Menembak Intan
Waktu yang dijanjikan telah tiba. Irgi kembali mendatangi rumah Cicik untuk menjajakan donat. Ia tetap beralasan mengantar makanan, walaupun sebenarnya ada tujuan lain yang lebih penting. Cicik dan Lili keluar menyambut Irgi, kemudian membeli beberapa donat kentang. Setelah membayar donat, Lili berkata lirih pada Irgi, “Sebentar lagi dia keluar. Tunggu ya?”
Waktu yang dijanjikan telah tiba. Irgi kembali mendatangi rumah Cicik untuk menjajakan donat. Ia tetap beralasan mengantar makanan, walaupun sebenarnya ada tujuan lain yang lebih penting. Cicik dan Lili keluar menyambut Irgi, kemudian membeli beberapa donat kentang. Setelah membayar donat, Lili berkata lirih pada Irgi, “Sebentar lagi dia keluar. Tunggu ya?”
Irgi hanya mengangguk sambil tersenyum malu. Cicik dan Lilik pun masuk ke
rumah, meninggalkan Irgi yang berdiri di dekat pagar. Sekitar lima menit
kemudian, ada sesosok tubuh yang melangkah pelan ke arah Irgi. Yah, siapa lagi
dia kalau bukan Intan Monik Cahyani. Sore ini ia memakai rok terusan kuning
bermotif bunga merah. Ia terlihat manis sekali dengan gaun itu. Ia mendekati
Irgi dengan jantung dag dig dug. Dilihatnya Irgi yang masih menoleh ke arah
lain. Setelah berdiri sekitar dua meter dari Irgi, ia mengatur nafasnya yang
naik turun, lalu memejamkan kedua matanya sesaat.
Setelah kedua matanya
dibuka, ia berkata lembut, “Mas Gik...”
Irgi yang dadanya juga
bergetar, menoleh dengan perlahan. Dilihatnya Intan yang begitu mempesona
dengan baju kuningnya. Gadis itu tersenyum manis, lalu bertanya, “Apa kabar Mas
Gik?”
Irgi membalas senyum
mempesona itu, lalu menjawab, “Baik Mbak, Alhamdullah...”
Intan berjalan mendekat,
“Kenapa keluar dari restoran pizza? Ada problem
ya?”
“Iya Mbak. Ada hal prinsipil yang membuat saya harus
keluar.”
Intan mengangguk-angguk
sambil tetap tersenyum. Ia bicara lagi, “Kemarin pizza, sekarang donat. Hi
hi..”
Irgi tersenyum malu, “Iya
Mbak. Ya gimana lagi? hanya ini yang bisa saya lakukan.”
“No problem. Yang penting halal dan baik. Iya kan?”
“Betul sekali Mbak. Saya
hanya berusaha ngelakuin apa yang
pernah Mbak katakan kemarin. Cukup menekuni satu bidang, yang penting serius.”
Kata-kata indah itu membuat Intan tersanjung. Ia menunduk sambil tersenyum
manis. Lelaki dan perempuan muda yang mulai terikat tali asmara ini terlihat
semakin akrab. Walaupun begitu, mereka masih sama-sama malu, terutama Irgi.
Setelah pada diam beberapa detik, Intan berkata, “Aku mau beli donatnya.”
“Oh iya Mbak, silahkan..”
Irgi meladeni permintaan
Intan, sampai Intan membayar donatnya. Sebagaimana yang pernah dilakukan Intan,
ia membayar donatnya dengan harga lebih. Kembaliannya yang masih cukup banyak
itu ia berikan kepada Irgi. Benih-benih cinta di hati mereka semakin menguat.
Mereka saling menatap dan saling tersenyum malu. Intan bertanya, “Mau bilang
sesuatu?”
Irgi tersentak. “Ehmm...anu
Mbak....saya...”
Hening sejenak. Intan yang
sudah serius itu berkata, “Bilang aja..nggak papa. Daripada jadi beban di hati.”
Intan terus menatap Irgi
dengan wajah penuh harap, sedangkan Irgi lebih banyak menunduk. Hanya sesekali
saja ia menatap atau melirik Intan. Ia berkata gugup, “Saya...saya...mau
ngomong apa ya?”
“Nggak usah takut Mas.
Ngomong aja kalau bener-bener mau
ngomong.” Diam sejenak, “Ayo Mas..silahkan ngomong apa aja..”
Irgi masih takut untuk
mengutarakan hasrat di hatinya. Intan menatap Irgi dengan serius, lalu berkata
dalam hati, “Mas Gik...aku mencintaimu.”
Diam sejenak. “Ayo...katakan sesuatu. Katakan kalau kamu juga cinta aku. Ayo
Mas..”
