Calon Suami Lulus Ujian
Sore itu Wiwit mampir ke rumah Irgi untuk memberi tabloid Anita yang membahas Intan. Wiwit berkata, “Tabahkan hatimu ya?” sambil menyentuh bahu Irgi. Irgi bertanya, “Memang Intan kenapa?” diam sejenak, “Gue udah denger kabar kedekatan dia sama Donny. Mereka masih teman dekat, masih pacaran.”
Wiwit menyahut, “Lo salah Ndra. Mereka udah lebih dari teman dekat.”
“Teman istimewa?”
Irgi mengernyitkan dahinya karena penasaran. Wiwit melanjutkan, “Makanya Ndra, tadi gue bilang, tabahkan hati lo ya? sebentar lagi lo dapet kabar kurang sedap.”
“Maksud lo (semakin penasaran)?”
Wiwit melepas kaca matanya, lalu berkata, “IDON (Intan-Donny) udah mau meresmikan hubungan mereka.”
Dada Irgi terasa sesak mendengar kabar itu. Ia berkata lirih, “Tapi...lamaran itu cuma isu. Kemarin gue baca di...”
“Ya udah, sebaiknya lo segera baca tabloid ini (menunjuk majalah yang dipegang Irgi). Ndra (menyentuh kedua bahu Irgi) kuatkan hati lo ya. Ikhlaskan dia jadi milik orang.” Diam sebentar, “Insya Allah, besok lo bisa dapet yang sebaik mantan bidadari lo itu. Syukur yang lebih baik dari dia.”
Irgi mengangguk lemas. Wiwit melanjutkan, “Oke Ndra, gue cabut dulu. Masih ada yang harus gue kerjain. Kapan pun lo butuh bantuan, lo tinggal panggil kakak lo ini. Oke?”
Irgi mengangguk sambil tersenyum dibuat-dibuat. Kenapa dibuat-buat? Karena hatinya sedang terluka mendengar kabar Intan akan meresmikan hubungannya dengan Donny. Begitu Wiwit pulang, Irgi langsung masuk ke kamarnya, kemudian membaca majalah Anita pemberian Wiwit itu. Ia membaca bab yang membahas tentang Intan Monik Cahyani, penulis muda yang namanya semakin meroket berkat karya-karya tulisnya dalam bentuk sastra.
Gadis jelita itu akan segera mengakhiri masa lajangnya. Tenda merah yang ada di rumahnya saat hari ultahnya kemarin ternyata memang acara lamaran dirinya. Hanya saja, ia dan kedua ortunya belum ingin mempublikasikan kabar bahagia itu kepada masyarakat. Lima bulan setelah IDON (Intan-Donny) pacaran, Donny mantap untuk meresmikan hubungannya dengan Intan. Donny mantap untuk melamar gadis pujaan hatinya itu.
Jika tidak ada halangan, IDON akan menikah pada Oktober 2011 mendatang. Kenapa bulan Oktober? Karena bukan ke sepuluh itu sangat bermakna bagi IDON. Mereka jadian pada bulan Oktober 2010. Lima bulan kemudian, tepatnya tanggal 23 Maret 2011, Donny menyatakan cintanya pada Intan. Donny menyatakan hasratnya untuk menjadikan Intan sebagai teman hidupnya. Intan yang sudah bisa melupakan Irgi seratus persen, menerima lamaran Donny dengan sepenuh hatinya.
Intan mendatangi tim ANITA untuk diambil wajahnya sebagai foto cover majalah wanita tersebut. Ia datang dengan wajah berbinar-binar. Lesung pipinya melukiskan keceriaan yang tidak bisa ia tahan. Ia memang sosok yang ramah, namun senyumnya hari itu lain dari yang lain. Ia terlihat sangat bahagia, bahagia karena akhirnya ia menemukan ‘Sang Pilihan Hati.’
Ia yang selama ini selalu menyembunyikan nama Irgi dengan Indra, khusus hari itu ia tidak malu, ragu atau takut lagi untuk menceritakan Irgi dengan sejujurnya. Ia bercerita, setahun yang lalu ia menjalin hubungan istimewa dengan seorang pemuda yang bisa dikatakan nyaris sempurna. Pemuda itu hampir memiliki segalanya. Dari segi fisik, dia gagah dan tampan. Dari segi fikis, akhlaknya baik, ramah, santun, pemalu. Dia juga cukup cerdas dan pekerja keras. Hanya dari segi ekonomi saja yang kurang. Namun untungnya Intan tidak pernah mempermasalahkan soal ekonomi atau status sosial.
Pemuda nyaris sempurna itu bernama Irgi Indra Haryadi. Dia seorang pembalap jalanan yang beralih profesi menjadi kurir pizza. Intan pun tidak malu mengakui bahwa dia yang jatuh cinta duluan pada Irgi. Semua itu berawal dari Irgi yang sering mengantar pizza ke rumah Intan, dan seterusnya. Intan berkata sambil tersenyum gembira, “Dia kupanggil ‘Mas Gik.’ Dialah yang ngasih ini (menunjukkan gelang pink di tangan kanannya).”
“Kami sudah sangat dekat.” Diam sebentar, “Tapi karena perbedaan yang sangat prinsipil, dengan sangat berat hati kuakhiri hubungan istimewaku sama dia.” Diam sebentar, “Hatiku cukup terluka karena perpisahan kami.” Diam sejenak, “Tapi Alhamdulillah, sekarang Allah sudah ngasih ganti..ganti yang Insya Allah lebih baik dan lebih tepat untuk hatiku.”
Intan mengatur nafasnya, lalu melanjutkan, “Donny memang nggak seganteng dan sekeren Irgi..tapi dia lebih bisa memahami sifatku, dia lebih bisa momong aku.” Diam sejenak, “Untuk saat ini, dialah lelaki yang paling bisa ngerti’in aku. Apalagi dia sudah lulus tipe kualifikasi sebagai suami idamanku. Dia sudah lulus ujian untuk jadi suamiku.”
“Kira-kira sebulan yang lalu, waktu dia main ke rumahku sampai malem, aku tes dia jadi imam sholat jama’ah. Ternyata bacaannya cukup fasih, walaupun tidak sebagus bacaannya ustadz-ustadz, qari’ (tukang baca Al-Quran), atau imam masjid. Dari segi pendidikan, dia lebih tinggi dari aku. Dari segi pekerjaan, aku sama dia Insya Allah sama-sama sudah siap berumah tangga. Jadi tunggu apalagi?”
Demikianlah penuturan Intan kepada Majalah Anita. Akhirnya orang-orang tahu bahwa sebentar lagi Intan akan menjalani salah satu acara sakral dalam hidupnya. Orang-orang pun menjadi tahu bahwa sebelum bertemu calon suami, Intan pernah menjalin hubungan khusus dengan seorang pemuda yang pernah menjadi raja jalanan.
Demikianlah pembahasan tentang Intan Monik Cahyani. Irgi menjadi lemas setelah membaca berita di atas. Ia menatap foto Intan yang menjadi cover majalah tersebut. Ia elus wajah mantan bidadarinya, lalu bergumam, “Gadis impian...akhirnya kamu bisa ketemu jodohmu. Selamat ya?” diam sejenak, “Tapi aku sudah bohong sama diriku sendiri. Di surat-suratku kemarin aku sering bilang, mudah-mudahan kamu bisa segera ketemu jodohmu. Mudah-mudahan kamu bisa dapet cowok yang baik, yang sholeh, yang bertanggung jawab, dll.”
“Tapi sekarang hatiku sakit. Hatiku terluka karena mendengar kamu sudah ada yang punya. Hatiku terluka mendengar kamu sudah jadi milik Donny. Ini berarti, aku masih belum rela kamu jadi milik orang. Aku masih mengharapkan kamu jadi miliku.” Diam sejenak, lalu tersenyum sedikit, “Tapi aku benar-benar berterima kasih atas kejujuranmu, kejujuranmu tentang hubungan istimewa kita selama enam bulan. Aku benar-benar tersanjung.”
Diam sejenak, “Inilah saatnya untuk membuktikan janjiku dulu. Janji yang pernah kuucapkan ke kamu, juga janji pada diriku sendiri...bahwa aku akan berusaha melakukan apapun untuk membahagiakan kamu.” Diam sejenak, “Asal kamu bisa bahagia, Insya Allah, aku akan berusaha ikut bahagia, walaupun sebenarnya aku menderita.” Diam sejenak, “Mungkin aku memang menderita. Tapi kalau itu demi kebahagiaanmu, Insya Allah apapun akan kulakukan. Lihat saja, gadis manisku.”
Malam harinya Irgi sholat sunnah di kamar. Ia memakai sarung dan kemeja lengan pendek. Setelah sholat ia berdoa dengan sangat khusyuk, lebih khusyuk dari yang biasanya ia lakukan. Dengan kedua tapak tangan menengadah ke atas, Irgi berkata lirih, “Ya Allah Ya Tuhan kami, Tuhan Pemilik langit dan bumi, Tuhan Yang kasih sayang-Nya tanpa batas. Malam ini, di tempat sepi ini, hamba-Mu yang lemah dan hina ini memohon dan bersimpuh dengan sangat merendah.”
