Saturday 14 September 2013

New Mbah Poleng "Manusia Harimau" ; Bagian Satu

Bagian Satu

Matahari semakin condong ke barat. Warna langit mulai kuning kemerah-merahan. Waktu menunjukkan pukul setengah lima sore. Sebuah mobil Taft HILINE warna biru tua, melaju dengan kecepatan sedang. Mobil besar ini berjalan masuk ke hutan. Pengendaranya lima orang. Tiga lelaki dua perempuan. Semuanya masih muda belia. Usia mereka sekitar 20-23 tahun, bahkan ada yang masih 17-18 tahun. Dua gadis remaja cantik duduk di jok kedua. Jok ketiga atau jok paling belakang ditempati seorang pemuda bertubuh agak gemuk. Sedangkan dua lelaki yang satunya duduk di jok pertama.
Pemuda yang memegang setir bertubuh tegap dan berwajah lumayan tampan. Kumis tipis tumbuh di atas bibirnya. Usianya kurang lebih 23 tahun. Dia tampak yang paling tua dari semuanya. Sedangkan pemuda yang duduk di samping kirinya berusia sedikit lebih muda darinya. Ia seorang pemuda tampan berkulit kuning bersih. Namun sayang, dia cukup kurus. Hal itulah yang membuat dirinya terlihat kurang menarik.


Kini mereka semakin masuk ke hutan lebat. Di samping kanan-kiri mereka hanya ada pohon-pohon besar dan semak belukar lebat. Si gadis cantik berusia 18 tahunan berkata, “Iih, pemandangannya..semakin asyik, tapi juga semakin seram.”

“Iya nih,“ sambung gadis cantik yang satunya, yang rambutnya lurus sebahu. “Terus terang saja, baru kali ini aku sampai di hutan selebat ini.“

“Seumur hidup?” tanya pria tampan yang duduk di depannya persis. Si gadis mengangguk. Si tampan tersenyum mengejek. “Dasar anak mama! Orang kota. Hobinya cuma ke tempat-tempat elit.“

Si gadis menjadi agak kesal. “Memang kamu bukan anak Mama?!”

“Ya iya sih, tapi tidak seperti kamu. Hobiku berpetualang.“

Diam sejenak, lalu si gadis berujar lagi dengan wajah cemberut. “Aku kan cewek, jadi tidak bisa dibandingkan kamu. Huh!”

“Rina betul.” sambung pemuda agak gemuk yang duduk di jok terakhir. “Sehebat apapun cewek, harus tetap lebih banyak di rumah. Apalagi cewek kalem seperti kamu Rin.“ diam beberapa detik, lalu bicara lagi, “Hanya cewek tomboy saja yang hobinya ngeluyur. Hah! Tidak usah digubris omongannya. Asal kamu tahu saja Rin..dia itu cuma sok berpetualang. Aslinya dia itu tidak ada isinya. Penakut, tidak ada nyali.“

“Heh, ngoceh apa kamu?” tanya si tampan. Rina tersenyum gembira. “Trims Yok, kamu selalu membelaku.“

Yoyok tersenyum. “Kapan saja Manis, walau kamu bukan cewekku.”

Si tampan menyambung, “Ya karena sudah keduluan dia (menatap sopir).”

Sang sopir hanya tersenyum. Perhatiannya tetap tertuju ke depan. Beberapa detik kemudian si cantik yang rambutnya dikucir, yang usianya paling muda, berkata lembut, “Mas Sur ( menatap si sopir )..”

“Iya Manis?”

“Kita tidak perlu menginap di sini kan?”

Sur tersenyum. “Kalau sudah terpaksa, mau gimana lagi? Yah, maklum sajalah Non..kita sudah tidak sempat ke kota. Sekarang juga sudah gelap.“

Dengan wajah agak kesal, Yoyok berkata, “Huh! Semua ini gara-gara macet tadi. “

Si gadis yang wajahnya mulai ketakutan, berkata, “Berarti kita jadi kemah di desa mati itu?”

Sur tersenyum, “Kalau sempat pulang ya pulanglah, tapi kemungkinannya kecil banget. Lihat nih, sudah gelap. Kita juga belum menemukan desa itu. Namanya desa apa Rud? Kidung Serem?”

Rudi tersenyum. “Kidung Angker.“

Diam sejenak. Si cantik yang terlihat paling cemas, berkata, “Namanya saja sudah seram. Hih, desa apa itu? Apa dalamnya memang seseram namanya?“

“Ya kita lihat saja,” sahut Rudi, “biar nggak penasaran. Dan yang paling penting, aku ingin menyelidiki, mencari tahu tentang legenda manusia harimau itu.”

Yoyok berkata, “Sudah segedhe ini masih hobi berkhayal. Huh! Kamu ini. Jadi kita jauh-jauh ke sini cuma mau menyelidiki mitos itu?”

“Ya enggaklah, kita kan hanya mampir, melihat-lihat pemandangan indah.”

Rina menyambung, “Pemandangan indah banyak, nggak perlu sampai sejauh ini, di tempat sesepi ini.“

“Iyaa, tapi tidak seperti ini. Sudahlah, pokoknya kita tidak rugi sampai sini.”

“Itu tidak berlebihan..” sambung Sur. “Lihatlah, pemandangan di sini memang luar biasa. Aku sudah cukup sering berpetualang ke alam bebas, tapi belum pernah melihat yang seperti ini.“

Diam beberapa detik, lalu si gadis berkata, “Kamu kok suka aneh-aneh sih Say? Aku takut nih!”

Rudi menatap pacarnya dengan senyum. “Aneh-aneh itu hobiku sejak kecil. Aku selalu menyukai segala hal yang membuat kita penasaran.” Yoyok menyahut, “Dewi tenang saja, tidak usah takut berlebihan. Jangan takut terhadap sesuatu yang belum terjadi, walaupun kedengarannya seram.“

“Iyalah Wi, tenang saja..” sambung Rina sambil menyentuh bahu kiri Dewi. “Jangan takut sama imajinasimu sendiri. Aku juga mulai merinding, tapi aku tetap berusaha tenang.“

Sur menyambung, “Dewi jangan berpikiran buruk dulu. Kita akan bersama terus kok, biar aman. Kita yang cowok ini akan berusaha menjaga kalian, terutama dia (Rudi ). Rud, kamu ini. Pacar sendiri malah ditakut-takutin.“

“Ya biarlah (kesal). Habis gimana? dia terlalu penakut!“

Kata-kata itu cukup menyakitkan bagi sang gadis. Wajahnya menjadi cemberut. Dengan keberanian dipaksakan ia berkata, “Tega kamu ngomong gitu.”

Rudi yang semakin kesal, menyahut. “Memang kenyataan kan? Hah! Dari tadi merengek terus! Padahal kemarin kamu sudah janji, kalau kamu mau ikut aku, apapun yang terjadi, kamu nggak akan takut, nggak akan mengeluh. Huh!”

Dewi yang tergolong sabar ini akhirnya berhenti merengek. Rina segera menghiburnya. Setelah hening beberapa detik, Rudi kembali memecah kesunyian. “Kamu kira aku mau nginap di tempat purbakala begini?! Walau hanya semalam?! Huh! jangankan semalam..satu jam saja aku tidak mau!” diam beberapa detik, lalu melanjutkan, “Harusnya kita ke sini hanya mampir, hanya melihat-lihat. Huh! Gara-gara macet tadi, jam segini kita baru sampai sini. huh! sial! Benar-benar di luar dugaan.”

Yoyok berujar, “Lalu apa yang akan kita lakukan di Kidung Angker nanti? Apa kita akan lama?”

Rudi mengernyitkan dahinya, setelah itu menyahut, “Kuusahakan tidak. Nanti kita istirahat sebentar, menikmati pemandangan sekitar, lalu mencari info manusia harimau itu.“

Yoyok tersenyum sinis, “Itu kalau ada, kalau tidak?”

“Makanya, kita cari tahu!”

Yoyok menjadi kesal. Dengan tetap tersenyum sinis, ia menggelengkan kepalanya. “Kamu ini..huh! kelihatannya pintar, terpelajar, sekolah tinggi, berprestasi, tapi masih percaya klenik, tahayul.”

Rina yang juga kesal, menyambung, “Hobi kok aneh-aneh. Huh! hobimu yang tidak mutu itu sampai mengalahkan perhatianmu terhadap Dewi, cewekmu.“

Dengan tersenyum mengejek, Rudi berkata tanpa menatap belakang. “Tidak usah mencampuradukkan hubungan asmara kami. Huh! tahu apa kamu.”

Sur yang terlihat paling sabar, berkata lembut, “Ya sudah, begitu Rudi mendapatkan apa yang dia inginkan, kita langsung cabut, syukur sebelum gelap. Hih. Lihat saja tempat ini. Baru senja saja sudah seseram ini.”

Dewi menoleh ke kanan-kiri. “Aku tidak bisa membayangkan kita berjalan di sini malam-malam. Padahal kemungkinan besar, kita akan melakukan itu.”

“Iya kalau terpaksa,” sahut Yoyok. Rina menyambung, “Yang penting kita bersama terus. Lagipula, kalau di sini memang tidak ada apa-apa, kenapa kita harus takut? Yang paling menakutkan hanya suasananya.“

“Di sini tidak ada apa-apa,” sambung Yoyok, “kecuali tahayul bodoh itu. Manusia harimau gadungan. Huh!”

Sur berkata, “Kalaupun ada betulan, paling hanya orang biasa yang menyamar jadi hantu. “

“Tepat Bung!” sahut Yoyok mantap. “Aku juga mau ngomong gitu.”

Rudi tersenyum sinis. “Kalian bebas berpendapat. Toh aku sendiri juga belum tahu. Kalau manusia macan itu memang hanya tipuan, ya tidak masalah. Pokoknya aku jamin, kita tidak sia-sia sampai sini. Seperti kata Sur tadi, kita di sini dapat pemandangan indah, dan itulah tujuan utama liburan kita ini. Manusia macan itu hanya selingan, biar acara kita tambah seru. Betul tidak friend’s?!”

Rina tersenyum gembira. “Dengar tuh Say. Akhirnya cowokmu sadar juga. Makanya, jangan punya hobi aneh-aneh. Jaman sudah semaju ini, masih juga percaya tahayul.”

Sur menyambung, “Kalau memang ada hantu, itu bukan masalah besar. Hantu atau jin hanya bisa menakuti manusia, tidak bisa sampai membunuh. Aku malah lebih takut kalau di sana nanti ada binatang buas, atau pembunuh kejam.“

“Itu baru hantu sungguhan!” sambung Yoyok. Mendengar semua itu, Rudi hanya tersenyum agak mengejek. Sesaat kemudian, HP pemuda tampan ini berbunyi. Setelah diangkat, terdengarlah suara agak besar yang bertanya, “Sudah sampai mana kamu? Sudah mau balik belum?”