Pahamkah Irgi dengan bahasa
batin Intan itu? Tampaknya paham, namun ia belum berani menanggapi. Ia
bergumam, “Maafkan aku Gadis Manis..aku belum punya nyali untuk ngomong. Aku
belum berani ngomong sekarang.”
Hati Intan menyahut,
“Kenapa belum berani? Kamu kan tinggal bilang, setelah itu kita akan jadi
pasangan kekasih. Kita akan jadi dua sejoli.” Diam sebentar, “Ayo Mas..tembak
aku. Tembak aku Mas! Cepat!”
Intan yang kesabarannya
mulai hilang, berkata tegas, “Kita udah ngerasain
hal yang sama. Tapi kenapa Mas Gik nggak mau bilang!? Apa yang Mas tunggu!?”
Irgi sadar kalau ia telah
mengecewakan Intan. Ia berkata dengan gugup, “Maafkan saya Mbak. Saya
benar-benar belum berani ngomong.” Diam sejenak, “Kapan-kapan aja ya Mbak?”
Intan langsung cemberut
begitu mendengar perkataan Irgi itu. Ia menggelengkan kepalanya, lalu berkata,
“Ternyata Mas Gik nggak serius! Mas Gik bohong!”
“Maksudnya?” tanya Irgi terkejut.
Intan yang marah itu menyahut, “Mas Gik nggak tegas! Disuruh ngomong aja nggak
mau. Padahal aku udah nunggu. Huh! Ternyata Mas Gik pembohong! Mas Gik cuma mau
mempermainkan aku!”
“Nggak Mbak (mendekati
Intan yang melangkah mundur)! Saya nggak bermaksud begitu. Saya serius Mbak!”
“Ya udah, cepat ngomong!”
Irgi kembali membisu, lalu
berkata pelan, “Sumpah demi Allah (menunjuk atas), saya nggak bermaksud
mempermainkan Mbak Intan. Saya nggak bakal berani mempermainkan perasaan Mbak
Intan.”
“Terus apalagi yang Mas Gik
tunggu!? Apa susahnya ngomong beberapa patah kata!? Apa susahnya Mas!?”
Irgi hanya menunduk. Intan yang ngambek
itu terus melangkah mundur, dan akhirnya meninggalkan Irgi yang masih bengong.
Irgi yang merasa bersalah, berseru, “Mbak (mencoba menyusul)! Mbak Monik! Mbak
Intan!”
Intan yang hampir naik di
tangga menuju serambi atas, menghentikan langkahnya. Irgi yang berdiri sekitar
tiga meter di belakangnya, berkata lembut, “Maafkan saya yang nggak tahu diri.”
Diam sejenak, “Saya pasti ngomong sama Mbak Intan...tapi nggak sekarang.
Sekarang saya belum punya keberanian.”
Intan tersentuh melihat
kesabaran Irgi. Ia pun sadar bahwa Irgi itulah pria yang sekarang sudah mengisi
kamar hatinya. Ia bergumam, “Sama Mas, aku juga nggak punya keberanian. Kalau
punya keberanian, aku udah ngomong duluan.” Diam sejenak. “Tapi, sebaiknya
tetap si cowok yang ngomong duluan.”
Perlahan-lahan ia menoleh
ke belakang. Ditatapnya Irgi yang tetap sabar dan santun. Keluhuran akhlak Irgi
membuat bara emosi di hatinya berkurang banyak. Ia berkata, “Baik
(mengangguk)...kutunggu..”
Irgi tersenyum gembira.
“Makasih banyak Mbak.” Diam sebentar, “Sekarang saya pamit dulu.”
Ketika Irgi melangkah ke
motornya, Hand Phone di saku jaketnya
berbunyi. Ia berkata pada HP-nya, “Iya-iya Pak, nanti saya urus. Saya segera ke
sana.”
Intan mendekati Irgi yang
sedang mengutak-utik HP-nya, lalu berkata lembut, “Mas...”
“Iya Mbak?” sahut Irgi
tersenyum. Intan bertanya, “Nggak ingin nyatet
nomerku?”
“Oh iya-iya (tersenyum gembira). Berapa
Mbak?”
Intan memberikan nomor Hand Phone-nya pada Irgi. Wajahnya yang
beberapa saat tadi merah hitam karena marah, sekarang sudah terlihat cerah lagi
berkat senyum manisnya. Besok paginya, ketika Irgi menjajakan donat di
perkampungan yang berada di dekat rumah Intan, terkejut oleh kehadiran dua
pengendara motor bebek yang memakai helm standart. Mereka memaksa Irgi berhenti
dan turun dari motor. Mereka melepas helmnya. Ternyata mereka Cicik dan Lili.
Irgi terkejut sekaligus lega melihat mereka.
Ia berkata, “Ya Allah...kukira geng Macan lagi. Kukira anak buahnya Jajang.”