“Harus kuakui Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim. Harus kuakui kalau aku masih mencintai Intan. Aku masih menyayangi Intan. Buktinya? Hatiku sakit ketika mendengar dia sudah jadi milik Donny Hadi Putra. Hatiku sakit ketika mendengar dia akan meresmikan hubungannya sama Donny Hadi Putra.” Diam sebentar, “Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim...kuatkanlah hati hamba-Mu yang hina dini ini. Kuatkan dan ikhlaskan hatiku dalam menerima semua kenyataan ini. Sadarkan aku, agar aku tidak bermimpi dan berkhayal terus. Sadarkan aku ya Allah. Sadarkan aku bahwa Engkau tidak menciptakan Si Manis itu untukku.”
Sadarkan aku dengan cahaya petunjuk-Mu. Sadarkan aku bahwa Engkau menciptakan gadis manis itu untuk jadi milik Donny. Lapangkanlah hatiku, agar aku bisa ridho dalam menerima semua ketentuan-Mu ini. Hanya kepada-Mu aku memohon, karena hanya Engkau yang bisa mengabulkan permohonanku.”
---XXXXX---
Sekarang Irgi duduk melamun di alam bebas. Ia menatap foto Intan yang biasa ia taruh di dompetnya. Hatinya berkata, “Kamu akan menikah. Kamu akan jadi Nyonya Donny. Kamu akan menjalani hidup baru.” Diam sebentar, “Kamu hanya bisa jadi gadis impianku, gadis khayalanku.” Diam sebentar, “Beruntung sekali Donny...bisa memiliki kamu untuk selamanya.”
Dengan kedua mata terus menatap foto Intan, imajinasi mantan raja jalanan ini melayang ke masa lalu yang indah, masa dimana ia sedang menjalani asmara dengan Intan. Mulai saat pertemuannya dengan Intan di halte, ketika mereka sama-sama berteduh dari hujan deras. Ia yang tiba duluan di halte itu. Sekitar dua menit kemudian datanglah si gadis manis dengan baju terusan yang basah. Kemudian ia mengantar pizza ke sebuah rumah besar dan mewah, yang ternyata tempat tinggalnya gadis yang ia jumpai di halte.
Ia dikerjai Cicik dan Lili dengan alasan pizza yang dibawanya hangus. Setelah itu ia diminta Si Manis untuk berteduh di rumahnya karena hujan yang begitu deras. Selanjutnya ia menolong atau melakukan jasa-jasa untuk Intan, dan itu merupakan awal penyebab Intan jatuh hati pada dirinya. Beberapa kali Intan mendapat kesempatan untuk mengungkapkan cintanya pada Irgi, namun gadis manis yang kalem itu tidak berani melakukan karena ia seorang gadis yang pemalu.
Irgi pun sebenarnya mulai jatuh hati pada Intan, namun ia lebih tidak berani mengungkapkan karena ia merasa dirinya tidak pantas untuk Intan. Ia hanya seorang kurir pizza, sedangkan Intan seorang gadis dari kalangan menengah ke atas. Intan pun akhirnya mengungkapkan cintanya secara tidak langsung. Mereka pun menjadi pasangan kekasih. Mereka berhubungan dengan sangat terkendali karena keduanya sama-sama pemalu dan santun.
Sampai akhirnya mereka menjalani puncak percintaan mereka di lereng bukit. Hanya sekali itu IIN berhubungan dengan sangat mesra. Hanya sekali itu mereka bersentuhan. Hanya sekali itu Intan sampai menaruh kepalanya di dada Irgi, lalu Irgi mengelus dan membelai rambut panjang sang kekasih. Namun ternyata semua itu hanya cinta semu. Selang beberapa hari atau beberapa minggu kemudian Intan minta putus karena ia merasa dibohongi. Ia menganggap Irgi tidak mau jujur dan mengakui dirinya apa adanya.
Demikianlah kisah cinta IIN selama enam bulan. Irgi yang masih menatap foto mantan kekasihnya, mendadak tersentak sadar dari lamunannya. Ia menggelengkan kepala sambil menutup kedua matanya. Bibirnya berkata lirih, “Astaghfirullahal’azhim (aku mohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung) beberapa kali. Ia kembali menatap foto intan. Dengan wajah yang terlihat lebih tegar, hatinya kembali bertutur,
“Aku harus sms dia. Yah, sekedar ngucapin selamat.” Diam sejenak, “Karena kemungkinan besar aku udah nggak bisa ketemu dia lagi, walau cuma ketemu sebentar, ketemu sekali, atau ketemu untuk yang terakhir kalinya, maka yang bisa kulakukan hanya nelpon atau sms. Kalau nelpon kemungkinan besar juga nggak bakal diangkat. Jadi..yah..sms aja.”
Dengan hati mantap, Irgi sms Intan. Isinya: “Gadis manisku, mantan cewekku, cinta pertamaku, aku hanya bisa berdoa, semoga pernikahanmu dengan Donny besok berjalan lancar, mendapat rahmat dan berkah dari Allah. Amin. Kapan pun dirimu butuh bantuanku, dan selama aku masih mampu, Insya Allah aku pasti membantumu. Sekali lagi, makasih banyak untuk hubungan kita selama enam bulan kemarin. Selamat Berbahagia. Semoga abadi. Amin.”
Intan yang sedang santai di kamarnya, terkejut mendapat sms dari mantan kekasihnya. Ia bergumam, “Ya Allah...Mas Gik.” Diam sejenak, “Ini pertama dia sms lagi, setelah hampir setahun dia nggak pernah sms.” Diam sejenak, “Gimana kabarnya ya? sekarang ngapain aja dia? Kerja di mana? Atau usaha apa?”
Hati dan pikiran calon istri Donny ini kembali terfokus pada mantan raja jalanan. Namun hal itu hanya berlangsung sebentar. Hatinya yang sudah sadar itu berkata lagi, “Nggak! Nggak boleh! Aku nggak boleh ingat dia lagi. Aku nggak boleh mikir dia lagi. Dia udah jadi masa laluku..sebagaimana Syahrul dan Vicky.” diam sejenak, “Tapi okelah kalau sekedar membalas atau menanggapi smsnya. Yang penting aku udah nggak punya perasaan apapun sama dia.”
Intan mengambil foto Donny, lalu bergumam lagi, “Sekarang hati dan pikiranku hanya untuk kamu. Seluruh cintaku hanya untuk kamu. Yah, hanya untuk kamu. Nggak ada lagi yang lain.”
Malamnya Intan sms Irgi. Intan yang sudah cukup lama tidak menghubungi mantan pembalap jalanan, berkata melalui HP-nya: “Amin. Makasih banyak. Gimana kabar Mas Gik? Sehat-sehat kan? semoga makin sukses aja ya? Intan juga berdoa, semoga Mas Gik segera dapet teman hidup yang segalanya lebih dari Intan. Amin.”
Irgi tersentak gembira. Ia bergumam, “Sekitar sembilan bulan, atau bahkan lebih sedikit, dia nggak pernah hubungi aku. Alhamdulillah, sekarang dia hubungi aku lagi, walau nggak seperti dulu, dan cuma sebentar.”
Irgi mengambil foto Intan yang berpigura. Ia kembali menatap mantan kekasihnya. Ia bergumam sambil tersenyum, “Makasih banyak untuk doamu.” Diam sejenak, “Tapi kalau untuk saat ini...aku nggak yakin bisa segera dapet cewek yang dalam segala hal bisa sebaik kamu. Apalagi yang lebih baik dari kamu.”
Irgi menatap atas, lalu bicara lagi dalam batin, “Ya Allah...kalau Engkau masih menghendaki aku bisa ketemu dia sekali lagi, ketemu dia untuk yang terakhir kalinya, segeralah temukan kami. Tapi kalau Engkau memang sudah tidak menghendaki, usirlah dia dari hatiku untuk selamanya.”
---XXXXX---
Beberapa waktu kemudian Irgi mendapat kabar buruk dari Wiwit dan beberapa temannya dari geng motor. Katanya sekarang ini Jajang sudah muncul lagi, setelah cukup lama menghilang. Ia kembali menggalang kekuatan bersama segelintir anak buahnya yang tersisa. Bahkan ada kabar kuat yang mengatakan, sekarang ini Jajang berubah menjadi monster. Kabar kuat itu diperoleh dari Jojon, mantan bawahannya Hendratmo atau Hen, ilmuwan jahat yang sudah menolong Jajang. Hen itulah yang sudah merubah Jajang menjadi monster.
Hen berniat menjadikan Jajang sebagai kelinci percobaan untuk temuan sainsnya, namun karena alat ciptaannya yang bisa memperbesar sel dan memperkuat otot, saraf dan otak manusia belum sempurna, hasil percobaannya pun berantakan. Alat canggih ciptaannya memang sudah berhasil merubah struktur tubuh Jajang menjadi kuat, namun saraf otak dan memori Jajang menjadi agak kacau, sehingga Jajang malah membunuh Hen. Hen pun tewas di tangan hasil eksperimennya sendiri.
