Saturday 30 August 2014

Ibadah yang Ideal | Jangan Berlebihan Menyanjung Uje

Bab Tiga

Ibadah yang Ideal

Suatu ketika, ada tiga lelaki yang mendatangi rumah istri-istri Nabi Saw. Mereka ingin mengetahui ibadah beliau selama ini. Salah satu dari mereka berkata, “Seperti apakah perbedaan kami dengan Rasulullah Saw? Beliau orang yang dosanya telah diampuni, baik dosa yang telah lewat maupun yang akan datang.” Artinya, Rasulullah Saw itu orang suci, yang terpelihara dari dosa, tapi beliau masih sangat rajin beribadah. Secara umum, para sahabat Nabi dan masyarakat Madinah mengetahui aktivitas beliau di masjid dan di pasar. Namun untuk aktivitas rumah tangga beliau, aktivitas yang sifatnya sudah pribadi, hanya diketahui oleh keluarga beliau dan para pembantunya semacam Abdullah bin Mas’ud dan Anas bin Malik.


Para istri Nabi menerangkan ibadah beliau Selama ini. Setelah mendengar info tentang ibadah Rasul, tiga lelaki yang sangat bersemangat untuk beribadah ini menganggap ibadah beliau kurang sempurna. Salah satu dari mereka berkata, “Aku akan sholat sepanjang malam dan tidak tidur.” Yang satunya berkata, “Aku akan puasa sepenjang hari tanpa berbuka.” Yang satunya lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita untuk selamanya alias tidak menikah.”

Setelah info di atas sampai pada Rasulullah Saw, beliau mendatangi mereka, lalu bertanya, “Kalian yang tadi bicara begini dan begitu?”. Mereka menjawab, “Benar.” Rasulullah Saw menanggapi, “Demi Allah. Di antara kalian semua, akulah orang yang paling paling bertakwa.* Tapi aku berbuat yang wajar saja, berbuat seperti manusia pada umumnya. Aku rajin puasa, tapi aku juga berbuka. Aku juga rajin sholat malam, tapi aku juga tidur dan menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia tidak termasuk umatku.”

*Catatan Kaki: Ucapan ini bukan menunjukkan sifat sombong atau ujub (bangga diri), namun sebatas petunjuk bahwa Nabi Saw itu manusia yang paling dekat dan paling mengenal Allah SWT, dan sudah pasti ucapan beliau ini hanya perintah Allah, sebab dalam surat An-Najm, surat ke 53 ayat ke 3 dan ke 4 Allah SWT berfirman: “Dan dia (Muhammad Saw) tidak menuturkan (Al-Quran) menurut hawa nafsunya. Yang dia tuturkan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

Dalam riwayat lain disebutkan, seorang pemuda bernama Abdullah bin Amr bin Ash berkata, “Sungguh, aku akan berpuasa dan sholat malam sepanjang hidupku.”

Rasulullah Saw bertanya, “Wahai Amr bin Ash, benarkah kamu berkata begitu?”
“Benar ya Rasulullah..”
Rasulullah Saw berkata, “Kamu tidak akan sanggup melakukannya. Kalau kamu mau, kamu bisa puasa tiga hari dalam sebulan.”
Amr bin Ash, “ Ya Nabiyullah, saya bisa melakukan lebih dari itu.”
Rasulullah Saw, “Baiklah kalau begitu. Kamu bisa puasa dua hari dalam seminggu.”
Amr bin Ash, “Saya bisa lebih dari itu.”
Rasulullah Saw, “Baiklah, berpuasalah sehari, dan berbukalah sehari.”
Amr bin Ash, “Saya masih bisa lebih dari itu.”
Rasulullah Saw, “Kamu tidak boleh berpuasa lebih dari itu, sebab itu puasanya Nabi Daud ‘Alaihissalam.”

Demikianlah Rasulullah Saw mengajarkan ibadah dalam Islam kepada umatnya. Kisah di atas memberi pelajaran berharga untuk kita. Segala hal yang dilakukan berlebihan itu tidak baik, walaupun itu ibadah. Imam Al-Ghazali berkata, “Ibadah yang dilakukan tanpa ilmu (dalil) itu sia-sia atau tidak berguna, walaupun ibadahnya menyerupai malaikat (sangat rajin).”

