Saturday 30 August 2014

Jangan Ghuluw (Berlebihan) | Jangan Berlebihan Menyanjung Uje


Bab Dua

Jangan Ghuluw (Berlebihan)

Seorang Muslim diperintahkan untuk menghormati dan mencintai sesamanya. Terhadap para ulama dan orang sholeh, perintah untuk menghormati itu lebih ditekankan. Allah SWT memberi penghargaan terhadap orang-orang yang berilmu. Dalam salah satu surat di Al-Quran, Allah SWT berfirman: “Katakanlah, apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu?” [QS Az-Zumar (39) ayat 9]

Dalam firman-Nya yang lain: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat (lebih tinggi dari hamba-hamba-Nya yang lain).” [QS Al-Mujadilah (58) ayat 11]


Dalam perjalanan sejarah dan bukti-bukti ilmiah, para ulama memang boleh dikatakan sebagai dalang dalam perubahan masyarakat. Dengan ilmu mereka, manusia yang bodoh bisa menjadi pintar, yang berada di kegelapan bisa pindah menuju cahaya, yang sesat bisa mendapat petunjuk, dan lain-lain. Dalam pandangan semua agama, sosok agamawan atau orang yang ahli agama selalu berada di peringkat teratas dalam masyarakat. Hal itu karena agama memang menjadi hal terpenting bagi setiap manusia yang mempercayai Sang Pencipta jagat raya.

Kita lihat di dalam Islam. Ada Ulama, Ustadz atau Kyai. Setiap orang yang dijuluki begitu, akan menjadi sosok yang dihormati dan disegani oleh siapapun. Begitu juga di dalam Hindu, Budha atau Kristen. Di sana ada Biksu, Pendeta, Pastor dan lain-lain. Sosok-sosok tersebut akan selalu dianggap sosok terpenting dalam masyarakat. Sosok-sosok tersebut akan selalu menjadi teladan atau contoh yang baik. Hal itu karena mereka dianggap cerdas (berilmu) dan berakhlak terpuji.

Dalam pandangan Islam, menghormati ulama menjadi kewajiban setiap individu. Ulama yang dimaksud adalah ulama sejati, ulama yang benar-benar mewarisi ilmu Rasulullah SAW dan para sahabatnya, bukan orang yang gemar menebarkan kerancuan pemahaman di tengah-tengah umat Islam. Ulama sejati adalah ulama yang benar-benar takut kepada Allah. Hal itu karena dalamnya ilmu yang mereka miliki. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah para ulama.” [QS Fathir (35) ayat 28]

Ulama sejati adalah orang yang melihat kebenaran bersumber dari wahyu yang Allah turunkan kepada rasul-Nya. Ulama juga menjadi tempat bertanya bagi umat. Allah berfirman: “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” [QS An-Nahl (16) ayat 43]. Jadi wajar jika ulama menjadi sosok yang terhormat dan mulia di masyarakat. Seorang ulama besar bernama Hasan Al-Bashri, berkata: “Dahulu, jika salah seorang di antara mereka (ulama terdahulu) habis menuntut ilmu, tidak lama kemudian bekas ilmu yang mereka pelajari itu akan tampak di dalam sholat dan akhlak mereka sehari-hari.”

Abdullah, putra Imam Ahmad, pernah bertanya kepada ayahnya: “Hai ayah, apakah Ma’ruf Al-Kurkhi itu orang yang berilmu?”. Imam Ahmad menjawab, “Putraku, sesungguhnya dia memiliki pokok dari ilmu, yaitu rasa takut kepada Allah.”

Dengan demikian, tolok ukur ulama sejati bukan sekedar dilihat dari banyaknya hafalan ayat atau hadits yang ia miliki. Seorang Ustadz muda bernama Setyo (bukan nama sebenarnya) pernah berkata, “Orang yang hafizh (hafal Al-Quran) itu belum tentu bisa jadi ustadz.” Tolok ukur ulama atau ustadz sejati itu bisa dilihat dari ibadahnya yang rajin, yang tentunya sudah ia lakukan dengan cara yang benar, juga dari akhlak atau perbuatan sehari-harinya yang terpuji. Ulama sejati pastilah orang yang kesehariannya berperilaku baik dan wajar, dan perilaku baiknya itu bisa lahir berkat tauhid atau keimanannya yang benar. Demikianlah ajaran Islam yang mewajibkan menghormati para ulama dan orang sholeh.

Namun bentuk penghormatan dan kecintaan kepada ulama atau orang sholeh itu bisa bermasalah jika timbul sifat ghuluw (berlebihan). Jika sifat ini terus berkembang, akan timbul kultus (pemujaan) individu atau pensakralan seseorang karena dianggap hebat. Yang lebih parah kalau orang yang dikultuskan itu masih hidup. Orang-orang yang mengkultuskannya boleh jadi akan mengikuti setiap ucapan dan tindakannya, walaupun tindakannya belum tentu benar. Jika orang yang dipuja itu sudah meninggal, tidak menutup kemungkinan para penggemarnya akan semakin mengagungkannya. Tentu saja hal ini bisa menjadi petaka bagi akidah Islam.