Jojon yang sudah berniat tobat, melarikan diri dari markas Hen. Ia menceritakan semua yang telah ia lihat pada Bayu, Otong, Wiwit dan semuanya. Sekarang Jajang benar-benar menjadi monster pembunuh. Wajahnya yang dulu rusak karena dihajar Irgi dkk, sekarang semakin rusak. Itulah yang membuatnya seperti setan atau monster. Tubuhnya berubah menjadi besar. Tinggi badannya yang relatif pendek menurut pria, sekitar 160 cm, tetap tidak berubah. Namun badannya membesar atau membengkak. Otot-otot dada dan tangannya menjadi seperti ototnya binaragawan.
Sekarang ia menghimpun kekuatan bersama empat anak buahnya yang tersisa dari Geng Macan. Ditambah satu orang yang jago berkelahi dan berpostur tinggi kekar. Namanya Ucok, mantan bawahan Hendratmo yang dulu sudah menolongnya dari amukan kawan-kawan Bayu dan Irgi, sebagaimana yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya. Dengan demikian, sekarang Jajang hanya memiliki lima bawahan. Jumlah yang jauh lebih sedikit kalau dibandingkan saat geng Macannya masih jaya.
Namun hal itu bukan masalah bagi Jajang. Menurut Jojon dan beberapa kawan Bayu yang sudah melihat langsung, Jajang yang sekarang ini malah lebih mengerikan dari yang dulu, walaupun anak buahnya cuma lima orang. Hal itu karena Jajang yang sekarang sudah berbeda jauh dengan Jajang saat memimpin Geng Macan. Sekarang Jajang sudah berubah menjadi sosok mengerikan berkekuatan dahsyat. Kekuatannya setara lima, tujuh, atau bahkan sepuluh lelaki kekar. Dengan demikian, lima bawahannya yang termasuk Ucok itu hanya sebagai pelengkap kekuatannya saja.
Jojon yang waktu itu mengintip Jajang yang baru saja menghabisi Hendratmo, berkata pada Bayu cs, “Aku dengar keparat itu bilang, ‘Sekarang aku bisa melumat Indra dengan mudah. Dia bisa kubunuh layaknya aku membunuh kucing kelaparan.’ Waktu itu aku belum tahu siapa Indra. Aku hanya tahu, kelihatannya dia dendam banget sama orang yang bernama Indra. Setelah kenal sama kalian, baru aku tahu siapa Indra.”
Lantas seperti apa rupa atau wajah Jajang sekarang? Kata Jojon, wajah Jajang sekarang ini lebih jelek dari monyet atau anjing. Wajahnya rusak karena sinar laser dari alatnya Hendratmo yang salah pemakaiannya. Wajahnya seburuk hatinya yang semakin mendendam Irgi. Kebenciannya pada Irgi semakin besar. Wiwit yang sekarang berbincang dengan Irgi di Hand Phone, berkata,
“Lo tenang aja Ndra. Teman gue banyak. Mereka siap bantu lo kapan pun. Untuk urusan keparat yang satu itu, kita udah siap melindungi lo. Kita akan berusaha maksimal menjaga lo. Lo boleh waspada, tapi nggak perlu cemas berlebihan.”
Irgi mengangguk, “Makasih banyak Wit. Sekarang ini gue udah latihan tawakkal (pasrah), jadi Insya Allah gue nggak takut sama dia. Gue lebih takut kalau nanti dia menyakiti orang-orang dekatku, termasuk lo, Otong, Bayu, Edi, dll.”
“Ya kita saling melindungilah. Oke, besok gue kabari lagi.”
“Makasih banyak infonya. Insya Allah gue akan waspada terus.”
Setelah mengakhiri pembicaraan dengan Wiwit, Irgi bergumam, “Jadi bedebah itu masih hidup?” diam sejenak, “Keajaiban apa yang bikin dia jadi kuat lagi? padahal dulu dia sudah setengah mati.” Diam sejenak, “Sekarang dia jadi setan? Jadi monster?...Tubuhnya jadi kuat karena hasil eksperimen ilmuwan jahat?....Ah, cerita ini makin aneh.” Diam sebentar, “Tapi yang jelas, sekarang dia lebih berbahaya dari dulu, dan dia semakin membenci aku. Dia semakin ingin menghancurkan aku.”
Diam sebentar, “Tapi semua ini sudah kehendak Allah, jadi aku hanya bisa bilang, Laa haula walaa quwwata illaa billah.” Tiada daya dan kekuatan, kecuali dari Allah. Jika Allah sudah berkehendak, pasti terjadi. Tapi kalau Allah tidak atau belum menghendaki, sehebat apapun usaha manusia untuk mewujudkannya, tetap nggak akan terwujud.”
---XXXXX---
Sore itu Intan pergi naik mobil bersama Dina, salah seorang karibnya yang usianya sedikit di bawahnya. Mereka berhenti sejenak di supermarket yang berada di dekat perkampungan kecil. Dina yang mau belanja itu mengajak Intan masuk ke toko, namun Intan memilih di mobil saja karena sudah agak lelah. Sore yang cerah ini Intan memakai baju biru muda dan selendang hijau yang ia sampirkan di kedua bahunya.
Beberapa meter dari tempat mobil Dina berhenti ada bangunan atau proyek yang sedang digarap oleh tukang. Jumlah tukang yang semuanya lelaki itu sekitar sepuluh orang. Intan yang duduk di jok pertama mobil temannya, membuka jendela mobil tersebut, lalu melihat keadaan luar. Intan terlihat bahagia sekali, namun juga terlihat tegang. Mungkin karena acara sakral yang akan ia jalani bersama Donny semakin dekat. Acara suci itu akan ia jalani untuk pertama kali dalam hidupnya, jadi wajar kalau ia bahagia sekaligus gugup.
Gadis jelita ini menatap keadaan di luar mobil sambil tersenyum manis. Namun mendadak ia tersentak. Senyum manisnya hilang karena pandangannya terbentur pada sesuatu. Pandangannya tertuju pada bangunan yang berada sekitar 15 meter darinya. Ia seperti mengenal salah satu pria yang jadi tukang di proyek tersebut. Ia terus menatap pria yang memakai topi biru tua. Pria itu sedang mengaduk pasir dan semen. Wajahnya tidak asing bagi Intan. Intan melihat seorang pria berwajah lumayan ganteng dan berkulit bersih. Tubuhnya atletis. Usianya 28-29 tahun. Potongannya yang ‘elit’ atau bersih itu membuatnya kurang pantas menjadi kuli bangunan.
Intan yang melotot, berseru dalam hati, “Ya Allah! itu...itu Mas Gik!”
Memang benar. Pemuda berperawakan bersih yang sedang nguli atau nukang itu Irgi. Intan yang masih kurang percaya dengan pandangannya sendiri, memutuskan untuk melihat lebih dekat. Ia memakai kaca mata hitam, lalu menutup rambutnya dengan selendang hijaunya. Ia turun dari mobil, kemudian berjalan menuju proyek dengan tidak tergesa-gesa. Selain untuk menutup rambut panjangnya yang dikucir, selandang hijau itu juga ia pakai untuk menutup sebagian mukanya.
Beberapa langkah kemudian Intan sudah berada di sekitar delapan meter di depan rumah yang baru dibangun itu. Dengan pura-pura membeli sesuatu di warung kecil, Intan membuka sedikit kaca mata hitamnya, lalu melirik si pemuda bertopi biru tua. Beberapa detik kemudian ia menjadi yakin seratus persen, pemuda yang sedang nukang itu benar-benar mantan kekasihnya.
Sang mantan kekasih yang lagi sibuk bekerja, tidak menyadari kalau di dekatnya ada Intan. Ia sempat beradu pandang dengan Intan, namun hanya sekilas. Ditambah lagi, Intan menutup mukanya dengan selendang dan kaca mata libens. Irgi tidak menyadari kalau wanita yang berdiri sekitar empat meter di hadapannya itu Intan. Irgi tidak tahu kalau wanita berkerudung hijau yang berada di warung kecil itu mantan bunga hatinya.
Beberapa hari kemudian Intan menjadi agak sering melamun. Apa lagi penyebabnya kalau bukan tukang bertopi biru tua yang dilihatnya kemarin. Intan yang sebentar lagi ke pelaminan, kembali teringat Irgi. Intan yang sebentar lagi menikah dengan Donny, kembali teringat si mantan kurir pizza dan donat. Intan yang sekarang berstatus calon istrinya Donny Hadi Putra, kembali melamunkan mantan kekasihnya. Ia benar-benar tidak mengira bisa melihat Irgi lagi. Ia benar-benar tidak mengira kalau Irgi sekarang menjadi kuli bangunan.
