Friday 13 March 2015

New LIAR: Kuda Mas (Kurir dan Gadis Manis) ; Bagian Kedelapan

Menembak Intan 
Waktu yang dijanjikan telah tiba. Irgi kembali mendatangi rumah Cicik untuk menjajakan donat. Ia tetap beralasan mengantar makanan, walaupun sebenarnya ada tujuan lain yang lebih penting. Cicik dan Lili keluar menyambut Irgi, kemudian membeli beberapa donat kentang. Setelah membayar donat, Lili berkata lirih pada Irgi, “Sebentar lagi dia keluar. Tunggu ya?”




Irgi hanya mengangguk sambil tersenyum malu. Cicik dan Lilik pun masuk ke rumah, meninggalkan Irgi yang berdiri di dekat pagar. Sekitar lima menit kemudian, ada sesosok tubuh yang melangkah pelan ke arah Irgi. Yah, siapa lagi dia kalau bukan Intan Monik Cahyani. Sore ini ia memakai rok terusan kuning bermotif bunga merah. Ia terlihat manis sekali dengan gaun itu. Ia mendekati Irgi dengan jantung dag dig dug. Dilihatnya Irgi yang masih menoleh ke arah lain. Setelah berdiri sekitar dua meter dari Irgi, ia mengatur nafasnya yang naik turun, lalu memejamkan kedua matanya sesaat.
          Setelah kedua matanya dibuka, ia berkata lembut, “Mas Gik...”         
          Irgi yang dadanya juga bergetar, menoleh dengan perlahan. Dilihatnya Intan yang begitu mempesona dengan baju kuningnya. Gadis itu tersenyum manis, lalu bertanya, “Apa kabar Mas Gik?”
          Irgi membalas senyum mempesona itu, lalu menjawab, “Baik Mbak, Alhamdullah...”
          Intan berjalan mendekat, “Kenapa keluar dari restoran pizza? Ada problem ya?”
          “Iya Mbak. Ada hal prinsipil yang membuat saya harus keluar.”
          Intan mengangguk-angguk sambil tetap tersenyum. Ia bicara lagi, “Kemarin pizza, sekarang donat. Hi hi..”
          Irgi tersenyum malu, “Iya Mbak. Ya gimana lagi? hanya ini yang bisa saya lakukan.”
          No problem. Yang penting halal dan baik. Iya kan?”
          “Betul sekali Mbak. Saya hanya berusaha ngelakuin apa yang pernah Mbak katakan kemarin. Cukup menekuni satu bidang, yang penting serius.”
          Kata-kata indah itu membuat Intan tersanjung. Ia menunduk sambil tersenyum manis. Lelaki dan perempuan muda yang mulai terikat tali asmara ini terlihat semakin akrab. Walaupun begitu, mereka masih sama-sama malu, terutama Irgi. Setelah pada diam beberapa detik, Intan berkata, “Aku mau beli donatnya.”
          “Oh iya Mbak, silahkan..”
          Irgi meladeni permintaan Intan, sampai Intan membayar donatnya. Sebagaimana yang pernah dilakukan Intan, ia membayar donatnya dengan harga lebih. Kembaliannya yang masih cukup banyak itu ia berikan kepada Irgi. Benih-benih cinta di hati mereka semakin menguat. Mereka saling menatap dan saling tersenyum malu. Intan bertanya, “Mau bilang sesuatu?”
          Irgi tersentak. “Ehmm...anu Mbak....saya...”
          Hening sejenak. Intan yang sudah serius itu berkata, “Bilang aja..nggak papa. Daripada jadi beban di hati.”        
          Intan terus menatap Irgi dengan wajah penuh harap, sedangkan Irgi lebih banyak menunduk. Hanya sesekali saja ia menatap atau melirik Intan. Ia berkata gugup, “Saya...saya...mau ngomong apa ya?”
          “Nggak usah takut Mas. Ngomong aja kalau bener-bener mau ngomong.” Diam sejenak, “Ayo Mas..silahkan ngomong apa aja..”
          Irgi masih takut untuk mengutarakan hasrat di hatinya. Intan menatap Irgi dengan serius, lalu berkata dalam hati,  “Mas Gik...aku mencintaimu.” Diam sejenak. “Ayo...katakan sesuatu. Katakan kalau kamu juga cinta aku. Ayo Mas..”        
          Pahamkah Irgi dengan bahasa batin Intan itu? Tampaknya paham, namun ia belum berani menanggapi. Ia bergumam, “Maafkan aku Gadis Manis..aku belum punya nyali untuk ngomong. Aku belum berani ngomong sekarang.”