Menurut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab Tauhid-nya, sebab kafirnya Bani Adam dan meninggalkan agama itu karena berlebihan dalam bersikap terhadap orang-orang sholeh. Allah SWT pun memperingatkan dengan keras: “Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebihan dalam agama kalian.” [QS Al-Maidah (5) ayat 77]

Dalam Kitab ‘Taisiir Al-Aziiz Al-Hamiid,’ Syaikh Sulaiman bin Abdillah mengutip perkataan para ulama: Yang disebut ghuluw adalah sikap berlebihan dalam memuji atau mencela sesuatu. Contohnya sikap ghuluw yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka berlebihan dalam memperlakukan Isa bin Maryam. Kaum Nasrani terlalu mengagungkan Isa A.s (‘Alaihissalam), sehingga merubah derajatnya yang hanya manusia (walaupun manusia yang mulia karena seorang nabi) menjadi Tuhan. Mereka menyembah Isa bin Maryam sebagaimana mereka menyembah Allah, bahkan mereka juga menganggap para pengikut Isa terpelihara dari dosa.

Kebalikan dengan kaum Yahudi. Mereka dengan ekstrimnya menurunkan derajat Isa A.s yang mulia menjadi hina. Mereka menganggap Isa sebagai anak hasil zina, hal itu karena Maryam, ibunya, melahirkannya tanpa seorang bapak. Secara logis memang aneh kalau ada perempuan yang bisa hamil tanpa berhubungan badan dengan lelaki. Namun Allah SWT dengan ilmu-Nya yang sangat sempurna, yang tanpa cacat sedikitpun, jika sudah berkendak, pasti terjadi, baik dengan cara yang masih logis/ ilmiah maupun yang sudah diluar akal sehat.

Pengagungan yang berlebihan terhadap seseorang tidak mustahil akan melahirkan sikap mempertuhankan orang tersebut. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Siapapun dari umat Islam yang menyerupai Yahudi atau Nasrani dengan bersikap ghuluw, baik dengan penambahan atau pengurangan, berarti dia sudah sama dengan orang atau kaum yang dia tiru tersebut. Contohnya orang-orang Khawarij yang telah keluar dari Islam.” Perkataan ulama besar ini juga diperkuat oleh hadits Rasulullah yang berbunyi:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk di dalamnya (sama dengan kaum yang ia tiru itu).” {Hadits Riwayat Abu Daud dan Ahmad}

Rasulullah Saw yang manusia terbaik saja tidak ingin dipuji berlebihan. Rasulullah dengan segala kemuliaannya, tidak ingin diagungkan melebihi hak beliau sebagai Nabi dan Rasul, baik ketika beliau masih hidup maupun setelah meninggal. Beliau menegaskan dalam salah satu sabdanya: “Janganlah kalian memujiku berlebihan seperti yang dilakukan orang-orang Nasrani terhadap Isa bin Maryam. Aku ini hanya seorang hamba. Maka katakanlah, hamba Allah dan Rasul-Nya.”{Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim}

Dalam riwayat lain beliau juga bersabda: “Binasalah orang-orang yang berlebihan.” {Hadits Riwayat Muslim}

Namun kenyataannya, sikap berlebihan dalam menyanjung Rasulullah Saw itu tetap terjadi dalam umat Islam. Bahkan pada masa tertentu, sikap tercela itu sempat tersebar di mana-mana. Syaikh Sulaiman menjelaskan, para penyembah kubur justru menentang larangan Rasulullah Saw, padahal mereka mengaku mencintai beliau. Mereka tidak terima kalau Rasulullah Saw hanya dianggap hamba dan utusan-Nya. Mereka tidak terima kalau Rasulullah tidak bisa diseru dengan doa, tidak boleh thawaf mengelilingi makam beliau, dan menganggap beliau tidak mengetahui hal ghaib selain yang hanya diberitakan Allah kepadanya.

Bentuk takzhim (pengagungan) seperti ini jelas sudah berlebihan. Bentuk takzhim seperti ini sudah sama dengan perlakuan orang-orang Nasrani terhadap Nabi Isa bin Maryam. Bisa jadi bentuk takzhim seperti ini muncul dari rasa cinta yang sangat dalam terhadap Rasulullah Muhammad Saw, namun karena kecintaan dan penghormatan itu tidak disalurkan dengan benar, yang terjadi justru malah kesesatan.

Kita ambil contoh Umar bin Khattab R.A (Radhiyallahu ‘Anhu). Ketika Rasulullah baru saja wafat, Umar panik bukan main. Beliau nyaris berlebihan dalam menghormati Rasulullah Saw. Beliau nyaris merubah derajat Muhammad Saw yang hanya seorang Rasul menjadi lebih dari itu. Dalam keadaan panik, Umar berseru sambil menggenggam pedang: “Barangsiapa yang berkata Muhammad Saw sudah wafat, akan kupenggal lehernya!”. Padahal kenyataannya Rasulullah Saw memang sudah dipanggil Allah SWT. Namun untunglah, Abu Bakar Ash-Shiddiq langsung mengingatkan dengan surat Ali Imran ayat 144 yang berbunyi:
“Dan Muhammad itu hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Maka jika dia wafat atau dibunuh, apakah kamu akan surut ke belakang (murtad)?”