Kisah di atas menerangkan tentang beberapa pria Muslim yang ingin beribadah dengan semangat. Di satu sisi mereka patut diacungi jempol, namun di sisi lain mereka harus dikoreksi karena cara beribadah yang akan mereka lakukan keliru, dan bentuk kekeliruannya karena mereka berlebihan dalam menjalaninya. Dalam sebuah hadits shahih yang sudah kami sampaikan di bab depan, Rasulullah Saw bersabda, “Binasalah orang-orang yang berlebihan,” juga hadits lain yang berbunyi, “Jauhilah sikap berlebihan, karena tidaklah orang-orang sebelum kamu binasa kecuali karena sikap berlebihan (dalam agama).”

Begitu semangatnya tiga lelaki di atas untuk beribadah, begitu juga Abdullah bin Amr bin Ash. Namun karena terlalu semangat, mereka menjadi berlebihan dan menentang fitrah. Yang namanya manusia normal, tidak mungkin bisa berpuasa terus tanpa berbuka, atau sholat malam terus tanpa istirahat (tidur). Apalagi membujang selamanya. Hal ini jelas sangat berat dilakukan, terutama bagi para pemuda yang sudah dewasa. Kecuali jika pemuda yang sudah dewasa tersebut memang belum mampu untuk menikah. Dia harus berjuang menahan syahwatnya dengan berpuasa atau menyibukkan diri dengan kegiatan positif.

Seperti yang sudah kita jelaskan di bab awal, ada dua syarat diterimanya ibadah. Pertama, ikhlas karena Allah, Kedua, beribadah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Amr bin Ash dan tiga lelaki di atas sangat bersemangat untuk beribadah, namun semangat itu bukan tolok ukur kebenaran. Seseorang tidak bisa beribadah atau beramal sholeh hanya dengan mengandalkan semangat. Rasulullah Saw pun mengingatkan bahwa beliau itu orang yang paling bertakwa kepada Allah, namun beliau tidak sampai sholat tanpa tidur, puasa tanpa berbuka, atau membujang seumur hidup. Di satu sisi ibadah beliau luar biasa (rajin dan rutin), namun di sisi lain beliau tetap melakukan sewajarnya. Beliau tetap melakukan hal-hal yang menjadi kebutuhan wajib manusia normal. Dari sabda beliau di atas, kita mendapat pelajaran bahwa ibadah terbaik atau yang paling ideal itu yang dilakukan di tengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Kita ambil contoh yang logis dan gampang. Jika kita makan berlebihan, kita akan lumpuh karena kekenyangan. Kalau sudah lumpuh, tentu kita akan sulit beraktivitas. Begitu pula sebaliknya, kalau kita kelaparan atau kurang makan, kita akan lemas karena kurang tenaga. Kalau kita lemas, tentu kita akan sulit beraktivitas dengan baik. Karena itu, kita diperintahkan untuk beribadah semampu kita. Jika kita beribadah melebihi kemampuan kita, nanti kita akan lelah dan bosan. Begitu juga kalau ibadah kita kurang, nanti akan banyak sunnah Rasul yang kita tinggalkan, juga pahala yang akan kita peroleh kurang banyak.

*****

Rutin is The Best
Judul ini kami ambil dari judul salah satu cerpen karya Penulis. Suatu ketika Rasulullah Muhammad Saw masuk ke rumah Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, dimana saat itu di rumah Aisyah ada seorang wanita. Rasulullah Saw bertanya, “Siapakah dia?”. Aisyah menjawab, “Dia seorang Wanita Ahli Ibadah. Dia Wanita Ahli Sholat.” Rasulullah bersabda, “Jangan begitu, berbuatlah (beribadahlah) semampu kalian. Sungguh Allah tidak akan jemu untuk memberi balasan buat kalian, sampai kalian sendiri yang merasa jemu.”

