Sunday 15 September 2013

New Mbah Poleng "Manusia Harimau" ; Bagian Dua

Bagian Dua

“Apa?! Rudi dan Dewi meninggal?!” ujar seorang gadis cantik yang sedang menempelkan telpon di telinga kirinya. Usianya 20-21 tahun. Rambut ngombak sebahu. Dengan wajah teramat lesu, Karno mengangguk. Ia jelaskan semuanya. Tentu saja si gadis semakin terkejut. Ia bertanya, “Siapa yang sudah membunuh mereka?”

“Itulah yang harus kucari tahu. Ehm..ya sudah, kita bahas nanti. Bye!”


“Jangan terburu-buru lho Mas!” sahut si gadis cantik. Ia menutup telponnya. Dengan wajah sedih, ia tengadahkan kedua tapak tangannya ke atas, lalu berkata lirih, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa dua sobatku, Rina dan Dewi. Terimalah segala kebaikan mereka, walau hanya secuil. Tiada Tuhan selain Engkau, Zat Yang Maha Pengampun.”

Kini beralih ke Karno yang masih termenung di kamarnya. Beberapa detik kemudian HP-nya berbunyi. Ia mendapat telpon dari seorang pemuda berusia sebaya Suryadi almarhum, sedikit lebih muda dari dia. Pemuda itu tampak terkejut sekali. Rupanya ia juga sudah mendengar berita kematian Yoyok, Rina, Suryadi, Rudi dan sang pacar, Dewi. Kini ia dan Karno membahas kematian sobat-sobat mereka. Karno menjelaskan, hari ini hari bahagianya Ratna, kekasihnya yang baru saja ia telpon tadi. Dengan demikian, ia tetap akan berusaha untuk tidak merusak keindahan hari ini.

Gangguan sebesar apapun, termasuk berita tragis tentang meninggalnya Rudi cs, tidak boleh sampai merusak kebahagiaannya, apalagi kebahagiaan Ratna.

Hari ini keluarga Ratna sedang mendapat rejeki melimpah. Nanti sore Ratna mengundang kawan-kawan baiknya ke rumahnya. Karno berkata, “Pastinya aku nggak tahu Yu, tapi yang jelas, mereka dibunuh macan.“

Wahyu terkejut. “Apa?! Macan?!”

“Yah, mungkin pembunuhnya punya macan.“

“Lalu Mbah Poleng itu, gimana?”

“Aku belum tahu siapa dia. Ya sudah, kita sambung nanti sore. Awas kalau kamu tidak datang. Kupastikan kamu celaka.”

Wahyu tersenyum. “Oke boss, don’t worry.“

Sore harinya, Karno mendatangi rumah Ratna dengan motor bebek Yamaha-nya. Rumah kekasihnya itu tidak besar tapi mewah. Begitu Karno masuk ke ruang tamu rumah itu, ia terkejut. Di ruang tamu sudah ada seorang pemuda berkulit coklat tua. Ia langsung mendekati Karno yang berdiri di pintu. Usianya sedikit di bawah Karno. Postur agak pendek menurut ukuran pria, namun badannya sangat padat. Ia langsung bersalaman ala panco dengan Karno. Karno berkata, “Sompret lo! Pantas, kutelpon berkali-kali tidak diangkat. Berani banget mendahului aku ke sini.“

Pemuda itu tersenyum, “Dia baru cewekmu, belum calon istrimu.“

“Eit, siapa bilang? Dia sudah jadi calonku.“

“Oh ya?”

Karno tersenyum. “Yah..Insya Allah. Doakan saja. Setelah dapat kerjaan tetap, dia langsung kulamar.”

Sesaat kemudian, muncullah seorang perempuan STW (setengah tuwo). Usianya kurang lebih 35 tahun. Wajah lumayan cantik, postur pendek dan agak gemuk. Setelah meletakkan hidangan di meja, ia tersenyum. “Silahkan Mas Aan, Mas Karno.”