          Hati Intan menyahut, “Kenapa belum berani? Kamu kan tinggal bilang, setelah itu kita akan jadi pasangan kekasih. Kita akan jadi dua sejoli.” Diam sebentar, “Ayo Mas..tembak aku. Tembak aku Mas! Cepat!”
          Intan yang kesabarannya mulai hilang, berkata tegas, “Kita udah ngerasain hal yang sama. Tapi kenapa Mas Gik nggak mau bilang!? Apa yang Mas tunggu!?”
          Irgi sadar kalau ia telah mengecewakan Intan. Ia berkata dengan gugup, “Maafkan saya Mbak. Saya benar-benar belum berani ngomong.” Diam sejenak, “Kapan-kapan aja ya Mbak?”
          Intan langsung cemberut begitu mendengar perkataan Irgi itu. Ia menggelengkan kepalanya, lalu berkata, “Ternyata Mas Gik nggak serius! Mas Gik bohong!”
          “Maksudnya?” tanya Irgi terkejut. Intan yang marah itu menyahut, “Mas Gik nggak tegas! Disuruh ngomong aja nggak mau. Padahal aku udah nunggu. Huh! Ternyata Mas Gik pembohong! Mas Gik cuma mau mempermainkan aku!”
          “Nggak Mbak (mendekati Intan yang melangkah mundur)! Saya nggak bermaksud begitu. Saya serius Mbak!”
          “Ya udah, cepat ngomong!”        
          Irgi kembali membisu, lalu berkata pelan, “Sumpah demi Allah (menunjuk atas), saya nggak bermaksud mempermainkan Mbak Intan. Saya nggak bakal berani mempermainkan perasaan Mbak Intan.”
          “Terus apalagi yang Mas Gik tunggu!? Apa susahnya ngomong beberapa patah kata!? Apa susahnya Mas!?”
          Irgi hanya menunduk. Intan yang ngambek itu terus melangkah mundur, dan akhirnya meninggalkan Irgi yang masih bengong. Irgi yang merasa bersalah, berseru, “Mbak (mencoba menyusul)! Mbak Monik! Mbak Intan!”
          Intan yang hampir naik di tangga menuju serambi atas, menghentikan langkahnya. Irgi yang berdiri sekitar tiga meter di belakangnya, berkata lembut, “Maafkan saya yang nggak tahu diri.” Diam sejenak, “Saya pasti ngomong sama Mbak Intan...tapi nggak sekarang. Sekarang saya belum punya keberanian.”
          Intan tersentuh melihat kesabaran Irgi. Ia pun sadar bahwa Irgi itulah pria yang sekarang sudah mengisi kamar hatinya. Ia bergumam, “Sama Mas, aku juga nggak punya keberanian. Kalau punya keberanian, aku udah ngomong duluan.” Diam sejenak. “Tapi, sebaiknya tetap si cowok yang ngomong duluan.”
           Perlahan-lahan ia menoleh ke belakang. Ditatapnya Irgi yang tetap sabar dan santun. Keluhuran akhlak Irgi membuat bara emosi di hatinya berkurang banyak. Ia berkata, “Baik (mengangguk)...kutunggu..”
          Irgi tersenyum gembira. “Makasih banyak Mbak.” Diam sebentar, “Sekarang saya pamit dulu.”
          Ketika Irgi melangkah ke motornya, Hand Phone di saku jaketnya berbunyi. Ia berkata pada HP-nya, “Iya-iya Pak, nanti saya urus. Saya segera ke sana.”
          Intan mendekati Irgi yang sedang mengutak-utik HP-nya, lalu berkata lembut, “Mas...”
          “Iya Mbak?” sahut Irgi tersenyum. Intan bertanya, “Nggak ingin nyatet nomerku?”
          “Oh iya-iya (tersenyum gembira). Berapa Mbak?”
          Intan memberikan nomor Hand Phone-nya pada Irgi. Wajahnya yang beberapa saat tadi merah hitam karena marah, sekarang sudah terlihat cerah lagi berkat senyum manisnya. Besok paginya, ketika Irgi menjajakan donat di perkampungan yang berada di dekat rumah Intan, terkejut oleh kehadiran dua pengendara motor bebek yang memakai helm standart. Mereka memaksa Irgi berhenti dan turun dari motor. Mereka melepas helmnya. Ternyata mereka Cicik dan Lili.
          Irgi terkejut sekaligus lega melihat mereka. Ia berkata, “Ya Allah...kukira geng Macan lagi. Kukira anak buahnya Jajang.”  