Jika terhadap Rasulullah Saw saja Islam melarang sikap ghuluw dalam menghormati dan memuji beliau, apalagi terhadap orang lain yang kadar ketakwaannya jauh di bawah beliau. Manusia sehebat apapun, keimanan dan ketakwaannya tetap jauh di bawah Rasulullah Saw. Sikap berlebihan dalam segala hal itu tidak akan menghasilkan apapun, kecuali kehancuran, sebagaimana hadits yang sudah kami sebutkan di atas. Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallah ‘Anhu, Rasulullah Saw bersabda: “Binasalah orang-orang yang berlebihan. Beliau mengucapkannya tiga kali.” {Hadits Riwayat Muslim}

Tidak Berlebihan Dalam Mencintai atau Membenci
Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Saw bersabda: “Cintailah sesuatu itu sekedarnya saja, karena bisa jadi sesuatu yang kamu cintai itu suatu saat nanti berubah menjadi sesuatu yang kamu benci atau kamu musuhi. Begitu pula sebaliknya. Bencilah sesuatu itu sekedarnya saja, karena bisa jadi sesuatu yang kamu benci itu suatu saat nanti berubah menjadi sesuatu yang kamu cintai.”

Berikut kami sampaikan beberapa kisah tentang orang yang berlebihan dalam mencintai lawan jenisnya. Kisah-kisah ini kami ambil dari buku berjudul: Mayat-Mayat Cinta; Kisah Tragis Para Pemuja Cinta, karya Amr Bin Suroif Al-Indunisy. Semoga kisah para pecinta yang berakhir tragis ini bisa menjadi penegur jiwa kita.

Kisah Pertama
Di Mesir ada seorang pemuda ahli ibadah. Wajahnya bersinar karena ibadahnya selama ini. Suatu hari ia menaiki menara masjid untuk mengumandangkan adzan. Di samping menara itu ada rumah seorang Nasrani. Dari ketinggian menara masjid, pemuda alim ini melihat seorang wanita cantik yang berada di rumah itu. Kecantikan perempuan Nasrani itu benar-benar memikat hati dan membutakan mata si pemuda alim. Ia langsung meninggalkan adzan untuk menghampiri wanita itu.

Wanita Nasrani bertanya, “Ada apa ya?”
Pemuda alim menjawab, “Duhai wanita cantik, aku menginginkan dirimu.”
Wanita Nasrani: “Kenapa begitu?”
Pemuda alim: “Karena kamu sudah mencuri hatiku dan membutakan akalku.”
Wanita Nasrani tersenyum: “Aku tidak akan memberi jawaban.”
Pemuda alim: “Aku ingin menikahimu.”
Wanita Nasrani kembali tersenyum, “Bagaimana mungkin? Aku ini Nasrani, sedangkan kamu Muslim. Ayahku tidak akan menikahkan aku sama kamu.”
Pemuda alim: “Kalau aku masuk agamamu, bagaimana?”
Wanita Nasrani: “Kalau kamu masuk agamaku, aku mau menikah sama kamu.”

Pemuda ahli ibadah yang sudah dimabuk cinta ini akhirnya bersedia masuk Nasrani. Ia rela meninggalkan Islam demi gadis cantik yang sudah membutakan mata hatinya. Hari itu juga ia dan si gadis merayakan pernikahan. Setelah pesta pernikahan selesai, si pemuda sholeh yang sudah menjadi Nasrani ini naik ke lantai dua rumahnya, kemudian ia terjatuh dari atas loteng. Beberapa detik kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya. Ia pun mati sebelum bisa menikmati perempuan itu, ditambah agamanya hilang dengan sia-sia.

Kisah Kedua
Ada seorang pemuda yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya. Bentuk rumahnya mirip dengan tempat pemandian air panas. Sesaat kemudian datanglah seorang wanita cantik yang melewati rumahnya, lalu bertanya, “Di manakah tempat pemandian air panas?”
Si pemuda tersenyum gembira, “Oh, ya di rumahku ini.”
Wanita cantik itu masuk ke dalam rumah, dan si pemuda mengikutinya. Ketika si wanita sudah sadar kalau ia ditipu, ia tetap berusaha terlihat tenang dan gembira. Ia bertanya, “Apa kamu punya wangi-wangian? Atau sesuatu yang bisa membuat kita bersenang-senang?”
Si pemuda menjawab dengan semangat, “Tunggu sebentar ya, aku akan mencarikan apapun yang kamu senangi.”

Ketika si pemuda pergi, wanita jelita itu langsung meninggalkan rumahnya yang kebetulan tidak dikunci. Alangkah kecewanya si pemuda ketika ia kembali ke rumahnya sambil membawa segala keperluannya. Dilihatnya si jelita tadi sudah hilang tanpa jejak sedikit pun. Pemuda yang sedang kasmaran ini menjadi gila. Ia pun berjalan menelusuri jalan-jalan dan gang-gang sambil berkata, “Duhai wanita yang sudah mencuri hatiku, di manakah jalan menuju pemandian air panas?”

Beberapa waktu kemudian si wanita cantik mendengar bait-bait di atas. Ia pun menjawab, “Duhai pemuda, kenapa engkau tidak bisa mendapatkannya? Sehingga engkau menutup dan mengunci pintu itu?”
Si pemuda tersentak begitu mendengar jawaban si cantik yang sudah membuatnya linglung. Ia semakin tergila-gila pada wanita itu. Sampai akhirnya ia mati dalam keadaan mengucap bait, “Duhai wanita yang kucintai pada hari itu, di manakah jalan menuju pemandian air panas?”

