IIN Tinggal Kenangan
Irgi membalas surat Intan, yang ia anggap sebagai surat final atau surat terakhir untuk sang mantan kekasih. Inilah isinya:
“Assalamu’alaikum wr wb...
Semoga Mbak Intan Monik Cahyani sehat wal’afiat, dan selalu mendapat kasih sayang Sang Pencipta. Amin.
Sebelumnya aku mohon maaf kalau aku memanggilmu ‘Mbak’ lagi, seperti saat kita belum jadi teman istimewa. Ya tentu saja, soalnya sekarang kita sudah bukan siapa-siapa lagi, jadi aku nggak berani manggil Monik dengan selain ‘Mbak.’ Aku sudah nggak berani lagi manggil Mbak Intan dengan ‘Non, Neng, Dik, Nona Manis, Cah Ayu, apalagi Sayang atau Yayang.
Gadis manis yang lembut dan pengertian, aku sangat berterima kasih atas kejujuranmu di suratmu kemarin. Di satu sisi hatiku terluka karena kita nggak bisa jadi teman dekat atau teman istimewa lagi, tapi di sisi lain aku merasa ‘plong,’ merasa lega karena beban di hatiku sudah hilang. Kebenaran harus diterima walaupun sangat menyakitkan. Kebenaran yang menyakitkan lebih baik dari pada ketidakpastian. Semua orang atau mayoritas orang, pasti akan gelisah kalau menghadapi ketidakpastian atau sesuatu yang nggak jelas.
Gadis Manis, di surat final atau surat terakhir ini ijinkanlah aku bicara panjang lebar, agar beban di hatiku bisa hilang untuk selamanya. Di surat terakhir ini ijinkanlah aku untuk mengeluarkan seluruh ganjalan di hatiku, agar aku bisa merasa lega untuk selamanya.
Sejak ayahku pergi untuk selamanya, aku bisa meninggalkan dunia balap motor untuk selamanya. Tapi aku masih gelisah. Aku masih merasa bersalah karena aku belum bisa jadi anak yang berbakti pada ortu. Aku belum melakukan kebaikan yang banyak, tapi ayahku, tulang punggung keluargaku saat itu, sudah menghadap Allah SWT. Jiwaku saat itu benar-benar tertekan, tertekan karena aku merasa punya hutang pada ayahku.
Tapi Alhamdulillah, sejak aku ketemu seorang gadis manis di halte, gadis manis yang kalem, yang pinter, yang rendah hati, yang ada lesung di pipinya, terus aku kenalan sama dia, sampai aku jadi teman dekatnya, teman istimewanya, teman baiknya, atau apapun istilahnya, saat itulah luka hatiku mulai terobati. Luka hatiku benar-benar berkurang banyak.
Berkat punya teman baik atau teman dekat seorang gadis manis luar dalam, rasa sesal di hatiku semakin hilang. Kehadirannya benar-benar membakar semangat hidupku yang hampir pudar. Semangat untuk beraktivitas, semangat untuk beribadah, semangat untuk meraih masa depan yang cerah, benar-benar kembali berkobar seperti saat aku jadi pembalap jalanan.
Apalagi ketika ia mengatakan sejujurnya tentang perasaannya padaku, perasaan istimewa yang telah ia pendam agak lama, aku benar-benar sudah merasa hidup di alam abadi. Ketika ia mengatakan cintanya padaku, aku benar-benar seperti mendapat berkah yang turun langsung dari langit. Aku pun menyambut cintanya dengan hangat. Yah, hanya lelaki bodoh yang tidak mau menerima cintanya Intan Monik Cahyani.
Apalagi ketika kami semakin menghangatkan cinta kami di lereng bukit pada hari minggu tol 28 Maret 2010 yang lalu, lima hari setelah hari ultahnya, aku benar-benar merasa terbang ke langit biru. Aku benar-benar merasa sudah masuk ke negeri abadi, negeri yang kenikmatannya takkan pernah habis. Ketika ia menaruh kepalanya di dadaku, aku melihat seluruh alam di jagat raya ini menjadi indah, indah sekali, seindah taman di kerajaan langit.