“Makasih Mbak Minah,“ sahut dua pemuda ini. Sesaat kemudian mereka menyantap hidangan sambil membahas masalah serius. Apalagi kalau bukan kematian Rudi cs yang mengenaskan. Sambil mengunyah kue, Aan bertanya, “Jadi Mbah Poleng itu yang sudah menghabisi sobat-sobat kita?“

Karno menggelengkan kepala. “Aku belum tahu. Tapi yang jelas dia sangat tangguh. Aku bisa merasakan itu.”

Hening sebentar, lalu Aan bertanya, “Kamu benar-benar mau ke Kidung Angker?”

Karno mengangguk. Aan bertanya lagi, “Eh, Wahyu mana? Kukira tadi sama kamu.”

“Paling sebentar lagi. Mahmud dan Jono juga belum nongol.”

“Paling sebentar lagi. Jagoan kita itu selalu menepati janjinya.“

“Mudah-mudahan, Insya Allah.” Diam sebentar, setelah itu tersenyum. “Mahmud belum punya cewek lagi ya?”

“Ya belumlah, dia masih patah hati sama Rusti.”

“Ha haa! Mahmud. Kasihan juga dia. Patah hati memang berat. Apalagi kalau cintanya sudah serius.”

“Padahal bisa saja kalau dia mau segera dapat ganti. Ha haa! Tapi dia memang jempolan. Tabah sekali.”

Karno tersenyum. “Itulah yang kusuka dari dia.“

Sesaat kemudian datanglah Wahyu. Sore ini ia terlihat sangat rapi. Ia seorang pemuda berwajah lumayan tampan, seperti Karno. Posturnya indah. Tinggi sedang, sedikit lebih pendek dari Karno. Badan juga sedang, tidak gemuk tidak kurus. Ia langsung ikut ngobrol. Kehadirannya membuat suasana semakin marak. Kini ada tiga pemuda yang berada di ruangan mewah itu. Selang lima menit kemudian, datanglah dua pria yang mereka tunggu. Jono dan Mahmud.

Jono, seorang pria sebaya Karno. Bentuk badannya juga mirip, tapi agak kurus. Sedangkan Mahmud, pria yang tadi dikatakan jagoan, berusia 27 tahunan. Dari lima pemuda ini, dialah yang paling tua. Wajah cukup keren, tapi tidak setampan Karno. Bentuk badannya juga mirip, tapi lebih gagah karena lebih besar. Dadanya lebih tegap dan lebih lebar dari Karno. Setelah pada saling menyapa, lima lelaki ini kembali melanjutkan perbincangan mereka yang semakin serius. Dari mereka semua, Jono-lah yang terlihat paling sedikit bicara. Pria kurus namun kekar ini agak pendiam dan jarang bercanda.

Beberapa menit kemudian muncullah sang tuan rumah. Seorang gadis jelita berparas ramping dan agak mungil. Postur sedang menurut ukuran wanita Indonesia, tapi terlihat agak tinggi karena badannya yang sangat langsing. Kulit sawo matang, tapi lebih banyak terangnya. Dialah Ratna, kekasih Karno. Sore ini ia terlihat seperti bidadari dari surga firdaus. Ia memakai baju hijau tua lengan pendek dan celana kombor coklat tanggung. Rambut ngombak-nya dibiarkan terurai. Ia langsung duduk di samping Karno. Melihat gadis cantik itu, Wahyu tersenyum gembira. Gumamnya, “Busyeet! Tambah cantik saja dia. Cantik banget! Huh! Karno bisa bikin cemburu seratus lelaki ganteng dan kaya.”

Ratna tersenyum manis. “Apa kabar semuanya?”

“Baik sekali!” sahut semuanya. Seusai Maghrib, acara makan bersama dimulai. Ratna dan Karno mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada semuanya. Dua sejoli ini menjelaskan, kematian Rudi, Dewi, Yoyok, Sur dan Rina, memang menjadi hal serius bagi Karno cs, namun hal itu jangan sampai mengganggu acara mereka yang meriah ini. Jangan sampai kepergian lima sobat mereka itu sampai mengurangi, apalagi menghilangkan kebahagiaan Ratna malam ini. Karno tersenyum gembira. “Nah sobat-sobatku, sebagai tanda terima kasih Ratna, silahkan kalian menikmati hidangan lezat ini. Silahkan menikmati sepuasnya.“

Ratna menyambung, “Jangan malu-malu, habiskan semuanya. Ayo Mas Wahyu, Mas Jon, Mas Mahmud. Juga kamu Toy ( menatap Aan )!”