Kisah Ketiga
Ada seorang pemuda yang sangat mencintai istrinya. Ia selalu memberi apapun yang diminta istrinya. Suatu ketika sang istri jatuh sakit. Semakin hari sakitnya semakin parah, dan akhirnya meninggal dunia. Tentu saja hati si pemuda seperti tertusuk pedang membara. Tanah tempat ia berpijak seperti terbelah. Ia merasa dunia sudah hancur, seperti hatinya yang hancur karena ditinggal istri tercinta untuk selamanya. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Hati dan pikirannya terasa gelap, laksana gelapnya malam. Ia melantunkan syair: “Oh adindaku..kupersembahkan hidup dan matiku..hanya untukmu. Bila engkau mati, aku pun mati.”

Semakin hari kepedihan hatinya semakin bertambah, dikarenakan cintanya yang begitu mendalam. Cintanya kepada teman hidupnya mengalahkan segalanya. Karena semakin menderita, akhirnya ia memilih jalan pintas untuk menyusul sang istri tercinta ke alam baka. Ia nekat menghabisi nyawanya dengan cara meminum racun serangga, seperti kisah Romeo dan Juliet, kisah klasik terkenal karya William Shakespeare, dramawan dan penyair besar Inggris. Saat itu Romeo stress berat melihat Juliet mati. Karena stress berat, Romeo langsung menyusul Juliet dengan cara meneguk racun. Romeo pun mati dengan tubuh berbaring di samping Juliet. Para penggemar kisah cinta klasik ini berkata, “Inilah contoh cinta sejati.”

Lantas bagaimana dengan kecintaan kita kepada Allah SWT dan Rasulullah Saw? Bagaimana dengan kecintaan kita pada Islam? Sudah sejatikah cinta kita kepada Rasulullah? Jika ada di antara kita yang mengaku benar-benar mencintai Rasulullah, apakah dia juga harus menyusul beliau dengan cara tragis di atas? Apakah salah satu bentuk kecintaan kita kepada beliau itu diwujudkan dengan mengakhiri hidup kita sendiri? Pernahkah Rasulullah memerintahkan kita untuk melakukan itu? Sungguh aneh. Yang ada justru sebaliknya. Rasulullah saw pernah berpesan kepada kita, bahwa bunuh diri itu termasuk dosa besar.

Kembali ke kisah pemuda tadi. Beberapa jam setelah ia mengakhiri hidupnya, kakak kandungnya mendatangi rumahnya. Kakaknya mengetuk pintu rumahnya beberapa kali, namun tidak ada jawaban dari dalam. Sang kakak terus mengetuk pintu dengan menggedor, namun tetap tidak ada reaksi. Karena cemas, sang kakak memutuskan untuk mendobrak pintu tersebut. Setelah berhasil, ia melihat tubuh adiknya terlentang di ruang tamu. Mulutnya berbusa, tubuhnya kaku, tidak bergerak sedikitpun. Oh..ternyata sang adik sudah pergi untuk selamanya. Tidak jauh dari tubuhnya ditemukan racun serangga dan gelas yang di dalamnya masih tersisa racun tersebut. Orang-orang pun berkomentar:
“Padahal pasangan muda ini masih tergolong penganten baru.”

Kisah Keempat
Sudarti, wanita buruh perkebunan sawit warga Pantai Baru Kelumpung Selatan, Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan, ditemukan tewas bunuh diri. Dugaan terkuat ia bunuh diri karena stress ditinggal anak tersayang. Warga setempat menemukan jasad Sudarti di sekitar 200 meter dari belakang rumahnya, tepatnya di lokasi bekas unit pemukiman Transmigrasi Sungai Kupang. Bahrian, salah seorang keluarga korban, berkata:

“Kami benar-benar tidak mengira Darti berbuat senekat itu. Padahal kalau ada masalah, kami siap membantu memecahkan.” Menurut Sugiyanto, suami Darti, setelah anak lelakinya meninggal, Darti sering duduk melamun. Sugi yang malam itu tidur sekamar dengan Darti, terkejut saat melihat Darti tidak ada di kamar. Dengan perasaan cemas, Sugi mencari-cari Darti di seluruh rumah, namun tidak ketemu. Akhirnya Sugi meminta bantuan para tetangga untuk mencari istrinya. Supriyanto, tetangga korban, yang pertama kali menemukan jasad Darti. Supri melihat Darti terlentang dengan mulut dan tubuh bersimbah darah. Ada dua luka tusuk di ulu hatinya.

Sekitar satu meter dari tubuh korban, masyarakat menemukan sepucuk surat pesan untuk keluarganya. Intinya, harap semuanya bersabar dalam menghadapi musibah dan cobaan. Selain surat tersebut, ditemukan juga beberapa bukti berupa botol berisi cairan pembasmi rumput. Sudarti diduga meninggal karena meneguk cairan pembasmi rumput, setelah itu menusukkan pisau ke tubuhnya, tepatnya di ulu hatinya.

Kisah Kelima
Cerita ini diambil dari http.wwa.antara.co.id. Joko, warga desa Teluk Lada, Kecamatan Sabang Kabupaten Pandeglang, bunuh diri gara-gara putus cinta. Ia bunuh diri menggantung diri dengan benang nilon yang dikaitkan di kayu plafon di kamarnya sendiri. Aksi gantung diri Joko ditemukan oleh Umayah, ibunya, saat sang ibu memanggil dan mengetuk pintu kamar korban yang tak kunjung memberi jawaban. Saat membawa jenazah Joko ke rumah sakit umum Berkah Pandeglang, Umayah bertutur, “Biasanya pagi hari pemuda itu sudah siap berangkat ke pabrik nilon, tempat dia bekerja.”

