Friday 13 March 2015

New Mbah Poleng "Manusia Harimau" ; Bagian Enam

Bagian Enam

Waktu berlalu sangat cepat, khususnya bagi Karno dkk yang masih terperangkap di desa Kidung Angker. Malam pun tiba. Hanya manusia bernyali seribu yang berani tinggal sendirian di Kidung Angker. Kini beralih sebentar ke tempat lain, yang tentunya masih dekat dengan tempat tinggal siluman harimau itu. Di semak belukar dan alang-alang lebat, tampaklah tiga pria bertubuh kekar. Yang satu agak pendek, sudah agak tua. Usianya kira-kira 37 tahun. Sedangkan yang dua agak tinggi
seperti Karno, namun otot-ototnya lebih besar. Usianya 25 tahunan. Mereka membawa senjata tajam berupa pisau besar dan linggis (besi) yang ujungnya tajam. Sambil terus memasuki alang-alang lebat, tiga pemuda ini tampak semakin cemas. Si pria yang tertua memegang senter. Ia arahkan senternya ke seluruh ladang.

Pemuda yang mengenakan kaos kuning lengan panjang, berkata, “Apa ada yang membuntuti kita?”

Pria yang memegang senter tampak tegang. Ia berkata lirih, “Tidak tahu sih. Tapi aku merasa ada yang mengintai kita. Dan itu sudah sejak tadi, sejak kita melewati ladang ini.“

“Kakang juga merasakan?” tanya si kaos kuning. Pria tertua mengangguk mantap, lalu menatap pemuda yang satunya, yang berkaos kerah merah. “Kamu juga merasa begitu Min?”

Min mengangguk. “Iya Kang. Kelihatannya ada yang mengikuti kita (menatap seluruh pemandangan yang gelap). Iih..perasaanku semakin tidak enak. Padahal aku orang sini, lahir dan hidup di sini. Tapi khusus malam ini, aku kok merinding.“

“Ya sudah, waspada semua.,” sahut pria yang dipanggil ‘Kang.’ Ia menatap si kaos kuning, “Jam berapa Yu?”

Bayu menatap arloji di tangan kirinya dengan lampu senthirnya. “Jam delapan Kang. Belum malam. Jam ronda kita masih lama.”

Hening sejenak. Tiga orang ini tampak semakin ketakutan. Setelah diam beberapa detik, Akang berkata. “Gimin benar. Malam ini memang terasa sangat beda. Malam ini sangat angker. Huh! tadi kukira sudah hampir jam dua belas.”

Bayu berkata agak keras. “Memang siapa yang mengikuti kita? Hantu?!”

“Ssst! Jangan keras-keras!” sahut Akang agak membentak. Ditatapnya seluruh ladang yang memang tampak sangat mengerikan. Ia berkata lagi dengan lirih. “Aku merasa..dia semakin dekat.“

“Kang Aji ini!” sahut Bayu ketakutan. “Jangan bikin suasana kacau ah! Aku takut nih!”

“Sama Yu! Tapi ini kenyataan!”

Hening sejenak. Semuanya berdiri agak membungkuk. Bayu berkata, “Memang siapa yang mengincar kita? Mbah Poleng?! Dia kan sudah lama tidak muncul, sudah lama tidak mengganggu desa kita.“

“Tapi sejak kedatangan rombongan pemuda itu..” sahut Gimin. “Rombongan pengacau!”

Bayu melotot. “Rombongan pemuda yang mana sih?”

“Ah kamu ini..tidak tahu apa-apa! Huhh! seminggu yang lalu! lima pemuda yang mati semua itu lho!”

Bayu semakin ketakutan. Gimin melanjutkan. “Mereka disusul teman-temannya, jumlahnya lebih banyak. Kemarin mereka sempat ribut sama Pak Wandi.”

Bayu melotot, “Jadi sekarang, mereka masih di Kidung Angker?”

Diam sejenak. Dinginnya angin malam benar-benar menusuk daging dan tulang Aji, Gimin dan Bayu. Namun itu tidak seberapa dibanding kengerian yang sedang mereka rasakan sekarang. Setelah pada bengong dengan mata melotot, Aji memecah kesunyian. “Mungkin kita sudah melangkah terlalu jauh dari desa. Harusnya kita nggak perlu sampai sini. Ya sudah, sekarang kita balik.“

Baru saja Aji hendak mengajak dua kawannya pergi, mendadak, di alang-alang lebat yang berada sekitar 10 meter dari tempat mereka berdiri, muncullah sesosok besar, namun hanya sekilas. Sosok itu hanya muncul satu detik, setelah itu masuk lagi ke alang-alang lebat. Aji yang pertama melihat itu, langsung meminta semua temannya untuk membungkuk. Kini mereka jongkok di dalam semak belukar lebat. Bayu melotot, lalu berbisik, “Ada apa Kang? Dia sudah kelihatan? Siapa dia?!”

Aji menyahut dengan suara seperti orang berbisik, “Aku belum tahu. Tapi dia besar banget! Kira-kira sekerbau!“ Gimin dan Bayu tersentak. Kini mereka harus bicara dengan berbisik. Bayu yang paling ketakutan, berkata, “Mbah Poleng itu sebesar kerbau enggak Min?”

Gimin mengernyitkan dahinya, lalu menggelengkan kepala. “Seingatku tidak. Masih besar kerbau sedikit.”

Aji menyahut, “Bukan soal ukuran badannya, bentuk badannya itu lho! Beda banget! Kelihatannya tadi, badannya bulat.“

Hening beberapa detik. Detak jantung tiga pria ini terdengar seperti palu memukul batu. Setelah berpikir sejenak, Aji cs memutuskan untuk keluar dari alang-alang lebat itu, lalu bergerak menuju pohon di tepi ladang. Mereka berjalan setengah berlari. Setelah sampai di dekat pohon yang berada di tepi ladang, mereka langsung berdiri berdekatan. Aji mengarahkan senternya ke segala arah. Besi tajam ia acungkan ke depan. Sambil membelakangi kedua temannya, ia berkata tegas. “Waspada semua! waspada!”

Bayu yang nyalinya paling kecil, berkata, “Aku merasa, dia sangat kuat. Jadi kita hindari saja.“

“Inginnya begitu,” jawab Aji yang terus melangkah ke depan. “Tapi sudah terlambat. Sekarang kita sudah masuk perangkap setan.”

Diam sebentar. Aji terus mendekati ladang. Melihat itu, Bayu cemas bukan main. Ia berseru dengan suara berbisik, “Jangan Kang! Heii! Kamu mau apaa?!”

“Tenang (agak marah)! Kalian juga harus siaga! Siapkan senjata kalian!”

Gimin yang lebih pemberani dari Bayu itu langsung siaga. Ia acungkan pisau besarnya. Dengan tangan kiri tetap memegang lampu senthir, ia berjalan menjauhi Bayu. Bayu pun berdiri sendirian di dekat pohon. Jaraknya dengan Gimin terpaut sekitar 2 meter. Hening sejenak. Dari tiga orang ini, hanya Bayu yang tidak siap tempur. Ia benar-benar hanya ingin lari. Beberapa detik kemudian, saat Aji dan Gimin sudah berdiri semakin jauh dari Bayu, muncullah sosok besar dari balik pohon di belakang Bayu. Tubuh bulat besar itu langsung mencekik leher Bayu, lalu menariknya ke belakang. Bayu menjerit, minta tolong kedua temannya. Aji dan Gimin yang baru menoleh ke belakang, hanya bisa melongo. Sedetik kemudian, Bayu dan makhluk besar yang sekilas mirip monyet raksasa itu sudah lenyap di semak belukar. Terlambat sudah bagi Aji dan Gimin untuk menolong Bayu. Mereka hanya bisa berteriak. Gimin berseru, “Kamu benar Kang! Dia bukan Mbah Poleng!”

“Lalu siapa?!”

Dengan jantung nyaris copot, Gimin berkata lemah, “Kalau kulihat sekilas tadi..dia..dia…ahh, tidak! tidak mungkin!”

“Siapa diaa!!?” bentak Aji yang semakin ketakutan. Diam sebentar, setelah itu Gimin berujar, “Dia..dia (mata kian melotot)..GENDRUWO!” Mendengar itu, Aji menggelengkan kepalanya. “Tidak. Tidak mungkin Min! Gendruwo sudah lama hilang. Kata Pak Wandi, sudah 15 tahunan dia hilang.“

“Aku sendiri juga belum yakin kok. Tadi baru kulihat sekilas!“

Hening sejenak. Gimin dan Aji terus mengarahkan besi dan pisau besar mereka ke tempat hilangnya Bayu tadi. Sedetik kemudian terdengarlah suara Bayu yang menjerit keras. Jeritan sepenuh jiwa-raga itu benar-benar menusuk hati. Setelah jeritan itu lenyap, muncullah tubuh besar dari semak belukar. Gimin dan Aji langsung melangkah mundur. Sosok seram itu ternyata makhluk yang tadi siang membunuh Jono. Makhluk yang badannya sangat besar, bulat, yang wajahnya mirip kera. Kini ia berdiri tegak di hadapan Gimin dan Aji. Ia menggeram-geram, siap menumpahkan darah sesaat lagi. Gimin berseru, “Betul kan?! Gendruwo!”

Aji melotot. “Tidak mungkin! Kamu sudah lama hilang!”

“Grrrh..!” sahut Gendruwo marah. Sedetik kemudian ia menyerang Aji yang kebetulan berdiri paling dekat dengan dia. Aji yang ketakutan itu hanya melongo. Akibatnya, dia tidak sempat berbuat apapun. Linggis tajam memang ia acungkan ke depan, tapi kalau yang memegang hanya melongo, tidak siap tempur, apa artinya? Apalagi gerakan Gendruwo sangat cepat, meskipun berat tubuhnya bisa mencapai 115 kg. Tangan besarnya mencengkeram linggis tersebut, lalu ia lemparkan ke tanah. Aji benar-benar tidak sempat memberikan perlawanan. Kepalan kiri Gendruwo menghujam muka Aji. Pria agak pendek namun kekar ini roboh. Selanjutnya, Gendruwo memukulinya berkali-kali.