          Dua sobat Intan itu menghampiri Irgi, lalu menatapnya dengan tajam. Irgi yang sudah tahu mereka mau marah, hanya menundukkan mukanya. Lili berkata, “Mas...kamu ini apa-apaan sih!? Kemarin Monik udah serius lho! Kamu jangan menyakiti Monik! Jangan mempermainkan perasaan Monik! Dia itu orangnya kalem banget. Dia beda banget sama kita-kita ini!”
          Cicik menyambung, “Ingat Mas Gik...jangan pernah mempermainkan perasaan Monik. Dia saudari kita. Kalau lo tega nyakiti dia, berarti lo juga tega nyakiti kita.”
          Irgi menggelengkan kepala, “Maaf Mbak-Mbak, saya sama sekali nggak bermaksud jelek sama Mbak Monik. Kemarin saya benar-benar belum berani ngomong.” Diam sejenak, “Tapi Mbak-Mbak nggak usah kuatir, saya pasti ngomong kok. Saya cuma butuh waktu.”
          “Berapa lama!?” tanya Lili.
          “Saya usahakan nggak lama.” Diam sejenak, “Kemarin Mbak Intan udah memaafkan saya. Dia bisa mengerti kalau saya belum berani.”
          “Mas..” ujar Cicik, “kalau lo nggak berani ngomong langsung, lo bisa ngomong secara tidak langsung. Lo bisa ngomong lewat isyarat, lewat bahasa tubuh, lewat kertas atau surat.” Diam sejenak, “Yah, gimana pun caranya, pokoknya lo harus Menembak Intan. Harus!”
          Lili berkata, “Oke...kita bisa ngerti kamu butuh waktu. Tapi jangan lama-lama ya? Jangan bertele-tele.”
          “I..iya Mbak, saya usahakan.”
          Hening sejenak, lalu Cicik berkata, “Besok lo harus ngomong IIN sama dia.”
          “Ya..IIN..” sambung Lili.
          “IIN?” sahut Irgi bingung. “IIN itu apa Mbak?” 
          Cicik menyahut, “IIN itu ya kamu sama Intan.”
          Irgi tersenyum malu, “Saya sama Mbak Intan? Maksudnya..?”
          “Ya elaah, masa’ belum tahu sih!?”
          “Belum Mbak. Apa artinya?”
          “IIN itu singkatan,” sahut Lili. “Irgi-Intan.
          Irgi semakin tersipu. Ia berkata, “Ya Allah,” sambil menepuk dahinya, lalu berkata, “Mbak-Mbaknya ini kok bisa aja.”
          “Tapi asyik kan? hi hi hi..” sahut Lili. “Dia (menatap Cicik) yang bikin itu.”
          Malam harinya Irgi merenung di kamarnya. Ia duduk di atas ranjangnya dengan memakai sarung. Ia benar-benar bingung didesak oleh Cicik dan Lili untuk segera menembak Intan. Maksudnya, dia tinggal bilang, “I love you, Intan,” setelah itu dia dan Intan akan jadi pasangan kekasih. Entah dengan cara apapun, pokoknya intinya dia harus berani ngomong itu. Ia bergumam, “Ini benar-benar ujian berat, tapi juga membahagiakan.” Diam sejenak, “Sebaiknya kubicarakan dulu sama Wiwit, soalnya dia yang paling bisa ngertiin aku, juga ngertiin Bayu.”
          Sesaat kemudian ada SMS masuk ke HP Irgi. Irgi membuka HP-nya. Ternyata itu pesan dari Intan. Bunyinya: “Mas Gik, maapin aku ya? Mungkin kemarin aku udah bersikap kasar dan agak berlebihan. Harusnya aku tahu, untuk ngomong ‘begitu,’ butuh waktu dan keberanian. Makanya, sekarang aku nggak desak Mas Gik untuk segera ngomong. Nggak usah terburu-buru. Yang penting besok Mas Gik bener-bener ngomong sama aku. Sekali lagi, mohon maaf dan trims.”
          Irgi tersenyum gembira, lalu menjawab, “Iya Mbak, nggak papa. Saya juga berterima kasih atas pengertian Mbak Intan. Yang penting Mbak Intan percaya kalau besok saya bener-bener ngomong.”
          “Aku percaya, “ sahut Intan.“Sekarang udah mau tidur ya? aku ganggu ya?”
          “Oh enggak Mbak, saya belum mau tidur. Kalau Mbak Monik sendiri, udah mau tidur belum?”
          “Kalau Mas belum ngantuk, aku lebih belum ngantuk lagi. he he.”
          Irgi tersenyum gembira, lalu menaruh HP-nya di meja. Ia berbaring dengan bibir tersenyum, lalu bergumam, “Bisakah aku menembak dia? Bisakah aku bilang, “Intan, aku mencintaimu. Aku menyayangimu?” Bisakah aku melakukan itu?” diam sejenak, “Yahh...kita lihat aja besok.”     
                                                   