Rudi tersenyum. “Sekarang kita baru jalan-jalan. Kita mau ke Kidung Angker.“

Orang yang menelpon Rudi itu seorang pemuda berusia 25 tahunan. Wajah lumayan tampan, kulit coklat muda, dada tegap dan cukup lebar. Ia menelpon Rudi dengan telpon biasa. Ia tersenyum. “Kamu masih penasaran dengan dongengmu itu? kamu benar-benar ingin membuktikan?”

“Ya jelaslah, tapi bukan tujuan utama. Itu untuk selingan saja. Sekarang kita lagi lihat pemandangan indah. Indah banget Bung!” diam sejenak sambil tersenyum, lalu bicara lagi. “Iyaa, semua baik-baik saja. Suryadi masih pegang setir. Jagoanmu ini memang tangguh sekali.”

Suryadi yang sedang sibuk pegang setir, hanya tersenyum. Kawan Rudi itu tersenyum. “Ya sudahlah, terserah. Semoga liburanmu menyenangkan. Salam buat semuanya.”

Setelah Rudi menutup HP-nya, Suryadi bertanya. “Siapa Boy? Karno?”

Rudi mengangguk, lalu menatap arlojinya. “Jam lima lebih sepuluh. Huh, lama juga. Nanti kita tanya orang, biar tidak tersesat.”

“Iya kalau ada orang,” sahut Yoyok. “Huh! tempat purbakala begini, gimana mau ada orang?!”

“Satu-dua pasti adalah..“

“Huh ( menatap pemandangan sekitar )! Ini desa atau hutan..?”

Rudi tersenyum, “Desa yang sudah jadi hutan.“

Beberapa menit kemudian, Rudi cs melihat seorang pria yang berdiri di samping pohon pepaya. Mobil Taft biru tua ini langsung menghampiri pria itu. Ia seorang pria berusia sekitar 35 tahun. Postur agak tinggi atau tinggi sedang. Badan juga sedang, tidak gemuk tidak kurus. Tangan kanannya yang berotot memegang tombak kayu sepanjang sekitar 120 cm. Sur berkata, “Kelihatannya dia penduduk sini. Rud, kamu tanya dia saja.”

Pria itu menatap Rudi cs dengan tajam. Rudi membuka kaca mobilnya. Dengan posisi tetap duduk di jok mobil, pemuda tampan ini mengutarakan maksudnya kepada pria itu. Pria itu berkata, “Anda

tinggal lurus terus, setelah sampai batu besar, belok kanan. Nanti ada papan kayu yang dipasang di pohon. Di situlah desa Kidung Angker.”

Rudi tersenyum gembira. “Trima kasih banyak Mas. Ternyata kami memang sudah dekat. Oh iya ( mengulurkan tangannya ), saya Rudi, ini Suryadi, dll.“

“Saya Darto.”

Rudi hendak menutup kaca mobilnya, namun mendadak pria itu bicara lagi. “Saya hanya pesan satu hal. Anda semua harus hati-hati sama penghuninya.“

“Penghuninya? Maksudnya, penghuni desa Kidung Angker?”

Darto mengangguk. Rudi bertanya lagi, “Apa manusia harimau itu?”

“Kalau saya jelaskan sekarang, rasanya percuma. Saya yakin, sulit bagi anda semua untuk percaya. Yah..pokoknya kalian hati-hati saja.“



“Jangan takut Mas, aku bawa ini (menunjukkan parangnya yang sepanjang 40 cm), bisa untuk jaga diri.“

“Memang penghuninya siapa Mas?” tanya Suryadi. Darto menjawab, “Orang-orang sini menjulukinya Mbah Poleng.“

“Mbah Poleng?” sahut Rudi sambil menatap semua temannya. Ia tersenyum geli, “Jadi hanya orang tua?“ diam sejenak. Dengan tetap tersenyum, Rudi berkata, “Baiklah, kami cucu-cucunya ini minta ijin untuk menjamah tempat tinggalnya. Kami hanya mau berlibur sebentar. Oke?!”

Kata-kata Rudi yang sudah berbau mengejek itu sama sekali tidak membuat Darto tersinggung, kesal atau marah. Pria ini tetap tersenyum ramah. Mungkin karena dia memang sabar, juga karena mentalnya yang sudah matang. Ia bertutur, “Pokoknya kalian hati-hati saja.“

Sesaat kemudian mobil besar ini meninggalkan Darto. Yoyok yang duduk di jok paling belakang, menatap Darto yang masih berdiri di situ. Ujarnya, “Orang itu..ah. Wajahnya serius dan keras, tapi juga kelihatan ramah.“

Dewi yang terlihat paling serius, menyambung, “Dan peringatannya itu…tidak boleh kita pandang sebelah mata. Siapa Mbah Poleng itu?”

“Kakek-kakek penjaga desa Kidung Angker..” sambung Rudi agak kesal. Dewi berkata, “Kamu kok bisa menyimpulkan begitu?”

Tanpa menatap sang kekasih, Rudi menjawab: “Namanya saja ‘Mbah,’ jadi ya orang tua, kakek-kakek. Sudahlah Say (menatap Dewi), dari tadi kamu kok cemas terus sih? Tenang sedikitlah, jangan takut berlebihan. Kan ada aku, ada Mas Suryadi, Mas Yoyok. Kita yang cowok ini akan berusaha menjaga kalian sebaik mungkin. Kita yang membawa kalian ke sini, jadi kita juga yang akan bertanggungjawab atas keselamatan kalian. Sudahlah, Mbah Poleng itu tidak perlu kita cemaskan. Kita memang wajib waspada, tapi tidak perlu takut berlebihan.“

“Manusia harimau itu tidak ada! Itu hanya dongeng, mitos. Itu hanya untuk menakuti semua orang agar tidak menjamah tempat itu. Mbah Poleng itu bukan dia. Aku yakin, dia hanya orang biasa, kakek-kakek. Atau bisa juga dukun. Yah..mungkin dukun yang sudah dianggap top. Dukun kan biasa dipanggil ‘Mbah,’ atau ‘Ki.’ “

“Itu penjelasan yang logis,” sambung Suryadi. “Mbah Poleng itu hanya manusia biasa, tapi mungkin wajahnya seram. Atau bisa juga, dia memang menyamar jadi manusia macan. Pakai topeng macan, baju loreng-loreng.“

“NAH!” sahut Rudi sambil menepuk bahu kiri Suryadi. “Kalian dengar sendiri?! Jagoan kita ini sependapat sama aku. Dia sudah memberi penjelasan yang sangat logis.“

“Aah sudahlah!” sahut Yoyok kesal. “Kalau kita memang tidak percaya sama manusia macan itu, ya sudah! Tidak perlu kita ributkan lagi! Sekarang kita nikmati saja pemandangan indah ini.”

Sementara itu, Darto yang masih berdiri di situ, menatap kepergian mobil Taft dengan serius. Sedetik kemudian ia berkata, “Kalau kalian tidak terlalu lama di Kidung Angker, Insya Allah, kalian bisa pulang dengan selamat. Tapi kalau kalian berlama-lama di sana, apalagi sampai berani menginap…ah (menggelengkan kepala). Kalian pasti ketemu Mbah Poleng.”

Benarkah perkiraan Darto itu? Benarkah manusia harimau itu memang ada? Beberapa menit kemudian Suryadi cs sudah sampai di tujuan. Mereka sudah melewati papan kayu yang bertuliskan: Desa Kidung Angker. Rudi tertawa gembira. Kini mobilnya sudah masuk ke wilayah Kidung Angker. Hanya hutan yang menemani perjalanan mereka. Rina yang mulai merinding, berkata, “Kalau dipikir-pikir, kita ini cukup kurang kerjaan. Ngapain juga kita sampai di tempat sesepi ini. Hiih..serem banget. Apalagi nanti malam.“

“Iya nih,” sambung Dewi yang rasa merindingnya melebihi Rina. “Tak kusangka, di pulau Jawa kita ini masih ada tempat seperti ini. Kukira tempat-tempat terpencil itu kebanyakan di luar Jawa.“

“Itulah gunanya berpetualang,” sambung Rudi, “bisa tahu keadaan dunia. Indonesia tercinta ini termasuk negara terindah di dunia, jadi wajar kalau ada tempat seindah ini. ha haa!”

Rina menyambung, “Memang indah banget, tapi seremnya itu lho! ”

“Ya itu kita tanggung bersama,” jawab si tampan yang angkuh ini. Sur berkata, “Mungkin tempat-tempat terpencil di luar Jawa memang lebih banyak, tapi kalau di sini ada yang seindah ini, ngapain jauh-jauh ke luar Jawa?! Hah! Kalau kita mau cari, pasti ada, tidak perlu jauh-jauh.“

“Memang tidak perlu,” sahut Yoyok. “Kalau kalian mau, kalian bisa ke tempat nenekku, di Garut. Walaupun tempatnya tidak terlalu terpencil, keadaannya hampir seperti ini.“

“Lalu apa acara kita sekarang?” tanya Dewi. “Apa kita mau putar-putar saja? Kalau memang harus nginap di sini, nanti kita tidur di mana?“

Sang kekasih menjawab, “Ya itu nanti, sekarang kita lihat-lihat dulu keadaan desa ini.“

Beberapa saat kemudian Rudi cs terkejut. Mereka menemukan bangunan tua yang cukup besar. Bangunan itu bertingkat dua. Suryadi langsung menghentikan laju mobilnya. Kini mobil Taft biru tua ini berhenti di depan rumah tua itu. Dewi melotot. “Masya Allah! Rumah siapa ini?! sudah berapa tahun tidak dihuni?!”

Rina yang juga ketakutan, menyambung, “Hutan ini benar-benar bekas desa. Desa mati. Ini buktinya. Ya ampun. Serem banget. “

Yoyok yang juga terpana, berkata, “Benar-benar hebat. Hanya ini satu-satunya rumah yang masih ada, masih berdiri kokoh.“

“Penghuninya siapa ya?” tanya Dewi. Rudi tersenyum, “Ingin tahu? ya ketuk saja pintunya, lalu masuk.”

Dewi tersentak. “Apa?! Masuk sini?! iih, gila kamu! Tidak!”

“Lho, kalau kita memang harus menginap di sini, kita tidur di rumah ini saja, tidak perlu mendirikan tenda. Kita bisa hemat tenaga.“

“Tapi di sini serem banget! iiih..luarnya saja sudah seperti ini!“

“Tapi dalamnya lebih bagus, siapa tahu. Sudahlah, jangan melihat penampilan luar saja. Ayo kita buktikan!”

Dewi semakin ketakutan. “Jangan Say (mencengkeram pergelangan tangan kanan Rudi)! Apa kamu tega melihat aku mati ketakutan?!”

Rudi menjadi kesal lagi. “Siapa yang mau melakukan itu?! Huh! kamu ini. Jangan mengacau keadaan ah! Aku sudah capek, jadi harus segera menemukan tempat untuk istirahat! Berapa kali kubilang sih?! Kita yang cowok ini benar-benar akan berusaha menjaga kalian. Bahaya apapun yang ada di desa ini, akan kita atasi bersama. Sudah (semakin emosi)! Jangan merengek lagi! Kamu ini…sudah hampir jadi mahasiswi, nyali masih seperti anak SD. Huh! jangan terlalu penakut ah!”