Pukulan seberat 50 kilo itu jelas meremukkan tubuh dan kepala Aji. Gimin yang tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menjerit. Darah segar membasahi muka dan dada Gendruwo. Aji pun menyusul Bayu ke akhirat. Selanjutnya, monster gorila ini berbuat semakin menjijikkan dan mengerikan. Ia cuil tubuh Aji satu persatu, lalu ia makan. Gimin yang melihat itu, langsung ingin muntah. Gimin yang masih muda dan tidak ingin mati konyol itu langsung mengambil langkah seribu. Ia berlari di kegelapan, menerobos alang-alang lebat.

Keesokan harinya, penduduk desa Jati Wangi sudah berada di tempat pembunuhan tragis semalam. Tampaklah para penduduknya, termasuk Darto dan Wandi, yang jumlahnya sekitar 30 orang. Kini mereka sedang mengerumuni jasad Aji dan Bayu yang sudah ditutup kain. Hati mereka miris melihat tubuh dua pria itu rusak berat. Seorang pemuda 23 tahunan, diminta Wandi untuk segera membawa pulang jasad Aji dan Bayu ke Jati Wangi, lalu dikuburkan dengan cara yang layak. Pemuda tampan itu langsung sendhika dawuh. Setelah itu Wandi mendekati Gimin yang duduk di bawah pohon. Pemuda itu sedang dikerumuni lima orang kawannya. Wandi langsung ikut menemaninya. Ia duduk di samping pemuda malang itu. Setelah kelima kawan Gimin pergi, Wandi bertanya, “Apa dia memang Gendruwo?”

Gimin yang wajahnya pucat pasi itu mengangguk lemas. Wandi bertanya lagi. “Kamu yakin tidak salah lihat?”

Gimin menggelengkan kepala. Ia berkata lembut. “Meskipun gelap, wajahnya terlihat cukup jelas. Apalagi wujudnya. Aku sangat hafal wujudnya.” Diam sejenak, lalu bicara lagi. “Gendruwo sudah muncul lagi. Berarti desa kita dalam bahaya besar.” Diam sejenak, “Semua ini gara-gara rombongan pemuda busuk itu. Gara-gara mereka, setan-setan itu muncul lagi dari sarangnya.“

Diam sebentar. Wandi yang tetap terlihat tenang, berkata, “Di samping gara-gara rombongan pemuda itu, mungkin sekarang memang sudah saatnya.”

“Sudah saatnya apa Pak?!” tanya Gimin agak tersentak. Wandi mengatur nafas, lalu berkata, “Sudah saatnya bagi Ndruwo untuk balas dendam. Mungkin sekaranglah saat bagi dia untuk membunuh Mbah Poleng.“ diam beberapa detik. “Kalau Ndruwo sudah muncul, berarti Dhemit juga sudah.“ diam lagi sejenak. “Kalau memang sudah begini, nyawa seluruh penduduk Jati Wangi benar-benar terancam. Kalau sudah begini, mau tidak mau kita harus perang.“

Setelah selesai berbincang, Wandi mengajak Gimin mendekati orang-orang desa mereka yang sedang mengurus jasad Aji dan Bayu. Beberapa saat kemudian datanglah Pak Kades Jati Wangi. Ia turut berduka atas kematian Aji dan Bayu yang mengenaskan. Arjuno, itulah nama pria berkumis tipis. Usianya di bawah Wandi, sekitar 48 tahun. Posturnya kurus tinggi. Meskipun pemimpin desa, cahaya iman di wajahnya tidak seterang Wandi. Meskipun dia orang nomor satu di desa Jati Wangi, wibawanya kalah oleh Wandi. Sesaat kemudian ia bertanya pada Wandi.

“Lantas apa keputusan anda? Apa langkah anda selanjutnya?”

Wandi membelakangi Arjuno, lalu menatap depan dengan tajam. “Aku mau ke Kidung Angker.”

Semua yang ada di situ tersentak! Wandi menatap semua tetangganya sedesa, lalu tersenyum. “Kalau ada yang mau menemani aku, ya alhamdulillah, tapi kalau tidak, ya no problem. Pokoknya kalian jangan memaksa diri. Kalian tidak perlu ikut susah hanya untuk aku.” Diam sejenak. Semuanya saling menatap. Setelah pada berpikir serius, Arjuno tersenyum sambil mendekati Wandi, lalu ia sentuh bahunya. “Ada yang mau menemani Pak Wandi atau tidak, aku tetap akan menyuruh orang-orang kita untuk menemani Pak Wandi, terutama mereka (menunjuk beberapa pemuda kekar).”

Wandi tersenyum malu. “Pak Kades tidak perlu repot-repot.”

Arjuno tersenyum. “Untuk anda, tidak ada yang repot. Anda sudah termasuk orang terpenting di desa kita tercinta, jadi wajar kalau aku harus selalu memperhatikan segala tindak dan kebutuhan anda. Semua ini juga demi ketentraman Jati Wangi tercinta. Betul tidak semua?!” Orang-orang itu menyahut “BETUL SEKALI!” dengan serempak. Seorang pemuda 25 tahunan berkata, “Pak Wandi, hanya Bapak yang paling tahu soal Mbah Poleng, Ndruwo atau Dhemit, jadi kami harus mau menuruti segala perintah Bapak. Oke, aku juga ikut ke Kidung Angker. Kita berangkat kapan?”

Alangkah gembiranya Wandi mendapat dukungan dari sebagian besar tetangganya. Ia berkata, “Baik, kita berangkat jam delapan, dua jam lagi.” Kini kembali ke Kidung Angker, dimana Karno cs masih bersusah payah mencari kunci mobil Mahmud. Sebenarnya bisa saja mereka pulang dengan mobil besar Triyono, namun itu masih keinginan yang belum terwujud. Mereka selalu mengeluhkan Tri yang masih ingin memburu Mbah Poleng. Itulah yang membuat Tri belum ingin pulang. Kalau dinasehati semua temannya, ia selalu marah. Katanya, “Kalau kalian mau pulang sekarang, ya sana! Kalian kan sudah tidak tergantung aku lagi!”

Sekarang mereka berkumpul di ruangan tempat benda antik berbentuk gelas raksasa. Hanya Tri yang berada di ruangan lain. Sesaat kemudian Ratna minta ditemani ke belakang. Karena Karno masih lelah, juga karena tubuhnya yang masih sakit oleh luka, ia minta tolong yang lain untuk menemani kekasihnya ke belakang. Ratna pun ditemani kawan-kawan Tri yang masih tersisa. Wawan, Ajun, Mardi dan Darkan, si Ambon yang terluka paling parah, namun sekarang sudah agak sembuh. Beberapa langkah kemudian tibalah mereka di luar rumah.

Ratna memohon diri untuk masuk ke kamar kecil yang sangat kumuh. Empat pemuda itu menunggunya di luar. Wawan membawa pedang, Ajun menggenggam kapak, dan Mardi menggenggam tombak kayu. Hanya Darkan yang tidak membawa senjata apapun. Kini ia berdiri paling dekat dengan kamar kecil yang dimasuki Ratna. Beberapa menit kemudian Ratna keluar dari kamar kumuh itu. Ia tatap semuanya sambil tersenyum manis. “Makasih banyak, Mas-Mas.”

“Trima kasih kembali.” Jawab Wawan, Mardi dan Ajun. Darkan yang berdiri di samping kanan Ratna, tersenyum. “Kapan saja, nona cantik.”

Ratna tersenyum manis sekali. “Ya sudah yuk, kita balik. Di sini serem banget.”

“Tuan putri silahkan duluan,” ujar Wawan. Ratna pun berjalan duluan, tapi baru tiga langkah, muncullah Gendruwo dari semak belukar di belakang Darkan. Gendruwo menggeram. Dengan gerakan secepat kilat, tangan kiri Gendruwo mencekik leher Darkan bagian belakang. Ratna dan semuanya melotot. Setelah itu Gendruwo menghujamkan bogem kanannya yang dari besi. Bogeman dahsyat itu menghujam kepala Darkan bagian atas. Darah segar mengucur bagai pancuran, bersamaan dengan suara gemeretak tulang yang remuk. Kepala pria Ambon itu pecah seketika. Kepalanya pecah oleh satu pukulan yang sangat keras. Melihat itu, Ratna langsung menjerit sekeras-kerasnya. Jeritan maut itu langsung sampai ke telinga Karno, Mahmud dan Wahyu yang masih melepas lelah.

Karno tersentak. Luka dan lelahnya langsung musnah. Ia berlari keluar dengan berteriak. Mahmud dan Wahyu langsung memungut senjata tajam mereka, lalu ikut semburat keluar. Demikian juga dengan Triyono yang masih melamun. Begitu mendengar jeritan Ratna, bibirnya tersenyum gembira. “Nah, tambang emasku sudah datang lagi. Oke, sekarang saatnya menangkapmu!”

Setelah membinasakan Darkan, Gendruwo ganti ingin menerkam Ratna yang menyandarkan tubuhnya di tembok. Jarak mereka hanya terpaut sekitar 2 meter lebih sedikit. Ratna melotot, lalu berteriak, “Tolong Mas-Maass! Tolong akuu!!”

Tiga pemuda ini juga ketakutan berat, namun untunglah, mereka termasuk pemuda-pemuda jantan. Rasa takut mereka langsung hilang oleh keinginan untuk menolong seorang gadis cantik yang masih muda belia. Mardi berteriak sambil mendekati Ratna dan Gendruwo. “Setan! Jangan sakiti dia (menusukkan tombak kayunya)!!”

Tombak itu tepat mengenai dada kanan Gendruwo, namun hanya bisa menusuk kulitnya yang bagian luar. Mardi terkejut. Ia tekan lagi tombaknya, biar bisa masuk lebih dalam, namun sia-sia. Kulit monster di hadapannya itu seperti pohon. Wawan yang berada di belakang Mardi, berkata, “Apa-apaan ini! siapa lagi dia?!”