Namun sayang sekali, kebahagiaan yang kuanggap abadi itu hanya mimpi dan khayalanku. Kehangatan cinta bersama bunga hatiku ini hanya berlangsung enam bulan. Semua itu karena salahku sendiri. Aku masih belum bisa melepaskan diriku dari masalah yang menumpuk. Aku belum bisa membahagiakannya dengan sepenuh hati. Aku belum bisa menjaga perasaannya yang amat lembut. Aku mengaku menyayanginya sepenuh hati, namun ternyata itu masih lebih banyak di bibir, dan baru sedikit yang kubuktikan dengan tindakan. Aku tidak bisa ngomong jujur sama dia, ngomong jujur kalau aku ini banyak masalah, dari keluarga yang berantakan, yang begini dan begitu.
Sekarang aku nggak punya lagi pelipur lara. Aku nggak punya lagi penghibur jiwa yang merana. Aku nggak punya lagi pengobat hati yang sakit. Aku nggak punya lagi penawar hati yang terluka. Gadis manis yang aduhai ini, yang selalu hadir di saat jiwaku gelisah, yang selalu menyejukkan hatiku yang gersang, yang selalu menenteramkan hatiku dengan senyum manisnya, sekarang sudah pergi jauh. Bunga indah yang tumbuh subur di taman hatiku, sekarang sudah layu atau tercabut.
Mbak Intan yang manis, ketahuilah yang satu ini. Aku nggak pernah ngomong jujur sama Mbak karena aku benar-benar mencintaimu. Aku nggak pernah ngomong jujur karena aku takut Mbak Intan nggak mau berhubungan sama aku. Aku nggak pernah ngomong jujur karena aku takut Mbak Intan meninggalkan aku. Sebenarnya aku sudah berniat ngomong jujur sama Mbak Intan, tapi aku belum siap, aku masih cari-cari waktu yang tepat.
Tapi semua ini sudah kehendak Gusti Allah SWT. Mungkin Gusti yang Maha Agung memang tidak menghendaki kita menjadi pasangan, seperti yang kita lihat di mimpi kita kemarin. Mungkin Gusti Allah memang tidak menghendaki cinta kita abadi. Mungkin Gusti Allah memang menghendaki cinta IIN (Irgi-Intan) hanya berlangsung enam bulan. Sekarang IIN sudah nggak ada. IIN tinggal kenangan. Yah, inilah kenyataan yang harus kuterima dengan lapang dada.
Mbak Ayu, aku nggak kan pernah melupakan dirimu. Mulai saat kita ketemu di halte, lalu aku sering nganter pizza di rumahmu, hingga kita menjadi pasangan kekasih semu. Makasih banyak untuk kebaikanmu selama ini. Makasih banyak untuk hubungan kita selama enam bulan kemarin. Sungguh beruntung lelaki yang bisa memiliki dirimu untuk selamanya.
Aku hanya bisa berdoa, semoga suat saat nanti Non Intan bisa jadi milik lelaki yang jauh lebih baik dari aku. Semoga Non Intan bisa jadi istrinya lelaki sholeh yang bertanggung jawab, yang syukur juga ganteng dan kaya, agar Non Intan bisa merasakan kebahagiaan dunia akhirat. Amin. Entah siapa lelaki itu, yang jelas dia bukan Irgi.
Nah Mbak Ayu, ini aja yang ingin kusampaikan. Makasih banyak untuk waktu dan perhatianmu. Makasih banyak untuk segalanya. Selamat tinggal Gadis Manisku, selamat berbahagia. Wassalam..
Hamba Allah yang lemah, mantan kekasihmu, Irgi Indra Haryadi
---XXXXX---
Di saat mayoritas orang berlomba-lomba untuk mengambil kuliah di bidang ekonomi, hukum, kedokteran atau teknik, pilihan Intan justru jatuh pada jurusan Sastra Indonesia di UI. Keputusannya untuk memilih jurusan sastra Indonesia bukan tidak beralasan. Sejak dulu Intan memang tertarik pada bidang seni, bahasa dan tulis menulis. Ia pernah berkata, “Sebenarnya aku lebih ingin dikenal sebagai penulis. Tapi mungkin nanti ya? Insya Allah kalau Dia memang sudah menentukan waktunya.”