Aan menyahut, “Beres cantik! demi kamu.”

Setelah perut pada kenyang, Karno kembali membahas masalah mereka yang maha penting. Karno memutuskan untuk pergi ke desa Kidung Angker, desa terpencil di ujung barat pulau Jawa. Ia sangat berterima kasih kepada semua temannya yang bersedia menemaninya. Ratna menatap Karno dengan wajah penuh kasih, lalu bertanya, “Kamu benar-benar ingin ke sana Mas?”

Karno mengangguk mantap. “Aku ngerti, kalian tidak suka sama Rudi. Yah..itu wajar, soalnya aku sendiri juga begitu.“ diam sebentar. “Akhir-akhir ini hubungan kami semakin renggang. Bagiku, dan mungkin juga bagi kalian, dia agak menyebalkan.“

“Bukan agak lagi No!” sambung Jono serius. “Sangat menyebalkan! Huh! angkuhnya itu lho..juga sumbarnya yang selangit.”

Karno tersenyum, “Itu kenyataan. Dia memang seperti itu. Tapi…apapun yang sudah terjadi…dia termasuk teman baikku, sahabatku, di samping kalian. Makanya, aku ingin melihat dia sekali lagi, melihat dia untuk yang terakhir kalinya. Caranya, ya harus kutemukan jasadnya.“ “Tapi ada satu masalah lagi,” ujar Mahmud. “Triyono dkk mau ikut.”

Semua tersentak, kecuali Karno. Wahyu berkata dengan agak emosi, “Wah, dia bisa mengacau acara kita. Huh! dia pikir ekspedisi kita ini hanya main-main.“

“Itulah dia,” ujar Mahmud lagi, “dia suka membuat masalah penting menjadi hiburan, mainan.”

“Berarti Parjo dan Wawan juga ikut,“ sambung Aan. “Si Ambon menyebalkan itu pasti juga tidak mau ketinggalan.”

Jono tersenyum, “Maksudmu, si Darkan?”

“Ya siapa lagi!?”

“Mereka bertujuh,” kata Mahmud. “Dan kemungkinan besar, Tri juga mau membawa bius macan.”

Aan menjadi agak kesal. ”Huh! memang dia sudah tahu kemampuan pembunuh Rudi itu?!”

Wahyu menyahut, “Ya biasalah, si sombong itu cuma mau pamer, mau jadi jagoan. Huh! semakin menyebalkan saja dia.”

Karno tersenyum. “Hei-hei, kalian kenapa sih? Tenang dululah, tidak perlu mencemaskan Tri dan konco-konconya. Kita harus sabar, mengalah. Biarkan saja mereka ikut. Kita biarkan dulu mereka berbuat sesuka mereka, yang penting kita tidak tergganggu. Aku malah ingin melihat kemampuan Tri. Kita buktikan, kemampuannya sebesar omongannya atau tidak. Ah sudahlah, pokoknya kita tetap harus tenang. Jangan sampai Tri merusak acara indah kita ini.“

“Tepat sekali,” sahut Mahmud tersenyum. “Kalau kita jadi bingung, gelisah, berarti kita sudah menunjukkan kelemahan kita. Nanti brengsek itu malah senang sekali. Makanya, kita tetap harus tenang.” Diam sebentar, lalu tersenyum gembira. “Sudah ah, tidak usah terlalu dipusingkan. Insya Allah, Tri cs masih bisa kita atasi. Sekarang kita lanjutkan saja menyantap hidangan lezat ini.”

Setelah malam semakin larut, Karno menutup acara indah ini. Ia dan empat kawannya memohon diri pada Ratna. Ratna tersenyum gembira, “Makasih banyak teman-teman baikku. Kita ketemu lagi besok minggu.“

Karno tersenyum, lalu mendekati kekasihnya sambil menunggang motor bebeknya. “Aku pulang dulu ya Say. Semoga kamu bisa terus bahagia seperti ini.”