Dengan wajah gelisah, Intan berkata dalam batin, “Apa yang membuat dia jadi tukang bangunan?...Emang dia udah nggak bisa dapet kerjaan lain? Emang dia udah nggak bisa dapet kerjaan yang lebih layak? Emang dia udah nggak bisa dapet kerjaan yang sedikit membutuhkan skill khusus?” diam sejenak, “Apa dia yang mantan pembalap itu hanya bisa naik motor dengan cekatan? Apa dia yang cukup terampil itu hanya bisa ngurir?”
Diam sebentar, “Apa kerjaan yang layak udah sedemikian sulit dicari ya? Sampai dia milih kerja kasar kayak gitu?” diam sejenak, “Apa mungkin karena keadaan ekonomi rumahnya semakin terpuruk?” diam sejenak, “Ya Allah (wajah sedih)...kasihan banget dia.”
Demikianlah Intan yang kembali teringat mantan kekasihnya. Ia dan Irgi memang hanya berhubungan enam bulan, namun enam bulan itu sangat berkesan, sehingga wajar kalau ia masih kesulitan untuk melupakan Irgi seratus persen. Kini Intan kembali menatap foto Irgi yang memakai topi merah. Foto yang sudah cukup lama tidak ia lihat itu terlihat agak kotor. Dengan wajah mengiba, gadis jelita ini kembali berkata dalam hati,
“Maafkan aku (mengelus pipi Irgi). Mungkin secara nggak langsung, aku yang udah bikin kamu kayak gitu. Aku yang udah bikin kamu harus prihatin sedalam itu.” diam sejenak, “Maafkan aku. Aku hanya membohongi diriku sendiri. Aku nggak bisa bohongi hatiku. Dan hati kecilku yang terdalam bilang: ‘Aku masih mencintaimu.’ Diam sejenak, “Terus terang aja...sekarang aku kangen sama kamu. Aku ingin ketemu kamu..walau cuma sebentar, walau cuma sekali.”
Tanpa terasa, air mata gadis manis ini menetes di kedua lesung pipinya. Namun sedetik kemudian ia langsung menghapusnya. Ia simpan kembali foto Irgi, lalu bergumam, “Hati manusia akan tersiksa oleh dua hal. Ketidakpastian dan penasaran.” Diam sejenak, “Aku harus cari tahu. Aku harus cari tahu kenapa dia jadi kuli bangunan.” Diam sejenak, “Ada kemungkinan aku akan ketemu dia lagi...dan mungkin ini menjadi pertemuan kami yang terakhir.”
Keesokan harinya, ketika Intan belanja di tukang sayur keliling, ia melihat seorang lelaki bermotor yang di jok belakangnya ada kotak kayu. Rupanya dia kurir makanan. Ia sedang berhenti di sebuah rumah yang jaraknya dengan rumah Cicik cukup dekat. Begitu melihat lelaki itu Intan langsung teringat Irgi. Imajinasinya terbang tinggi, sehingga lelaki kurir yang dilihatnya itu berubah menjadi Irgi. Kebetulan perawakan dan penampilannya hampir sama Irgi, sama-sama berjaket dan bertopi. Namun tak lama kemudian Intan sadar. Ia menggelengkan kepala sambil menutup kedua matanya.
Ia melangkah ke dalam sambil membawa belanjaannya. Ketika sampai di teras atas ia berhenti sejenak, lalu bergumam, “Ya Allah..kenapa aku jadi ingat dia lagi? kenapa aku jadi mikirin dia lagi? padahal dia sudah cukup lama hilang dari kamar hatiku.” Diam sejenak, “Agar penasaran ini hilang, aku harus ketemu dia. Harus!” diam sejenak, “Hanya itu satu-satunya cara untuk melegakan hati ini.”
Sekarang beralih ke jagoan utama kita, dimana sekarang ia bekerja di sebuah proyek rumah yang cukup besar. Menjelang Dhuhur, sekitar jam 11.30, Irgi dan kawan-kawannya mendapat jam istirahat sekaligus makan siang. Ketika Irgi mau berangkat ke masjid untuk sholat Dhuhur berjamaah, salah seorang temannya mengatakan kalau ia dicari seorang perempuan yang memakai motor Mio. Perempuan itu berkerudung dan berkaca mata libens.
Irgi yang penasaran, segera menemui perempuan itu. Ia melihat perempuan yang mencarinya itu berdiri di halaman rumah yang sedang ia bangun. Perempuan itu berkerudung hijau dan berbaju serba putih. Irgi mendekatinya dengan perlahan, lalu menyapa, “Permisi Mbak...Mbak nyari saya?”
Perempuan itu menoleh dengan perlahan. Ia berdiri sekitar tiga meter di hadapan Irgi. Perlahan-lahan ia membuka kaca mata hitam dan kerudung yang menutupi sebagian rambut dan mukanya. Irgi terkejut melihat perempuan di hadapannya itu. Ia berkata, “Mbak Monik...”
Perempuan yang pernah menjadi teman istimewanya itu mengganguk tanpa tersenyum. Irgi yang masih terpana, bertanya, “Kok tahu aku di sini?...Siapa yang ngasih tahu? ”
Intan menunjuk toko kelontong yang berada sekitar lima belas meter dari bangunan, lalu berkata, “Kira-kira sepuluh hari yang lalu, aku sama temenku berhenti di situ, dan seterusnya....”
Irgi mengangguk-angguk. Intan menatapnya dengan wajah mengiba, lalu bertanya, “Aku mau bicara sebentar. Bisa?”
Irgi diam beberapa detik, setelah itu mengangguk, “Silahkan, di situ aja (menunjuk bangku kayu).”
Sebelum duduk, Intan menyerahkan sebungkus plastik pada Irgi. Irgi bertanya, “Apa ini?” Intan menyahut, “Buat makan siang...”
Irgi menerima bungkusan itu, lalu berkata, “Alhamdulillah, Subhanallah. Mimpi apa aku semalem? Sekarang aku dapet rejeki nomplok dari cewek cantik.”
Intan tersenyum. Mantan pasangan kekasih ini duduk di bangku tersebut. Intan duduk sekitar 60 cm di samping kiri Irgi. Setelah pada diam beberapa detik, Intan membuka pembicaraan dengan bertanya, “Mau cerita kenapa kerja di sini? Sudah berapa lama?”
Irgi diam sebentar, lalu berkata tanpa menatap Intan, “Dua bulan aku di sini.” Diam sejenak, “Mbak tahu sendiri kan? cari kerja sekarang sulit. Selain itu, aku juga nggak punya skill apapun. Jadi, yah...hanya ini yang bisa kukerjakan.” Diam sejenak, “Yang penting halal kan?”
Intan mengangguk, lalu bertanya lagi, “Ada sebab yang lain nggak?...Mungkin, sebab yang lebih berarti..”
Irgi kembali mengatur nafasnya yang agak berat, setelah itu menyahut, “Ada Mbak.” Diam sebentar, “Mbak bener-bener ingin tahu?”
Intan mengangguk mantap, “Itulah tujuan utamaku ke sini.”
Irgi mengangguk, “Baiklah kalau begitu. Akan kuceritakan sejujurnya. Akan kuceritakan apa adanya.”
Irgi bercerita. Mahmud Haryadi, almarhum ayah Irgi yang hanya pegawai rendahan itu jelas tidak memiliki tunjangan pensiun yang banyak. Tunjangannya hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. Sewaktu masih bekerja saja gajinya ngepas, apalagi sekarang, ketika ia sudah tiada. Dengan demikian, uang pensiunnya yang diterima Rini, ibunda Irgi yang kini menjada, jelas cuma sedikit. Ditambah lagi, saat itu Irgi masih jadi pembalap jalanan, jadi uang sakunya hanya ia habiskan untuk taruhan dan merawat motornya yang ia pakai untuk ngetrack. Uang saku dari almarhum ayahnya yang seharusnya untuk biaya kuliahnya itu malah ia habiskan untuk balapan.
Beberapa waktu setelah Irgi menjadi kurir pizza, ekonomi rumahnya mendapat cobaan yang cukup berat. Rini yang mahir menjahit dan memasak itu mencoba bisnis kecil-kecilan. Semua itu sekedar untuk menopang kehidupan sehari-harinya. Ia membuat kue-kuean dan membuka jasa jahitan baju, namun semuanya bangkrut. Dengan demikian, ia harus membayar hutangnya yang ia pakai untuk modal bisnisnya. Jumlah hutangnya mencapai puluhan, bahkan ratusan juta.
Sampai sekarang Rini baru bisa melunasinya sekitar 30%. sedangkan yang 70% masih sangat sulit untuk ia kembalikan, padahal dalam waktu dekat ini ia harus menyelesaikan hutang piutangnya yang cukup menggunung. Karena itu, satu-satunya jalan bagi Rini yang setiap hari berunding dengan Irgi adalah, menjual rumahnya yang relatif kecil dan sederhana. Nanti kalau rumah itu terjual, Irgi dan Rini akan pindah ke Garut atau Banyumas, ke tempat sepupunya Rini. Kalau Bayu tidak masalah. Si nakal yang sekarang sudah mulai sadar itu bisa hidup di manapun. Ia bisa tinggal di Bandung, di rumah saudara-saudaranya Mahmud, atau bisa juga tetap tinggal di Jakarta bersama paman-bibinya.