Menurut Umayah, belakangan ini Joko sering murung dan menyendiri setelah diputus cinta oleh kekasihnya. Bahkan kamis malam sebelumnya Joko dan para pemuda di desanya sempat berkumpul bersama sambil bermain gitar. Umayah bertutur, “Saya tidak menyangka sama sekali, anak suka humor itu bisa nekat bunuh diri dengan menggantung diri.”

Sebelum menggantung diri Joko sempat menulis surat pesan untuk keluarganya, bahwa ia sudah tidak kuat menjalani kehidupan yang terasa sangat berat, juga setelah ia berpisah dengan wanita yang dicintainya. Ia melantunkan syair: “Duhai kekasihku, hidup ini terasa ringan dan indah jika berhubungan dengan dirimu. Tapi setelah engkau memutuskan tali cinta kita, hidupku seperti memanggul gunung. Semangat hidupku musnah karena Bunga Hatiku sudah meninggalkan aku. Tiada yang kuinginkan dalam hidup ini selain engkau, duhai kekasihku. Tanpa kehadiranmu, hidup ini hanya seperti mimpi. Tanpa kehadiranmu, hidup ini tiada artinya.”

Kisah Keenam
Di barat (Eropa atau Amerika) ada seorang pemuda Muslim bernama Ahmad. Ia dirawat di rumah sakit karena luka serius akibat kecelakaan yang cukup dahsyat. Di waktu yang sama datanglah seorang lelaki dewasa yang menjenguk kerabat atau temannya. Lelaki itu seorang Muslim taat. Ketika mau pulang, lelaki itu melihat daftar nama pasien. Ia agak terkejut melihat nama ‘Ahmad’ di antara pasien yang mayoritas Non Muslim.

Karena penasaran, lelaki ini mendatangi kamar pasien bernama Ahmad tersebut. Ketika sudah berada di kamar, ia melihat Ahmad sedang tergeletak tak berdaya. Rupanya Ahmad sedang sakratul maut. Si Muslim taat bertanya pada dokter dan para suster yang merawat Ahmad. Ia bertanya, apakah Ahmad masih punya keluarga atau saudara yang bisa dihubungi? Dokter mengatakan kalau Ahmad masih punya seorang ibu. Muslim Sholeh langsung menghubungi ibunya Ahmad. Ia meminta agar ibunya Ahmad menemani sang anak yang sedang sekarat.

Namun ibunya yang ternyata bukan orang baik itu menolak dengan alasan sedang sibuk bisnis. Mendengar jawaban itu, Muslim Sholeh hanya menggelengkan kepala sambil bergumam, “Astaghfirullahal’azhim. Ibu macam apa itu? tidak mau tahu keadaan anaknya sendiri, padahal anaknya lagi sekarat. Tapi jangan-jangan, si Ahmad sendiri memang seorang pemuda berakhlak buruk? Kalau tidak, bagaimana mungkin ibu kandungnya sampai tidak peduli?”

Muslim Taat yang merasa iba, langsung mendekati Ahmad. Dilihatnya bule Muslim itu berbaring lemas sambil merintih kesakitan. Dilihatnya kedua matanya masih terbuka sedikit, itu berarti dia masih sadar. Muslim Taat yang berniat menolong Ahmad, bertanya, “Namamu Ahmad? Kepanjangan dari Muhammad?”
Di antara sadar dan pingsan, Ahmad mengangguk lemas. Muslim Sholeh berkata, “Ahmad, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah, tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah.”
Ahmad berusaha menuruti perintah lelaki sholeh, namun yang ia ucapkan bukan kalimat tahlil. Yang ia ucapkan malah: “Sweet girl..sweet girl (gadis manis)...”. Dalam versi lain ia mengucapkan: “My girl friend...my girl frieend (kekasihku/ pacarku)...”

Kisah Ketujuh
Kisah ini terjadi di Yogyakarta, tepatnya di sekitar 2 km dari tempat tinggal Penulis. Ardi dan Tika menjalin hubungan (pacaran) selama setahun. Setelah itu Tika memutus hubungannya dengan Ardi karena sudah merasa tidak cocok. Ardi, pemuda yang lemah iman, yang tidak pernah beribadah, stress berat. Ia tetap sering mendatangi rumah (kost) Tika, namun si gadis manis selalu pergi. Padahal sebenarnya ia tidak pergi. Ia cuma tidak ingin menemui mantan pacarnya itu.

Beberapa hari kemudian, tepatnya di sore hari, Ardi kembali mendatangi rumah Tika dengan motor bebeknya. Baru sampai 7 meter dari rumah Tika, Ardi sudah tahu kalau Tika sedang menemui pemuda lain. Ardi melihat motor pemuda itu di dekat pagar kostnya Tika. Entah siapa pemuda asing itu. Mungkin saingan beratnya Ardi atau pacar barunya Tika. Yang jelas Ardi cemburu berat. Ardi yang mata hatinya sudah gelap, menelepon HP Tika, namun Tika tidak mau menerima. Ardi pun mengirim sms yang berbunyi:

“Aku hanya ingin ketemu kamu sebentar, ketemu kamu untuk yang TERAKHIR KALINYA. Sebentar saja. Kumohon...”
Namun Tika tidak begitu menggubris, walaupun hati kecilnya merasa sedikit iba pada Ardi. Ia tetap berbincang asyik dengan tamu lelakinya. Ardi menunggu jawaban Tika selama sepuluh menit, namun Tika tidak atau belum mau menjawab. Tentu saja Ardi yang dibakar api cemburu menjadi kalap. Ia kembali mengirim pesan berbunyi: “Gadis Manis, mantan kekasihku, aku cuma ingin ketemu kamu sebentar. Tidak lebih dari lima menit. Percayalah. Kutunggu lima menit lagi. Kalau kamu tidak mau keluar untuk menemui aku, aku akan bertindak nekat. Aku serius!”