Ajun yang juga melotot, berkata, “Jangan-jangan, dia yang dimaksud Tri! Lihat wujudnya! Seperti monyet raksasa!”

Wawan tersentak. “Benar juga ya? Ooh! Berarti dia yang membunuh Jono!”

Gendruwo menggeram, menahan laju tombak Mardi yang menusuk dada kanannya. Mardi melotot. “Makhluk apalagi kamu?! Hah! Apa kamu golongannya macan keparat itu?!”

“Grrrh.!”

Setelah cukup memberi Mardi kesempatan untuk menyerang, Gendruwo ganti bertindak. Tangan kirinya mematahkan tombak Mardi yang menusuk dadanya. Tombak itu patah jadi dua. Mardi melongo, dan itu langsung dimanfaatkan oleh Gendruwo. Kepalan kirinya menghujam dada kanan Mardi, disusul tangan kirinya yang besi. Tangan iblis itu sampai masuk ke dada kiri Mardi. Sedetik kemudian, ia keluarkan tangannya dari dada Mardi, dan sudah menggenggam jantung yang masih berdenyut. Mardi melotot. Mulutnya yang menganga itu mengeluarkan darah yang membanjir. Tamatlah riwayat Mardi. Ratna yang masih berdiri di dekat pintu sebuah kamar, menjerit semakin keras.

Melihat Gendruwo semakin dekat dengan Ratna, Wawan berseru sambil mengacungkan pedangnya. “Jangan sakiti diaa! lepaskan diaaa!!”

“Grrrh!” sahut Gendruwo yang hendak menerkam Ratna. Kini ia memelototi Wawan yang mendekatinya. Ajun yang juga cemas bukan main itu langsung bertindak cepat. Ia lemparkan kapaknya, dan tepat mengenai muka Gendruwo. Meskipun tidak menghasilkan apapun, setidaknya Ajun sudah berusaha keras melindungi Ratna. Ajun hendak bertindak lagi, namun mendadak, dari semak-semak dibelakangnya muncullah dua sosok mengerikan. Wujudnya nyaris sama. Postur tinggi besar, namun tidak sebesar Poleng atau Gendruwo. Badannya jauh lebih langsing, namun wajahnya tidak kalah mengerikan. Kulit pipi berkerut, bola mata hampir tidak ada. Alis dan bibir tebal, gigi tajam seperti macan. Rambut gondrong dan lusuh, panjangnya sebahu.

Mereka tidak pakai baju, sehingga tampaklah tubuh mereka yang kekar, juga kulit mereka yang tidak wajar. Warna kulitnya seperti manusia biasa, tapi agak licin seperti ular. Mereka hanya memakai celana setengah rok dari kulit binatang tebal. Celana ala Tarsan. Dua sosok mengerikan itu mendekati Ajun yang belum menyadari kehadiran mereka. Dua siluman yang bisa dikatakan ‘kembar’ itu mencabut pisau besar di pinggang kiri mereka. Wawan yang sudah melihat mereka, berteriak sepenuh tenaga. “Awas Jun! Belakangmuuu!!”

Ajun yang sudah tidak membawa senjata apapun, menoleh ke belakang, dan..perutnya langsung ditusuk dua pisau besar. Tusukan yang sangat dalam itu hampir tembus ke punggung Ajun. Ajun melotot, lalu muntah darah. Dua monster itu menggeram, lalu mencabut senjata mereka dari perut Ajun. Sedetik kemudian Ajun roboh, dan baru bisa bangkit lagi kalau bumi sudah hancur. Setelah membunuh Ajun, dua iblis ini menatap Gendruwo. Gendruwo pun mengangguk. Mulut hatinya berkata, “Bagus sekali. “

Wawan yang kehilangan temannya satu persatu dalam waktu teramat singkat, memelototi Gendruwo. Tubuhnya bergetar keras, menahan bara api emosinya yang sudah mendidik. Setelah itu ia berteriak: “Brengsek!!” sambil menghujamkan pedangnya ke Gendruwo. Dengan mudahnya kelima jari Gendruwo menangkap pedang itu. Mati-matian Wawan menarik pedangnya dari cengkeraman tangan Gendruwo, namun sia-sia. Melihat pertahanan kepala dan dada Wawan terbuka lebar, Gendruwo langsung memanfaatkannya. Ia hujamkan tangan kanannya ke muka Wawan. Pukulan baja itu mementalkan Wawan ke tanah. Darah segar menetes dari hidung pria kekar ini.

Gendruwo mendekatinya dengan perlahan, namun sedetik kemudian datanglah Karno dan yang lain. Karno berseru, “Ratnaa! Kamu nggak apa-apaa!?”

Ratna hampir menangis. Wawan yang sudah bisa bangkit itu langsung mendekati Mahmud cs. Sesaat kemudian, datanglah Tri yang membawa senapan biusnya. Ia terkejut. Mahmud bertanya, “Apa dia yang membunuh Jono?”

Tri melotot, lalu mengangguk. Kini perhatian Gendruwo kembali tertuju ke Ratna yang masih berdiri memojok di tembok. Ratna benar-benar sudah terperangkap. Celah untuk lolos dari cengkeraman Gendruwo sudah terlalu sempit. Gendruwo sudah di depan matanya persis. Kini Ratna hanya bisa pasrah. Ia menangis, memohon mukjizat dari Sang Penguasa jagat raya. Gendruwo mengangkat kedua tangannya di depan dada, siap menerkam Ratna sedetik lagi. Namun mendadak, ada batu sebesar bola sepak yang menghujam kepalanya. Batu itu datang dari sampingnya. Tentu saja ia marah besar. Ia berseru, “Kurang ajar! Siapa yang berani ngganggu Gendruwo!”

“Aku!” sahut Mbah Poleng dengan auman. Semuanya terkejut. Mbah Poleng berdiri beberapa meter di samping Karno cs. Gendruwo pun memelototinya. Mbah Poleng menggeram, lalu mendekati Gendruwo yang masih berada di hadapan Ratna. Dengan suara teramat parau, Mbah Poleng berkata, “Berani menyakiti dia (menunjuk Ratna), aku pastikan kamu mampus!”

“Kamulah yang akan mampus!” sahut Gendruwo. Ratna yang melihat Gendruwo menjauh, langsung berlari ke Karno, lalu ia jatuhkan kepalanya di dada sang kekasih. Karno pun membelai rambutnya. “Kamu tidak apa-apa Sayang?”

Ratna yang menangis itu menggelengkan kepalanya. Karno berkata, “Alhamdulillah. Kalau kamu sampai celaka, aku akan menderita panjang.” Kini kita lihat pertemuan dua monster ini. Manusia harimau dan manusia kera. Hawa amarah dan energi tempur di tubuh mereka sudah siap meledak. Jarak mereka berdiri terpaut sekitar 170 cm. Keduanya menggeram. Tidak ada satupun yang takut. Bahkan mereka siap duel habis-habisan. Bahasa batin mereka mengatakan, mereka akan duel hidup-mati. Dua makhluk aneh yang membunuh Ajun, kini juga berhenti bertingkah. Mereka ikut nonton duel Mbah Poleng vs Gendruwo. Mbah Poleng yang wajahnya sudah dipenuhi hawa kebencian, bertanya, “Kamu sudah siap hari ini? sudah mantap?”

“Lebih dari siap!” sahut Gendruwo mantap. “Keinginanku menghancurkan kamu sudah ada sejak puluhan tahun lalu, tapi baru kesampaian sekarang.” Mbah Poleng menyahut, “Tebuslah nyawa Indahku dengan kepalamu!” Hening sejenak. Mahmud cs tidak berani bersuara, bahkan lalat pun membisu. Yang terdengar hanya suara geraman dua makhluk mengerikan ini. Dua makhluk yang memiliki ukuran tubuh raksasa. Mbah Poleng masih lebih tinggi dari Gendruwo. Kira-kira selisih 5-6 cm, namun badannya kalah besar. Badan Gendruwo bulat, mirip pegulat, sedangkan Mbah Poleng kekar, seperti petinju kelas berat. Berat badan mereka kira-kira selisih 10 kg.

Sedetik kemudian, Mbah Poleng menghujamkan kepalan kanannya ke muka Gendruwo, namun Gendruwo tidak terluka. Kepala besarnya hanya bergerak sedikit. Mbah Poleng menggeram, lalu ganti memukul dengan kepalan kirinya, namun hasilnya sama saja. Mbah Poleng tertegun. Sekuat inikah musuh bebuyutannya itu? Namun karena tidak punya rasa takut, Mbah Poleng langsung menyerang lagi. Pukulan ketiga ia lontarkan dengan tangan kanan, namun kali ini Gendruwo bertindak. Tangan kirinya mem-blok tinju dahsyat itu. Melihat pertahanan tubuh Mbah Poleng terbuka, Gendruwo langsung mengirim serangan balasan. Bogem kanannya menghujam perut Mbah Poleng dua kali. Mbah Poleng mengerang. Tangan Gendruwo yang lebih besar dari tangannya itu benar-benar menyakitkan.

Gendruwo menyusulkan tiga pukulan beruntun. Satu dengan tangan kiri, dua dengan tangan kanan. Semuanya menghujam kepala Mbah Poleng dengan sangat telak. Mbah Poleng jatuh berlutut. Darah segar menetes dari mulut dan hidungnya. Gendruwo semakin semangat untuk melumat Mbah Poleng. Amarahnya kian meledak. Mbah Poleng yang juga sudah marah besar itu langsung bangkit lagi. Ia keluarkan dua pisau panjang di punggung lengan kanannya. Senjata andalannya itu ia tusukkan ke Gendruwo, dan..tepat mengenai dada kirinya. Tusukan dua pisau maut itu masuk ke dada Gendruwo cukup dalam. Dua monster ini menggeram. Mbah Poleng berusaha untuk terus menusukkan cakar besinya, sedangkan Gendruwo berusaha menahan laju cakar besi itu.