Berdasarkan riwayat shahih di atas, kita diperintahkan untuk beribadah semampu kita, sebab Allah SWT tidak akan memberi cobaan kepada kita, kecuali yang sesuai dengan kemampuan kita. Allah tidak akan menyuruh kita berbuat ini atau itu, kecuali perintah tersebut sesuai dengan kemampuan kita. Dalam riwayat di atas, Aisyah menyebut wanita yang sedang bertamu di rumahnya itu sebagai Wanita Ahli Sholat. Hal itu karena wanita tersebut sangat rajin dan bersemangat dalam mengerjakan sholat selain sholat wajib lima waktu. Namun di mata Rasulullah Saw, ibadah yang dilakukan wanita itu kurang ideal. Ibadah yang dilakukan wanita itu melebihi kemampuannya, sehingga dikuatirkan bisa membuatnya jenuh atau bosan. Kalau seseorang sudah bosan melakukan sesuatu, walaupun itu perbuatan baik, dalam waktu yang tidak lama lagi ia akan berhenti melakukannya.

Berbeda dengan orang yang ibadahnya sudah ideal. Ia tidak akan membebani dirinya dengan hal-hal yang diluar kemampuannya, apalagi hal-hal yang di luar kemampuannya itu tidak wajib. Namun ia juga tidak terlalu sering meninggalkan hal-hal yang sunnah atau dianjurkan, hal itu karena ia juga membutuhkan tambahan pahala yang bisa mengurangi dosa-dosanya. Dengan beribadah yang ideal, tidak berlebihan dan tidak kekuarangan, ia bisa lebih nikmat dalam menjalaninya. Ia akan berhenti atau istirahat ketika lelah, dan tidak meninggalkannya karena bosan.

Itulah sebabnya kenapa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menjelaskan hikmah dari pelarangan sholat sunnah di waktu-waktu tertentu. Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata, “Hal itu supaya seorang hamba yang tekun menjalankan sholat sunnah sepanjang hari bisa mengambil waktu sejenak untuk beribadah. Dengan begitu, ibadah-ibadah yang dilakukannya itu tidak membuatnya jenuh.” Betul sekali ucapan ulama besar di atas. Manusia sehebat apapun, keimanannya akan naik turun. Siapa pun dia, dengan segala keimanan dan keseolehan yang dia miliki, tetap akan mengalami masa kejenuhan atau kelesuan. Tidak heran kalau Penulis pernah mendengar keluhan seorang ustadz dalam beribadah, padahal beliau termasuk ustadz besar, setidaknya di kawasan Yogyakarta. Beliau pernah berkata, “Saya ini kalau membaca Al-Quran kadang semangat, tapi kadang juga malas.”

Rasulullah Saw sendiri menegaskan, setiap amal ibadah manusia itu akan melewati masa-masa kelesuan. Hanya saja, seorang Mukmin sejati tidak akan melewati masa kelesuannya dengan hal-hal yang dimurkai Allah. Seorang Mukmin sejati akan melewati masa kejenuhannya dengan hal-hal yang masih dihalalkan agama. Ketika imannya sedang menurun, ia tetap mengerjakan segala kewajiban dan kebaikan, juga meninggalkan segala yang haram, cuma kadar atau jumlahnya menurun.

Selanjutnya Rasulullah Saw bersabda, “Amal ibadah yang ideal (yang terbaik) itu yang dilakukan rutin (terus menerus).” Beliau berkata demikian karena beliau ingin menyadarkan atau mengoreksi Si Wanita Ahli Sholat agar ia beribadah sesuai kemampuannya. Beramal ibadah tidak perlu banyak, jika itu nanti akan memberatkan kita. Yang terpenting kita istiqamah atau rutin dalam menjalaninya. Istiqamah memang sulit, jadi wajar kalau menjadi hal terbaik dalam segala sesuatu. Rutin is The Best, Rutin Yang Terbaik. Meraih sesuatu lebih mudah dari mempertahankan sesuatu. Kita berjuang meraih sesuatu. Setelah berhasil kita raih, kita harus berjuang untuk memelihara atau menjaganya, agar tetap menjadi milik kita. Kita sudah berhasil melaksanakan kebaikan, namun kita belum tentu bisa rutin melaksanakannya.