Karno dan Ratna berjabat tangan erat, lalu Ratna mencium tangan sang pacar. Minggu paginya, rumah Ratna sudah ramai lagi. Di depan rumah itu sudah ada mobil Kijang kelabu model baru. Mobil itu milik Mahmud. Mobil itulah yang akan membawa Karno cs ke desa Kidung Angker, desa terpencil di ujung barat pulau Jawa. Kini Karno, Mahmud, Jono, Wahyu dan Aan berdiri di samping kijang kelabu tersebut. Mereka sedang membahas ekspedisi mereka yang cukup berbahaya. Sesaat kemudian Karno menatap arlojinya. Waktu menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Karno berseru, “Oke Guy’s! lima menit lagi. Mud! Kamu pegang mobilmu sendiri? “

Mahmud mengangguk. “Insya Allah. Nanti gantian sama Jono.“

Karno tersenyum. “Sama aku juga bisa.”

Setelah semuanya pada siap, dari arah belakang mobil Kijang, datanglah mobil besar warna coklat tua. Rupanya itu Triyono dan keenam kawannya. Ia duduk di depan, di samping kawannya yang memegang setir. Begitu melihat kehadiran mereka, perut Aan, Wahyu dan Jono terasa mual. Aan berkata lirih, “Pengganggu datang.”

Namun untunglah, Mahmud langsung menenangkan mereka. Triyono tersenyum gembira, lalu turun dari mobil. Enam kawannya pun menyusul. Sambil mendekati Mahmud cs, tujuh orang berusia sebaya itu bicara dan tertawa keras. Triyono yang tampak memimpin keenam kawannya itu berkata, “Wah, wah, kalian sudah siap tempur. Benar-benar disiplin ya?”

“Disiplin kunci keberhasilan,” sahut Wahyu yang sudah terlihat tenang. Triyono mendekati Karno dan Mahmud, lalu bersalaman ala panco. Ia berkata, “Apa kabar Boy? Makin ganteng aja kamu. Hih, cewekmu juga makin cantik. Apa kabar Ratna?”

Ratna tersenyum manis, “Baik sekali Mas. Mas Tri juga sehat-sehat kan?”

“Seperti yang Ratna lihat.”

Karno tersenyum. “Kamu sendiri makin kekar. Gimana bisnis ikannya? Masih jalan? “

“Ya jelaslah, sekarang semakin besar. Hah! Aku kan pekerja keras, jadi selalu berhasil. “

“Wah, hebat. Selamat ya? Tanpa kehadiran kalian, ekspedisi kita ini terasa hambar. ”

“Makanya kita ikut!” sahut pria besar yang tadi memegang setir. Mahmud berkata, “Keahlianmu memang menyemarakkan suasana.“ Triyono tersenyum angkuh. “Itulah Triyono. Di mana ada Tri, di situ ada kehebohan. “

“Sombong banget!” sahut Jono lirih. Ia berdiri berdekatan dengan Aan dan Wahyu. Melihat itu, Wahyu tersenyum, “Tenanglah, sabar. Dia akan hancur oleh kesombongannya sendiri. Lihat saja nanti.”

Triyono, seorang pria berusia dewasa. Kira-kira sebaya Mahmud, sekitar 27 tahun. Wajahnya tidak tampan tidak jelek. Wajahnya terlihat garang dan ambisius. Postur tinggi kekar, sedikit lebih tinggi dari Mahmud dan Karno. Demikian pula dengan keenam kawannya. Parjo, Wawan, Darkan, pemuda hitam berambut keriting, asli Ambon, Hendik, Mardi dan Ajun. Semuanya gagah. Hanya Ajun dan Mardi yang badannya agak kecil dan tidak tinggi, tapi juga tidak pendek.

Parjo, Wawan dan Darkan memiliki postur yang bentuknya hampir sama. Sedangkan Hendik, bertubuh tinggi besar seperti pegulat. Tingginya sedikit di atas Triyono. Sesaat kemudian, Karno memutuskan untuk segera berangkat. Tri berkata, “Huh! aku semakin penasaran sama pembunuh Rudi itu. Seperti apa dia!”