Tangan kiri Gendruwo menangkap tangan kanan Mbah Poleng, tangan yang bisa mengeluarkan cakar besi. Sekuat tenaga Gendruwo berusaha mencabut cakar Mbah Poleng yang menusuk dada kirinya, dan..berhasil! Tangan kanan Mbah Poleng terkunci. Mbah Poleng ganti memukul dengan tangan kirinya yang memakai kaos tangan besi, namun belum mengenai sasaran. Tangan kanan Ndruwo yang lebih besar, menahan pukulan Mbah Poleng itu dengan mudah. Kini kedua tangan Mbah Poleng terkunci. Mbah Poleng menggeram. Ndruwo yang kedua tangannya dipakai untuk menahan tangan Mbah Poleng, menyerang dengan cara lain.

Ia benturkan kepala besarnya ke kepala Mbah Poleng. Benturan keras itu membuat hidung Mbah Poleng berdarah semakin banyak. Mbah Poleng terhuyung-huyung. Melihat itu, Ndruwo langsung menyerang beruntun. Ia serang dengan energi membunuh yang dahsyat. Pukulan kirinya menghujam telak muka Mbah Poleng. Kepala siluman harimau itu sampai menoleh ke samping. Ndruwo hendak menyerang lagi, namun Mbah Poleng bergerak lebih cepat. Cakar besinya langsung menyambar pipi kiri Ndruwo. Sedetik kemudian pipi Ndruwo berdarah. Namun karena sudah mengamuk, luka itu hanya terasa sakit sedikit. Ia kembali merangsek Mbah Poleng yang melangkah mundur.

Tinju kirinya kembali mendarat ke muka Mbah Poleng, disusul tinju kanannya. Mbah Poleng melangkah mundur, lalu berhenti bergerak. Kepalanya seperti mau pecah. Kalau bukan karena dua kakinya yang kuat, manusia harimau ini sudah roboh. Ndruwo pun berhenti menyerang. Rupanya ia juga lelah bukan main. Ia manfaatkan waktu untuk mengatur nafasnya. Untuk sementara ini Ndruwo tampak di atas angin. Benarkah dia yang akan menang?

Dilihatnya Mbah Poleng masih menyentuh hidung dan mulutnya yang banjir darah. Setelah merasa kuat lagi, Ndruwo langsung memungut batu yang tadi sudah mengenai kepalanya. Ia ingin membalas perlakuan Mbah Poleng tadi. Batu itu siap ia hantamkan ke kepala Mbah Poleng, namun Ratna berteriak, “Awas Mbah Poleng!!”

Siluman harimau ini sadar. Batu yang dilempar Ndruwo sekuat tenaga itu berhasil dihindarinya, sehingga kepalanya yang sudah terluka cukup parah itu tidak perlu menderita lagi. Melihat serangannya meleset, Ndruwo langsung bertindak cepat. Ia pungut kayu sebesar kaki pria dewasa, lalu ia pukulkan ke kepala Mbah Poleng, namun gagal. Tangan kiri Mbah Poleng menjadi tameng bagi kepalanya. Melihat pertahanan Gendruwo terbuka, Mbah Poleng ganti menyerang. Ia hujamkan cakar besinya ke muka Gendruwo. Meskipun tidak begitu telak mengenai sasaran, hasilnya sudah ada. Dahi dan hidung Ndruwo berdarah. Ndruwo menggeram. Mbah Poleng kembali menebaskan cakar besinya, namun kali ini berhasil dicengkeram oleh tangan kiri Ndruwo. Mati-matian Ndruwo menahan dua pisau besar itu, sampai kelima jarinya berdarah.

Melihat badan dan kepala Mbah Poleng terbuka lebar, tangan kanan Ndruwo langsung bertindak. Kepalan mautnya menghujam badan Mbah Poleng tiga kali. Dua mengenai perut, satu mengenai dada. Pukulan yang mengenai dada itu sangat mantap, melebihi dua pukulan sebelumnya. Mbah Poleng melangkah mundur. Gendruwo pun mengirim serangan beruntun. Tinju kirinya menggasak muka Mbah Poleng, disusul dua tinju kanannya. Manusia harimau ini akhirnya roboh. Ia duduk di tanah, dan berusaha untuk bangkit lagi. Namun ketika posisinya masih berlutut, Gendruwo memukulkan dua tangan besarnya ke dua bahu bahunya yang dekat leher. Mbah Poleng kembali roboh. Sekarang posisinya merangkak.

Untuk beberapa detik Gendruwo belum menyerang lagi. Ia hanya menggeram-geram. Rupanya ia sudah cukup puas melihat lawannya tidak berdaya. Kera besar ini masih di atas angin. Benarkah dia memang lebih tangguh dari manusia harimau penunggu desa Kidung Angker ini? Sesaat kemudian Gendruwo kembali mengamuk. Ia tendang pinggang dan perut Poleng yang masih merangkak. Poleng tampak semakin tidak berdaya. Mahmud cs yang menonton perkelahian seru ini, tampak semakin tegang. Mereka tidak tahu harus menjago siapa. Namun berbeda dengan Ratna. Lihatlah gadis cantik ini. Ia tampak cemas sekali melihat Poleng tidak berdaya. Gendruwo yang sejauh ini memang lebih kuat itu sudah siap menginjak-injak Poleng.

Sesaat kemudian Triyono memecah kesunyian. “Luar biasa! Ini benar-benar duel terdahsyat yang pernah kulihat! Duel dua monster ganas. Lebih dahsyat dari duel macan vs singa! Ha haa! Kalau sudah begini, mungkin dia juga akan kuburu. Aku akan memiliki dua makhluk teraneh di dunia! aku akan kaya rayaa! Ha ha haa!”

Kini duel dua monster ini hampir berakhir, dan pemenangnya sudah jelas. Si manusia macan loreng nyaris kalah. Ndruwo berdiri di samping Poleng yang masih merangkak. Satu-dua gebrakan lagi Ndruwo sudah menang. Ndruwo tinggal memilih. Mau membunuh Poleng, atau mau menyiksanya dulu. Namun mendadak, Poleng yang kelihatannya sudah setengah mati itu langsung menyerang lagi dengan sisa tenaganya. Semangat duelnya benar-benar seperti harimau mengamuk. Dengan posisi masih duduk agak berlutut di tanah, ia tusukkan dua pisau maut andalannya ke perut Ndruwo. Cakar besi itu menusuk perut Ndruwo cukup dalam. Ndruwo meringis kesakitan. Poleng langsung berdiri, lalu berusaha menusukkan cakarnya lebih dalam.

Namun sayang, Gendruwo masih terlalu kuat. Tubuhnya benar-benar seperti beton. Tangan kanan Mbah Poleng yang menusuk perutnya itu langsung ia singkirkan dengan tangan kirinya. Selanjutnya, ia kembali mengirim tiga bogeman ke muka Mbah Poleng. Yang pertama dengan tangan kiri, yang kedua dan ketiga dengan tangan kanan. Semuanya mengenai sasaran dengan telak. Tangan sebesar paha lelaki dewasa itu kembali merobohkan Mbah Poleng ke tanah. Susah payah Mbah Poleng berusaha bangkit, namun lehernya yang belakang langsung dipukul Ndruwo. Mbah Poleng kembali terjerembab. Kini posisinya tengkurap di tanah.

Melihat siluman harimau itu semakin babak belur, Ratna cemas bukan main. Ia lepaskan tangannya yang dicengkeram Karno, lalu mendekati dua siluman ganas ini. Tentu saja Karno terkejut. “Say! Kamu mau apa?!”

“Hati-hati Rat! Bahayaa!” sambung Wahyu. Ratna yang hampir menangis ini menyahut, “Tenang, tidak apa-apa! Aku hanya ingin melihat lebih dekat.”

Ratna melihat fisik Mbah Poleng yang terluka parah. Gadis cantik dan lembut ini menitikkan air mata. Hatinya menjerit. “Bangkitlah Mbah Poleng, manusia harimau. Bangkitlah! Kamu tidak boleh kalah. Kamu harus menang! Ohh…monyet raksasa itu jelas lebih jahat dan lebih kejam dari Mbah Poleng. Nanti kalau dia yang menang, kita akan mendapat bahaya yang lebih besar. Ohh…ya Allah, tolonglah dia. Tolonglah manusia harimau ini. Dia sudah menolongku. Kemarin dia juga sudah mengampuni aku. Ohh…tolonglah dia ya Allah, kumohoon. Dia memang kejam, tapi musuhnya itu jauh lebih kejam.“

Sejauh inikah Ratna merasa iba pada Mbah Poleng? Benarkah kekejaman Mbah Poleng berkurang sejak ia melihat dan mengenal Ratna kemarin? Sekarang Ratna hanya berdiri sekitar 2,5 meter di samping Mbah Poleng dan Gendruwo. Melihat Ratna semakin dekat dengan dua makhluk ganas itu, Karno langsung mencengkeram tangan kirinya. “Apa yang kamu lakukan!? Jangan dekat-dekat!”

“Ah, aku..aku hanya kasihan sama dia.“

“Apa? Kasihan?!” sentak Wawan. “Jangan bodoh, cewek cantik! dia kejam sekali! dia sudah menghabisi teman-teman kita!”

Dengan wajah semakin mengiba, Ratna menyahut, “Iya Mas, aku ngerti. Tapi makhluk seperti dia masih punya sedikit perasaan.”

Tanpa sepengetahuan mereka, ada sekitar 8-10 orang yang ikut menyaksikan duel dahsyat ini. Mereka bersembunyi di semak belukar yang berada di belakang dua makhluk aneh pembunuh Ajun dan Mardi. Ternyata itu Wandi dan Gimin, juga beberapa pemuda desa Jati Wangi. Gimin dan para pemuda itu melotot. Katanya, “Apa yang sudah terjadi? Kenapa gadis cantik itu menaruh belas kasihan sama Poleng?!”

Wandi yang terlihat paling tenang, berkata, “Kita lihat saja terus. Yang penting salah satu dari dua makhluk itu harus mati. Kalau tidak, nanti kita akan menghadapi bahaya yang sangat sulit kita atasi.”