Diam sejenak. Dewi menatap Suryadi dengan mengiba. “Mas Sur, apa kita memang harus tidur di desa ini? tidur di rumah ini?!”

Suryadi yang kebingungan, menyahut lembut, “Rudi yang memimpin ekspedisi ini, jadi aku tidak berani memutuskan. Kita akan aman kalau bersama terus. Sekarang kalau Dewi tetap ingin di mobil, lalu kita berempat masuk rumah ini, nanti gimana? siapa yang menemani Dewi? Lagipula, apa Dewi sudah yakin kalau di dalam rumah ini ada bahaya? Apa Dewi yakin kalau keadaan dalam rumah ini lebih seram dari luarnya?”

Diam sejenak, lalu bicara lagi. “ Kalau rumah ini ternyata aman, apa Dewi tetap pilih berdiam diri di sini? kalau ada tempat untuk tidur yang lebih luas, apa Dewi tetap pilih tidur di mobil?”

Diam sebentar. Perlahan-lahan Dewi merasa lebih tenang. Selain lebih tua dari Rudi, Suryadi juga lebih dewasa dari kekasih Dewi itu. Setelah diam beberapa detik, akhirnya Dewi mau menuruti keinginan sang pria pujaan hati. Rina tersenyum, lalu menyentuh kedua bahu Dewi. “Kita tenang saja. Mas-mas ini sudah janji untuk melindungi kita. Bahaya apapun yang akan mengancam kita, mereka siap bertanggungjawab.”

“Itu janji kami!” sahut Yoyok. Dewi pun tersenyum manis. Melihat itu, Rudi bersorak. “Ini baru cewekku. Oke semua, kita turun! Bawa senjata kalian!”

Lima muda-mudi ini turun dari mobil, lalu melangkah ke rumah tingkat dua itu. Suryadi yang berjalan paling depan, membawa pisau besar di tangan kirinya. Rudi yang membawa parang, berjalan menemani sang kekasih yang bersama Rina. Sedangkan Yoyok yang membawa pentung kayu, berjalan paling belakang. Setelah berdiri di depan pintu rumah tua itu, Sur menatap semua temannya, meminta persetujuan untuk membuka pintu besar itu. Semuanya mengangguk. Rina berkata, “Hati-hati Mas.“

Perlahan-lahan, Sur membuka pintu rumah itu. Terdengarlah suara yang cukup mengiris hati. Setelah pintu terbuka, semuanya bengong. Mereka melihat keadaan dalam rumah besar itu. Ruangannya yang luas, juga perabot-perabot rumah tangga yang sudah dimakan umur, sudah penuh dengan sawang (rumah laba-laba) lebat. Dengan keberanian yang agak dipaksa, Suryadi cs memasuki rumah itu. Lampu senter menjadi penerang lima anak muda ini. Suryadi yang takjub, berkata lirih, “Ya ampun. Rumah ini…luar biasa! umurnya sudah berapa? Tapi masih cukup bagus.”

“Ini pasti rumah orang kaya,” sambung Yoyok sambil menggelengkan kepala. “Untuk ukuran 20 tahun yang lalu, rumah ini jelas sudah top.” Rudi yang angkuh juga tercengang. Tuturnya, “Mungkin ini rumah orang terkaya di desa ini. Mungkin milik Pak lurahnya.”

Mereka terus berjalan bersama. Sesaat kemudian Rudi melihat sebuah pintu kamar atau ruangan yang cukup besar, bahkan mungkin lebih besar dari ruangan tempat mereka berdiri sekarang. Rudi yang selalu penasaran itu langsung mengajak semua temannya untuk memasuki ruangan besar itu. Tentu saja Dewi semakin ketakutan. Ia cengkeram lengan kanan sang kekasih. “Sebaiknya jangan Rud! Nanti kalau ada apa-apa! Kita sudah terlalu berani sampai sini!”

Rina menyambung, “Iya Rud, Mas Sur! Kita cukup sampai sini saja.”

Sur tersenyum. “Say, kamu jangan terlalu takut. Kita sudah sampai sini, rugi kalau rumah ini tidak kita telusuri semua.”

“Betul sekali!” sambung Rudi gembira. “Tanggung rasanya kalau kita hanya sampai sini. Huh! benar-benar membuatku penasaran.”

“Tapi..” sahut Rina, “aku dan Dewi semakin merinding.”

Sur tersenyum. “Memang kenapa Sis? Apa kamu punya indra keenam? Kamu bisa mencium bahaya di rumah ini?”

“Ya nggak tahu sih, tapi…aku merasa, ada yang menunggu rumah ini.”

“Aku juga mau ngomong gitu Rin..“ sambung Dewi. “Iiih (menatap seisi ruangan itu)..rumah ini serem banget.”

Rudi berkata, “Memang ada yang nunggu. Ada cecak, tokek, kecoak, belalang. Atau mungkin jin, makhluk halus, yang hanya bisa menakuti manusia. Hah!” diam beberapa detik, lalu berkata lebih mantap, “Sudah! Pokoknya kalian sudah sampai sini. Mau tidak mau, kalian harus menuruti keinginan yang cowok, keinginanku. Oke! Sekarang kita bergerak lagi!”

Rudi mendekati pintu ruangan yang sudah membuatnya penasaran. Keempat temannya yang masih ragu, sedetik kemudian langsung menguntilnya. Rina dan Dewi terpaksa menahan rasa takutnya. Yoyok yang berjalan di belakang dua gadis cantik ini mulai merasa iba. Ia berkata lirih dan lembut, “Percayalah cewek-cewek cakep. Kita semua, termasuk aku, akan berusaha menjaga kalian, apapun yang akan terjadi nanti. Tapi untuk sekarang, kita harus menuruti semua keinginan Rudi. Habis gimana? dia yang ngajak kita ke sini. Dialah pemimpin liburan tidak mutu ini.“

Mendengar itu, hati Dewi dan Rina sedikit terhibur. Dewi tersenyum manis. “Trims banget Yok..kamu termasuk teman terbaikku.“

Rina menyambung, “Besok kamu kutraktir. Lihat saja.“

Yoyok tersenyum gembira. “Kalian juga teman-teman baikku, jadi sudah kewajibanku menolong kalian.“

Sesaat kemudian, Rudi dan Suryadi sudah berdiri di depan pintu ruangan besar itu. Tinggi badan dua pemuda ini sama, sekitar 170 cm lebih sedikit. Bedanya, badan Suryadi lebih besar dari Rudi yang kurus. Rudi menatap Suryadi, lalu menyentuh gagang pintu besar itu. Pemuda tampan ini memang cukup bernyali. Tanpa pikir panjang lagi, ia langsung membuka pintu tersebut. Dewi berkata agak keras, “Hati-hati Rud!” Tanpa menatap sang gadis, Rudi berkata, “ I know what i’m doing. Tenanglah.“

Setelah pintu itu terbuka, Rudi cs kembali melongo. Mereka melihat lagi sebuah ruangan luas. Rudi dan Yoyok langsung mengarahkan senter mereka ke seluruh ruangan itu. Rina berkata, “Masya Allah! Ruangan apalagi ini?! Kok tidak ada apa-apa? Tidak ada perabot rumah tangga. ” “Gudang besarkah?” ujar Dewi yang terus bergandengan tangan dengan Rina. Sur menyambung, “Gudang tetap ada isinya. Kalau garasi…rasanya juga bukan. Ehm..ini semacam aula, atau ruangan untuk latihan.”

“Latihan apa?” tanya Yoyok. Sur menyahut, “Ya latihan apa saja. Untuk rapat-rapat, untuk olah raga, kursus-kursus, praktek.” Dewi berkata, “Mungkin Mas Sur benar. Ruangan ini memang cocok untuk kursus, untuk pertemuan-pertemuan. Kalau yang luar tadi ruang biasa, yang untuk ruang keluarga, ruang tamu, dll.“

Sur tersenyum. “Wah, gadis cantik ini mendukung pendapatku. Makasih banyak ya Wi?”



Dewi tersipu. Yoyok berujar, “Heh, jangan melirik cewek lagi. Kamu sudah punya dia (menunjuk Rina).” Kini mereka terus mengelilingi ruangan aneh itu. Mereka terus mencari-cari sesuatu yang mungkin menarik. Beberapa langkah kemudian senter Rudi menerangi sesuatu. Rudi berkata, “Mungkin kamu benar Sur. Ini buktinya.”

Semua terkejut. Rudi menemukan meja kayu kecil. Di atas meja kecil itu ada tabung-tabung kaca sebesar gelas, juga botol- botol bekas obat. Semua sudah berkarat dan tertutup sawang lebat. Suryadi cs semakin terpana. Dewi berkata, “Jangan-jangan, ruangan ini bekas laboratorium, atau untuk praktek kedokteran.“

Rudi menyahut, “Cewekku, kamu memang cerdas. Yah..kemungkinan besar memang begitu.“

Yoyok tersentak. “Di desa terpencil begini ada laboratorium ilmu alam?! Hebat banget!”

Tiga pemuda ini mulai merinding, sebagaimana Dewi dan Rina. Mereka semakin terkejut ketika Suryadi menemukan sebuah lemari aneh. Lemari itu tingginya sekitar 150 cm. Warnanya perak, dan sudah dibungkus sawang lebat, seperti terjerat jaring laba-laba raksasa. Setelah diperhatikan dengan cermat, lemari aneh itu ternyata kulkas. Suryadi semakin merinding, tapi rasa penasarannya lebih besar. Dengan hati yang dimantapkan, ia membuka lemari es yang usianya sudah sangat lanjut. Rina berseru, “Hati-hati Mas! Nanti kalau ada binatang buas! Mungkin Ular“

Setelah tangan Suryadi yang cukup kekar membuka kulkas itu, ia tidak perlu terkejut. Suryadi cs melihat benda-benda kedokteran yang terbuat dari plastik. Benda-benda itu ternyata organ manusia. Ada otak, usus, jantung, paru-paru, dan sejenisnya. Suryadi mengambil satu dari benda-benda itu. Ia ambil otak buatan dari plastik. Ia pandangi benda itu dengan terperangah. “Ya Allah. Dewi benar. Ini..ini alat-alat kedokteran. Ohh..ruangan ini memang lab. kedokteran. Hahh..gila benar. Siapa pemilik rumah ini?!”

Dewi yang ketakutan, menjawab, “Apapun asal-usul rumah ini, sama sekali tidak penting bagi kita, dan tidak perlu kita pedulikan. Yang penting sekarang kita harus pergi! Sudah cukup liburan kita di sini! kita sudah terlalu lancang! Ohh..(menatap seisi ruangan yang gelap) aku mencium bahaya, bahaya besar!”

Rina yang juga ketakutan, menyambung, “Dewi benar. Mas Sur, Rud, apalagi yang kta cari di sini?! kalaupun kita memang harus tidur di desa ini, ya jangan di sini! Kita tidur di luar saja!”