Dua sobat Intan itu
menghampiri Irgi, lalu menatapnya dengan tajam. Irgi yang sudah tahu mereka mau
marah, hanya menundukkan mukanya. Lili berkata, “Mas...kamu ini apa-apaan sih!?
Kemarin Monik udah serius lho! Kamu jangan menyakiti Monik! Jangan
mempermainkan perasaan Monik! Dia itu orangnya kalem banget. Dia beda banget sama
kita-kita ini!”
Cicik menyambung, “Ingat
Mas Gik...jangan pernah mempermainkan perasaan Monik. Dia saudari kita. Kalau
lo tega nyakiti dia, berarti lo juga
tega nyakiti kita.”
Irgi menggelengkan kepala,
“Maaf Mbak-Mbak, saya sama sekali nggak bermaksud jelek sama Mbak Monik.
Kemarin saya benar-benar belum berani ngomong.” Diam sejenak, “Tapi Mbak-Mbak
nggak usah kuatir, saya pasti ngomong kok. Saya cuma butuh waktu.”
“Berapa lama!?” tanya Lili.
“Saya usahakan nggak lama.”
Diam sejenak, “Kemarin Mbak Intan udah memaafkan saya. Dia bisa mengerti kalau
saya belum berani.”
“Mas..” ujar Cicik, “kalau
lo nggak berani ngomong langsung, lo bisa ngomong secara tidak langsung. Lo
bisa ngomong lewat isyarat, lewat bahasa tubuh, lewat kertas atau surat.” Diam
sejenak, “Yah, gimana pun caranya, pokoknya lo harus Menembak Intan. Harus!”
Lili berkata, “Oke...kita
bisa ngerti kamu butuh waktu. Tapi jangan lama-lama ya? Jangan bertele-tele.”
“I..iya Mbak, saya
usahakan.”
Hening sejenak, lalu Cicik
berkata, “Besok lo harus ngomong IIN sama dia.”
“Ya..IIN..” sambung Lili.
“IIN?” sahut Irgi bingung.
“IIN itu apa Mbak?”
Cicik menyahut, “IIN itu ya
kamu sama Intan.”
Irgi tersenyum malu, “Saya
sama Mbak Intan? Maksudnya..?”
“Ya elaah, masa’ belum tahu
sih!?”
“Belum Mbak. Apa artinya?”
“IIN itu singkatan,” sahut
Lili. “Irgi-Intan.
Irgi semakin tersipu. Ia
berkata, “Ya Allah,” sambil menepuk dahinya, lalu berkata, “Mbak-Mbaknya ini
kok bisa aja.”
“Tapi asyik kan? hi hi hi..”
sahut Lili. “Dia (menatap Cicik) yang bikin itu.”
Malam harinya Irgi merenung
di kamarnya. Ia duduk di atas ranjangnya dengan memakai sarung. Ia benar-benar
bingung didesak oleh Cicik dan Lili untuk segera menembak Intan. Maksudnya, dia
tinggal bilang, “I love you, Intan,” setelah itu dia dan Intan akan jadi pasangan kekasih. Entah dengan
cara apapun, pokoknya intinya dia harus berani ngomong itu. Ia bergumam, “Ini
benar-benar ujian berat, tapi juga membahagiakan.” Diam sejenak, “Sebaiknya
kubicarakan dulu sama Wiwit, soalnya dia yang paling bisa ngertiin aku, juga ngertiin
Bayu.”
Sesaat kemudian ada SMS masuk ke HP
Irgi. Irgi membuka HP-nya. Ternyata itu pesan dari Intan. Bunyinya: “Mas Gik, maapin aku ya? Mungkin kemarin aku
udah bersikap kasar dan agak berlebihan. Harusnya aku tahu, untuk ngomong
‘begitu,’ butuh waktu dan keberanian. Makanya, sekarang aku nggak desak Mas Gik
untuk segera ngomong. Nggak usah terburu-buru. Yang penting besok Mas Gik
bener-bener ngomong sama aku. Sekali lagi, mohon maaf dan trims.”
Irgi tersenyum gembira,
lalu menjawab, “Iya Mbak, nggak papa.
Saya juga berterima kasih atas pengertian Mbak Intan. Yang penting Mbak Intan
percaya kalau besok saya bener-bener ngomong.”
“Aku percaya, “ sahut Intan.“Sekarang
udah mau tidur ya? aku ganggu ya?”
“Oh enggak Mbak, saya belum mau
tidur. Kalau Mbak Monik sendiri, udah mau tidur belum?”
“Kalau Mas belum ngantuk, aku lebih
belum ngantuk lagi. he he.”