Karena itu, marilah kita berusaha untuk beramal sholeh terus menerus. Tidak masalah amal sholeh atau kebaikan yang kita kerjakan itu jumlahnya cuma sedikit. Yang terpenting kita bisa terus menerus melakukannya. Amal sedikit yang kita lakukan terus menerus itu lebih baik daripada amal banyak yang kita lakukan untuk beberapa saat saja. Kalau kita kesulitan menjalankan amal dalam jumlah besar, ya kita beramal dalam jumlah kecil saja. Yang paling penting kita bisa menjalankannya dengan rutin.

Orang yang membaca Al-Quran cuma tiga hari dalam seminggu, jika itu dilakukan terus menerus, akan lebih baik daripada membaca Al-Quran tiap hari, namun hanya untuk beberapa pekan. Orang yang cuma mengerjakan sholat sunnah Qabliyah (sebelum) Shubuh dan Ba’diyah (sesudah) Maghrib, jika melakukannya terus menerus, nilainya lebih tinggi daripada yang rajin mengerjakan sholat Tahajud dan sholat Dhuha dalam rakaat yang banyak, namun setelah sebulan berhenti karena bosan. Orang yang rutin berolahraga tiga kali dalam seminggu selama 30-40 menit, lebih baik daripada yang berolahraga dua jam sebanyak lima kali dalam seminggu, namun setelah tiga minggu berhenti karena sakit, sakit karena lelah, lelah karena terlalu memaksakan fisiknya.

Sungguh bahagia seorang lelaki yang sudah bisa hafizh (hafal Al-Quran), atau seorang perempuan yang berhasil menjadi hafizhah. Semua orang menghormati dan memuliakannya, sebab kalau di negara kita, hanya sedikit yang bisa menghafal seluruh Al-Quran. Namun hal terpenting yang harus ia perhatikan, sampai kapan 30 Juz itu tetap ada di otaknya? sampai kapan 30 juz yang sudah ia hafal itu bisa terus terjaga?

Sungguh gembira seorang pemuda yang berhasil melangsingkan badannya dari kegemukan. Selama beberapa bulan ia menjalani diet ketat dan olah raga teratur. Semua orang memujinya, “Dietmu selama sekian waktu sukses. Selamat ya, kamu berhasil membentuk badanmu menjadi ideal.” Namun sampai kapan ia bisa mempertahankan berat badannya yang sudah ideal itu? benarkah ia sudah tidak akan mengalami kegemukan lagi? siapa yang bisa menjamin tubuhnya yang sudah langsing atletis itu tidak melar lagi?”

Sungguh gembira seorang mahasiswa yang berhasil meraih IP bagus, menjadi mahasiswa terbaik dan mendapat beasiswa. Semua itu berkat ketekunannya dalam belajar dan kepandaiannya dalam me-manage atau mengatur waktu. Namun sampai kapan ia bisa mempetahankan nilai-nilainya yang sudah bagus itu? sampai kapan ia bisa menjadi mahasiswa terbaik di kampusnya? Sampai kapan ia bisa terus berprestasi?
Ada sebuah kisah tentang keutamaan Rutin is The Best. Kisah ini Penulis dapat dari seorang ustadz yang mengisi pengajian di sebuah masjid besar di sekitar Jakal (Jalan Kaliurang), tepatnya di dekat tempat tinggal Penulis. Alkisah, ada seorang Kyai atau Ustadz berusia 48 tahun. Ia memiliki dua istri. Istri pertama umurnya lima tahun di bawah Sang Kyai, sedangkan yang kedua terpaut sangat jauh, dua puluh tahun lebih. Istri kedua yang muda dan cantik itu baru dinikahinya empat bulan yang lalu.