                                                       ---XXXXX---

          “Lo disuruh nembak Intan!?” tanya Wiwit tersenyum gembira. Irgi mengangguk. Wiwit berkatanya lagi, “Terus gimana lo mau nembak? Mau ngomong langsung, atau...?”
          “Kemungkinan besar nggak langsung Wit. Lo tahu sendiri kan? gue belum pernah pacaran.”
          “Makanya dicobaa..ha ha ha! Itu akan menjadi saat yang berkesan dalam hidup lo.” Diam sejenak, “Gue setuju pendapat Cicik sama Lili. Menurut gue, lo emang cocok sama Intan. Ha ha!”
          Irgi tersenyum malu, “Lo ini Wit..bisa aja..”
          “Gue serius Ndra. Gue dukung lo sama Intan jadian.” Diam sebentar, “Berarti sebentar lagi lo punya cewek. Hah ha haa!”
          Irgi hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Beberapa hari kemudian Irgi mengantar donat ke rumah Monik. Begitu pintu terbuka, muncullah sang gadis manis yang memakai baju merah muda. Sore ini ia benar-benar seperti bidadari, apalagi sedetik kemudian ia tersenyum manis sekali. Irgi yang juga tersenyum gembira, berkata, “Donatnya Mbak, silahkan...”
          “Iyaa, makasih. Ini uangnya, ambil aja semua.”
          Irgi tersenyum, “Ini kebanyakan Mbak. Jangan terus-terusan..” 
          “Udah, ambil. Buat jajan, buat beli bensin. Rejeki nggak boleh ditolak.”
          Irgi tersenyum malu, “Makasih banyak. Semoga Allah membalas dengan kebaikan yang berlipat ganda.”
          “Amin.”
          Hening sejenak. Irgi melirik Intan, Intan pun tersenyum manis. Irgi hendak pulang, namun Intan bertanya, “Mau terusan?” diam sejenak, “Nggak mampir dulu?”
          Irgi hanya tersenyum malu. Intan yang terlihat lebih berani itu bicara lagi, “Kalau ke sini jangan hanya karena nganter makanan.” Diam sejenak, “Main dulu boleh kok. Kapan aja boleh.” Diam sejenak, “Belum berani ngomong sekarang?
          Irgi masih diam saja sambil tersenyum. Pertanyaan itu membuatnya semakin kikuk. Namun kalau tidak memaksa diri, ia tidak akan pernah berani, dan itu akan membuat beban di hatinya semakin besar. Ia mengatur nafasnya yang berat, lalu berkata dengan bibir tetap tersenyum, “Saya cuma mau menyampaikan omongannya Mbak Cicik sama Mbak Lili. Nanti Mbak Monik bisa tahu sendiri.”
          Intan tersenyum, “Emang Cicik sama Lili ngomong apa?”
          “Mbak Cicik nyuruh saya menyampaikan sesuatu buat Mbak..”
          “Iyaa, Cicik minta Mas ngomong apa?”
          Irgi tersenyum malu, lalu menjawab, “Mereka nyuruh saya bilang...IIN.”
          “IIN?” diam sejenak, “Apa maksudnya?”
          “IIN itu..kita.”
          “Kita?”
          “Iyaa. IIN itu singkatan?”
          “Singkatan? Singkatan apa?”
          “Masa’ nggak tahu sih?”
          “Nggak tahu (tersenyum geli). Betul!”
           Irgi menunduk sambil tersenyum, lalu melanjutkan, “Ya udah, nanti Mbak bisa tanya Mbak Cicik atau Mbak Lili.”
          “Iih, ngapain tanya mereka!? Aku kan bisa langsung tanya Mas Gik.”
          Irgi tersenyum malu, “Saya nggak berani ngomong langsung. Nanti malam aja ya, saya sms...”
          “Oke, kutunggu. Jangan ingkar janji.”
          Setelah Irgi pergi, Intan masuk ke rumah, lalu menghampiri Cicik dan Lili yang lagi nonton TV. Intan bertanya, “Apa kepanjangannya IIN?”
          Emang Irgi belum ngasih tahu?” tanya Lili.
          “Dia minta aku tanya kalian.”
          Lili tersenyum, “Kalau kita nggak mau ngasih tahu, gimana?”
          “Dia minta aku nunggu sampai nanti malem. Nanti malem dia mau sms.”
          “Ya udah, tunggu aja nanti malem. Hi hi..” (Bersambung)
          
                                                       ---XXXXX---                                       
 

0 comments:

Post a Comment

 
;