Kalau rumah warisan Mahmud itu sudah terjual, dua bulan lagi Irgi dan ibunya akan meninggalkan ibu kota, lalu pindah ke Garut atau Banyumas. Rumah itu akan dijual 90-95 juta. Seminggu yang lalu sudah ada tiga orang yang tertarik untuk membelinya. Irgi berkata, “Makanya itu, kerjaan apa aja kujalani, soalnya cuma untuk bertahan hidup sampai beberapa bulan.”
Intan yang wajahnya tampak serius, bertanya, “Jadi...dua bulan lagi Mas mau pindah ke Banyumas..?”
“Insya Allah Non, kalau rumahku sudah ada yang beli.” Diam sejenak, lalu memberanikan diri menatap Intan, “Dua bulan lagi. Berarti bareng sama hari bahagianya Non Intan.”
“Kok tahu (tersenyum)? Siapa yang ngasih tahu?”
Irgi tersenyum, “Dari tulisanmu yang dimuat di majalah-majalah, khususnya majalah Anita.”
“Jadi Mas juga baca tulisanku?”
Irgi mengangguk sambil tersenyum. Mantan dua sejoli ini sama-sama tersenyum gembira. Beberapa detik kemudian Irgi bertanya, “Ini dari mana? Mau ke mana?”
“Dari butik Lounge Royal Sulam, ngukur baju.”
“Baju untuk pre-wedding?”
Intan mengangguk sambil tersenyum. Namun beberapa detik kemudian senyum manisnya hilang karena wajahnya menjadi serius. Ia memandang Irgi yang menatap depan, lalu berkata, “Mas Gik...”
“Iya?” sahut Irgi tanpa menatap Intan. Intan bertutur, “Aku mau tanya sesuatu. Tolong Mas Gik jawab sejujurnya. Bisa kan?”
“Insya Allah (agak ragu)..”
Intan menatap Irgi yang menunduk, setelah itu bertanya, “Gimana perasaanmu sekarang?....Sekarang hatimu merasa gimana?”
“Hatiku merasa gimana (mengernyitkan dahi)? Maksudnya..?”
Intan diam sejenak, lalu berkata lagi, “Gimana perasaanmu mendengar aku mau married sama Donny?” diam sejenak, “Hatimu sakit nggak mendengar aku mau nikah sama Donny?” diam sejenak, “Tolong jawab SEJUJURNYA. Jawablah dari lubuk hatimu yang terdalam.”
Irgi berkata lembut, “Non Intan, ini semua sudah kehendak Allah. Jadi...”
“Itu bukan jawaban pertanyaanku..” potong Intan. “Aku minta Mas Gik jawab sejujurnya.” Diam sejenak, “Sekarang hatimu sakit nggak mendengar aku mau nikah sama Donny. Mas tinggal jawab: Ya (sakit) atau tidak.”
Irgi mengatur nafasnya yang agak berat, setelah itu mengangguk, tanda ia menjawab ‘Ya.’ Hening sebentar, lalu Irgi berkata, “Tapi Alhamdulillah, Allah sudah ngasih aku kekuatan batin. Allah sudah ngasih aku kelapangan dada..jadi aku bisa menerima semua kenyataan ini.”
Diam sebentar. Intan menunduk, lalu memandang Irgi yang menatap depan atau menunduk, setelah itu berkata lembut, “Aku nggak nyesal pernah jadi teman dekatmu, teman istimewamu.” Diam sejenak, “Makasih banyak untuk kejujuranmu, juga ketulusanmu saat kita jadi teman istimewa kemarin. Makasih banyak sekali ya?”
“Sama-sama (tersenyum dan mengangguk).”
Sebagai penutup, Intan menceritakan maksud kedatangannya. Besok sore ia ingin bicara empat dengan mengundang Irgi di suatu tempat. Sebenarnya ia dan Irgi tahu kalau hal itu tidak atau kurang baik, namun mau bagaimana lagi? Mantan dua sejoli ini sama-sama masih ingin ketemu. Hal ini menunjukkan bahwa di hati mereka masih ada benih-benih cinta. Namun mereka berharap dan berusaha berjanji pada diri masing-masing, bahwa pertemuan mereka besok sore menjadi pertemuan pamungkas atau pertemuan terakhir mereka.
Besok sorenya Irgi mendatangi tempat yang telah ditentukan Intan. Sebuah tempat yang cukup sepi, yang sudah agak jauh dari jalan raya. Irgi melihat Intan sudah menunggu di tempat tersebut. Intan duduk di tempat yang terbuat dari semen. Begitu melihat Irgi datang, Intan langsung menyambutnya dengan senyum manisnya. Si mantan raja jalanan pun tersenyum, lalu bertanya, “Sudah lama?”
“Belum ada sepuluh menit.”
“Maaf kalau telat.”
“Nggak papa, waktu kita cukup banyak kok.” Diam sejenak. Ditatapnya Irgi yang berdiri, lalu berkata, “Duduklah. Kita ngobrol di sini aja.”
Irgi duduk di samping Intan. Pemandangan di sekitar tempat itu cukup indah. Yang terlihat hanya kolam ikan dan sawah yang tidak luas. Di tempat itu hanya ada IIN dan penjual makanan-minuman, juga dua-tiga orang yang sedang nyawah. Intan mendekatkan duduknya pada Irgi. Irgi yang sebenarnya merasa tidak enak, ingin agak menjauh, namun kedua kakinya sulit untuk digerakkan. Sekarang Intan hanya duduk sekitar 50 cm di samping kiri Irgi.
Setelah pada diam beberapa detik, Irgi memecah keheningan suasana dengan berkata tanpa menatap Intan, “Sebenarnya...aku merasa nggak enak. Sebenarnya, nggak baik kita berduaan lagi kayak gini.” Diam sebentar, “Sekarang ini keadaan kita sudah beda.” Diam sebentar, “Sebentar lagi Neng Intan menikah. Sekarang ini status Neng Intan calon istrinya Donny.”
Diam sebentar. Dengan raut wajah gelisah, Irgi bicara lagi, “Aku takut kalau nanti ada yang lihat kita. Nanti kita bisa dibicarakan orang.”
“Aku ngerti,” sahut Intan yang wajahnya juga serius. “Aku hanya berharap...mudah-mudahan yang kita lakukan di lereng bukit dulu bisa terulang lagi, walau hanya sedikit.”
Irgi menggelengkan kepala, “Yang di lereng bukit dulu nggak mungkin terjadi lagi Non. Aku sendiri takut kalau itu terjadi lagi.”
“Kenapa?”
Irgi mengatur nafasnya, setelah itu menyahut, “Karena itu hanya kebahagiaan semu, kebahagiaan khayal. Buktinya? Hubungan kita langsung putus hanya beberapa minggu setelah kita di lereng bukit.” Diam sejenak, “Makanya itu Non, aku takut kebahagiaan kita ini hanya semu. Aku sudah bosan kebahagiaan semu. Aku ingin kebahagiaan sejati.” Diam sejenak, “Insya Allah, sekarang aku sedang berusaha mencari kedamaian sejati.” Diam sejenak, “Di surat kemarin aku sudah bilang, aku sangat berterima kasih untuk hubungan istimewa kita selama enam bulan kemarin.”
Diam sebentar. Sejak tadi Irgi hanya menatap Intan sekilas. Intan berkata, “Tapi Mas Gik menginginkan ini kan? Mas Gik masih ingin kita ketemu-ketemu lagi kan? Mas Gik seneng kan bisa ketemu aku lagi?” diam sejenak, “Jawab sejujurnya.”
“Iya Neng (mengangguk). Aku jelas seneng banget bisa ketemu Neng Intan lagi.” diam sejenak, “Tapi di sisi lain, aku juga harus melawan keinginanku ini.. keinginan untuk ketemu dirimu.” Diam sejenak, “Kalau menuruti keinginan, aku bukan cuma ingin ketemu Non Intan terus. Aku ingin lebih dari itu.”
“Maksudmu?”
Irgi diam sebentar, lalu menyahut, “Aku ingin kita jadi teman istimewa lagi.” diam sebentar, “Tapi aku tahu kalau itu tinggal keinginan atau khayalan.”
Intan menatap Irgi dengan lembut, setelah itu berkata, “Aku sangat berterima kasih atas kejujuranmu.”
Irgi mengangguk, “Terima kasih kembali Non.” Diam sebentar, “Aku nggak mau terus terusan memendam beban di hati, jadi ya ku-keluarin aja.”
“Betul sekali.” Diam sejenak, “Terus terang, aku juga merasakan hal yang sama. Kalau mau jujur, sebenarnya aku juga udah nggak enak kita ketemuan begini. Apalagi kalau sampai ketahuan calon suamiku..wah. Nanti keadaan bisa runyam.” Diam sebentar, “Okelah kalau begitu. Kita jadikan pertemuan sore ini sebagai pertemuan terakhir kita.”