Kalimat di atas sering ia ucapkan di depan teman-teman dekatnya, termasuk Irgi. Ia penggemar karya tulisnya Pramoedya Ananta Toer, Djenar Maesa Ayu dan Oka Rusmini. Tidak heran kalau ia mengoleksi cukup banyak buku sastra dan novel, termasuk novel tipis yang ditemukan Irgi di rumah Tina, salah satu sahabatnya. Novel yang ditemukan Irgi dengan tidak sengaja itu termasuk novel kesayangannya, jadi wajar kalau saat itu ia langsung jatuh hati pada Irgi, setelah sebelumnya ia memang sudah tertarik dan tergoda pada si mantan pembalap jalanan.
Sekarang, untuk mengobati luka hati karena putus dengan Irgi, Intan menyibukkan dirinya dengan menulis karya sastra berupa cerpen dan puisi. Berkat ketekunannya, beberapa puisi dan cerpennya sering di muat di majalah dan surat kabar. Ia pun mendapat penghasilan tambahan dari karya tulisnya, di samping pekerjaan utamanya menjalankan bisnis kedua ortunya. Namanya menjadi cukup kondang berkat keteguhannya dalam menulis sastra.
Nama Intan Monik Cahyani menjadi cukup kondang di dunia sastra. Sekarang hampir tidak ada karya tulisnya yang ditolak oleh penerbit buku, majalah atau surat kabar. Puisi-puisi dan cerpennya sering dimuat di surat kabar. Lebih dari itu, sekarang ia juga aktif mengikuti kegiatan sosial. Ia yang juga pandai menyanyi, sesekali memperdengarkan suaranya yang lembut pada publik. Ia cukup sering bernyanyi di acara-acara bakti sosial yang diadakan di panti asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah, dan lain-lain.
Awalnya hanya namanya yang dikenal di media cetak. Semua itu berkat kemampuan menulisnya. Namun lama kelamaan media cetak juga memuat wajah dan data pribadinya. Setiap orang yang baru melihat wajahnya, langsung berkomentar, “Wah, ternyata orangnya cakep ya. Manis banget. Semanis namanya.”
Nama Intan Monik Cahyani memang seindah dirinya. Ia dikenal dengan ‘Si Manis Lesung Pipi.’ Namun ia dikenal orang bukan hanya karena cantik, manis dan ramah. Ia menjadi kondang karena kemampuannya menulis dan menyanyi. Wajah dan paras indah itu hanya ndilalah atau kebetulan saja. Teman-teman dekatnya, termasuk Cicik dan Lilik, menepis anggapan kalau Intan diakui publik hanya karena wajah manisnya dan sikapnya yang lembut.
Prestasinya yang semakin hari semakin melonjak itu sampai pula di telinga Irgi. Suatu hari, ketika Irgi berjalan melewati kios-kios, ia melihat wajah seorang gadis yang terpampang di cover majalah dan surat kabar. Wajah ayu itu sudah tidak asing baginya. Ia melihat wajah itu dari dekat, kemudian menyentuhnya. Oh, ternyata itu mantan bidadarinya.
Ia langsung meminjamnya sebentar dari penjualnya, kemudian membacanya. Kebetulan tabloid tersebut sedang tidak disegel. Intan dimuat di tabloid itu karena puisi dan cerpennya, juga karena ia bernyanyi untuk menghibur kaum dhuafa di panti asuhan. Irgi yang merasa tertarik untuk membaca lebih lanjut, langsung membeli tabloid atau majalah tersebut, kemudian membacanya di rumah. Setelah membaca, Irgi tersenyum gembira, lalu bergumam,
“Selamat ya Manis. Akhirnya kamu berhasil mewujudkan impianmu selama ini. Insya Allah, tinggal usaha sedikit lagi, cita-citamu sudah terwujud.” Diam sebentar, “Aku ikut bahagia dengan kesuksesanmu ini. Mudah-mudahan kamu bisa terus mempertahankan prestasimu yang menakjubkan ini. Amin.”
Irgi mengelus wajah Intan di majalah tersebut, lalu bicara lagi dalam batin, “Sebenarnya aku ingin hubungi kamu. Aku ingin nelpon atau sms kamu. Yah...sekedar ngucapin selamat atas keberhasilanmu menjadi penulis sastra.” Diam sejenak, “Tapi setelah kurenungkan mendalam, kayaknya kurang baik.” Diam sejenak, “Mungkin nggak papa sih, boleh-boleh aja kalau sekedar sms kamu. Tapi aku kuatir nanti dampak buruknya lebih banyak.”