Seorang pemuda 20 tahunan berkata, “Huh! Mbah Poleng saja susah banget kita atasi, apalagi ditambah Ndru

wo dan Barno-Karto!”

“Belum ditambah Dhemit!” Sambung pemuda yang lain. “Huh! desa kita benar-benar terancam kiamat kecil!“

Pemuda satunya lagi berkata, “Sekarang aku mau jujur. Meskipun tidak menjago salah satu dari dua iblis itu, aku lebih cenderung menjago Mbah Poleng.“

“Sama Bar!” sahut Gimin mantap. “Maklumlah, Ndruwo jauh lebih jahat dari Mbah Poleng, juga dua keparat itu.” diam sebentar, lalu menatap Wandi dengan senyum. “Kalau Pak Wandi, aku yakin, pasti lebih menjago Mbah Poleng. Betul kan?!”

Wandi tersenyum. “Kalau mau jujur, ya iya. Kita cari yang lebih baik. Dua siluman itu sama-sama bangsat, tapi Wanto masih lebih baik.” Seorang pria 30 tahunan berkumis tebal, tersenyum. “Pak Wandi benar-benar berhati emas. Di antara kita semua, hanya Pak Wandi yang masih mau menyebut nama asli Mbah Poleng.“

Sekarang kembali lagi ke duel sengit antar monster. Gendruwo membantu Mbah Poleng berdiri dengan paksa. Kedua tangan besarnya menarik baju Mbah Poleng yang dari kulit harimau, lalu ia lemparkan tubuhnya ke salah satu kamar yang semuanya terbuat dari kayu. Tubuh besar itu menabrak pintu kayu, kemudian masuk ke dalamnya. Gendruwo yang masih berada di luar, langsung menyusul masuk. Perkelahian pun dilanjutkan di dalam gudang kayu yang teramat sempit. Untuk beberapa detik, Mahmud dkk hanya mendengar teriakan dua monster itu. Geraman mengerikan yang mengiris hati. Geraman dahsyat yang mengiringi duel hidup mati.

Beberapa saat kemudian, salah satu dinding kayu ruangan itu jebol, dan muncullah Mbah Poleng yang kembali roboh di tanah. Gendruwo pun ikut keluar, lalu mendekati Mbah Poleng yang masih duduk di tanah. Kedua tangannya mencekik leher Mbah Poleng. Cekikan besi itu benar-benar menyiksa Mbah Poleng. Ia kesulitan bernafas. Gendruwo benar-benar melakukan dengan sepenuh hati. Kali ini ia benar-benar ingin menamatkan riwayat monster penunggu Kidung Angker ini. Ratna yang paling tidak tahan itu akhirnya memberanikan diri untuk mendekati Mbah Poleng, lalu berseru: “Mbah Poleng! Jangan kalah! Ayo bangkit!!”

Mbah Poleng tersentak. Ditatapnya Ratna yang wajahnya penuh harap. Gadis cantik itu benar-benar merasa kasihan pada dirinya. Gadis itu ingin membantu, namun tidak sanggup berbuat apapun. Mbah Poleng benar-benar keheranan. Akibatnya, ia menjadi tidak begitu merasakan cekikan Gendruwo. Ia bergumam, “Ratna..oh. Gadis ini, sejak tadi mencemaskan diriku. Yahh.. sejak aku berusaha menolongnya tadi, dia semakin mempedulikan aku. Ohh..benarkah? benarkah semua yang terjadi ini?”

Wajah Ratna yang cantik namun sederhana itu membuat Poleng kembali teringat Indah, mantan istrinya. Perlahan-lahan, imajinasinya mulai bekerja. Gadis di hadapannya itu sekarang berubah menjadi Indah. Dilihatnya Indah yang begitu cantik, sama Ratna, namun tampak sedih sekali. Ia benar-benar sedang menderita. Ia benar-benar butuh bantuan. Poleng yang kini terluka parah, bergumam, “In..Indah. Oh Indah, istriku tercinta. Aku kangen kamu sayangku, kangeen banget!”

Perlahan-lahan, energi dan semangat duelnya kembali bergolak. Dalam kondisi fisiknya yang sudah teramat parah, di mana kemenangan nyaris diraih Gendruwo, tidak ada lagi yang bisa membuat Mbah Poleng pantang menyerah, kecuali tekad duel yang masih membara. Mungkin secara fisik, Mbah Poleng sudah takluk. Lihatlah muka dan tubuhnya yang mandi darah, bahkan keringatnya juga menjadi darah. Sedangkan Gendruwo, masih segar bugar. Gendruwo hanya berdarah sedikit di bagian perut dan muka. Gendruwo tinggal menggebrak sekali lagi, Mbah Poleng pasti K.O.

Namun apakah Gendruwo benar-benar akan keluar sebagai pemenang? Seperti kata Ratna tadi, kalau dia sampai menang, kemungkinan besar dia pasti akan memburu Karno cs. Pendapat itu tidak berlebihan, sebab monster bertubuh bulat ini memang jahat sekali. Dia lebih kejam dari manusia harimau. Hal itulah yang membuat Ratna dan semuanya lebih menjagokan Mbah Poleng. Kini lihatlah Mbah Poleng yang semakin sulit bernafas. Tanpa kehadiran Ratna, mungkin sekarang dia sudah mati. Perlahan-lahan, hawa energi dahsyat mulai bersatu dalam tubuhnya yang sudah terluka parah. Yah, hawa energi dari tekad baja untuk mengalahkan Gendruwo, serta semangat duel yang masih menggelora bagai samudra.

Mbah Poleng langsung menggigit tangan kanan Gendruwo yang mencekik lehernya. Gendruwo meringis, lalu tangan kirinya mendongakkan kepala manusia harimau. Mbah Poleng yang semangat duelnya kembali mendidih, langsung bertindak cepat. Apalagi sekarang cekikan Gendruwo sudah mengendur. Kepalan kirinya menghujam muka Gendruwo dua kali. Pukulan dahsyat itu membuat Gendruwo semakin mengendurkan cekikannya. Mulut dan hidungnya berdarah cukup banyak. Sekuat tenaga Mbah Poleng berusaha memberikan perlawanan. Sekuat tenaga Mbah Poleng berusaha untuk bangkit lagi, dan akhirnya berhasil. Cakar besi andalannya kembali bekerja. Dua cakar panjang itu berhasil menusuk perut Gendruwo yang bagian samping kanan, yang sedikit di atas pinggang. Gendruwo mengerang, dan akhirnya ia lepaskan leher Mbah Poleng. Cakar maut Mbah Poleng berhasil menusuk perutnya cukup dalam. Ia melangkah mundur sambil menyentuh perutnya yang berdarah cukup banyak. Kali ini ia benar-benar kesakitan.

Sedetik kemudian Mbah Poleng bisa berdiri tegak lagi. Semua itu berkat tekad duelnya yang sangat sulit untuk dipadamkan. Melihat manusia macan loreng tidak jadi kalah, Ratna gembira sekali. Gendruwo pun heran, demikian pula dengan dua makhluk aneh yang tidak lain adalah kawannya. Mbah Poleng menggeram-geram, siap menerkam sesaat lagi. Tekad duelnya benar-benar seperti harimau mengamuk. Tekad duelnya mengalahkan kondisi fisiknya yang rusak berat. Hening beberapa detik, setelah itu Mbah Poleng mengaum keras. Ndruwo yang sangat kejam dan sombong itu tidak mau larut dalam keheranan panjang. Ia juga menggeram keras, siap duel habis-habisan lagi.

Sedetik kemudian Ndruwo kembali menyerang. Bogem kanannya berhasil menggasak pipi kiri Mbah Poleng. Ia susulkan bogem kirinya, namun kali ini Mbah Poleng tidak mau kepalanya dipukul terus. Tinju kiri itu ditangkis oleh tangan kanan Mbah Poleng. Setelah menangkis, cakar besinya menusuk muka Ndruwo. Tusukan mantap itu membuat Ndruwo menjerit keras. Kedua pipinya tertusuk. Dengan menahan sakit tiada tara, ia cabut cakar besi itu, lalu ia kirim serangan balasan. Bogem kanannya kembali menghujam muka Mbah Poleng, namun Mbah Poleng bisa merasakan, pukulan Ndruwo kali ini melemah. Keduanya melangkah mundur, dan berhenti menyerang. Rupanya mereka sama-sama kesakitan.

Sekarang darah di tubuh Gendruwo juga banyak, terutama muka dan perutnya. Namun karena tekad duelnya juga hebat seperti Mbah Poleng, ia langsung menyerang lagi. Mbah Poleng yang kini tampak sedikit lebih segar dan kuat, langsung bergerak mendahului Gendruwo. Begitu Gendruwo mendekat, cakar besinya menebas dada kanan-kiri Gendruwo. Selanjutnya, ia pukul muka Gendruwo dengan tangan kiri, disusul dua pukulan dengan tangan kanan, setelah dua cakarnya masuk ke punggung tangan. Gendruwo terhuyung-huyung. Melihat itu, Mbah Poleng langsung mengirim pukulan sepenuh tenaga dengan tangan kanan. Pukulan mantap itu menghujam rahang Gendruwo yang kokoh. Manusia atau hewan sekuat apapun, kalau sudah dihajar di bagian lemah tubuhnya, kemungkinan besar pasti K.O.

Kepala Gendruwo mendongak ke belakang, dan akhirnya roboh. Begitu mantapnya tubuh raksasa itu terjerembab di tanah, laksana beruang grizly yang roboh oleh senapan pemburu. Mbah Poleng mendekatinya dengan perlahan. Kini gantian Gendruwo yang berlutut di hadapan Mbah Poleng. Ditatapnya manusia harimau itu dengan penuh kebencian. Nafasnya tersengal-sengal. Mbah Poleng pun menatapnya dengan tajam. Setelah diam sejenak, Mbah Poleng berkata dengan suara seraknya. “Bayarlah derita Indah. ”

Mbah Poleng mengaum, lalu mengujamkan cakarnya ke muka Gendruwo yang hendak berdiri. Gendruwo pun kembali roboh. Lukanya semakin parah. Namun mendadak, Gendruwo bangkit lagi dengan secuil tenaganya. Ia dorong Mbah Poleng ke belakang. Dorongan yang seperti sodokan banteng itu membuat Mbah Poleng roboh. Gendruwo menggeram. Mulutnya seolah berkata, “Kamu tidak jadi menang! Huh! aku tetap yang terkuat!”