“Mbah Poleng itu?” tanya Wawan, “Yang katanya manusia macan..”

“Ngomong kosong apa kamu?!” potong Darkan, si Ambon angkuh. “Pagi-pagi sudah membual!”

Wawan tersenyum. “Ya dengar-dengar begitu kok.”

Hendik menyambung, “Kalau manusia harimau gadungan, baru aku percaya.”

Mendengar celotehan-celotehan itu, Tri menjadi agak marah. “Huh! aku tidak peduli siapa dia! Pokoknya kalau dia berani mengganggu kita, dia harus kubunuh!” diam sebentar, lalu berseru: “Ya sudah yuk, kita berangkat! ayo Kar! An! Kalau kalian bukan penunjuk jalan, kami sudah berjalan di depan kalian.”

Mahmud tersenyum, “Oke semuanya! Kita berangkat!”

Setelah berpamitan pada orang tua Ratna, Karno dan yang lain masuk ke mobil Kijang. Karno duduk di jok kedua atau jok tengah, didampingi sang kekasih. Aan dan Wahyu di jok ketiga atau jok terakhir. Sedangkan Mahmud dan Jono di jok pertama. Mahmud memegang sendiri setir mobilnya. Sesaat kemudian, dua mobil besar ini berangkat. Mau tidak mau, Land Cruiser Tri harus berjalan menguntil Kijang kelabu ini. Perjalanan panjang pun dimulai. Karno akan menempuh misi berbahaya. Setelah menempuh perjalanan sehari, tibalah dua mobil ini di tempat yang sudah cukup jauh dari kota. Kini mereka berjalan di alam raya. Selama berjalan, Aan dan Wahyu terus menggunjing Triyono dan konco-konconya. Enam sekawan ini memang tidak suka pada pria arogan itu, namun yang terlihat paling benci hanya Aan dan Wahyu. Karno yang mendengar gunjingan itu, hanya tersenyum.

“Sudahlah Cah, jangan terlalu dipusingkan. Benar sekali kata Mahmud kemarin. Kalau kalian kesal, apalagi sampai marah, nanti dia malah senang sekali. Dengan marah, berarti kita sudah menunjukkan kelemahan kita. Yah…sekarang ini kita memang harus kuat-kuatan mental.“ Mahmud yang memegang setir, menyambung, “Tunjukkan kalau kalian juga cowok-cowok bermental baja.“

Sementara itu, di dalam mobil besar coklat tua, keadaannya juga sama. Tujuh orang ini juga menggunjing Karno cs. Rupanya dua kelompok ini sama-sama menggunjing. Mereka merasa terhina karena harus berjalan di belakang mobil Mahmud. Mereka menganggap, ekspedisi berbahaya ini milik mereka. Bagi Tri cs, Karno tidak becus mengemban misi penting ini. Karno dianggap lemah dan tidak akan bisa menemukan atau menangkap pembunuh Yoyok, Rudi dan Dewi, apalagi sampai menaklukkan sosok misterius itu. Parjo berkata, “Niat mereka ingin mencari pembunuh Rudi, tapi nanti malah ikut terbunuh. Ha haa!”

Wawan menyambung, “Tapi kenapa sekarang mereka di depan kita? Apa mereka belum tahu ketangguhan kita? Huh! sok mimpin!” Darkan menyambung, “Ini kesempatan emas untuk menunjukkan kemampuan kita yang sesungguhnya. Huh! biar melotot mata lelaki sok ganteng itu.”

Mardi yang duduk di jok paling belakang bersama Ajun, juga mulai marah. Ia menyambung, “Jangan lupa juga si Mahmud! Huh! dia malah lebih kubenci dari Karno. Bahkan dialah yang paling kubenci dari semuanya. Huh! sok jagoannya itu lho! Menyebalkan sekali!”