“Cukup!” bentak Rudi. Rintihan dua gadis itu malah meledakkan amarahnya. Ia tolak ajakan pulang Rina dan sang kekasih. Ia masih ingin di rumah angker ini. Ditambah lagi, dialah pemimpin ekspedisi mereka ini, jadi dialah yang menentukan kapan mereka akan pulang. Tentu saja Dewi semakin cemas. Ia mengeluh dan mengiba. “Say..kamu tega melihat kami ketakutan begini?!”

“Huh! Berapa kali kubilang sih?! Kami akan menanggung keselamatan kalian berdua! Sudah! Jangan ribut lagi! Kalian jangan sampai membuatku marah besar! Huh! memang apa sih bahaya di desa ini?! Belum kelihatan kan?!”

Dewi yang hampir menangis, menyahut, “Memang belum kelihatan, tapi bisa kurasakan..”

“Kamu merasakan apa? haa?! Memang kamu punya indra keenam?! Kamu bisa melihat hal-hal ghaib?!” diam beberapa detik, lalu melanjutkan. “Sudah! Sekarang aku mau menelusuri lagi ruangan ini.“

Rudi langsung mencengkeram erat tangan kanan Dewi, lalu mengajaknya berjalan. Dipelototinya sang gadis seraya berujar, “Biar tidak ketakutan, sekarang kamu di sampingku terus. Huh!”

Melihat Rudi dan Dewi bergerak lagi, Yoyok-Sur dan Rina langsung mengikuti langkah mereka. Beberapa langkah kemudian senter Rudi menerangi sebuah kain besar warna merah. Kain kumuh itu mirip tirai atau korden. Lima sekawan ini kembali tersentak. Dewi memeluk erat tangan kiri Rudi dengan kedua tangan halusnya, lalu berseru, “Jangan dibuka Say! Aku takut! “ “Tenang..kamu di sampingku.”

“Apa ada kamar lagi di balik tirai ini?” tanya Yoyok. Rudi menggelengkan kepala. “Kelihatannya bukan kamar. Kelihatannya ada sesuatu di balik tirai ini. Semacam benda besar. Yah, aku yakin.“

Hening sejenak. Jantung Rudi cs semakin berdetak kencang. Setelah Yoyok dan Sur mengaku ragu untuk membuka tirai merah itu, Rudi tersenyum mengejek. Ia ulurkan tangan kanannya ke kain besar itu, namun Rina langsung berkata setengah berteriak. “Jangan Rud! Bahaya!” Rudi tersenyum sinis. “Kami sudah siap mengatasi bahaya apapun. Hah! Aku paling tersiksa dengan rasa penasaran.”

Sebenarnya Rudi juga mulai merinding, namun karena wataknya yang cukup arogan, ia wajib jaga gengsi. Dengan kewaspadaan penuh, ia buka tirai merah itu, dan…ia dan keempat kawannya kembali melotot. Perkiraannya benar. Kain besar warna merah itu memang untuk menutupi atau membungkus sebuah benda besar. Kini mereka melihat sebuah benda aneh yang sangat besar. Bentuknya seperti gelas, kaleng, atau ember raksasa. Tingginya 3 meter. Garis tengah yang bawah sekitar 2 meter, sedangkan yang atas sedikit lebih panjang. Karena sebagian besar terbuat dari kaca yang keras, Yoyok cs dapat melihat bagian dalam benda antik itu. Di dalamnya penuh dengan tombol dan kabel. Benar-benar sebuah alat elektronik. Suryadi yang terpana, menyentuh dinding kaca benda itu. “Masya Allah. Alat apa ini?”

Yoyok menyahut, “Ini pasti alat percobaan.“

Rudi mengangguk. “Kalian benar. Ini …ohh. Selain lab. kedokteran, ruangan ini juga lab. teknik. Hah! Lalu siapa ilmuwan yang pernah memakai semua benda ini? Kenapa dia tinggal di daerah antah berantah begini?!”

“Mungkin seperti inilah ilmuwan hebat,” sambung Dewi. “Dia tidak bisa konsentrasi di keramaian kota. Justru di tempat seperti inilah dia bisa mempraktekan semua ilmunya. Hampir sama dengan seniman. Ada di antara mereka yang hanya bisa dapat inspirasi dari alam bebas yang tenang. Entah itu di gunung, sungai, atau hutan.”

Suryadi tersenyum. “Kamu beruntung banget Rud, dapat cewek secantik dan secerdas Dewi.“

Rudi tersenyum bangga. “Ya jelaslah. Bukan Rudi kalau tidak bisa meraih cewek cakep.“

Dewi yang sedari tadi ketakutan, kini bisa tersenyum malu. “Mas Sur jangan muji aku terus ah..nanti Rina berburu lho. “

“Berburu? Berburu apa? Kijang?”

Rina melengos. “Biarkan saja Wi..sudah biasa kok.”

Diam sejenak. Yoyok yang masih terus mengamati dan menyentuh alat aneh itu berkata, “Ilmuwan macam apa yang sudah membuat alat ini? hah..hebat banget. Dia orang apa ya? Orang teknik fisika, mesin, atau elektro?”

“Semuanya,” sahut Suryadi. Rudi tersenyum gembira. “Oke Guy’s, sekarang sudah cukup gelap, kita ambil barang-barang di mobil. Apapun resikonya, kita sudah mantap tidur di sini. Hanya semalam, besok kita sudah pulang.“

Tanpa terasa, malam telah tiba. Suasana desa Kidung Angker bertambah seram, termasuk di rumah yang sekarang sedang ditempati Suryadi dkk. Kini lima pemuda ini duduk melingkar di ruangan yang mereka anggap bekas laboratorium ilmu alam. Lampu angkat (mirip lampu neon yang bisa dibawa ke mana-mana) dan beberapa lilin menjadi penerang bagi mereka. Sambil menghangatkan tubuh, mereka meneguk minuman hangat dan menyantap makanan ala kadarnya. Untuk sementara ini, hanya kedamaian yang ada di hati Rudi cs. Si tampan yang cukup tinggi hati ini tersenyum gembira. Dipeluknya bahu sang kekasih dengan lengan kirinya.

“Tadi aku sempat kasar sama kamu, bahkan sampai memarahi kamu, juga kamu Rin. Karena itu Tuan Putri, maukah Tuan Putri memaafkan hamba?”

Dewi tersipu. Rudi berkata, “Kok Tuan Putri diam saja? Maukah Tuan Putri memaafkan hamba?”

“Sudah ah (tersenyum malu)! Yang penting kamu tetap berjanji untuk menjagaku.“

Rudi langsung memeluk tangan kanan Dewi dengan kedua tangannya. “Akan kukerjakan segala perintah Tuan Putri. Pernahkah aku ingkar janji?”

*****

Suasana Kidung Angker semakin angker, seiring dengan malam yang semakin larut. Lima sekawan ini sudah pada mau berangkat ke peraduan. Dewi dan Rina sudah berbaring, walau belum tidur. Mereka berbaring di bawah satu selimut. Mereka berbaring agak jauh dari Rudi, Yoyok dan Sur. Rudi merokok dan ngopi. Sementara Yoyok, masih terus memperhatikan benda antik berbentuk gelas raksasa. Pemuda agak gendut ini melongo. Sedangkan Suryadi, sudah mulai terkantuk-kantuk. Tubuhnya masih dalam posisi duduk, namun kepalanya sudah tertunduk. Rudi yang masih segar, langsung menelpon Karno, kawannya. Ia ceritakan apa saja yang sudah ia temukan. Karno yang terkejut, berkata, “Jadi rumah yang kalian tempati itu bekas laboratorium?!”

Rudi mengangguk. Ia jelaskan, benda antik di hadapannya itu benar-benar seperti gelas raksasa. Sebagian besar terbuat dari kaca yang keras, mirip kaca mobil, bahkan mungkin lebih keras. Mendengar semua cerita itu, Karno hanya tersenyum. Ia terlihat setengah percaya setengah tidak. Setelah percakapan selesai, Rudi kembali menghisap rokoknya. Dilihatnya Suryadi yang bersandar di tembok dengan kepala tertunduk. Rudi tersenyum, lalu ia tendang kaki kanan Suryadi.

“Heh! Tidak usah ikut jaga. Tidur sana! Nanti gantian!”

Sur tersentak, lalu mengusap matanya. “Jam berapa ini?”

“Baru setengah sembilan.”

“Kelihatannya sudah malam banget. Ya sudah, aku duluan.“

Setelah Sur berbaring, Rudi ganti menatap Yoyok yang masih mengamati gelas raksasa itu. Rudi tersenyum, “Tidak usah terlalu dipikir, kamu bukan ilmuwan. Kita bahas besok saja, kalau sempat. Sekarang kamu tidak perlu menemani aku. Tidurlah kalau sudah ngantuk.” Tanpa menatap Rudi, Yoyok menggelengkan kepalanya. “Mungkin aku sudah cukup ngantuk Rud…tapi, benda ini benar-benar membuatku merinding. Hah..luar biasa. Benda apa ini sebenarnya? Dibuat tahun berapa?”

“Kelihatannya sudah tua banget ya? Imbang dengan usia rumah ini.”

Yoyok terlihat semakin serius. Katanya lagi, “Mungkin sekitar..yah..25 tahun yang lalu, atau bisa juga lebih.“ diam beberapa detik, “Tapi… 25 tahun yang lalu itu sudah lama banget. Padahal saat itu iptek jelas belum maju, apalagi di negara kita ini. Huh! sekarang saja masih seperti ini, masih jadi konsumen produk barat. Itu kalau benar 25 tahun yang lalu, kalau lebih?!” diam beberapa detik. “Apa mungkin ya? Sudah ada ilmuwan hebat di negara kita ini? Ilmuwan alam yang lebih hebat dari Pak Habibie, bahkan lebih hebat dari Albert Einstein dan Isaac Newton. Hmm…bisa saja Rud. Tapi mungkin dia tidak ingin terkenal, tidak ingin mengajarkan ilmunya ke khalayak umum. Ilmunya dimakan sendiri.“

Rudi tersenyum. “Kalau lebih hebat dari Einstein, jelas sudah masuk sejarah. Memang rumus apa yang sudah dia temukan? Sampai lebih hebat dari Einstein.”

“Ya rumus untuk membuat alat ini. Hah! Tapi bisa saja kan Rud, kalau Tuhan menghendaki.”

“Ya iya sih, segala kemungkinan itu bisa terjadi. Tapi kalau dilogis dengan selogis-logisnya, kelihatannya sulit sekali, dan kemungkinannya sangat kecil.”

Diam sejenak, setelah itu Rudi berujar, “Asal-usul alat ini tidak perlu kita pikir serius. Yang perlu kita ketahui, apa fungsi alat ini? Gimana cara kerjanya?”

Yoyok mengangguk. “Memang itu yang harus kita bahas.”