Mbah Poleng berdiri lagi, seiring dengan Gendruwo yang mengambil batu sebesar kepala manusia. Sedetik kemudian ia hujamkan batu itu ke muka Mbah Poleng, namun karena kekuatan monyet raksasa ini sudah lemah, gerakannya menjadi lamban. Dengan mudahnya tangan kiri Mbah Poleng menahan laju batu itu. Melihat dada Gendruwo terbuka lebar, cakar besinya langsung menusuk dada bidang itu. Gendruwo menjerit. Cakar Mbah Poleng menusuk dadanya yang bagian tengah. Ia semakin kesakitan tatkala Mbah Poleng mencabut cakarnya. Mbah Poleng membuang batu di tangan kanan Gendruwo, lalu membentak, “Rasakan derita korban-korbanmu, bangsat! Rasakan derita Indaah!!”

Cakar besi Mbah Poleng kembali menusuk dada Ndruwo yang tadi sudah ia tusuk. Kali ini lebih mantap dan lebih telak. Ndruwo menjerit sekeras halilintar. Jeritannya menggoncang seluruh Kidung Angker. Ratna yang berada paling dekat dengan dua siluman ini, menutup kedua telinganya. Mbah Poleng terus membentak, “Rasakan derita Indaah! Bayar derita Indaahh!!”

Setelah Mbah Poleng mencabut cakarnya, Ndruwo masih berdiri, namun sudah tidak punya daya. Mbah Poleng berkata lirih, “Inilah derita Indah. grrh..grrh! Inilah akibat berani menganiaya Indah.“

Setelah itu Mbah Poleng mengaum sekeras-kerasnya, lalu ia hantam muka Gendruwo dengan dua cakar mautnya. Gendruwo roboh di tanah, dan tidak bisa bangkit lagi. Melihat gorila itu sudah takluk, Mbah Poleng melepas nafas lega. Ia atur nafas beratnya yang nyaris putus. Ia tatap Ratna yang tersenyum ke arahnya. Gadis itu terlihat lega sekali. Ia dekati Mbah Poleng, namun Karno langsung mencengkeram tangannya. “Jangan Yang! Bahaya!”

“Tenang, tidak apa-apa! Dia cuma mau berterima kasih sama aku.“

“Berterima kasih? Untuk apa?”

Ratna diam saja, namun Mahmud langsung menjawab, “Mungkin karena Ratna sudah membangkitkan semangat duelnya. Iya kan Rat?“

Ratna mengangguk sambil tersenyum manis. Karno yang masih kebingungan itu berkata, “Membangkitkan semangatnya? Masa’ sih?”

Mbah Poleng yang bisa menangkap pembicaraan muda-mudi ini, bergumam, “Bodoh sekali pemuda bernama Karno ini. Dia tidak bisa memahami bahasa batin kekasihnya. Huh! padahal aku saja bisa. Yahh..aku bisa. Itu karena sifatnya persis Indah, isteriku tercinta.“

Wahyu yang paham itu tersenyum. “Kalian juga lihat kemarin. Dia mengampuni Ratna. Dia mengasihani Ratna. Kita semua juga diampuni.“ Selanjutnya, Mbah Poleng roboh dengan posisi berlutut. Maklum saja, lukanya sudah kelewat parah. Ia masih berada di dekat jasad musuh bebuyutannya. Suasana menjadi tenang, namun hanya sebentar. Dua makhluk aneh yang wujudnya mirip, menggeram keras, siap bertarung sesaat lagi. Rupanya mereka marah melihat Gendruwo tewas. Dua makhluk berambut hitam panjang itu mencabut pisau besar di pinggang mereka, lalu mendekati Mbah Poleng yang masih memulihkan lukanya. Melihat itu, Wawan berteriak: “Awas semuaa! Mau ada perkelahian lagii!”

Dengan susah payah, Mbah Poleng bangkit lagi. Kedua lengan besarnya menangkis dua pedang makhluk itu. Dua kali ia menahan tebasan pisau besar tersebut. Namun karena sudah melemah, gerakannya menjadi lamban. Dadanya terbuka lebar, dan itu dimanfaatkan oleh dua makhluk kembar. Pisau besar mereka berhasil membabat tubuh Mbah Poleng dua kali. Yang pertama mengenai dada, yang kedua mengenai perut. Mbah Poleng mengerang kesakitan, lalu melangkah mundur. Melihat manusia harimau ini benar-benar sudah terluka parah, si makhluk kembar semakin bersemangat. Mereka langsung mengirim serangan beruntun. Kali ini pisau besar mereka berhasil menusuk dada Mbah Poleng bagian tengah. Dengan sisa tenaga, Mbah Poleng berusaha menahan laju dua pisau itu. Ia berusaha keras agar dua pisau itu tidak menusuk dadanya terlalu dalam. Ia menggeram keras.

Tangan kirinya yang besi menghujam muka salah satu dari dua makhluk mengerikan itu. Kepala si makhluk yang kulitnya lebih terang, mendongak ke belakang. Mbah Poleng menyusulkan pukulan kedua, masih dengan lengan kiri. Pukulan kedua ini akhirnya berhasil membuat si makhluk mundur. Mbah Poleng langsung menyerang makhluk yang satunya, yang kulitnya lebih gelap. Warna kulit itulah yang membedakan dua makhluk ‘bersaudara’ ini. Mbah Poleng kembali menebaskan cakar besinya, dan mengenai kedua dada si makhluk. Dengan sisa tenaga, cakar besi Mbah Poleng menyerang lagi. Kali ini mengenai perut lawannya.

Serangan beruntun yang dahsyat itu berhasil membuat si makhluk kembar berhenti menyerang. Kini mereka juga terluka. Tentu saja kesempatan emas yang hanya secuil ini langsung dimanfaatkan Mbah Poleng untuk bernafas. Beberapa detik kemudian si makhluk kembar menyerang lagi. Kali ini mereka mengamuk. Mereka kembali menyerang bersamaan. Benar-benar makhluk kembar. Untuk beberapa detik, tebasan pedang mereka berhasil di tahan Mbah Poleng dengan tangan besi dan dua pisaunya. Namun karena si makhluk kembar sudah mengamuk, akhirnya mereka berhasil melukai Mbah Poleng lagi. Dua pedang itu kembali menyambar dada Mbah Poleng yang kiri. Mbah Poleng melangkah mundur, dan memang hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang.

Meskipun tubuhnya jauh lebih tinggi dan lebih besar dari dua siluman itu, kalau melihat kondisi fisiknya sekarang ini, kemungkinan besar dia akan kalah. Meskipun tenaga dan kemampuan duelnya masih di atas dua siluman itu, dia sudah terlalu lelah untuk duel habis-habisan. Tenaganya sudah habis untuk mengalahkan Gendruwo. Kalau dia punya waktu istirahat agak lama, mungkin tidak terlalu sulit bagi dia untuk mengalahkan dua lawannya yang cukup tangguh itu.

Melihat makhluk penunggu Kidung Angker ini semakin terdesak, Ratna kembali cemas. Kini lihatlah Mbah Poleng yang terus melangkah mundur. Ia hanya berusaha agar tubuhnya tidak terlalu banyak terkena tebasan pedang makhluk kembar. Ia benar-benar nyaris kalah. Namun sekali lagi, tekad duelnya benar-benar seperti si raja hutan. Tekad duelnya membuat tenaganya terkumpul kembali, meskipun fisiknya sudah terluka sangat parah. Saat kedua lengannya menahan dua pedang itu, ia melihat celah pada pertahanan monster yang berkulit lebih terang. Karena tangan kanannya masih menahan pedang monster berkulit agak gelap, ia gunakan tangan kirinya yang lebih leluasa. Bogem kirinya menghujam muka si kulit terang tiga kali. Kulit terang melangkah mundur. Darah segar muncrat dari hidungnya.

Mbah Poleng ganti menyerang si kulit agak gelap, yang tampaknya lebih kuat dari si kulit terang, dan mungkin juga lebih tua. Jika dua makhluk aneh itu memang kakak-adik, si kulit gelaplah yang pantas jadi kakaknya. Susah payah Mbah Poleng berusaha membuka pertahanan lawan, dan akhirnya berhasil. Ia langsung menghujamkan cakar besinya dua kali, dan semuanya mengenai sasaran cukup telak. Pukulan pertama menghujam muka kulit gelap, yang kedua mengenai dadanya. Kulit gelap mengerang. Mbah Poleng yang mengamuk ini bertindak secepat kilat. Ia cekik leher lawan, lalu ia lempar tubuhnya ke temannya yang masih terhuyung-huyung. Tubuh dua bersaudara ini bertabrakan, dan akhirnya roboh. Melihat itu, Mbah Poleng langsung mengatur nafasnya yang ngos-ngosan, kemudian berlutut.

Lagi-lagi ia dapat kesempatan emas untuk istirahat, walau mungkin hanya tiga detik. Darah semakin membasahi muka, lengan, dada dan perut macan loreng ini. Ia sangat berharap agar lawannya tidak menyerang dulu, namun sayang, harapannya itu tidak terkabul. Si kulit coklat muda atau si kulit terang menggeram, lalu berdiri lagi. Kali ini ia benar-benar ingin membunuh Mbah Poleng. Amarahnya yang meledak itu membuat wajahnya semakin mengerikan. Sedetik kemudian ia menyerang lagi, mendahului saudaranya yang masih duduk di tanah.