Kyai Rahmat Harjono, itulah nama Sang Kyai pemimpin pondok pesantren yang tidak begitu besar. Dari ratusan santrinya, ia memiliki seorang santri yang usianya agak jauh lebih tua dari semua santrinya. Namanya Mahmud, usianya 27 tahun, usia yang sudah tidak begitu muda untuk jaman dulu. Usia yang sudah lebih dari cukup untuk menikah. Apalagi di jaman itu mayoritas pemuda menikah sebelum berusia 25 tahun. Mayoritas pemuda menikah di usia 22-24, maksimal 25. Namun sampai detik itu, Mahmud yang sudah tergolong santri kawak, terlihat masih betah membujang. Semua pemuda yang sebaya dia sudah pada punya momongan. Jangankan yang sebaya dia, yang beberapa tahun di bawahnya saja sudah pada menikah. Tentu saja hal ini menarik perhatian Kyai Rahmat. Batinnya selalu bertanya, apa yang membuat Mahmud masih betah membujang?

Karena penasaran, Kyai yang terkenal alim dan sabar itu memanggil Mahmud, lalu mengajaknya bicara empat mata. Santri tertuanya itu ditanya, “Mahmud, kamu yang tertua di antara semua santriku, tapi sampai sekarang kamu masih sendiri. Apa kamu tidak atau belum ingin menikah?”

Mahmud, pemuda bertubuh agak tinggi dan berwajah lumayan tampan, menyahut dengan agak gugup, “Sebenarnya saya sudah ingin menikah, bahkan dua tahun yang lalu, saat usia saya dua lima, saya sudah ingin menikah. Tapi saya masih banyak problem, juga karena saya belum menemukan gadis yang tepat.”
Rahmat: “Tapi kamu ingin menikah kan?”
Mahmud menjawab dengan menundukkan muka, “I..iya Kyai..saya ingin menikah.”
Rahmat: “Kamu juga tahu kalau menikah itu Sunnah Rasul?”

Mahmud mengangguk tanpa menatap gurunya, “Insya Allah, saya juga ingin menjalankan salah satu Sunnah Nabi kita.”
Rahmat mengangguk, “Terus apa lagi yang kamu tunggu? Kamu merasa belum punya apa-apa untuk menikah? Belum punya apa-apa untuk berumah tangga? Takut tidak bisa menghidupi pasangan hidupmu? Apa itu alasanmu masih membujang?”
Mahmud yang hati dan pikirannya gado-gado, mengangguk, “Betul, Kyai. Itu salah satu alasannya..”
Rahmat: “Ada alasan lain?”
Mahmud: “Masih banyak problem.”
Rahmat tersenyum, “Kalau sudah menikah, Insya Allah tidak ada masalah lagi. Kalaupun masih ada masalah, Insya Allah akan berkurang karena sudah ada teman hidup yang akan membantu memecahkan problem-mu.”

Mahmud menunduk sambil tersenyum malu. Rahmat melanjutkan, “Kalau mau, sekarang juga akan kucarikan santriwatiku. Santriwatiku cantik-cantik lho.”
Mahmud yang tersenyum malu, menyahut, “Saya pikir masak-masak dulu, Kyai. Beri saya waktu untuk berpikir. Insya Allah saya mau sholat Istikharoh.*
*Catatan Kaki: Sholat untuk memantapkan hati dalam bertindak atau memilih sesuatu.
Rahmat tersenyum, “Baik, tapi jangan lama-lama ya?”
Mahmud: “Insya Allah tidak lama, Kyai. Maksimal dua minggu.”

Setelah dua minggu tiba, Mahmud menghadap Kyai Rahmat, lalu memberanikan diri untuk mengeluarkan ganjalan di hatinya salama ini. Ia berkata, “Kyai, saya mencintai Mbak Hesti, istri kedua Kyai.”
“BLAAARR!!!” Seperti halilintar yang menyambar di siang bolong. Kata-kata Mahmud itu seperti bom di telinga siapapun yang mendengarnya. Bagi seorang lelaki yang umum dan normal, pasti akan bergumam, “Anak ini kurang ajar betul! Tak tahu diri! Tak tahu malu!”. Jika ada seorang mahasiswa yang berkata pada dosennya, “Pak Dosen, saya mencintai istri Bapak..” Si Dosen yang orang normal, pasti akan mengumpat, “Anak ini benar-benar keparat! Tak tahu diri! Dia tidak bakal lulus, walaupun nilainya bagus-bagus!”