Irgi mengangguk, “Ayo kita pacaran lagi. Ayo kita jadi teman istimewa lagi. Tapi sekali ini aja. kita pacaran untuk yang terakhir kalinya. Setuju?”
Intan mengangguk sambil tersenyum manis. Sesaat kemudian ia memanggil penjual bakso yang kebetulan lewat di situ. Ia dan Irgi menyantap bakso sambil bercengkerama. Hangatnya bakso itu benar-benar melengkapi kehangatan hati mereka yang sama-sama rindu. Mereka ‘jadian’ lagi, walaupun hanya sebentar. IIN telah kembali, walaupun hanya untuk sore ini.
Intan mengangguk sambil tersenyum manis. Sesaat kemudian ia memanggil penjual bakso yang kebetulan lewat di situ. Ia dan Irgi menyantap bakso sambil bercengkerama. Hangatnya bakso itu benar-benar melengkapi kehangatan hati mereka yang sama-sama rindu. Mereka ‘jadian’ lagi, walaupun hanya sebentar. IIN telah kembali, walaupun hanya untuk sore ini.
Setelah kenyang menyantap bakso dan minum segelas es teh, Irgi berjalan ke tempat yang lebih sepi, meninggalkan Intan yang membayar bakso dan minuman. Ia melangkah ke rerumputan di dekat kolam, lalu duduk di situ. Ditatapnya rerumputan hijau segar yang menyejukkan hati. Pemandangan sore ini benar-benar indah, seindah suasana hati IIN. Sesaat kemudian Intan datang, lalu duduk menemani ‘sang kekasih’ singkat. Irgi menatap Intan yang tersenyum bahagia, lalu berkata,
“Sore ini Non Intan kelihatan manis banget.”
“Makasih (kemayu).”
“Bahagiakah Mbak Ayu sore ini?”
“Sangat bahagia.” Diam sejenak, lalu menatap Irgi, “Mas Gik juga merasakan yang kurasakan?”
“Jelas.” Diam sejenak, “Kalau Mbak Ayu bahagia, aku pasti ikut bahagia. Begitu juga sebaliknya.”
Kata-kata Irgi yang indah itu membuat hati Intan semakin terbang ke langit khayal. Mereka menatap pemandangan sekitar yang mempesona. Setelah hening sejenak, Intan menatap Irgi dengan wajah serius. Senyum manisnya beberapa saat tadi langsung hilang oleh keseriusannya. Ia berkata lembut, “Mas Gik..”
“Iya Manis?” sahut Irgi sambil menoleh ke Intan. Irgi agak terkejut melihat wajah Intan yang tiba-tiba menjadi serius. Ia bertanya, “Ada apa Non?” diam sejenak, “Apa ada kata-kataku yang salah?”
“Nggak Mas, nggak ada apa-apa.”
Irgi yang juga menjadi serius, kembali menatap depan sambil berkata, “Nggak mungkin nggak ada apa-apa.” Diam sejenak, “Sekarang Non kelihatan sedih. Padahal barusan tadi Non tersenyum gembira.” Diam sejenak, “Ini pasti ada apa-apa.” Diam sejenak, “Aku jadi merasa bersalah.”
“Nggak Mas, jangan merasa bersalah. Ini sama sekali buka salahmu. Betul!”
“Terus kenapa Mbak Ayu tiba-tiba sedih?”
Intan diam sejenak. Ia berusaha memilh kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Irgi. Ia menatap Irgi dengan wajah mengiba, lalu berkata pelan, “Aku cuma ingin...aku cuma ingin...”
“Ingin apa (tetap menatap depan atau bawah)? Bilang aja.”
Intan diam saja, namun beberapa saat kemudian tangan kanannya yang halus menyentuh tangan Irgi yang agak berotot. Irgi terkejut sekaligus gembira, namun rasa gembiranya lebih banyak. Ia membiarkan tangan kanannya dipeluk tangan kanan Intan. Perlahan-lahan ia menoleh ke Intan. Dilihatnya wajah sang gadis yang begitu mengiba. Gadis yang sudah mengisi kekosongan hatinya itu berkata lembut,
“Aku cuma ingin mengulang sedikit...mengulang sedikit apa yang sudah kita lakukan di lereng bukit dulu.”
Irgi semakin terperangah, namun ia juga tidak bisa menolak keinginan Intan. Intan berkata lagi, “Berikan dadamu.” Diam sebentar, “Berikan dadamu Mas...kumohon.” diam sebentar, “Berikan dadamu...untuk yang TERAKHIR KALINYA.”
Irgi memejamkan kedua matanya beberapa detik. Setelah dibuka lagi, tangan kanan Irgi membelai rambut dan wajah Intan yang halus, lalu berkata lembut, “Apapun keinginanmu, Gadis Manisku. Apapun keinginanmu, pasti kulakukan.”
Intan meletakkan kepalanya di dada Irgi. Irgi pun mengelus rambut Intan yang panjang halus. Gejolak cinta di hati keduanya tidak dapat dilukiskan lagi dengan kata-kata. Untuk yang kedua kalinya mereka bermesraan dengan begitu hangat, setelah yang mereka lakukan di lereng bukit dulu. Mereka benar-benar memakai aji mumpung. Mumpung lagi bersama. Sebab mereka sadar, setelah sore yang indah ini mereka tidak akan bisa bersama lagi untuk selamanya.
Tanpa diketahui oleh IIN yang lagi bermesraan dengan hangat, ada dua sosok yang mengintip mereka dari balik tanaman yang rimbun. Siapakah dua pemuda berwajah galak itu? O’o, ternyata mereka salah satu anggota Geng Macan yang masih tersisa. Mereka anak buahnya Jajang yang masih setia membela dan mempertahankan Geng Macan. Salah satu dari mereka berkata, “Benar-benar nggak nyangka Men...sore ini kita dapet info besar soal musuh bebuyutan kita.”
“Betul sekali!” sahut kawannya. “Kita harus segera laporkan semua ini ke Boss.”
Dua begundal ini langsung melaporkan apa yang sudah mereka lihat pada Boss mereka. Jajang yang sekarang wajahnya belum terlihat karena belum bisa digambarkan, mengangguk-angguk, lalu berkata dengan suaranya yang serak dan berat, “Ceweknya Indra itu bisa kita jadikan umpan empuk. Heh he he. Kalian benar-benar sobat sejatiku.”
Jajang memberi upah pada dua bawahannya itu, setelah itu berkata tegas, “Segera cari alamat ceweknya Indra itu!”
“Siap Boss!”
Setelah dua orang itu pergi, Jajang melangkah ke kaca, lalu bicara sendiri, “Indra...kamu yang udah bikin wajahku kayak gini. Kamu yang udah bikin aku menderita. Kamu harus bayar semua ini!” diam sejenak, “Sebentar lagi kamu mampus! Sebentar lagi kamu akan menderita panjang.! Huah ha ha haa!!”
---XXXXX---
Hari minggu tanggal 30 Oktober 2011 besok adalah hari pernikahannya Intan Monik Cahyani dan Donny Hadi Putra. Ada hal istimewa dari persiapan pernikahan Intan yang menyangkut baju pengantinnya. Baju untuk pre wedding itu dijahit oleh tujuh janda miskin dari kelompok Pengajian Nurul Mu’minin Cipayung. Selain desainnya bagus, tentu juga ada nilai magis dari hasil karya tujuh perempuan sholehah tersebut. Mereka membuat baju pengantin tersebut dengan teknik bunga melati.
Intan yang ditemui di Butik Lounge Royal Sulam by Amy Atmanto, Jl Tebet Timur Raya No 46, Jaksel, mengungkapkan perasaannya yang begitu mendebarkan. Ia bertutur sambil tersenyum gembira, “Dag-dig-dug juga jantung ini. Waktu pakek pre-wed aja tanganku udah dingin. Jadi kalau tegang ya udah pasti. Hi hi hi. Maklumlah, ini pertama kalinya aku akan menjalani acara sakral dalam hidupku. Dan mudah-mudahan ini juga yang terakhir kalinya. Amin. Tapi anehnya, walaupun tegang, berat badanku belum turun. Calon suami aja yang lebih subur.”
Amy Atmanto, desainer bajunya Intan, akan membuat desain yang unik. Hal itu menyangkut kedua mempelai yang mempunyai latar belakang adat yang berbeda. Intan berdarah Betawi, sedangkan calonnya asli Padang. Amy mencoba menggabungkan kedua adat tersebut dalam rancangan desainnya. Ia bertutur, “Untuk akad nikah nanti mereka (Intan-Donny) pakai baju inspirasi Padang, untuk resepsi pakai inspirasi Betawi, dan untuk pengajian pakai songket Padang.”
Disinggung masalah pingitan, Intan mengaku tidak melakukannya. Intan memilih menggelar pengajian beberapa hari sebelum pernikahannya. Untuk soal tempat tinggal setelah menikah, IDON (Intan-Donny) akan tinggal bergantian di rumah ortu masing-masing. Selang beberapa bulan, baru mereka akan tinggal di rumah sendiri yang sekarang sedang dirintis.