Beberapa menit kemudian Rina ingin buang air kecil. Ia minta ditemani Suryadi, namun karena sang kekasih sudah tidur, ia minta ditemani Yoyok. Dua orang ini langsung mencari WC di rumah itu, namun tidak ketemu karena terlalu gelap, juga karena ukuran rumahnya yang terlalu besar. Akhirnya Yoyok mengajak Rina berjalan ke semak belukar yang berada di samping rumah itu. Jaraknya dengan rumah terpaut cukup jauh. Untuk menjaga diri, Yoyok sudah siap dengan pentung kayunya yang sepanjang 50 cm, juga pisau besar pemberian Suryadi. Rina yang berjalan di belakang Yoyok, tampak ketakutan. Ia terus menoleh ke kanan-kiri.

“Di sini serem banget. Masa’ aku harus kencing di sini Yok?!”

“Ya mau di mana lagi?! WC juga tidak kita temukan. Kalaupun di rumah itu masih ada WC, airnya mungkin sudah tidak ada. Ya sudah, nanti perutmu bisa sakit. Kutunggu di situ ya?!”

Yoyok mengatakan ‘situ’ sambil menunjuk sebuah pohon tinggi-besar. Rina yang merinding, berkata, “Jangan jauh-jauh ya? Aku takut banget!”

“Enggaklah, maksimal 7 meter.”

Sementara Yoyok menyandarkan tubuhnya di pohon besar, Rina memasukkan tubuhnya ke semak belukar lebat, lalu berjongkok. Hening beberapa detik. Betapa mengerikannya suasana malam ini. Kalau tidak ditemani Yoyok, mungkin Rina sudah jantungan berat. Semenit kemudian Yoyok berkata setengah berseru, “Sudah belum?! Jangan lama-lama!”

“Enggak! Hampir selesai!“

Yoyok menguap. Namun mendadak ia terkejut. Matanya terbentur pada sesuatu yang bergerak di semak belukar yang berada agak jauh dari tempat ia berdiri. Ia langsung mengarahkan senternya ke tempat tersebut. Hatinya berkata, kalau dia memberi tahu Rina, gadis itu pasti terkejut setengah mati. Karena itu, ia memutuskan untuk meninggalkan Rina sejenak, lalu berjalan pelan. Dengan senter di tangan kiri, Yoyok berjalan mengendap-endap. Tangan kanannya memegang pentung kayu. Ketegangan semakin ia rasakan. Gumamnya, “Apa itu tadi ya? Sepertinya… tubuh manusia. Tapi tidak mungkin ah! Paling binatang.“

Yoyok semakin merinding, namun rasa penasarannya masih lebih kuat. Hal itulah yang membuatnya terus berjalan maju. Tanpa terasa, tubuhnya semakin ditelan kegelapan dan semak belukar lebat. Dengan muka ketakutan, juga keringat dingin yang sudah cukup membanjir, Yoyok berseru dengan suara lirih: “Hei! Siapa itu?! jangan main-main! Aku paling tidak suka diajak kucing-kucingan.”

Sementara itu, Rina yang sudah berdiri, kelabakan bukan main. Dilihatnya Yoyok yang sudah hilang dari tempatnya. Kekasih Suryadi ini berseru, “Ya ampun! Yok! Kamu kok tega banget sih?! Oohh (menatap keadaan sekitar yang super gelap)..”

Rina yang ketakutan ini hampir menangis. Ia hendak bergerak, namun mendadak langkahnya terhenti. Ia menoleh ke belakang dengan perlahan. Ia seperti melihat sesosok tubuh yang bergerak ke arahnya. Sosok itu sangat tinggi dan besar. Meskipun wajahnya belum terlihat karena gelap, Rina sadar kalau sosok yang datang itu bukan manusia biasa. Itu sosok yang sangat mengerikan. Spontan saja Rina bersembunyi di balik pohon, lalu memasukkan tubuhnya ke semak belukar. Rina beruntung, sosok itu masih agak jauh, dan belum sempat melihat kehadirannya. Dengan peluh yang membanjiri sekujur tubuh, Rina memberanikan diri untuk mengintip. Sayup-sayup, Rina mendengar suara sosok besar itu. Suaranya sangat mengerikan. Suaranya bukan suara manusia. Suaranya menggeram-geram, seperti suara harimau atau singa.

Kini sosok itu hanya berdiri sekitar 1, 5 meter dari tempat persembunyian Rina. Dengan menahan nafas, Rina menoleh ke belakang. Matanya melotot. Kelima jari kanannya menutup mulutnya. Kekasih Suryadi ini berusaha untuk tidak menjerit. Dilihatnya sosok besar itu berjalan agak membungkuk. Mulutnya terus menggeram. Wajahnya masih tertutup gelapnya malam. Namun Rina bisa melihat rambutnya yang gondrong. Rambutnya lebat dan kaku. Panjangnya sebahu. Dan yang paling mengerikan bagi Rina, sosok itu ternyata tidak sendiri. Tangan kanannya menarik kaki kiri sesosok tubuh manusia, seperti menyeret bangkai kambing.

Beberapa detik kemudian lenyaplah manusia aneh itu. Sambil menyandarkan tubuh di pohon, Rina menangis. Ia benar-benar ketakutan. Namun gadis cantik ini tetap berusaha untuk tidak bersuara keras. Sesaat kemudian, setelah melihat keadaan cukup aman, Rina langsung berusaha mencari Yoyok. Ia memasuki semak-semak lebat dengan mengendap-endap.

Sekarang kita lihat Yoyok. Ia masih terus menerabas semak belukar, mencari sesuatu yang bergerak-gerak. Sesuatu yang dianggapnya makhluk hidup. Sambil melangkah pelan, Yoyok mencabut parang di pinggang kirinya. Kini gantian pentung kayunya yang ia selipkan di pinggang. Kedua tangannya memegang benda. Senter di tangan kiri, pisau besar di tangan kanan. Panjang pisaunya sekitar 35 cm. Dengan jantung semakin bergetar keras, Yoyok berjalan agak membungkuk. Ia berusaha agar langkahnya tidak bersuara. Ia berseru dengan suara berbisik, “Hei! Siapa itu ?! keluar kalau berani!”

Hening beberapa detik. Yoyok semakin merinding. Ia benar-benar harus ekstra waspada. Sesaat kemudian, ada dua tangan manusia yang memeluk kaki kanan Yoyok. Tangan itu keluar dari semak belukar. Tentu saja Yoyok terkejut. Ia langsung menginjak tangan itu dua kali, namun mendadak, terdengarlah suara lemah. “Tenang! tenang! jangan panik! Aku tidak bermaksud jahat sama kamu. Tenang!”

Yoyok terkejut. Ia arahkan senternya ke bawah. Dilihatnya sesosok pria yang tengkurap di semak belukar. Cahaya senter Yoyok menerangi wajahnya yang berlumuran darah. Ternyata dia seorang pemuda yang usianya sedikit lebih tua dari Yoyok. Mungkin sebaya Suryadi. Yoyok pun duduk di samping tubuh tak berdaya itu, kemudian menyentuh kedua bahunya. “Siapa kamu?! Kenapa ada di desa ini juga?! ohh…lukamu parah banget!”

Memang benar! Bukan hanya muka pria itu yang berdarah, dada dan perutnya juga berwarna merah. Dengan suara lemah karena menahan sakit yang tiada tara, pria itu menjelaskan semuanya. Dia orang Tangerang, tiba di Kidung Angker tadi siang. Namanya Yudi. Ia bersama seorang temannya yang bernama Rahmat. Mereka datang ke sini dengan motor Honda Tiger. Ia juga sudah mendengar legenda manusia harimau penghuni desa Kidung Angker ini. Itulah motivasinya datang ke sini. Namun kenyataannya, apa yang dicari Yudi dan Rahmat itu malah mendatangkan bencana besar bagi mereka berdua.

Mereka dibantai habis-habisan oleh sesosok makhluk mengerikan, dan makhluk itulah legenda yang mereka cari. Dengan demikian, mereka sudah mendapat bukti nyata. Makhluk itu bukan legenda, makhluk itu benar-benar ada. Dialah hantu Kidung Angker ini. Dengan suara terputus-putus, Yudi mengatakan kalau kawannya sudah dibunuh Mbah Poleng. Yudi muntah darah. Yoyok melotot, “Apa? Mbah Poleng?! Manusia harimau?! Hei ( mengguncang kedua bahu Yudi )!”

“Jangan keras-keras, nanti terdengar dia. Uuhh…!”

“Tahan lukamu! Kami akan membawamu pergi dari sini! ”

Yudi menggelengkan kepala. “Percuma saja. Aku merasa…Tuhan sudah memanggilku hari ini. Uuuh..(menyentuh kedua bahu Yoyok)! Sekarang…kamu harus segera pergi dari sini. Kamu, juga teman-temanmu. Setan itu kuat sekali. Kalian jangan melawan dia. Uuhh..!” diam sejenak, lalu bicara lagi dengan sisa tenaganya. “Apalagi yang kamu tunggu?! Cepat pergi! Selamatkan diri kalian! Cepat! Aahh (mata melotot)!”

Sedetik kemudian, nyawa Yudi terbang dari raganya yang rusak. Yoyok membaringkan mayat Yudi dengan perlahan, setelah itu berdiri. Sedetik kemudian ia tersentak. “Ya Allah! Rina!”

Yoyok berjalan setengah berlari, namun mendadak langkahnya terhenti. Dilihatnya sesosok tinggi besar yang berdiri sekitar 6 meter di hadapannya. Sosok itu menggeram-geram. Yoyok mengarahkan senternya ke muka manusia besar itu, dan... tampaklah wajahnya yang sangat mengerikan. Wajah itu bukan wajah manusia. Itu wajah binatang. Wajahnya mirip harimau atau singa. Ia mendekati Yoyok dengan perlahan. Yoyok pun melangkah mundur. Dengan mengacungkan pentung dan parang, Yoyok membentak, “Siapa?! Siapa kamu?!”

“Grrr…grrhh!”

Yoyok melotot. “Jadi..jadi kamu manusia harimau itu? jadi kamu yang dijuluki Mbah Poleng?!”

Makhluk itu hanya menggeram. Yoyok berseru. “Kurang ajar! Kamu apakan Rina?! Mana dia?!”

Makhluk yang memang mirip manusia harimau ini terus mendekati Yoyok yang melangkah mundur. Setelah wujudnya semakin terlihat jelas,

Yoyok melongo. Makhluk ini berdiri satu meter di hadapan Yoyok. Dengan perasaan seperti mimpi, pemuda ini berkata, “Kamu..hah! siapa?! Siapa kamu sebenarnya?!”

Karena tercengang, Yoyok malah membuka pertahanannya. Dua senjata yang tadi ia acungkan ke depan, kini malah ia arahkan ke bawah. Saat itulah, si makhluk seram bertindak secepat kilat. Dari punggung tangan kanannya yang terbuat dari besi dan alumunium, keluarlah dua buah pisau sepanjang 25-30 cm. Cakar besi itu langsung menusuk ulu hati Yoyok cukup dalam. Yoyok melotot.