Beberapa waktu kemudian Irgi kembali membeli majalah yang membahas Intan. Pembahasan kali ini cukup menarik karena menyangkut tentang pertanyaan: ‘Intan sudah punya pacar atau teman dekat belum? Atau mungkin malah sudah punya calon suami?’ Intan hanya tersenyum malu mendengar pertanyaan itu. Ia menjawab,
“Saya belum menemukan pria yang pas untuk hati saya. Yah, mungkin Allah memang belum ngasih saya jodoh.”
Redaksi kembali bertanya: “Terus seperti apa kriteria pria idaman Intan?”
Intan tersenyum manis, lalu menjawab, “Yang jelas, nomer satu harus yang baik agamanya. Yang kedua, dewasa, pengertian dan perhatian. Yang ketiga, harus yang bener-bener sayang sama Intan. Hi hi hi.” Terus yang keempat, kalau bisa punya pekerjaan tetap.”
Redaksi bertanya lagi, “Berarti nggak harus ganteng, gagah atau macho ya?”
Intan tersenyum, “Intan udah beberapa kali berhubungan sama cowok ganteng, gagah, keren, atau apapun istilahnya. Tapi hubungan kami nggak lama.” Diam sejenak, “Sebenarnya...yang terakhir kemarin...Intan pernah punya teman istimewa yang bisa dikatakan nyaris sempurna.”
Sampai di kalimat ini, jantung Irgi mulai berdebar kencang. Siapakah pria nyaris sempurna yang dimaksud Intan itu? Apakah Syahrul Hermawan, Vicky Diponegoro, atau Irgi Indra Haryadi? Redaksi majalah Anita kembali bertanya, “Nyaris sempurna itu maksudnya gimana? Apa dia ganteng, gagah, pinter dan kaya?”
Intan mengangguk, “Kaya sih nggak..biasa aja. Bahkan dia berasal dari keluarga yang sederhana. Dari segi ekonomi, kalau dibandingkan dua pacar Intan sebelumnya, dia kalah jauh.” Diam sejenak, “Dia ganteng, gagah, baik, pinter, terampil, pekerja keras.”
Sampai di sini, wajah Intan mendadak berubah menjadi agak sedih. Senyum manisnya hilang oleh kabut kepedihan yang tiba-tiba menyelimuti wajahnya. Irgi yang sedang membaca pun ikut merasakan gejolak batin Intan. Intan melanjutkan, “Dia ganteng luar dalam. Dia bener-bener nyaris sempurna.”
Redaksi Anita: “Terus, apa yang membuat Intan nggak melanjutkan hubungan sama cowok itu?”
Intan diam sejenak sambil menunduk, setelah itu menjawab, “Ada perbedaan yang sangat prinsipil.”
“Boleh nggak Anita tahu namanya?”
Intan tersenyum sambil menggelengkan kepala, “Mohon maaf. Untuk yang satu ini Intan nggak bisa ngomong. Tapi Intan bisa nyebutin huruf depan namanya.”
“Apa huruf depannya?”
“Sama Intan.”
Redaksi Anita: “I ya?” diam sejenak, “Mungkin..Iwan, Irfan, Iman, Ilham?”
Intan tersenyum, “Silahkan menebak terus.” Diam sejenak. Dengan muka menjadi serius lagi, ia melanjutkan, “Intan berani ngomong...dia cowok terbaik yang pernah Intan kenal. Dia cowok terbaik yang pernah jadi teman dekat Intan.”
Pengakuan Intan yang begitu polos itu sangat menyentuh hati Irgi yang sedang membaca. Irgi memejamkan kedua matanya, lalu kembali menatap foto Intan sambil bergumam, “Cewek sempurna kayak kamu kok masih sendiri? Cewek sempurna kayak kamu kok belum ada yang punya. Kasihan banget kamu.” Diam sejenak, “Tapi kamu jangan kuatir. Teman baikmu ini akan terus berdoa, berdoa agar Allah segera mempertemukan kamu dengan jodohmu. Sabar saja ya Manis.”
---XXXXX---
0 comments:
Post a Comment