Ia berteriak sekeras geledek, mengiringi pisau besarnya yang menghujam Mbah Poleng. Manusia harimau menahan pedang itu dengan lengan kirinya. Kalau tapak tangannya tidak dilapisi besi, atau hanya tapak tangan manusia biasa, pasti sudah robek. Sambil meringis menahan pedang, Mbah Poleng bangkit dengan perlahan. Setelah berdiri tegak, mukanya langsung ditonjok dengan tangan kiri si kulit terang. Tonjokan mantap itu menghujam dua kali, namun ketika kulit terang hendak menonjok untuk yang ketiga kalinya, tapak kanan Mbah Poleng menangkisnya, lalu memelintir tangan kekar itu. Kulit terang menjerit. Melihat itu, Mbah Poleng langsung menyerang sepenuh tenaganya.

Ia pukul muka kulit terang dua kali, lalu ia keluarkan lagi cakar besi dari punggung tangan kanannya. Setelah dua pisau mengerikan itu keluar, pemiliknya langsung menusukkannya ke perut kulit terang. Tusukan yang cukup dalam itu membuat kulit terang menjerit. Apalagi saat Mbah Poleng mencabut pisaunya. Selanjutnya, Mbah Poleng ganti menusuk dada kiri lawan, setelah itu ia hujamkan cakar besinya ke muka lawan. Kulit terang roboh, dan sangat sulit untuk bangkit lagi.

Si kulit gelap yang masih lelah, hanya bisa melotot melihat saudaranya sekarat. Mbah Poleng mendekati kulit terang yang kelesotan di tanah. Ia taruh ujung pisaunya di tengkuk kulit terang, lalu berkata dengan suara berat. “Kusingkat deritamu.“

“ZLEBH!” Dua pisau besar itu menusuk tengkuk kulit terang, bahkan hampir tembus ke leher bagian depan. Makhluk ini tidak mengerang sedikitpun. Begitu Mbah Poleng mencabut cakar besi dari lehernya, kepalanya langsung terkulai di tanah. Matanya yang menyeramkan itu tertutup untuk selamanya. Mbah Poleng menjauhi jasadnya dengan langkah pelan. Melihat saudara mudanya tewas, mata si kulit gelap melotot bulat. Wajahnya merah membara. Ia pelototi Mbah Poleng, lalu berteriak sekeras halilintar. Mahmud cs semakin takut melihat duel antar monster ini belum berakhir, bahkan semakin sengit. Gimin yang menyaksikan dari balik dedaunan lebat, menggelengkan kepalanya. “Mbah loreng memang luar biasa. Lukanya sudah parah banget, masih bisa mengalahkan dua iblis itu. Huh! benar-benar edan!”

“Itulah bekas majikanku..” sahut Wandi tersenyum. Sedetik kemudian si makhluk aneh sudah berdiri tegak lagi. Duel sengit pun terjadi lagi. Benturan dua pedang itu benar-benar menggetarkan tanah. Mbah Poleng terdesak. Ia terus melangkah mundur sambil menahan tebasan pedang lawan. Kulit gelap yang membabi buta itu akhirnya berhasil menusukkan pedangnya ke dada kiri Mbah Poleng. Tusukan cukup dalam itu membuat Mbah Poleng mengerang keras. Ia melangkah mundur. Sambil menahan sakit tiada tara, ia pelototi musuhnya dengan kebencian sepenuh hati. Suara seraknya menggeram pelan. Kulit gelap pun semakin membencinya.

Diam beberapa detik. Dua siluman ini hanya saling melotot dan menggeram. Mbah Poleng menyentuh pisau besar yang menancap di dadanya itu. Ia melotot dan meringis. Sedetik kemudian, ia melakukan kenekatan yang paling edan. Ia cabut pedang itu dari dadanya. Ia kesakitan berat, namun hatinya masih lebih sakit kalau ia harus takluk di tangan kulit gelap. Ia banting pedang itu di tanah, lalu ia tebaskan cakar besinya ke muka lawan. Setelah itu ia masukkan kedua cakarnya. Kulit gelap yang masih kuat itu ganti menyerang. Kepalan kanannya menghujam muka Mbah Poleng. Ia lontarkan lagi tinjunya dengan tangan yang sama, namun pukulan kedua berhasil ditangkis oleh tangan kiri Mbah Poleng. Mbah Poleng menggeram, lalu kepalan kanannya menggasak muka lawan yang terbuka lebar.

Ia susulkan lima pukulan dengan tangan sama, semua mengenai perut kulit gelap. Selanjutnya, cakar besi Mbah Poleng kembali keluar, lalu menusuk perut kulit gelap. Kali ini tusukannya benar-benar mantap. Tusukan pencabut nyawa. Kulit gelap menjerit sekeras-kerasnya. Setelah menusuk perut, Mbah Poleng ganti menusuk dada kirinya. Serangan beruntun yang dahsyat itu benar-benar menyedot tenaga kulit gelap. Sekarang ia masih berdiri, namun sudah seperti orang mabuk. Darah segar membasahi sekujur tubuhnya. Darahnya sama dengan yang di tubuh Mbah Poleng.

Diam sebentar, setelah itu Mbah Poleng mengaum. Ia hujamkan cakar mautnya ke muka lawan. Tiga pukulan keras itu akhirnya merobohkan kulit gelap. Ia pun menyusul adiknya ke akhirat. Berhasil! Mbah Poleng berhasil membinasakan siluman-siluman itu. Dengan tubuh merah karena darah, ia berlutut lagi. Kali ini ia benar-benar bisa istirahat. Betapa leganya Mahmud cs melihat duel sengit ini berakhir, terutama Ratna yang paling mencemaskan Mbah Poleng. Ia mencoba mendekati harimau ini, namun lagi-lagi sang kekasih mencegahnya.

Mbah Poleng pun menatap Ratna dengan mengiba. Wajahnya menunjukkan deritanya yang amat berat. Segala kekejaman yang telah ia lakukan selama ini, seolah musnah semuanya. Mahmud dkk menjadi iba pada monster ini, padahal beberapa saat tadi mereka masih benci dan takut akan kekejamannya. Hanya Triyono yang masih terlihat kegirangan. Pria ambisius ini mendekati Mbah Poleng yang duduk lemas di tanah. Ia tersenyum angkuh. “Badanmu besar sekali. Hah! Benar-benar duel terdahsyat yang pernah kulihat.“ Diam sambil tetap tersenyum, lalu bicara lagi. “Berarti ada empat monster yang menghuni Kidung Angker ini.”

“Ada lima!” sahut Wandi agak membentak. Ia dan Gimin muncul dari belakang Karno cs, disusul para penduduk Jati Wangi yang lain. Jumlah mereka delapan, ditambah Wandi dan Gimin jadi sepuluh. Nyaris semua pria itu berotot, atau minimal bertubuh tegap. Semuanya masih muda, sekitar 20-27 tahun. Hanya satu orang yang sudah agak tua. Usianya sekitar 35 tahun. Mahmud cs terkejut melihat kehadiran sepuluh pria penduduk Jati Wangi itu. Mahmud dan Karno tersenyum dan menganggukkan kepala. Wandi menatap tajam muda-mudi ini, lalu berkata, “Masih ada satu monster lagi. Kekuatannya sama Gendruwo, tapi lebih kejam.“

Mendengar penjelasan itu, Mahmud dkk menjadi tegang lagi. Wandi bertutur lagi. “Dia Dhemit.“ diam sejenak. “Sekarang aku belum tahu dia ada di mana, tapi yang jelas, dia sudah ada di sekitar sini, di sekitar desaku.” Hening sejenak. Wandi memelototi Mbah Poleng, lalu membentak, “Mbah Poleng! Kekejamanmu cukup sampai hari ini! kamu tidak boleh membunuh lagi! Jadikan tiga iblis itu sebagai korban terakhirmu! ”

Mbah Poleng yang hampir pingsan itu tersentak. Ada manusia kecil yang berani menceramahinya dengan membentak. Perlahan-lahan, kekuatannya kembali muncul berkat rasa tersinggungnya. Ia berdiri dengan susah payah, lalu menatap Wandi dengan tajam. Jarak mereka berdiri terpaut sekitar 3 meter. Mbah Poleng menunjuk Wandi, lalu berkata dengan suara yang lebih jelek dari suara keledai. “Kamu..grrhh! siapa kamu? Grrr..grrh. Rasanya…aku pernah lihat kamu.” “Aku Wandi..” sahutnya dengan senyum sinis. Mbah Poleng tersentak. “Wandi?! Grrhh..grrhh. kamu…Wandi?!” “Yah..aku sudah setua ini.“ diam beberapa detik, lalu melotot. “Mbah Poleng! Kalau kamu membunuh sekali lagi, kamu wajib berurusan sama aku, juga seluruh penduduk Jati Wangi! Kamu dengar!?” Mbah Poleng hanya menggeram. Sesaat kemudian Tri mengarahkan senapan biusnya, lalu berseru: “Manusia harimau! Rasakan ini!” Tri melepas tiga peluru biusnya yang berbentuk panah kecil. Semua mengenai perut dan kedua dada Mbah Poleng. Manusia harimau ini mengerang kesakitan. Semuanya terkejut. Wandi membentak, “Goblog! Apa yang kamu lakukan?!” “Inilah tujuanku sekarang!” sahut Tri tersenyum mengejek. “Dia mau kubawa pulang, lalu kujadikan keajaiban dunia. Ha ha haa! Triyono bisa kaya raya!”

Wandi menggelengkan kepala. “Di saat segenting ini, masih ada juga yang memenuhi nafsu iblis!“

Mbah Poleng mengaum sekeras-kerasnya. Ia cabut panah itu satu persatu, lalu memelototi Tri. Amarahnya mencapai puncak. Tri tersenyum mengejek. “Ngamuklah sepuasmu, karena sebentar lagi kamu mampus! Hah haa! Sebentar lagi kamu jadi budakku, tambang emasku. Ha ha haa!” Mbah Poleng menggeram, siap membunuh lagi dengan sisa tenaganya. Dengan langkah gontai, ia mendekati Tri. Kedua tangannya ingin mencabik-cabik tubuh pria sombong ini. Tri yang beberapa detik tadi masih tertawa binal, kini melotot. Ia melangkah mundur sambil menggelengkan kepala. “Ini tidak mungkin! Beruang Grizly saja bisa pingsan!”