Sekarang beralih ke Rina yang masih ketakutan berat. Kekasih Suryadi ini kembali berjalan dengan mengendap. Ia harus super hati-hati, dan berusaha untuk tidak bersuara. Sambil menoleh kanan-kiri, Rina terus berjalan dalam kegelapan. Hanya sinar rembulan yang bisa menjadi penerang pandangannya. Ia berjalan tanpa arah. Tujuannya hanya satu. Mencari Yoyok. Dengan wajah seperti dikejar setan neraka, Rina berkata lirih,

“Yok! Hiihh (air mata menetes lagi)! Kamu kok tega banget sih?! Membiarkan aku di sini, di salah satu tempat terseram di dunia. Sepuluh lelaki kekar pun belum tentu berani tinggal di sini, apalagi aku, sendirian! Hiih! Awas kalau nanti ketemu! kujotos hidungmu! Oohh…sekarang kamu di mana?! Di tempat seseram ini, kenapa kamu masih sempat kucing-kucingan?! Ooh..Yook!!”

Pertanyaan Rina itu langsung terjawab. Sedetik kemudian ia mendengar suara jeritan lelaki. Suara itu tidak begitu keras, tapi sangat menusuk telinga. Rina merasa, suara itu datang dari tempat yang tidak jauh dari tempat ia berdiri. Ia melotot. “Ya Allah! Itu Yoyok! oohh..! Yok! Kamu di mana (menoleh kanan-kiri)?! Apa yang sudah terjadi!? Jangan main-main! Aku bisa jantungan! Yook!!”

Namun tidak ada suara balasan. Hening beberapa detik. Rina terus mondar-mandir di semak belukar. Sesaat kemudian, tanpa sepengetahuan Rina, ada sesosok tubuh agak gemuk yang berdiri di belakangnya. Dengan suara selemah orang yang tidak makan selama empat hari empat malam, sosok itu berkata : “Rinn…kamu..harus segera pergi..dari sini. Kamu dan semuanya. Uuhh…cepat!”

Rina terkejut sekali. Ia tidak langsung menoleh ke belakang. Matanya melotot bulat. Baru setelah beberapa detik, ia memberanikan diri untuk membalikkan tubuhnya. Ternyata itu Yoyok. Mukanya penuh darah, juga bajunya yang robek sebagian. Baju biru mudanya itu berubah menjadi merah tua. Sedetik kemudian, tubuh lemah itu roboh di hadapan Rina. Rina menjerit, lalu duduk agak berlutut di samping Yoyok. “Ya Allah! Apa-apaan ini!? kamu kenapa? Yook!!”

“Sst..” ujar Yoyok lemah. “Jangan keras-keras! nanti dia dengar. Aarghh!”

Rina menangis. Ia cengkeram kedua lengan Yoyok. Yoyok kembali berkata lemah. “Cepat pergi! Kamu.. Rudi, dan semuanya. Mumpung dia belum datang!”

“Dia? Dia siapa?!”

Dengan pandangan mata semakin kabur, Yoyok berkata, “Setan penghuni desa ini. Manusia macan. Mbah Poleng. Dia sungguhan Rin! Dia..dia benar-benar setan! Aahh ( mata melotot, setelah itu tidak bergerak lagi )!!”

Rina menggerakkan kedua tangan Yoyok dengan keras, namun tidak ada gunanya. Pemuda ini benar-benar sudah menghadap Tuhan. Rohnya meninggalkan jasadnya yang rusak berat. Kedua matanya tetap melotot. Rina menangis histeris, namun tidak sampai berteriak. Ia langsung sadar begitu melihat suasana gelap di hadapannya. Tanpa pikir panjang lagi, Rina langsung berniat mengambil langkah seribu. Namun baru saja hendak berlari, di hadapannya sudah hadir sesosok tubuh tinggi besar. Sosok yang wajahnya mirip harimau atau singa. Rina terkejut. Langkahnya terhenti. Karena gelap, wajahnya tidak bisa terlihat jelas oleh Rina, namun Rina bisa merasakan, sosok raksasa di hadapannya itu bukan manusia biasa. Apalagi setelah mendengar suaranya yang menggeram-geram, persis suara harimau kelaparan. Ia mendekati Rina dengan perlahan. Rina pun melangkah mundur. Beberapa detik kemudian, sinar rembulan semakin memperjelas wajah manusia aneh ini. Wajahnya teramat seram. Rina semakin ketakutan.

Sambil menunjuk si makhluk aneh, Rina berujar, “Kamu! Hah..kamu yang sudah membunuh teman baikku. Kamu..yah, tidak salah lagi! Pasti kamu yang tadi menarik mayat orang. Ooh…jadi..jadi kamu hantu yang katanya menghuni desa ini?! jadi kamu manusia harimau itu?! iyaa?! Jadi kamu yang dipanggil Mbah Poleng?!”

Manusia harimau hanya menggeram. Rina semakin ketakutan. Selanjutnya, tidak usah dijelaskan lagi. Rina menjerit dengan seluruh jiwa raganya. Jeritan yang menggetarkan seluruh pelosok Kidung Angker. Sayangnya, jeritan itu tidak sampai ke telinga sang kekasih yang masih enak-enakan tidur di rumah. Rudi yang berada di dekatnya, membangunkan dengan memanggilnya, namun Suryadi yang sudah ngantuk berat itu diam saja. Melihat pemuda gagah itu tetap lelap dalam tidurnya, Rudi melempar topinya, dan tepat mengenai kepala Suryadi. Tentu saja Suryadi kesal. “Apa-apaan sih?! Aku sudah nyaris tidur nih!”

Rudi tersenyum. “Yoyok dan bidadarimu belum balik, sebaiknya kamu cek.”

Dengan ogah-ogahan, Suryadi segera mengirim SMS ke Hand Phone Rina. Setelah ditunggu beberapa menit, Rina belum memberi jawaban. Dengan mata terpejam, Sur menelpon Rina, namun hasilnya sama saja. Lalu bagaimana dengan Rina? Kini lihatlah keadaannya yang sangat memilukan. Ia berbaring di tanah. Hidung dan mulutnya berdarah. Tangan kanannya yang bergetar keras itu mengambil HP yang berada di saku baju kuning lengan panjangnya. Setelah berhasil menggenggam HP, Rina berkata lemah, “Mas…aku..aku lagi sekarat. Aahh!” Mendengar itu, rasa kantuk Suryadi langsung musnah. Ia melotot, lalu bangkit dari tidurnya. “Apa Say?! Kamu sekarat?! Hah! Kamu kenapa? Sekarang kamu di mana?!”

Namun Rina sudah tidak bisa menjawab. Tenggorokannya nyaris putus. Ia berbaring lemas. Sedetik kemudian, mendaratlah kaki besar di tanah yang berada di muka Rina. Dengan suara terputus-putus, Rina berkata, “Am..ampun..Mbah Poleng.”

Mbah Poleng hanya menggeram-geram. Ia sudah tidak berniat menyakiti Rina lagi. Dilihatnya korbannya yang sudah sangat tidak berdaya. Sedetik kemudian mata Rina terpejam rapat. Ia susul Yoyok ke negeri abadi. Mbah Poleng memungut HP Rina yang masih ada suara berbunyi: “Halo! Halo! Say! Kamu kenapa?!,” setelah itu ia dekatkan mulutnya ke HP itu, lalu menggeram keras. Tentu saja Suryadi terkejut. Sesudah menggeram, Mbah Poleng meremas HP Rina dengan kelima jari kanannya yang sebesar pisang. Benda yang cukup keras itu ia remas seperti kerupuk.

Suryadi melotot. Hal itu jelas membuat Rudi ikut terkejut. Demikian pula dengan Dewi yang sedang tiduran di karpet. Suryadi langsung menjelaskan semuanya. Rudi tersentak. “Apa? suara macan?!”

Sur berdiri sambil memungut senjatanya. Dewi berseru, “Sabar Mas Sur, jangan terburu-buru!”

Sur yang sudah panik bukan main ini menyahut, “Aku sudah tidak bisa bersabar Wi! Sudah jelas Rina dalam bahaya! Dayok juga! pasti mereka diserang macan!”

“Tapi di sini tidak ada macan!” sahut Rudi yang juga mulai panik. “Tempat ini memang sudah jadi rimba belantara, tapi aku yakin, di sini tidak ada macan atau singa. Binatang buasnya maksimal ular!“

“Tapi aku mendengar dengan sangat jelas! Tadi itu suara macan! Sudah! Sekarang kamu mau bantu aku mencari mereka tidak?!” Diam sejenak. Rudi dan Dewi saling menatap. Suryadi yang mulai emosi ini berseru, “Ya sudah kalau tidak mau, tidak apa-apa! Biar kucari sendiri!”

Suryadi melangkah pergi, namun Dewi langsung berseru. “Tapi Mas, akan lebih baik kalau kita bersama terus! lebih aman!”

“Iya Sur!” sambung Rudi. “Dalam keadaan begini, kita harus bersatu. Kita belum tahu bahaya yang akan kita hadapi ini.“

“Ya sudah kalau begitu, kita berangkat sekarang. Ayo cepat!”

Baru saja Suryadi hendak bergerak cepat, pintu keluar kamar itu mendadak jebol, dan muncullah sesosok tinggi besar. Suryadi cs terperangah. Sosok besar itu menghadang mereka. Dengan cahaya penerang dari lampu buatan dan lilin yang jumlahnya cukup banyak, tiga pemuda ini bisa melihat sosok di hadapan mereka itu. Manusia aneh itu berdiri sekitar 6 meter dari mereka. Kini Rudi cs berhadapan dengan sesosok manusia raksasa. Ukuran tubuhnya yang sangat besar itu benar-benar memenuhi pintu. Tingginya nyaris sama dengan pintu tersebut. Pintu-pintu rumah di Indonesia rata-rata tingginya 2 meter. Dengan demikian, tinggi makhluk itu nyaris 2 meter.

Dari tiga muda-mudi ini, Dewi-lah yang jantungnya nyaris berhenti berdetak. Matanya melotot. Jangankan Dewi, Suryadi dan Rudi saja melongo. Rudi yang angkuh ini seperti mimpi. Benarkah keberadaan sosok di hadapannya itu? Rudi, Dewi dan Suryadi melihat sesosok manusia yang teramat aneh. Postur sangat tinggi dan besar, sama dengan para petinju kelas berat. Bahkan kalau dia masuk tinju kelas berat, posturnya sudah yang terbesar. Wajahnya seperti harimau. Bentuk hidungnya, bibirnya, juga dua gigi gerahamnya yang tajam. Rambut coklat, lebat dan kaku.

Panjangnya sebahu lebih sedikit. Ia mengenakan baju dari kulit harimau. Celananya sedikit di atas lutut, juga dari kulit hewan. Warnanya coklat tua. Lengan kirinya dilapisi gelang dari besi. Demikian pula dengan kelima jarinya yang dibungkus kaos tangan besi.