---XXXXX---
Sudah dua bulanan Intan tidak tinggal di rumah Cicik. Ia memilih tinggal di rumahnya sendiri, apalagi menjelang hari H-nya yang semakin dekat. Selain itu Intan juga sibuk menulis, jadi waktu dan aktivitasnya lebih banyak ia habiskan di rumah. Letak rumah aslinya itu tidak begitu jauh dari rumah Cicik. Jaraknya dengan rumah Cicik sekitar 5 km. Sore ini Lili bermain di rumah Intan. Dua sahabat ini bercengkerama di ruang tamu rumah indah tersebut.
Sesaat kemudian terdengar ketukan dari pintu ruang tamu yang terbuka sedikit. Intan melangkah ke pintu ruang tamu atau pintu depan, melihat siapa yang bertamu. Begitu Intan membuka pintu, ia melihat empat pemuda berwajah tidak ramah. Pemuda yang berdiri paling dekat dengan Intan, yang tadi mengetuk pintu, langsung menyergap Intan. Tangan kirinya yang kekar mencengkeram kerah Intan, sedangkan tangan kanannya menodongkan pisau besar ke leher Intan. Intan yang terkejut setengah mati, berseru, “Apa-apaan ini!? siapa kalian!?”
“Kalau ingin selamat, nggak usah banyak ngomong!” jawab si pemuda yang mencengkeram Intan. “Kamu tinggal nuruti perintah kami.” Diam sejenak, “Nggak usah menjerit! Atau pisau ini menebas lehermu!”
Empat pemuda itu langsung masuk ke ruang tamu. Lili yang sedang duduk santai di kursi ruang tamu, langsung berdiri sambil melotot. Pemuda yang satunya mendekati Lili yang mau berlari atau melawan, lalu menodongkan parangnya sambil membentak, “Jangan coba-coba lari atau minta tolong! Kamu nggak ingin kami menyakiti dia kan?”
Lili yang tidak berdaya, akhirnya hanya bisa menatap Intan yang disandera. Pemuda yang menodong Lili dengan parangnya itu berkata, “Semua akan baik-baik saja kalau kalian nggak macam-macam. Tapi kalau kalian berani melawan kami, pertumpahan darah akan terjadi.”
Intan dilepas oleh pemuda yang mencengkeramnya, namun pemuda kekar yang tidak lain adalah anggota Geng Macan yang tersisa itu tetap berdiri di dekat Intan. Pisau besarnya juga tetap mengawasi gerak-gerik Intan. Intan berkata, “Sebenarnya kalian ini siapa? Mau apa!? Kenapa kalian begitu lancang masuk rumahku!? Apa yang kalian cari!?” diam sejenak, “Kalau kalian mau merampok, kalian datang ke tempat yang salah! Aku nggak punya uang banyak. Barang berharga di rumah ini paling cuma yang kalian lihat ini!”
Intan menunjuk perabot-perabot di ruang tamu. Lili yang ketakutan, berkata, “Ambillah apapun yang kalian mau, tapi tolong...jangan sakiti kami!”
Si pemuda kekar berjaket kelabu tertawa, lalu berkata, “Cewek manis, kamu malah tambah cantik kalau ketakutan begitu. Ha ha haa! Aku jadi bernafsu nih.”
Pemuda itu mendekati Lili dengan mata hijau karena terbakar nafsu. Lili yang ketakutan, melangkah mundur. Si jaket kelabu berhasil menyentuh dagu dan pipi Lili dengan tangan kanannya. Lili berteriak, “Mau apa kamu!? Jangan macam-macam!”
Intan pun berseru, “Jangan ganggu dia! Jangan sakiti dia!”
“Enggak kok,” jawab si jaket kelabu. “Aku cuma mau bersenang-senang sedikit. He he he..”
“MAIN-MAIN CUKUP!!!” bentak suara yang tiba-tiba menggema ke seluruh ruang tamu rumah Intan. Tampaklah sesosok tubuh yang berdiri di pintu ruang tamu. Sosok pendek kekar itu memakai topeng. Si jaket kelabu yang hendak mengganggu Lili itu langsung ketakutan. Ia berkata, “Boss...”
Sosok yang dipanggil Boss itu mendekati Intan. Intan berkata, “ Siapa kamu? Apa maumu? Kenapa kamu sama teman-temanmu mengacau rumahku!?”
Si pria aneh bertopeng berkata, “Jadi kamu yang namanya Intan Monik. Jadi kamu pacarnya Indra.” Diam sejenak, “Indra Haryadi.”
Intan tersentak mendengar si aneh menyebut Irgi. Ia bertanya, “Kamu kenal Indra Haryadi!?”
Pria aneh menjauhi Intan beberapa langkah, lalu berkata dengan suaranya yang berat dan serak, “Aku sudah kenal Indra jauh lebih lama dari kamu.” Diam sejenak, “Dan sekarang aku mau menuntut balas!”
Intan dan Lili semakin ketakutan. Pria aneh berkepala plonthos itu membuka penutup mukanya dengan perlahan. Sedetik kemudian tampaklah wajahnya yang mengerikan, mengerikan karena amat buruk. Intan dan Lili yang seperti melihat iblis, langsung memalingkan muka mereka. Lili berseru, “Nik! Sore ini rumahmu kedatangan setan!”
“Apa katamu!?” seru si jaket kelabu. Ia kembali mendekati Lili, lalu menampar mukanya dengan keras. Tamparan tangan kanan yang berotot itu membuat Lili terjerembab di lantai. Intan berseru, “LILIII!!!”
Si jaket kelabu memelototi Lili yang duduk di lantai, lalu berseru, “Lancang banget mulutmu! Huh! Dia itu boss kami!”
Intan yang kembali ditodong dengan pisau, berseru lagi, “Jangan sakiti dia! Kumohon! Sakiti aku aja!”
Si aneh bermuka mengerikan memberi isyarat pada si jaket kelabu, isyarat agar anak buahnya itu tidak menyakiti Lili. Ia kembali menatap Intan, lalu berkata, “Aku Jajang...pimpinan Geng Macan.”
Intan dan Lili terperangah. Jajang melanjutkan, “Mereka anggotaku yang masih tersisa.” Diam sejenak, “Indra yang udah bikin mukaku begini. Muka yang kamu (menatap Lili) bilang kayak mukanya setan.” Diam sejenak, “Aku bangkit dari sekaratku yang panjang.” Diam sejenak, “Aku bangkit sebagai setan. Setan yang akan menghabisi Indra!”
Setelah berkata begitu, Jajang meminta semua bawahannya untuk membawa Intan ke markasnya. Intan dan Lili hanya bisa saling berteriak dengan histeris. Lili yang tidak berdaya, hanya pasrah melihat sobatnya diculik geng Macan. Ia duduk di lantai sambil menangis. Sesaat kemudian datanglah seorang ibu dari belakang. Ibu berusia hampir lima puluh itu terkejut melihat Lili duduk di lantai sambil menangis ketakutan. Rupanya ia pembantunya Intan. Ia mendekati Lili, dan Lili pun langsung menceritakan semua yang baru saja ia alami.
Sekarang beralih ke Intan yang berada di markas geng Macan. Intan duduk di hadapan Jajang dkk. Kedua tangannya diikat erat dengan tali. Ia masih agak beruntung karena posisi kedua tangannya berada di depan badannya. Pemuda yang tadi menyenderanya bertanya dengan kasar, “Minta nomernya Indra! Cepat!”
Intan diam saja. Pemuda berkaos kerah merah itu membentak berkali-kali, namun Intan tetap tidak mau memberitahukan nomor HP-nya Irgi. Jajang yang duduk beberapa meter di hadapan Intan, berkata, “Cewek manis...apa kamu nggak takut menderita? Apa kamu nggak takut sama Jajang? Haa!?”
Intan yang sebenarnya ketakutan, hanya menunduk sambil memejamkan kedua matanya. Jajang berdiri, lalu berkata, “Kutanya sekali lagi.” diam sejenak, “Kamu mau nggak ngasih nomernya Indra?”
Intan tetap diam saja. Ia tidak berani menatap wajah Jajang yang lebih mengerikan dari harimau kelaparan. Jajang mendekatinya, lalu berkata, “Kamu harus tahu, cewek manis. Jajang ini bukan orang sabar. Jajang nggak suka banyak ngomong. Jajang maunya langsung bertindak.” Diam sebentar, “Dengan bergerak atau bertindak cepat, kita bisa lebih mudah meraih apa yang kita inginkan.”
Jajang berdiri di hadapan Intan yang memalingkan mukanya. Jajang yang sudah berubah menjadi monster, bicara lagi, “Kamu bener-bener nggak takut sama aku? Kamu bener-bener nggak takut kusakiti?” diam sejenak, “Kamu mau kubuat menderita seumur hidupmu?”
Intan tetap mengunci bibirnya. Tentu saja emosi Jajang semakin terbakar. Ia berkata dengan suara lebih keras, “Aku minta nomernya Indra. Cepat!”
Intan yang memalingkan muka dan menutup kedua matanya, menjawab, “Aku nggak kan ngasih nomernya Indra. Aku nggak mau kamu menyakiti Indra.”