Kali ini Tika agak tersentak. Hati kecilnya bertanya, tindakan nekat apa yang akan dilakukan mantan kekasihnya? Setelah lima menit berlalu, Tika kembali mendapat sms dari Ardi. Isinya: “Pujaan hatiku, apapun yang terjadi, kamu tetap wanita yang paling kucintai. Walaupun kamu membenciku, aku tetap menyayangimu dengan sepenuh hatiku. Selamat Berbahagia Bunga Hatiku. Semoga kamu bisa jadi milikku di alam baka nanti. Selamat tinggaaal!”

Setelah mengirim pesan di atas, Ardi dan motornya mengambil ancang-ancang, kemudian melaju dengan kecepatan penuh. Ardi dan motornya menabrak tembok rumah di samping kostnya Tika. Suara benturan yang seperti geledek itu langsung membuat semua orang keluar dari rumahnya masing-masing. Tika dan para tetangganya mengerumuni Ardi yang roboh di samping motornya. Tika melihat mantan kekasihnya itu sekarat. Ia dan sebagian tetangganya langsung melapor ke Pak RW-nya perumahan itu. Pak RW dan beberapa tetangganya langsung membawa Ardi ke rumah sakit terdekat. Tika pun ikut mengantar Ardi.

Begitu sampai di rumah sakit, Ardi langsung dibawa ke UGD. Di tengah sadar dan tidak, Ardi melihat Tika di sampingnya. Bibir hatinya seolah mengucap syair, “Tika, inilah bentuk cinta sejatiku padamu. Aku rela mengorbankan apapun, termasuk nyawaku, demi kamu, duhai Bunga Hatiku.”

Ardi berharap Tika menghargai pengorbanannya yang kelewat batas. Jika Tika menangis sesenggukan, atau bahkan menangis histeris, berarti Tika memang menghargai pengorbanan Ardi. Jika Tika bersedih, entah sampai menangis sesenggukan atau cuma menangis kecil (wajah berduka, mata berkaca-kaca), berarti Tika memang tersentuh dan terluka hatinya. Namun lihatlah reaksi wajah manis Tika. Ia sama sekali tidak menangis, bahkan kedua matanya berkaca-kaca pun tidak. Wajah manisnya hanya terlihat sedih sedikit. Hal itu karena ia tidak merasa bersalah atau berdosa, sebab kenyataannya ia memang tidak bersalah. Kalaupun ia memang bersalah pada Ardi, kesalahannya itu tidak besar. Kesalahannya itu paling cuma 30 persen.

Dengan demikian sia-sialah pengorbanan Ardi yang hati dan akalnya sudah buta. Ia sudah rugi dunia akhirat. Di dunia ia tidak bisa meraih cinta Tika, di akhirat ia akan menghadapi perkara maha besar, perkara yang jauh lebih dahsyat dari perkara-perkara yang pernah ia hadapi di dunia. Jika para mujahidin rela mati demi membela Islam, Ardi rela mati hanya demi seorang wanita. Ardi rela mati hanya untuk memenuhi bisikan nafsunya.

Allah SWT berfirman:
“Dan di antara manusia ada orang yang menjadikan tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat berat keimanan mereka kepada Allah. Seandainya orang-orang zhalim itu mengetahui siksa di hari kiamat dan menyadari bahwa kekuatan hanya milik Allah semuanya, dan bahwa siksa Allah sangat berat (niscaya mereka menyesal).” [QS Al-Baqarah (2) ayat 165]

Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa yang mengucapkan ‘Laa ilaaha illallaah’ di akhir hidupnya, maka ia masuk surga.” (Hadits Riwayat Tirmidzi) Beliau juga bersabda: “Barangsiapa yang mengakhiri hidupnya (bunuh diri) dengan besi tajam atau sejenisnya, maka orang itu akan menusuk-nusuk perutnya dengan besi tersebut di neraka untuk selamanya. Barang siapa yang bunuh diri dengan meneguk racun, maka ia akan meneguk cairan dari neraka untuk selamanya. Barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari ketinggian, maka ia akan menjatuhkan dirinya ke jurang neraka.” (Hadits Riwayat Muslim)

Dan sabdanya yang lain:
“Barangsiapa yang bunuh diri dengan cara apapun, maka di hari kiamat nanti dia akan diazab Allah dengan cara yang semisal (dengan yang ia lakukan di dunia).” (Hadits Riwayat Muslim)
Jadi kalau ada orang yang bunuh diri dengan meneguk racun, di neraka kelak ia akan meneguk cairan dari neraka. Kalau yang bunuh diri dengan menusukkan besi ke tubuhnya, di neraka nanti ia akan menusuk-nusuk tubuhnya dengan besi yang tentu bahannya jauh lebih dahsyat. Kalau yang bunuh diri dengan menjatuhkan diri ke jurang, di akhirat besok ia akan menjatuhkan dirinya ke lembah neraka, dan seterusnya. Na’udzubillahi min dzalik. Kita berlindung kepada Allah dari hal-hal seperti itu.