“Grrrh..!” sahut Mbah Poleng yang semakin mendekati Tri yang terus melangkah mundur. Tri yang sudah tidak memegang senjata apapun, berseru, “Biusku ini untuk tiga macan besar! Harusnya kamu sudah mampus!”

“Dia lebih kuat dari banteng,” sahut Wandi tenang. Kini Triyono dan Mbah Poleng siap kejar-kejaran. Sedetik kemudian Tri masuk rumah. Mbah Poleng yang seharusnya istirahat, terpaksa mengeluarkan tenaganya lagi. Dengan gerakan lamban, tubuh besar ini menyusul Tri masuk ke rumah besar. Wandi menggelengkan kepala. “Budak iblis! Kalau kamu tidak segera bertobat, kamu pasti mampus!”

Wandi dan sembilan kawannya segera menyusul Mbah Poleng dan Triyono. Mahmud cs yang masih bengong, sedetik kemudian langsung mengikuti langkah Wandi dkk. Dengan sangat berat hati, mereka tinggalkan jasad kawan-kawan mereka yang tergeletak bagai bangkai tikus. Kini Tri berlari kencang sambil terus menoleh belakang. Beberapa langkah kemudian, tibalah Tri di ruangan terbesar di rumah tersebut. Ruang yang ada tiang kayu besar yang roboh. Mbah Poleng yang kepayahan itu akhirnya bisa sampai juga di ruangan tersebut.

Dilihatnya Tri berdiri di dekat tiang kayu yang tumbang. Tri yang kelabakan itu hanya bisa menempelkan tubuhnya di tembok. Kini posisinya benar-benar terpojok. Perlahan-lahan, Mbah Poleng mendekati Tri dengan langkah gontai. Ia seperti orang yang mabuk berat. Pandangan matanya semakin mengabur. Meskipun jaraknya berdiri dengan Tri hanya terpaut 2 meter, kalau kondisi fisiknya sudah segawat ini, mustahil bagi dia untuk membereskan mangsanya itu. Jangankan melumat Tri dengan tangan besi atau dua pisau maut andalannya, mengayunkan kedua tangannya saja sudah tidak bisa. Kedua kakinya bergetar keras. Pandangan matanya berkunang-kunang, seperti orang yang ngantuk berat, yang tiga hari tiga malam tidak tidur.

Selain karena terluka parah akibat duel dengan Gendruwo dan si kembar, bius macan yang menusuk tubuhnya tadi sudah bekerja. Mbah Poleng berlutut di hadapan Tri. Melihat itu, Tri bersorak. “Bagus. Racun ampuhku sudah bekerja. Ha ha haa! Dasar binatang! Sehebat apapun kamu, aku masih jauh di atasmu! Ha haa!”

Sesaat kemudian tibalah semuanya di ruangan itu. Mahmud cs melihat Mbah Poleng bertekuk lutut di hadapan Tri. Pandangan matanya semakin mengabur, dan akhirnya hilang. Setelah kedua matanya tertutup, tubuh besarnya roboh di lantai. Makhluk perkasa ini akhirnya bisa ditaklukkan juga. Melihat Mbah Poleng benar-benar sudah tak sadarkan diri, Tri bersorak gembira. Ia mendekati Mbah Poleng, lalu ia tendang perutnya. “Brengsek! Tadi kamu mau bunuh aku!? Huh! omong kosong! Apapun yang terjadi, kamu tetap calon budakku! Apapun yang terjadi, kamulah tambang emasku.! Ha ha haa!”

Setelah menginjak-injak perut dan dada Mbah Poleng, Tri ganti ingin menginjak kepala siluman ini. Ratna yang paling merasa iba, berseru, “Jangan Mas! kasihan!”

“Diam kamu! Gadis cilik! Aku berbuat sesuka hatiku, dan tidak ada yang bisa melarang! Huhh! Buat apa kasihan sama keparat ini (menginjak dada Mbah Poleng)!? Kita sudah melihat kekejamannya. Dia setan terkutuk!” diam sejenak. “Seistimewa apapun binatang ini, dia tetap makhluk rendah!“ diam lagi, setelah itu tertawa binal. “Dia hanya binatang, tapi binatang yang istimewa. Binatang yang bisa membuatku mandi uang. Ha ha haa!”

Betapa muaknya Karno cs melihat akhlaq Tri yang semakin buruk. Sementara Tri masih tertawa gembira, Mahmud mendekatinya dengan perlahan. Kini Mahmud berdiri di samping kanan Tri. Tangan kirinya menyentuh bahu kanan Tri, lalu memanggil namanya dengan lembut. Tri pun menoleh ke samping kanan, dan…sebuah bogem menghujam mukanya dengan telak. Bogeman kiri Mahmud. Ia langsung menyerang lagi. Tinju kanannya menghujam perut Tri, kemudian memukul muka si sombong dengan tangan kanannya. Pukulan tiga kali itu akhirnya merobohkan Tri. Ia duduk di lantai dengan hidung berdarah. Ia marah besar, lalu ingin berdiri, namun Mahmud bergerak lebih cepat.

Mahmud sudah menodongkan pedangnya ke leher Tri. Mahmud marah besar, namun masih terkendali. Ia berkata, “Gara-gara kamu, kita semua kacau balau! Gara-gara kamu, kita semua jadi setengah mati begini! Huh! Bisa-bisanya kamu mengatakan dia kejam. Kamu sendiri tidak kalah kejam! Kamu tega membunuh teman-teman baikmu! Kamu bunuh Parjo dan Hendik! Huhh! Kalau aku tidak beriman, sekarang kepala dan badanmu sudah lepas!” Setelah merasa cukup mengomeli Tri, Mahmud menjauh. Tri yang sudah tidak berdaya itu duduk di lantai. Ia bengong, tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Kini suasana ruangan terasa lebih tenang. Wahyu mendekati Mbah Poleng yang tertidur pulas, lalu duduk di samping kirinya. Ia gelengkan kepalanya. “Maha Suci Allah. Makhluk ini sungguhan.“

Semua pun takjub. Ratna ikut duduk di samping kiri tubuh raksasa itu. Ia elus kepala dan dada Mbah Poleng. Semua keheranan. Wahyu bertanya, “Rat..kamu benar-benar kasihan sama dia?”

Ratna mengangguk lemah. Wandi tersenyum, lalu berkata lembut. “Kalau kuperhatikan sejak tadi, memang hanya Neng Ratna ini yang paling mencemaskan Poleng. Apa benar Neng?”

Ratna mengangguk mantap. “Dia sudah nolong saya Pak. Kemarin dia juga sudah mengampuni saya.” Diam beberapa detik. Ditatapnya Mbah Poleng seperti menatap orang yang dikasihinya. Ia elus dahi macan loreng itu, lalu berkata lembut, “Sekarang saya harus merawat dia.“ “Jangan!” seru Tri sambil berusaha berdiri, namun tinju kanan Mahmud kembali menghujam hidungnya. Pria sombong ini roboh lagi. Dengan tenang Mahmud berkata, “Sekarang kamu sudah tidak bisa apa-apa, jadi tidak usah ikut-ikutan!“

Mendengar itu, Tri hanya memelototi Mahmud yang berdiri tegak di hadapannya. Ia hapus darah yang menetes cukup deras dari hidungnya. Setelah itu ganti Wawan yang mendekatinya. Tangan kanan Wawan yang memegang senapan bius, langsung ia pukulkan ke perut pemiliknya. Tri kembali mengerang, lalu membentak. “Brengsek! Apa-apaan kalian! Huhh! Wan! Kamu..!”

Wawan melotot. “Tega sekali kamu membunuh Hendik dan Parjo, terutama Parjo!“ diam sebentar, lalu melanjutkan, “Sekarang terimalah upah dari kekejamanmu, juga ambisimu untuk memiliki macan ini!”

Wawan kembali memukul perut Tri dengan senapan bius. Kali ini lebih keras. Tri mengerang. Wawan bicara lagi, “Sudah bagus kamu tidak kubunuh. Kalau nanti kamu berani macam-macam lagi, kamu tidak perlu menunggu dibunuh Poleng, atau monster lain yang mungkin masih ada di desa ini. Kamu akan langsung kubunuh! Camkan itu!“

Setelah berkata begitu, Wawan meninggalkan bekas bossnya itu. Alangkah terhinanya Tri yang sangat tinggi hati ini, namun apa yang bisa ia lakukan sekarang? Mau tidak mau, Tri harus mengakui, sekarang ini ia memang sudah tidak berdaya. Hening sejenak. Ratna benar-benar melakukan apa yang sudah ia katakan tadi. Ia merawat Mbah Poleng dengan hati-hati. Ia kompres dahi Mbah Poleng dengan kain basahan. Karno yang duduk disamping Ratna, terlihat agak

cemburu. Ia berkata, “Say, kamu tidak perlu repot-repot mengurus dia. Nanti kamu malah capek. Toh setelah ini dia belum tentu jadi baik hati.“ Mendengar itu, Ratna hanya tersenyum. “Tidak ada yang repot Mas. Aku hanya berusaha menurunkan suhu badannya, juga memampatkan darahnya ini. Iih, lihat darahnya. Kasihan banget dia. Gimana kalau dia sampai kehabisan darah..“

Inilah jawaban Ratna. Jawaban yang membuat sang kekasih semakin cemburu. Sebesar inikah rasa kasihan Ratna terhadap manusia harimau? Salahkah apabila Karno cemburu? Benarkah ia harus cemburu pada manusia binatang? Beberapa menit kemudian Wandi berkata, “Sekarang akan kuceritakan asal-usul monster ini, juga gelas aneh itu. Kalian mau tidak?”

“Sangat mau Pak!” sahut Mahmud mantap. “Gelas raksasa itu membuatku merinding,” sambung Wahyu. Wandi mengangguk. “Baiklah anak-anak muda, demi keselamatan kita semua, akan kuceritakan siapa dia, juga sedikit tentang diriku.“

xxxxx

bersambung ...

0 comments:

Post a Comment

 
;