Selain memakai baju dari kulit harimau atau macan loreng, wajah dan tubuh makhluk ini juga ada sayatan-sayatan hitam. Hal itulah yang membuat dirinya seperti harimau. Ia menggeram-geram, siap memakan korban lagi. Sur, Rudi dan Dewi langsung berdiri berdekatan. Dua pemuda ini menghunus parang mereka, lalu diacungkan ke makhluk aneh itu. Dewi yang ketakutannya memuncak itu nyaris menitikkan air mata. Ia berseru,



“Ya Allah! Apa kiamat sudah dekat?! Makhluk apa dia?!”

Rudi menenangkan. “Tenang Say! Kamu tetap di sampingku!“

Suryadi yang masih melongo, berkata lemah. “Lihat Rud! Dia..setangah macan. Yah..pasti dia manusia harimau itu. Pasti dia yang dipanggil Mbah Poleng!”

Rudi tersentak. Namun karena arogan, ia langsung menutupi rasa takutnya dengan amarah. Ia membentak, “Omong kosong! Manusia harimau itu hanya dongeng! Mbah Poleng itu bukan monster harimau! Dia orang biasa! Aku yakin itu!”

“Lalu siapa dia Say!?” tanya Dewi ketakutan. Suryadi berujar, “Tidak Rud, kamu salah! Mbah Poleng itu sungguhan, dan dialah orangnya!” “Grauungh!!” seru manusia harimau. Auman yang mengagetkan Rudi cs. Mereka melangkah mundur. Dewi yang terus mencengkeram lengan kanan Rudi, berkata, “Dia tangguh sekali! Kita tidak mungkin melawan dia. Mas Sur, kita lari saja!”

“Omong kosong!” bentak Rudi. “Kita sudah tidak mungkin mundur! Apapun yang terjadi, kita harus melawan dia!

“Tapi dia terlalu kuat Rud!”

Rintihan sang pacar itu malah membuat Rudi marah. Ia membentak, “Diam kamu! Huh (mengacungkan senjatanya ke manusia harimau)!

kekuatannya belum terbukti, jadi jangan menganggap dia terlalu kuat. Hai makhluk aneh! Siapapun kamu, aku tidak peduli! Pokoknya sekarang kamu sudah berani mengganggu kami, jadi kamu harus kuberi pelajaran! Huh! awas kalau cewekku ini sampai celaka, kamu tidak bakal hidup! Sekarang kamu mau pergi tidak?!”

Mbah Poleng menggeram. Suryadi yang berdiri di depan Rudi dan Dewi, terus mengacungkan pisau besarnya. Tangan kekarnya bergetar keras, meskipun sudah memegang senjata. Bagaimana tidak? Ia harus berhadapan dengan sosok yang jauh lebih mengerikan dari singa. Kini Mbah Poleng semakin dekat dengan tiga orang ini. Dewi yang ketakutan berat, berkata: “Kita lari saja! Masih ada kesempatan. Ayo Mas Sur! Kita tidak mungkin menghadapi dia!”

Sur yang sebenarnya juga ketakutan itu setuju, namun karena gengsi, ia tidak langsung menerima ajakan Dewi itu. Ia tetap berusaha menguatkan nyalinya. Demikian pula dengan Rudi yang lebih angkuh dari Sur. Ia masih tetap berdiri di situ. Sur yang semakin dekat dengan Mbah Poleng, akhirnya memutuskan untuk duel dengan makhluk itu. Dengan keberanian dipaksakan, Sur memelototi Mbah Poleng, lalu membentak: “Brengsek! Jadi kamu manusia harimau penghuni desa ini?! huh! Kamu sudah membunuh pacarku, calon istriku! kamu…kamu terkutuk! Kamu harus membayar nyawa Rina!”

“Grrrh..!” seru Mbah Poleng yang terus mendesak Suryadi mundur. Rudi yang tidak mau kalah, langsung ikut membentak. “Manusia macan terkutuk! Berani benar kamu membunuh Yoyok, sobatku! Kamu memang ingin mampus ya?! Huh! Ayo brengsek! Kita duel! Bayar nyawa Yoyok dan Rina!” Melihat itu, dada Dewi semakin sesak. Ia menangis sambil menggelengkan kepala. “ Tidak! Jangan! Apa kalian ingin bunuh diri?!”

Rudi yang sudah kesal itu mendorong Dewi ke samping. Tubuh gadis cantik ini hampir menabrak tembok. Sedetik kemudian Mbah Poleng meraung keras. Hatinya berkata, berani sekali dua anak muda ingusan ini menantangnya. Tentu saja ia marah besar. Baginya, Rudi dan Sur hanya makhluk kecil. Suryadi yang sudah tidak punya pilihan, langsung bertindak cepat. Ia kalahkan rasa takutnya dengan marah. Ia berseru sekuat tenaga, “Siluman busuk! Segeralah pergi ke neraka! Rasakan derita cewekku! Hiaaa!!”

Suryadi bergerak maju, lalu membabatkan pisau besarnya ke tubuh Mbah Poleng. Dua tebasan mengenai dada Mbah Poleng cukup telak, namun manusia berkepala harimau ini tidak kesakitan sedikitpun. Tubuhnya hanya bergerak sedikit. Rudi cs melongo. Namun karena sudah dalam keadaan super genting, Suryadi tidak mau melongo terlalu lama. Ia kembali mengirim serangan dengan tenaga yang lebih kuat. Kali ini parangnya menusuk perut Mbah Poleng cukup dalam. Suryadi melotot. Ia seperti menusuk kulit badak, bahkan mungkin lebih keras.

“Apa-apaan ini! hihh ( berusaha menusuk lebih dalam, tapi sudah tidak bisa )! Makhluk apa kamu ini?!”

“Grrr..grrrrh...!”

Dewi berujar, “Ohh..dia benar-benar setan dari neraka!”

Kali ini Suryadi benar-benar sadar. Kemungkinan besar, apa yang dikatakan Dewi itu benar. Makhluk di hadapannya itu memang setan neraka. Sama halnya dengan Rudi. Pemuda ganteng namun sombong ini seperti merasa takut untuk yang pertama kali dalam hidupnya. Suryadi langsung melangkah mundur, meninggalkan pedangnya yang masih menancap di perut Mbah Poleng. Tubuh besar itu hanya berdarah sedikit. Sedetik kemudian, Mbah Poleng mencabut pisau besar itu dari perutnya. Saat mencabut senjata tersebut, ia sedikit meringis. Setelah berhasil mencabut parang itu, ia langsung mematahkannya menjadi dua. Senjata sepanjang 35 cm itu ia jatuhkan ke lantai.

Hening beberapa detik. Rudi, Dewi dan Sur semakin bengong. Sedetik kemudian, tangan kiri Mbah Poleng yang dilapisi gelang dan kaos tangan besi, memukul telak muka Suryadi. Kekasih Rina almarhum ini roboh di lantai. Mulut dan hidungnya berdarah. Rudi yang melihat temannya teraniaya berat, langsung melemparkan parangnya ke Mbah Poleng, namun monster ini menangkisnya dengan tangan kanannya. Kali ini amarahnya benar-benar meledak. Ia mengaum keras. Ia alihkan perhatiannya ke Rudi-Dewi. Melihat Mbah Poleng mendekat, Rudi dan Dewi melangkah mundur. Muka Mbah Poleng memerah, tanda amarahnya sudah sepenuh jiwa raganya. Wajahnya menjadi lebih mengerikan dari harimau sungguhan. Sesaat lagi tubuh besarnya siap menerkam Rudi-Dewi.

Namun mendadak, Suryadi bangkit, lalu mencekik leher Mbah Poleng dengan sisa tenaganya. Ia berteriak, “Cepat kalian pergi! Biar kutahan dia! Cepaat!!”

Rudi dan Dewi kebingungan, namun karena sudah tidak ada pilihan, dua sejoli ini langsung berlari meninggalkan rumah besar tersebut. Mereka sudah tidak peduli dengan barang-barang bawaan mereka yang masih tertinggal di dalam. Untuk saat segenting ini, Rudi dan Dewi hanya mengutamakan keselamatan nyawa mereka. Setelah berada di luar rumah, mereka langsung masuk ke mobil Taft HILINE. Sambil memegang setir, Rudi mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, demikian juga dengan sang kekasih yang duduk di sampingnya. Gadis cantik ini menangis. Dengan rambut acak-acakan, ia berkata, “Siapa dia Rud? Makhluk apa dia?!”

Tanpa menatap Dewi, Rudi menggelengkan kepalanya. “Hanya satu jawabannya. Dia Iblis! Ohh…” diam sejenak, “Sekarang aku benar-benar sadar. Selama ini aku terlalu sombong, terlalu mengutamakan otak. Ohh…makhluk tadi, benar-benar menyadarkan aku, menyadarkan kalau akal kita ini sangat terbatas.“

Dewi menangis. “Oh Rina..sahabatku. Kamu sudah pergi untuk selamanya. Ohh…secepat ini kamu meninggalkan semua orang yang mengasihimu..termasuk aku. Ohh…( air mata semakin deras )”

Rudi berseru, “Brengsek! Benar-benar brengsek! HUH! Ini semua seperti mimpi! Mimpi!” diam sejenak, lalu menatap sang kekasih. “Say..benarkah? benarkah kehadiran makhluk tadi? benarkah sekarang aku tidak sedang mimpi?!”

“Sudahlah, kita tidak usah memusingkan dia! Yang penting sekarang kita pergi dari sini! Ayo cepat!”

Rudi mengangguk. Tanpa pikir panjang lagi, ia langsung menyalakan mesin Taft-nya. Namun baru berjalan beberapa detik, Rudi dan Dewi merasakan mobilnya bergoyang-goyang. Mobil itu berjalan dengan tidak teratur. Ada apa gerangan? Mau tidak mau, Rudi harus menghentikan mobilnya, lalu keluar dari kendaraan tersebut. Setelah melihat apa yang terjadi, jantung Rudi seperti diremas cakar beruang. Pemuda tampan ini melongo beberapa detik. Kedua ban mobilnya yang depan bocor. Yang bagian kanan hanya bocor sedikit, sedangkan yang kiri sangat mengenaskan. Ban itu sudah tidak bocor lagi. Ban itu remuk.

Dengan tubuh selemas orang yang terserang demam berat, Rudi kembali ke mobilnya, lalu menceritakan apa yang terjadi. Tentu saja Dewi tambah stress. Gadis jelita ini merasakan nyawanya sudah berada di tepi jurang kematian. Ia menangis. “Ohh..ya Allah, apa kami memang harus celaka di sini?! Ohh..” diam sejenak. “Terus kita mau pulang naik apa?!”

Rudi yang juga stress berat, hanya bisa memejamkan mata sambil menggelengkan kepala. Karena bingung berat, amarahnya meledak. Keangkuhannya muncul lagi. Ia berteriak. “Kurang ajar! Keparat itu harus kubunuh!”