“Ooo, begitu ya?” diam sejenak, lalu melotot sambil mencengkeram kedua pipi Intan dengan tangan kanannya yang kasar. Ia berkata, “Waktu main-main sudah cukup!” diam sejenak, “Siapapun nggak mau lihat wajah manismu ini jadi rusak. Tapi kalau kamu tetap keras kepala, wajah manismu ini akan kubuat lebih jelek dari wajahku! Aku serius!”
Jajang berdiri, lalu menjauhi Intan beberapa langkah. Setelah diam sebentar, Jajang bertutur lagi, “Oke Manis..oke.” diam sejenak, “Mungkin menderita bukan masalah bagimu. Tapi kalau orang-orang dekatmu, orang-orang yang kamu cintai kubuat menderita, itu baru jadi masalah bagimu.”
Intan tersentak mendengar kata-kata itu. Jajang menatap kelima bawahannya, termasuk Ucok, mantan bawahannya Hendratmo, lalu berkata, “Bawa temannya yang tadi, ditambah teman-temannya yang lain! Kalau perlu, bawa juga keluarganya, orang tuanya, saudara-saudaranya! Cepat!”
“JANGAN!!” seru Intan yang mau menangis. “Kumohon...jangan sakiti mereka. Jangan sakiti keluargaku, saudaraku-saudaraku, sahabat-sahabatku. Kumohon dengan amat sangat.”
Jajang tersenyum, “Nggak akan...asal kamu mau ngasih nomernya Indra.” Diam sejenak. “Kamu tinggal pilih dua hal. Pertama, kamu kasih nomernya Indra. Nanti Indra aja yang kubuat menderita. Kedua, kamu nggak ngasih nomer pacarmu itu. Tapi semua orang dekatmu, semua orang yang kamu cintai, termasuk keluargamu, akan KUHABISI!!”
Kata ‘KUHABISI’ yang diucapkan dengan suara bagai guntur itu menggedor jantung Intan. Jajang berkata lagi, “Jadi pilihanmu ada dua. Indra aja yang menderita, atau keluarga dan sahabat-sahabatmu yang menderita.”
Intan yang semakin ketakutan, berkata, “Semuanya kucintai. Jadi aku nggak mau semuanya menderita.”
“Memang. Tapi pilihanmu cuma dua itu.” diam sejenak, “Pilih cowokmu, atau keluarga dan sahabat-sahabatmu?” diam sebentar, “Kuhitung sampai sepuluh. Kalau kamu tetap nggak mau ngasih nomernya Indra...berarti kamu udah merelakan keluargamu jadi korban.”
Sekarang beralih ke jagoan kita yang sedang berada di dapur. Begitu mendengar HP-nya berbunyi, ia langsung melangkah ke kamarnya, lalu mengangkat HP-nya yang ia taruh di atas ranjang. Dilihatnya nomor yang meneleponnya itu tidak ada di phone book-nya. Begitu ia membukanya, terdengarlah suara wanita ketakutan yang berkata, “Mas Gik! Tolong Mas!”
“Siapa ini!?” tanya Irgi terkejut. Suara wanita itu menjawab, “Aku Mas! Lili!”
“Lili?”
“Iyaa, Lili! Temennya Monik. Masa’ nggak tahu sih!?”
“Masya Allaah, Mbak Lilii. Ada apa Mbak!?”
Lili yang menangis, berkata, ”Monik Mas, Monik..
“Monik (tersentak)!? Monik kenapa!?”
“Monik diculik Mas..diculik rombongan penjahat!”
“Ya Allah (melotot)! Diculik rombongan penjahat!?” diam sejenak, “Gimana kejadiannya!? Ehm...Mbak Lili tahu siapa mereka nggak!?”
“Hik hik...mereka musuhmu Mas. Musuhmu!”
“Musuhku!?” tanya Irgi semakin terkejut. Lili menyahut, “Mereka geng Macan. Pimpinan mereka wajahnya kayak setan! Kayak iblis!’ diam sejenak, “Namanya...Jajang.”
Irgi yang semakin terperangah, berkata, “Astaghfirullahal’azhim. Jajang!?” diam sejenak, “Kok dia bisa tahu Monik!? Kok dia bisa tahu hubungan kami!?”
“Mungkin dia atau temannya pernah lihat kalian ketemu.” Diam sejenak, “Ya udah Mas! Sekarang Mas Gik harus segera bertindak! Monik dalam bahaya Mas!”
“Iya Mbak, iya! Insya Allah aku akan berusaha menolong Monik. Mbak Lili berdoa aja ya? serahkan semuanya pada Allah.”
Setelah selesai berbincang dengan Lili, Irgi bergumam, “Yang paling kutakutkan selama ini, akhirnya terjadi juga.” Diam sejenak, “Keparat itu bisa tahu hubunganku sama Intan. Siapa yang kasih tahu ya?”
Lalu ia teringat kata-kata Lili baru saja tadi. Kata-kata yang berbunyi: “Mungkin dia atau temannya pernah lihat kalian ketemu.”
Irgi mengangguk-angguk, lalu kembali bergumam, “Kalau secara logis, hanya itu kemungkinannya. Dia pernah lihat aku ketemu atau berduaan sama Intan. Kemungkinan kedua, dia cuma dikasih tahu temannya.”
Irgi duduk di ranjang. Tubuhnya terasa lemas, seperti orang kehabisan darah atau orang kelaparan. Hatinya bicara lagi, “Ya Allah..apa yang harus kulakukan? Kenapa dia sampai berurusan sama si botak kejam itu!?”
Sesaat kemudian hand phone Irgi berbunyi lagi, dan kali ini ia juga mendapat telepon dari nomor asing. Ia mengangkat hand phone-nya dengan jantung bergetar. Ia mendengar suara berat dan serak yang berkata, “Apa kabar, musuh lamaku?”
Irgi melotot. Suara dari bibir dower itu berkata lagi, “Hari kehancuranmu sudah tiba.” Diam sejenak, “Akan gue balikin semua penderitaan yang lo berikan ke gue.”
Irgi menarik nafasnya, lalu bertutur, “Rupanya lo masih hidup, keparat!” diam sejenak, “Gue pikir waktu itu lo udah jadi dendeng. Huh! Ternyata lo masih bisa bernafas.”
“Gue panjang umur. Gue diberi kesempatan untuk menghabisi lo!”
Irgi diam sebentar, lalu berkata, “Harusnya lo sadar kenapa lo masih diberi umur sama Allah.” diam sejenak, “Itu artinya Allah masih memberi kesempatan lo untuk bertobat.”
“Tutup mulutmu! Nggak usah banyak bacot! Sekarang lo akan dengar suara belahan jiwa lo. Belahan jiwa lo lagi menderita.”
Irgi terkejut, “Apa maksud lo!?”
Jajang menyerahkan HP-nya pada Intan yang kedua tangannya masih terikat. Intan yang tampak menderita, berkata, “Mas Gik!”
Irgi melotot, lalu berkata, “Non Intan!?...Sekarang Non di mana!?”
“Mas Gik (menangis)! Tolong aku Mas. Tolong akuu!”
Tangan kiri Jajang menjambak rambut panjang Intan. Tentu saja Intan menjerit kesakitan. Jajang berseru, “Inilah akibat berani sama aku!”
Irgi yang mendengar jeritan Intan, berseru, “Non Intaan!! Hei bangsat! Ini urusan kita! Lo nggak usah melibatkan dia! Jangan sakiti dia!”
Jajang tertawa, “Raja jalanan yang perkasa ini sekarang merengek-rengek kayak anak kecil. Hah ha haa!”
Setelah tertawa, Jajang kembali marah. Ia bicara lagi, “Keparat! Sebentar lagi gua akan nginjak-nginjak lo! Sebentar lagi lo akan gue jadikan karpet!” diam sejenak, “Kalau besok lo nggak datang, gue nggak bisa jamin keselamatan cewek lo. Kalau besok lo nggak datang, berarti lo udah nggak sayang sama cewek lo yang cakep ini.” diam sejenak, “Waktumu cuma sampai besok sore. Kalau besok sore lo nggak nongol, gue akan jadi setan yang terus meneror hidup lo! Camkan itu, bangsat!”
Setelah itu Jajang memberi kesempatan Intan untuk bicara lagi dengan Irgi. Intan berkata dengan suara lemah, “Mas Gik..!”
“Non Intan?” diam sejenak. “Sejauh apa dia menyakiti Non Intan?” diam sejenak, “Non baik-baik aja kan?”
Intan yang menangis, berkata dengan suara terbata-bata, “Mas Gik...tolonglah aku. Hik, hik. Tolonglah aku Mas..”
“Iya Non, iya! Bertahanlah. Kuatkan kesabaranmu. Aku nggak akan biarin siapapun nyakitin Non. Sekarang Non yang sabar ya? Non berdoa aja.”
Intan mengangguk, “Iya Mas..iya (suara lirih). Makasih.”
---XXXXX---
0 comments:
Post a Comment