Demikianlah kisah-kisah tragis tentang orang yang terlalu berlebihan dalam mencintai lawan jenisnya, baik lelaki maupun perempuan. Dan masih banyak lagi kisah tragis yang lain, yang kalau kita kumpulkan tentu jumlahnya tidak terhitung.

Pertanyaannya, jika orang yang kita cintai, entah ayah, ibu, kakak, adik, paman, bibi, suami, istri atau sahabat kita dipanggil Allah, apakah kita tidak boleh sedih? Jawabannya: Boleh, sebab sedih itu hal yang wajar. Sedih atau senang itu sifat alami yang memang dianugerahkan Allah kepada manusia. Yang tidak boleh hanya satu: Berlebihan, baik berlebihan dalam bersedih maupun bergembira.

Rasulullah Saw juga bersedih ketika orang-orang yang beliau cintai dipanggil Allah SWT. Beliau bersedih ketika ditinggal Khadijah, istri tercinta, Abu Thalib, pamanda tercinta, atau Abdullah, Qashim dan Ibrahim, putra-putra beliau yang meninggal ketika masih kecil. Hanya saja, sedihnya beliau tidak berlebihan. Sedihnya beliau wajar. Sedihnya beliau tetap terkendali, tidak seperti sedihnya sebagian dari kita. Masih banyak di antara kita yang sedih berlebihan ketika ditinggal orang yang kita cintai. Masih banyak di antara kita yang menangis keras, berteriak, bahkan meraung-raung sambil merobek baju, mencabut rambut atau membanting sesuatu.

Demikian pula dengan rumah tangga Rasulullah Saw yang harmonis sepanjang masa. Mungkin banyak di antara kita yang menganggap Rasulullah tidak pernah ribut atau bertengkar dengan istri-istri beliau. Tentu saja anggapan kita ini salah. Jangan dikira Rasulullah tidak pernah ribut dengan istri-istri beliau. Rasulullah pernah ribut dengan para istri, namun ributnya yang Islami, ributnya tetap terkontrol atau terkendali. Marahnya Rasulullah Saw terhadap istri-istri beliau itu sifatnya mendidik, sebab beliau sendiri bersabda: “Jika istrimu durhaka, pukullah dia dengan pukulan yang tidak menyakitkan, dan yang dipukul jangan kepala.”
Namun kenyataannya, masih banyak dari umat beliau yang marahnya berlebihan, baik marah pada ortu, saudara, istri atau anak. Masih banyak dari kita yang belum bisa mengendalikan diri ketika kita sedang marah. Begitu pula ketika senang atau bahagia. Masih banyak di antara kita yang lupa diri ketika mendapat nikmat dalam bentuk apapun, termasuk mencintai seseorang atau sesuatu.

***** 

Budaya Berlebihan Menyanjung Ulama
Salah satu tradisi atau kebiasaan buruk masyarakat di negeri kita adalah menganggap sosok ustadz atau kyai sebagai sosok yang anti kritik. Kalau Pak Kyai ini atau Pak Kyai itu sudah berkata demikian, pengikutnya wajib membenarkan dan mengikutinya. Jika Pak Kyai yang menjadi guru atau panutan itu berkata begini, para murid dan jamaahnya harus mengikutinya, walaupun yang diperintahkan Kyai-nya itu menyelisihi Al-Quran dan Al-Hadits. Sampai-sampai ada ungkapan konyol yang berbunyi: “Jika kamu melihat Pak Kyai A meminum khamr atau mengunjungi tempat maksiat atau tempat pesugihan, berarti kamu sudah salah lihat. Yang harus disalahkan itu matamu.”

Tentu saja sikap ini sangat keterlaluan dan bisa merusaka nilai-nilai agama. Seorang kyai atau ustadz sesholeh apapun, tetap bisa keliru. Makanya itu, seorang ulama besar (kalau tidak salah Imam Ahmad bin Hanbal/ Imam Hambali) pernah berkata: “Semua perkataan atau pendapat orang, baik ulama besar, orang sholeh atau ilmuwan jenius, masih bisa ditolak. Yang tidak boleh ditolak hanya perkataan pemilik makam ini (menunjuk makam Baginda Rasulullah Saw).“ Ya tentu saja, sebab para Nabi dan Rasul, terutama Rasulullah Saw, sudah dijaga dari dosa dan dijamin surga. Walaupun begitu, Rasulullah Saw dan para Nabi yang lain tetap merendah. Rasulullah dan para Nabi yang ‘Orang Suci’ itu tetap mengakui kalau mereka pun bisa bersalah. Salah satu contohnya, Rasulullah Saw pernah bersabda:

“Aku tidak banyak mengetahui hal ghaib, kecuali sebatas yang diberitakan Allah kepadaku.”
Dalam hal ini kita bisa mengambil contoh, beliau tidak mengetahui kapan terjadinya kiamat besar atau kiamat yang sesungguhnya. Dalam riwayat lain, Rasulullah pernah menyanggupi akad atau perjanjian dengan seseorang. Beliau menjawaab ‘Aku bisa’ tanpa mengucap Insya Allah. Allah pun menegur beliau dengan halus. Jika beliau berjanji untuk bisa melakukan sesuatu dengan seseorang, beliau harus mengucapkan: ‘Insya Allah,’ yang artinya ‘Jika Allah mengijinkan atau menghendaki.’ Ucapan mulia ini sampai sekarang menjadi keharusan bagi setiap Muslim. Seorang Muslim tidak boleh berkata, “Besok aku pasti datang.” Seorang Muslim yang baik harus berkata, “Insya Allah, besok aku akan datang.”