Namun bagaimanakah reaksi Kyai Rahmat Harjono? Ternyata ia tidak marah atau terkejut. Wajahnya yang teduh itu hanya menampakkan sedikit rasa tidak suka, namun tidak sampai marah. Beginilah kesabaran orang-orang jaman dulu. Kalau orang jaman sekarang, mungkin sudah kalap. Mahmud yang ketakutan berat, berkata tanpa menatap wajah Sang Guru, “Mohon maaf sekali kalau keinginan saya ini membuat Kyai marah. Kyai boleh membenci saya seumur hidup, bahkan Kyai juga boleh langsung mengusir saya dari pesantren ini. Yang penting saya sudah lega, lega karena sudah mengeluarkan beban di hati saya selama ini.”

Rahmat diam sekitar tiga menit. Setelah itu ia berkata dengan nada lembut, “Beri aku waktu untuk memutuskan. Nanti sore kita ketemu lagi di sini. Bisa?”
Mahmud menjawab dengan gugup, “Bi..bisa Kyai, Insya Allah...”

Beberapa jam kemudian Rahmat dan Mahmud sudah bertemu lagi di pendopo yang menjadi ruang tamu pesantren tersebut. Rahmat yang tetap terlihat sabar dan tenang, bertanya lembut, “Kamu betul-betul mencintai Hesti, istri keduaku yang sebaya kamu?” Mahmud mengangguk tanpa menatap Sang Kyai, “Betul sekali. Saya sangat mencintai Mbak Hesti. Yang di hati saya selama ini cuma Mbak Hesti.”
Rahmat: “Jadi itu alasan kamu masih membujang?”
Mahmud: ”I..iya Kyai. Itu salah satu alasannya, disamping alasan-alasan penting yang lain.”
Rahmat: “Kamu betul-betul mencintai Hesti?”
Mahmud: “Betul, Kyai (muka tetap menunduk). Saya mencintai Mbak Hesti sepenuh hati. Tapi sekali lagi, saya cuma berniat ngomong jujur. Saya cuma berniat mengeluarkan beban di hati saya.”

Rahmat mengatur nafasnya yang agak berat, setelah itu bertutur sambil tersenyum, “Baiklah kalau begitu..”
Mahmud yang masih ketakutan, bertanya, “Kyai tidak marah?”
Rahmat tersenyum sambil menggelengkan kepala, “Aku sama sekali tidak marah. Aku justru salut dengan keberanianmu untuk mengeluarkan beban di hatimu. Kamu termasuk murid terbaikku, disamping murid tertuaku. Sudah kewajibanku untuk membantu salah satu santri terbaikku.”

Rahmat diam beberapa saat, setelah itu kembali berkata lembut, “Baiklah kalau begitu. Aku akan menceraikan Hesti. Setelah masa iddah-nya habis, kamu bisa langsung menikahi dia. Tapi ada syaratnya?”
“Apa itu?” tanya Mahmud penasaran. Rahmat menjawab, “Kamu harus adzan untuk sholat lima waktu. Kamu harus adzan rutin selama empat puluh hari.”
“Hanya itu?” tanya Mahmud seolah menganggap mudah. Rahmat menjawab, “Ya..hanya itu syarat yang harus kamu lakukan.” Tentu saja Mahmud menganggap syarat itu cukup mudah, sehingga ia langsung mengiyakan. Besoknya Mahmud menjadi muadzin untuk sholat lima waktu. Beberapa menit sebelum adzan berkumandang, Mahmud sudah berada di masjid. Mahmud sudah duduk di depan mic yang biasanya dipakai adzan. Mahmud selalu mendahului muadzin atau santri yang biasanya adzan. Tugas yang ia anggap mudah itu ia jalani dengan semangat. Sesekali wajah jelita Hesti hadir di hadapannya. Hal itu juga yang membuatnya bersemangat.