Diam sejenak. Dua sejoli ini benar-benar sudah terperangkap dalam sarang iblis. Beberapa detik kemudian Rudi tersentak. Ia langsung menelpon Karno, sobatnya, untuk meminta bantuan. Cahaya harapan untuk selamat kembali bersinar di hati Rudi dan Dewi, walaupun cahaya itu hanya setitik. Hening sejenak. Hand Phone Karno terus berdering, namun pemiliknya masih berada di kamar mandi. Sambil menguras bak mandi, Karno menggerutu. “Huh! siapa sih?! Malem-malem. Tumben banget ada yang nelpon jam segini. Huh! pasti pengganggu! hanya mau iseng.”

Tentu saja Rudi cemas berat. Ia berseru, “Ayo angkat! Cepat! Huh! masa’ sudah tidur sih?! Ini kan belum begitu malam. “

Dewi menyambung, “Dia tidak tahu kalau kita lagi setengah mati. Ohh...lalu siapa yang mau nolong kita?!”

Karena Karno tidak mengangkat Hand Phone-nya, Dewi meminta Rudi mengirim SMS saja. Rudi langsung melaksanakan permintaan gadisnya. SMS-pun terkirim. Hening beberapa detik. Rudi dan Dewi benar-benar tegang. Hanya SMS itu satu-satunya harapan bagi mereka untuk bisa keluar dari desa ini dengan selamat. Kini beralih sejenak ke dalam rumah, di mana Suryadi masih mencekik leher Mbah Poleng. Tubuhnya digendong makhluk itu. Ukuran tubuh mereka yang beda jauh, benar-benar seperti seorang gadis dewasa yang sedang menggendong adiknya yang masih balita. Beberapa detik kemudian, Mbah Poleng mencengkeram kedua bahu Sur. Ia membungkuk, lalu membanting Sur ke lantai dengan keras. Suryadi mengerang keras, dan sangat sulit untuk bangkit lagi. Kini Mbah Poleng berdiri di samping Suryadi yang berbaring. Suryadi berkata, “Setan terkutuk! Apa maumu sekarang?! Mau bunuh dua temanku itu? Huh! Omong kosong! Langkahi dulu mayatku!”

“Grrr..grrrh.!” sahut Mbah Poleng. Sedetik kemudian, manusia setengah hewan ini berkata dengan suara berat dan serak. “Lancang sekali kalian! Berani menjamah tempat tinggalku ini! Huh ! apa Darto dan Wandi tidak memperingatkan kalian?! ”

Suryadi terkejut. Dengan kepala setengah diangkat, ia bertutur: “kamu.. kamu bisa bicara? Hah! siapa kamu sebenarnya?!” “Iblis Kidung Angker!!” jawabnya mantap. Sementara itu, Rudi dan Dewi yang masih di dalam mobil, mendengar teriakan Suryadi. Teriakan yang sanggup membelah gunung. Teriakan yang hanya keluar dari mulut manusia yang akan segera kehilangan nyawanya. Mendengar jeritan mengerikan itu, fisik Dewi dan Rudi seperti ikut terluka. Sekarang beralih sejenak ke Karno yang baru keluar dari kamar mandi. Ia melangkah ke HP-nya yang ia taruh di ranjang. Begitu melihat HP itu, pria bertubuh atletis ini melotot. “Ya Allah! Rudi!”

Ia langsung menelpon sobatnya itu. Rudipun menceritakan segalanya. Begitu mendengar segala penjelasan Rudi, Karno semakin terkejut. “Apa?! Rina dan Yoyok meninggal? Sur juga?!”

“Jangan kaget terlalu lama!” sahut Rudi. “Sekarang yang penting kamu segera kirim bantuan! Kami benar-benar terperangkap di sini!” “Oke Rud, oke! Sabar! Bertahanlah!”

Baru saja Rudi menutup HP-nya, kaca mobil di samping kiri Dewi pecah, dan muncullah dua tangan besar yang langsung mencekik kerah baju Dewi. Tangan sebesar kaki pria dewasa itu menarik tubuh Dewi keluar mobil. Dewi menjerit-jerit. Rudi berteriak. Ia langsung turun dari mobil, lalu mengambil pentung kayu di jok kedua. Sambil menggenggam kayu sepanjang 45 cm, tanpa gagangnya, ia dekati Mbah Poleng yang mencekik kerah baju Dewi. Alangkah jauh perbedaan tubuh Mbah Poleng dengan Dewi yang tergolong mungil. Dewi menjerit dan menangis. “Ampun Mbah Poleng! Ampuun!! Rud! Tolong aku! Aku belum siap mati sekarang! Toloong!!”

Rudi pun histeris. Ia acungkan pentungnya ke manusia macan loreng itu. “Keparat! Lepaskan dia! Lepaskan diaa!”

“GRAUUNGH!!” bentak Mbah Poleng. Makhluk kejam ini benar-benar tidak mau mengampuni Dewi. Lihatlah kini, kedua tangannya mencengkeram leher dan kepala Dewi. Tentu saja Rudi semakin histeris. Ia membentak. “Ampuni dia! Lepaskan diaa! Bunuh saja aku! Ayoo!” Mbah Poleng menyahut dengan suara teramat parau, “Nanti, setelah gadismu ini. Grrrh..!”

Rudi melotot. “Kamu…kamu bisa ngomong?” diam sebentar, lalu berseru sambil mengacungkan kayunya ke monster itu; “Siapa kamu sebenarnya?!”

Mbah Poleng hanya menggeram. Dewi semakin tersiksa. Ia menjerit, “Rud! Tolong akuu! Ya Allaah!”

Rudi pun menangis, lalu berkata lembut, “Iya Mbah Poleng, pemilik desa ini. Ampunilah dia, kasihanilah dia. Lihatlah..dia masih polos, masih muda belia. Bunuh saja aku. Atau kalau kamu hanya ingin menyiksa, ya siksalah aku. Cepat!”

“GRAUUNGNGH!!!” setelah itu berujar, “Siapapun yang sudah berani datang ke tempat tinggalku ini, dia harus mati! MATI!”

Setelah berkata begitu, kedua tangan besarnya langsung mematahkan kepala Dewi. Kepala mungil itu miring ke samping kiri. Sedetik

kemudian, tubuh ramping itu roboh di tanah dengan perlahan. Pergi sudah! Gadis cantik ini pergi untuk selamanya. Rudi terlongong-longong. Ditatapnya jasad sang kekasih yang tewas mengenaskan. Beberapa detik kemudian energi besar seperti merambat ke seluruh tubuh Rudi. Energi amarah yang menggelora. Pemuda kurus ini menatap Mbah Poleng dengan tajam. Hati kecilnya tahu, kekuatan monster di hadapannya itu jauh di atasnya, namun semua itu sudah tidak dia pikirkan. Rasa takutnya musnah oleh keinginan untuk membalas kematian pacarnya. Seluruh tubuhnya bergetar, siap meledakkan energi dahsyat. Energi balas dendam.

Melihat sikap Rudi yang teramat berani, Mbah Poleng marah besar. Ia mengaum. Rudi pun mengangkat pentungnya. Sedetik kemudian Rudi berteriak, lalu menyerang Mbah Poleng dengan segenap jiwa-raganya. Hasilnya, sama saja. Rudi berteriak sekeras geledek. Rupanya ia belum tahu, semangat duel saja belum cukup, walaupun semangatnya menggelora bagai deburan ombak. Rudi menjadi lupa, makhluk di hadapannya itu lebih kuat dari banteng. Rudi harus tahu, untuk mengalahkan monster di hadapannya itu, atau minimal bisa mengimbangi kekuatannya, dibutuhkan sepuluh kali kekuatan dirinya.

Mbah Poleng mengaum sekeras-kerasnya. Auman macan itu menggetarkan seluruh pelosok Kidung Angker. Auman itu bermakna, dialah penguasa desa ini! dialah pemilik desa ini! dia paling benci kalau desanya ini dijamah orang, walaupun orang itu tidak berniat jahat, tidak ingin membuat onar di desa Kidung Angker ini. Tidak peduli siapa orangnya, pokoknya dia sudah teramat lancang. Dengan demikian, dia harus dihabisi! Tamat sudah riwayat lima sekawan muda ini. Rudi, Suryadi, Dewi, Rina dan Yoyok. Niat mereka yang tadi hanya iseng, hanya ingin berlibur dan jalan-jalan, ternyata malah berakibat fatal. Inginnya senang-senang, namun mautlah yang mereka raih.

Setelah monster harimau itu pergi, muncullah dua orang dari balik pohon yang berada sekitar 12 meter dari tempat Rudi dan Dewi binasa. Salah satu dari orang itu Darto, pria yang tadi menunjukkan jalan pada Rudi cs. Sedangkan pria di samping kirinya sudah cukup tua, namun tubuhnya masih bagus. Dada tegap, perut belum buncit. Postur tidak tinggi tidak pendek. Usianya kepala lima, bahkan mendekati enam puluh. Ia menatap kejadian mengerikan itu dengan tajam. Tanpa menatap Darto, ia berkata, “Anak-anak muda tolol! Tidak pernah mau menggubris peringatan.“ “Huh! Diperingatkan juga tidak ada gunanya..” jawab Darto. “Bocah-bocah tolol itu tidak bakal percaya! Huh (melangkah pergi)! Aku sudah capek! Sekarang Pak Wandi saja yang memperingatkan, kalau nanti atau besok ada yang ke sini lagi.”

Darto melangkah pergi. Sedangkan Wandi, masih menatap ke arah Mbah Poleng pergi. Dengan menahan emosi, Wandi berkata tenang namun tegas, “Wantoro brengsek..kamu sudah lupa segalanya. Kamu benar-benar sudah jadi iblis terkutuk.“ diam sebentar, “Baiklah keparat! Teruskan saja kekejamanmu. Kami yang teraniaya ini akan berdoa, semoga Allah segera mengazabmu. Ingat! Doa orang yang teraniaya itu sangat mustajab. 95% pasti terkabul. Camkan itu, terkutuk!”

Sementara itu, Karno yang masih terus menelpon HP Rudi, cemas bukan main. Dari tadi belum ada jawaban. Kini lihatlah keadaan orang yang ditelpon Karno. Rudi berbaring di dekat mobilnya. Muka dan tubuhnya banjir darah. Dengan sisa tenaga yang masih ada, Rudi mencoba memungut Hand Phone-nya yang tergeletak di tanah. HP itu berada sekitar 1 meter di sampingnya. Tangan kanannya berusaha sekuat tenaga, dan akhirnya berhasil. Dengan suara teramat lemah, ia jawab telpon dari Karno itu. Karno tersentak, “Rud! Kamu kenapa? Ada apa?!“

Sambil menahan sakit yang teramat pedih, Rudi berkata lemah, “Kar..kamu sobat terbaikku..di dunia ini. Selamat tinggal!” Kepala Rudi terkulai, seiring dengan matanya yang terpejam rapat. Hand Phone masih berada di tapak kirinya. Karno berseru; “Rud! Rudii! Rud! Rudiii!!”

Seruan itu hanya menerpa angin. Karno yang lemas ini akhirnya hanya mampu berkata, “Innaa lillaahi wa inaa ilaihi raaji’uun. Kita milik Allah, dan hanya kepadaNya kita akan kembali kelak.“

*****

0 comments:

Post a Comment

 
;