkata, “Jadi Bu Winda nggak mengijinkan saya ketemu Mbak Monik? Walau cuma sebentar?”
          Winda kembali menggelengkan kepalanya. Setelah pada diam beberapa detik, Winda bicara lagi, “Demi tenangnya suasana, sekarang sebaiknya anda pulang aja.”  Diam sejenak, “Maaf ya Mas, aku masih ada kerjaan.”
          Winda berjalan ke teras atas, meninggalkan Irgi yang berdiri di halaman. Setelah bengong hampir satu menit, Irgi meninggalkan rumah Intan dengan langkah gontai. Beberapa detik setelah Irgi membalikkan tubuhnya, dari balik pintu ruang tamu muncullah kepala berambut hitam panjang. Yah, siapa lagi dia kalau bukan Intan. Kedua mata indahnya menatap Irgi yang melangkah pergi. Ketika Irgi hampir sampai di pagar, ia merasa ada sepasang mata yang mengintipnya. Ia pun menghentikan langkahnya, kemudian membalikkan tubuhnya dengan perlahan.
          Dilihatnya pintu ruang tamu yang berada di atas, yang jaraknya dengan dirinya terpaut sekitar 10 meter. Ia melihat Intan yang mengintipnya. Tentu saja Intan langsung menarik kepalanya yang terlihat sedikit, lalu menyandarkan tubuhnya di pintu. Wajahnya bermuram durja, menunjukkan kondisi hatinya yang sedang kacau. Hati kecilnya mengatakan, sebenarnya ia juga ingin bertemu Irgi, namun ia juga sadar kalau hal itu ia lakukan, nanti dampak buruknya akan lebih besar.
          Irgi menatap pintu ruang tamu dengan wajah memelas. Hati kecilnya mengatakan, tidak usah berharap lagi bisa ketemu Intan, walau cuma sebentar, walau cuma dua menit, satu menit, setengah menit, atau bahkan sepuluh detik. Jangankan bertemu si gadis manis, sekedar melihatnya beberapa detik saja kemungkinan besar sudah tidak bisa.
          Mantan kurir pizza dan donat ini pun sadar. Ia turuti saja nasihat yang keluar dari hati nuraninya. Ia tinggalkan rumah Cicik dengan kecewa berat, namun ia juga sadar bahwa itulah kebenaran atau kenyataan. Yang namanya kebenaran itu harus diterima, apapun wujudnya. Kebenaran harus diterima, walaupun sangat menyakitkan. Kebenaran harus diakui, walaupun sangat tidak sesuai dengan keinginan kita. Prinsip iniah yang membuat Irgi cukup tegar dalam menghadapi problem cintanya. Prinsip inilah yang membuat Irgi tetap bersemangat untuk melanjutkan aktivitas hidupnya.
          Setelah sampai di rumah, Irgi duduk sejenak di ruang tamu. Ia ambil foto Intan di dompetnya, lalu menatap wajah jelita itu. Ia bergumam, “Hampir bisa dipastikan. 90%, atau bahkan 95% kamu akan mengakhiri hubungan kita.” Diam sejenak, “Baiklah kalau memang itu maumu. Asal hatimu bisa lega, asal kamu bisa bahagia seperti kemarin-kemarin, aku mau menuruti semua keinginanmu. Aku terima semua keputusanmu.”
          Malamnya Irgi sms Intan. Isinya: “Dirimu yang ngajak kita jadian, dirimu juga yang ngajak kita putus. Benar-benar fantastis. Tapi baiklah kalau memang ini keinginanmu. Kuterima segala keputusanmu, yang penting hatimu bisa lega.”
          Intan hendak membalas sms di atas dengan sepatah dua patah kata, namun bibir dan kelima jarinya terasa sulit untuk digerakkan. Lagipula, sudah beberapa hari, bahkan beberapa minggu ia tidak menelepon atau sms Irgi. Ia yang jiwanya begitu tertekan, akhirnya hanya bisa bergumam, “Kamu benar-benar berhati mulia, sampai bisa membaca pikiran dan perasaanku.”
          Ia mengambil foto Irgi yang tergeletak di mejanya, foto Irgi yang memakai topi merah. Ia pandangi wajah pria idaman yang kini semakin jauh dari dirinya, namun masih ada di hatinya. Tanpa ia sadari, air matanya menetes ke pipinya, namun langsung ia hapus. Ia yang merasa tidak karuan, marah, kecewa dan sedih, berniat merobek foto itu, namun tidak jadi ia lakukan. Apa sebabnya? Karena pria di foto itu masih bersemayam di kamar hatinya yang terdalam.
          Dengan kedua mata basah oleh air mata kepedihan, Intan bergumam, “Aku udah sayang banget sama kamu. Tapi kenapa kamu malah ngecewain aku!? Kenapa kamu malah nyakitin aku!? Kenapa kamu nggak pernah berterus terang sama aku!? Memang selama kita pacaran kemarin kamu nganggap aku apa? Haa!?” diam sejenak, “Katamu aku teman istimewamu. Tapi mana buktinya? Mana!?”
          Diam sejenak sambil mengelus pipi Irgi, setelah itu bicara lagi dalam hati, “Kamu cowok terbaik yang pernah kukenal. Kamu cowok teristimewa yang pernah jadi teman dekatku.” Diam sejenak, “Tapi sayang...kamu nggak mau mengakui dirimu apa adanya. Kamu nggak mau jujur dari awal.”
          Intan memejamkan matanya, menghapus air kesedihan yang membasahi lesung  di kedua pipinya. Ia menaruh foto Irgi di meja, setelah itu pandangannya tertuju pada benda lain. Kedua matanya yang sembab itu menatap gelang pink dan bross merah. Ia ambil kedua benda pemberian Irgi itu. Tangan kanannya yang memegang kedua benda itu bergetar menahan emosi dan kekecewaan. Ia hendak membenturkan kedua benda itu ke meja, namun lagi-lagi ia tidak jadi melakukannya. Ia masih merasa sayang pada kedua benda itu, apalagi kepada pemberinya.
          Ia letakkan kedua benda itu di tempat semula, setelah itu ia berusaha mengeringkan air matanya. Ia diam sejenak sambil menutup kedua matanya. Ia berusaha menenangkan hatinya yang diselimuti kabut kesedihan. Beberapa menit kemudian, setelah merasa lebih tenang, ia kembali mengambil foto Irgi, kemudian menatapnya beberapa saat. Bibir hatinya kembali berkata, “Baiklah Mas Gik...kalau sekarang kamu merasa tersiksa karena ketidakjelasan sikapku. Besok akan kuperjelas sikapku. Akan kuperjelas kelanjutan hubungan cinta kita.” Diam sejenak, “Kepastian yang menyakitkan lebih baik dari ketidakjelasan.”
          Siapapun orangnya, sesholeh apapun, sekuat dan sehebat apapun iman dan ibadahnya, kalau menghadapi ketidakpastian, pasti akan gelisah.” Diam sejenak, “Karena itu Mas Gik...demi kedamaian hati kita, besok akan kuberi jawaban yang pasti tentang hubungan kita.”
         
                                                         ---XXXXX---  

0 comments:

Post a Comment

 
;