Tanpa terasa, Mahmud sudah hampir menyelesaikan tugasnya, tugas yang menjadi syarat untuk mempersunting Hesti. Tinggal beberapa langkah lagi ia bisa melamar Hesti, gadis pujaan hatinya yang tidak lain adalah istri Kyai-nya sendiri. Sang Kyai yang berhati mulia pun terus mendorong santri kawaknya untuk tidak patah semangat. 

Namun setelah sampai di hari ke 39, Mahmud malah membatalkan niatnya untuk menikahi Hesti. Tentu saja Rahmat terkejut sekali. Ia bertanya,
“Apa yang membuatmu patah semangat? Apa yang membuatmu mengurungkan niatmu menikahi Hesti? Ini sudah hari ke 39. Tinggal sehari lagi. Ayo teruskan!”
“Tidak Kyai..saya tidak mau melanjutkan..” sahut Mahmud dengan suara loyo. Wajahnya yang lumayan ganteng itu menampakkan rasa bersalah. Rahmat yang belum mengerti, bertanya, “Tidak mungkin kamu tidak jadi menikahi Hesti, kecuali ada sebabnya. Muridku, bicaralah yang jujur. Apa yang membuatmu mundur? Ada sesuatukah?”
Mahmud menjawab, “Betul Kyai. Saya memang mendapat sesuatu, sesuatu yang sangat berharga. Saya mendapat petunjuk.”

Rahmat tersenyum gembira, “Alhamdulillaah. Aku ikut senang kalau kamu mendapat petunjuk. Terus petunjuk macam apa yang sudah kamu dapat?”
Mahmud yang wajahnya sudah terlihat lebih cerah dan lebih tenang, bertutur, “Entah kenapa? Keinginan untuk menikahi Hesti ini hilang dengan perlahan. Saya pun sadar kalau keinginan saya ini sebenarnya sudah tergolong gila.” Diam sejenak, “Dan perasaan sadar ini muncul setelah saya menjadi muadzin rutin selama hampir 40 hari.”

Subhanallah. Luar biasa! Inilah salah satu dampak positif dari amal ibadah yang dilakukan dengan rutin. Rutin is The Best. Rutin memang yang terbaik dalam segala hal. Hanya menjadi muadzin rutin selama 39 hari, Mahmud menjadi sadar kalau keinginannya itu tidak baik, walaupun pihak yang bersangkutan sudah mengijinkan dan mengikhlaskan, bahkan juga sudah mendukung keinginannya terwujud. Namun Allah SWT dengan segala kebijaksanaan-Nya, akhirnya menghendaki yang lain.

Kita juga bisa melihat kisah masa mudanya Ibnu Hajar Al-Asqalani. Ketika itu Ibnu Hajar mulai agak mutung atau menyerah dalam belajar dan mengamalkan ilmu agama yang ia pelajari selama ini. Ia merasa berat untuk melanjutkan dakwahnya kepada umatnya yang masih jahil. Ketika hampir menyerah, Ibnu Hajar muda melihat batu yang berlobang karena tetesan air berukuran kecil. Ia berpikir, batu itu benda yang keras, tapi bisa berlobang karena air yang terus menerus membasahinya. Air yang menetesinya berukuran kecil, tapi karena menetes terus menerus, akhirnya bisa melobangi batu, salah satu benda terkeras di dunia.

Ibnu Hajar pun tersentak sadar. Ia kembali melanjutkan dakwah dan belajar agama dengan semangat menggelora. Ia selalu menjadikan batu yang berlobang karena tetesan air itu sebagai sarana untuk membakar semangatnya. Menghadapi situasi sesulit apapun, ia tidak boleh kalah oleh air setetes yang akhirnya bisa melobangi batu. Ia selalu berpikir, batu yang keras bisa berlobang oleh tetesan air yang terus menerus menetesinya. Dengan demikian, otak yang tumpul pun akhirnya bisa menjadi cerdas kalau diasah terus. Semangat inilah yang akhirnya mengantarnya menjadi ulama besar.

*****

bersambung ... BAB  EMPAT

0 comments:

Post a Comment

 
;