Dengan demikian, ulama atau ustadz yang harus kita ikuti itu ustadz yang beribadah apa adanya. Seperti yang sudah kami jelaskan di bab awal, beribadah apa adanya itu beribadah yang dilakukan dengan cara yang sudah ada contohnya dari Rasulullah Saw. Kita cukup meniru cara beribadah beliau, tanpa perlu menambah atau membuat sendiri. Jadi kalau ada ustadz yang benar-benar sudah berusaha mengamalkan Sunnah, kita wajib meneladaninya. Begitu pula sebaliknya. Kalau suatu ketika ibadah atau tindakannya tidak sesuai Sunnah, kita wajib meninggalkannya, syukur kalau bisa menasihatinya dengan cara yang baik/halus, bukan dengan cara mengumbar kesalahannya di depan umum. Manusia setakwa atau sesholeh apapun, kalau keburukannya ditampakkan di depan umum, ia pasti sakit hati karena malu. Dalam hal ini Nabi Saw berpesan pada kita: “Barangsiapa yang menutupi aib (kejelekan/ kesalahan) saudaranya sesama Muslim, maka Allah juga akan menutup aibnya (di dunia-akhirat).”

Empat ulama besar dalam bidang Fikih, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Empat Mahzab, yaitu Imam Abu Hanifah atau Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal (di negara kita lebih sering dipanggil Imam Hambali) berpesan kepada semua murid dan jamaahnya. Inti pesannya, kita sebagai pengikutnya, tidak boleh terus-terusan mengikuti mereka jika kita mengetahui tindakan mereka ada yang menyelisihi Sunnah Rasul. Inilah ucapan-ucapan yang menjadi bentuk tawadhu (rendah hati) mereka.
Imam Hanafi: “Tidak halal bagi seseorang yang mengambil pendapat kami, sampai ia tahu dari mana sumber pendapat kami itu.”

Imam Maliki: “Aku hanya manusia biasa, yang pasti bisa salah dan bisa benar. Koreksilah pendapatku. Setiap yang sesuai dengan Quran dan Hadits, ambillah, dan setiap yang tidak sesuai, tinggalkanlah.”
Imam Syafi’i: “Jika yang kukatakan bertentangan dengan hadits Nabi, maka yang shahih dari Nabi itulah yang harus kamu/ kalian ikuti, dan tinggalkan saja pendapatku.”

Beliau juga berkata: “Kaum Muslimin telah sepakat, jika seseorang sudah mendapat keterangan yang jelas tentang salah satu Sunnah (tuntunan) Rasulullah Saw, ia haram meninggalkannya hanya karena ucapan/ pendapat seseorang.”

Imam Ahmad/ Hambali berkata: “Janganlah kamu taklid (ikut-ikutan) kepadaku, jangan pula taklid kepada Malik, Syafi’i atau Ats-Tsauri. Ambil dalil dari mana mereka mengambilnya.”

Inilah bentuk rendah hati beliau-beliau sebagai ulama besar. Mereka menundukkan diri di hadapan dalil yang sah. Mereka menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai pemandu dan pemutus segala perselisihan yang terjadi. Mereka tidak pernah menjadikan akal dan hawa nafsu mereka sebagai ukuran kebenaran. Mereka mau menerima pendapat siapapun, selama pendapat itu sesuai dengan firman Allah SWT dan sabda Rasulullah Saw.

Lantas bagaimana dengan melestarikan dan mengikuti tradisi masyarakat setempat? Jawabannya, boleh, selama tradisi itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tradisi atau budaya dalam bentuk apapun, selama masih diijinkan syariat, boleh diikuti atau dikerjakan. Apalagi kalau tradisi itu positif dan sesuai dengan syariat Islam, hukumnya bukan hanya mubah (boleh), hukumnya bisa meningkat menjadi sunnah (dianjurkan), bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi wajib.

Demikian saja pembahasan tentang: Jangan Berlebihan Dalam Segala Hal, termasuk berlebihan dalam mencintai sesuatu. Jika kita berlebihan mencintai seseorang atau sesuatu, kita tidak akan memperoleh apapun selain kesengsaraan yang panjang, seperti dalam kisah-kisah percintaan tragis yang sudah kami sampaikan.
Lalu bagaimana dengan kecintaan dan penghormatan masyarakat kita terhadap almarhum Ustadz kita yang mulia, Ustadz Jefry Al-Bukhari? Sudah berlebihankah penyanjungan masyarakat kita? Atau masih wajar-wajar saja? Seperti apakah para sahabat dan para ulama terdahulu disanjung oleh murid dan masyarakatnya saat itu? Benarkah orang-orang mulia itu disanjung seperti masyakarat kita menyanjung Uje sekarang ini? Untuk masalah yang satu ini kami tidak berani langsung menjawab dengan tegas. Kami hanya berusaha mengutip dalil-dalil shahih yang bisa dijadikan ibrah atau pelajaran bagi siapapun yang membaca naskah ini. 

Semoga Allah selalu membimbing kita ke jalan yang benar. Amin.

*****

bersambung ... BAB  TIGA

0 comments:

Post a Comment

 
;