Irgi tersenyum gembira,
lalu menaruh HP-nya di meja. Ia berbaring dengan bibir tersenyum, lalu
bergumam, “Bisakah aku menembak dia? Bisakah aku bilang, “Intan, aku
mencintaimu. Aku menyayangimu?” Bisakah aku melakukan itu?” diam sejenak,
“Yahh...kita lihat aja besok.”
---XXXXX---
“Lo disuruh nembak Intan!?”
tanya Wiwit tersenyum gembira. Irgi mengangguk. Wiwit berkatanya lagi, “Terus
gimana lo mau nembak? Mau ngomong langsung, atau...?”
“Kemungkinan besar nggak
langsung Wit. Lo tahu sendiri kan? gue belum pernah pacaran.”
“Makanya dicobaa..ha ha ha!
Itu akan menjadi saat yang berkesan dalam hidup lo.” Diam sejenak, “Gue setuju
pendapat Cicik sama Lili. Menurut gue, lo emang
cocok sama Intan. Ha ha!”
Irgi tersenyum malu, “Lo
ini Wit..bisa aja..”
“Gue serius Ndra. Gue
dukung lo sama Intan jadian.” Diam sebentar, “Berarti sebentar lagi lo punya
cewek. Hah ha haa!”
Irgi hanya tersenyum sambil
menggelengkan kepala. Beberapa hari kemudian Irgi mengantar donat ke rumah
Monik. Begitu pintu terbuka, muncullah sang gadis manis yang memakai baju merah
muda. Sore ini ia benar-benar seperti bidadari, apalagi sedetik kemudian ia
tersenyum manis sekali. Irgi yang juga tersenyum gembira, berkata, “Donatnya
Mbak, silahkan...”
“Iyaa, makasih. Ini
uangnya, ambil aja semua.”
Irgi tersenyum, “Ini kebanyakan
Mbak. Jangan terus-terusan..”
“Udah, ambil. Buat jajan,
buat beli bensin. Rejeki nggak boleh ditolak.”
Irgi tersenyum malu,
“Makasih banyak. Semoga Allah membalas dengan kebaikan yang berlipat ganda.”
“Amin.”
Hening sejenak. Irgi
melirik Intan, Intan pun tersenyum manis. Irgi hendak pulang, namun Intan
bertanya, “Mau terusan?” diam sejenak, “Nggak mampir dulu?”
Irgi hanya tersenyum malu.
Intan yang terlihat lebih berani itu bicara lagi, “Kalau ke sini jangan hanya
karena nganter makanan.” Diam
sejenak, “Main dulu boleh kok. Kapan aja boleh.” Diam sejenak, “Belum berani
ngomong sekarang?
Irgi masih diam saja sambil
tersenyum. Pertanyaan itu membuatnya semakin kikuk. Namun kalau tidak memaksa
diri, ia tidak akan pernah berani, dan itu akan membuat beban di hatinya
semakin besar. Ia mengatur nafasnya yang berat, lalu berkata dengan bibir tetap
tersenyum, “Saya cuma mau menyampaikan omongannya Mbak Cicik sama Mbak Lili.
Nanti Mbak Monik bisa tahu sendiri.”
Intan tersenyum, “Emang Cicik sama Lili ngomong apa?”
“Mbak Cicik nyuruh saya menyampaikan sesuatu buat
Mbak..”
“Iyaa, Cicik minta Mas
ngomong apa?”
Irgi tersenyum malu, lalu
menjawab, “Mereka nyuruh saya bilang...IIN.”
“IIN?” diam sejenak, “Apa
maksudnya?”
“IIN itu..kita.”
“Kita?”
“Iyaa. IIN itu singkatan?”
“Singkatan? Singkatan apa?”
“Masa’ nggak tahu sih?”
“Nggak tahu (tersenyum
geli). Betul!”
Irgi menunduk sambil
tersenyum, lalu melanjutkan, “Ya udah, nanti Mbak bisa tanya Mbak Cicik atau
Mbak Lili.”
“Iih, ngapain
tanya mereka!? Aku kan bisa langsung tanya Mas Gik.”
Irgi tersenyum malu, “Saya
nggak berani ngomong langsung. Nanti malam aja ya, saya sms...”
“Oke, kutunggu. Jangan
ingkar janji.”
Setelah Irgi pergi, Intan
masuk ke rumah, lalu menghampiri Cicik dan Lili yang lagi nonton TV. Intan
bertanya, “Apa kepanjangannya IIN?”
“Emang Irgi belum ngasih tahu?” tanya Lili.
“Dia minta aku tanya
kalian.”
Lili tersenyum, “Kalau kita
nggak mau ngasih tahu, gimana?”
“Dia minta aku nunggu
sampai nanti malem. Nanti malem dia mau sms.”
“Ya udah, tunggu aja nanti
malem. Hi hi..” (Bersambung)
---XXXXX---
0 comments:
Post a Comment