Tri yang duduk di samping Hendik yang mengemudi, tersenyum. “Hei-hei, kalian ini kenapa sih?! Kok malah pada kalang kabut? Tenang sajalah, seperti biasanya. Sekarang kalian di bawah bimbinganku. Selama ada Triyono, tidak ada yang perlu dicemaskan. Cecunguk-cecunguk itu bukan tandingan kita. Mereka terlalu lemah untuk bersaing sama kita. Lihat saja nanti. Kalau pembunuh Rudi itu benar-benar tangguh, mereka pasti langsung mampus.“ diam sebentar, “Huh! Hanya kita yang bisa mengatasi masalah-masalah berat.”

“Boss betul sekali!” sahut Hendik. “Sudahlah Men! Sekarang kita nikmati saja pemandangan ini ( menatap sawah, ladang dan bebukitan ).” Beberapa jam kemudian, Kijang kelabu dan Land Cruiser ini benar-benar sudah berada di alam raya. Tidak ada lagi pemandangan buatan semacam gedung-gedung tinggi, kantor atau toko. Mereka seperti kembali ke jaman purbakala. Ratna berkata, “Masya Allah, ini benar-benar negeri antah berantah. Hih..aku merasa datang ke alam lain.“

“Iya nih,” sambung Aan, “Kita menemukan dunia hilang. Kupikir tempat-tempat terpencil hanya di luar Jawa. Hah..untuk pertama kalinya aku sampai ke tempat sesepi ini.”

“Dasar orang kota!” sahut Karno. Mahmud meyambung, “Tapi Rudi memang hebat. Anak kota dan elit seperti dia mau sampai sini, hanya untuk membuktikan mitos manusia macan itu.“

“Oh tidak,” sahut Karno. “Dia ke sini cuma mampir. Manusia macan itu hanya dia jadikan selingan. Dia sendiri tidak percaya kok.“

“Pada awalnya..” sahut Aan. “ Tapi akhirnya, dia meninggal oleh sesuatu yang disangkalnya. Hah! Panggilannya apa Kar? Mbah siapa?“



“Mbah Poleng.”

Wahyu bertanya, “Apa memang dia yang sudah membunuh Rudi dan Sur? Apa kita sudah yakin?”

Hening sejenak. Pertanyaan itu membuat semuanya termenung. Beberapa detik kemudian Karno menjawab, “Itu yang harus kita cari tahu, tapi itu hanya tujuan kedua. Tujuan utamaku hanya mencari jasad mereka. Yah…aku benar-benar ingin melihat mereka sekali lagi.“

“Walaupun sudah jadi mayat?” tanya Ratna. Karno mengangguk. Ratna berujar. “Kamu benar Mas. Walaupun tinggal jasad, aku juga ingin melihat Rina dan Dewi.” Diam sejenak. Ratna menjadi agak sedih. Ia berkata lagi, “Aku kangen berat sama mereka.”

Melihat Ratna bersedih, Karno langsung membelai rambutnya, lalu berkata lembut, “Ikhlaskan kepergian mereka ya?”

Ratna mengangguk, lalu tersenyum manis. Beberapa saat kemudian Kijang kelabu ini berhenti. Rupanya Mahmud sudah lelah nyetir, dan meminta Jono untuk menggantikannya. Jono yang pendiam itu langsung sendhika dawuh, melaksanakan perintah. Kini gantian Mahmud yang duduk di samping kiri Jono. Lima menit kemudian, Tri menelpon Karno dengan HP-nya. Ia hanya menanyakan, berapa lama lagi mereka harus berjalan. Karno tersenyum, lalu menjelaskan kalau perjalanan mereka kurang lebih 7 km lagi. Triyono yang sudah lelah itu berkata, “Pastikan kita tidak tersesat lho Kar!”

“Insya Allah Tri, aku juga hanya mengikuti peta yang diberi Rudi.“

Setelah Karno menutup Hand Phone-nya, Wahyu berkata, “Katanya jagoan, tapi sekarang sudah capek. Huh! “

Karno tersenyum, “Jagoan membual.“

“Omongannya saja yang selangit,” sambung Mahmud. “Kalau ada lomba omong besar, Tri sudah juara.” Beberapa saat kemudian Karno mulai kebingungan. Ia merasa harus bertanya pada orang. Sekarang dua mobil ini berjalan pelan. Wahyu berkata, “Di sini mana ada orang?” “Ya adalah,” sahut Karno. “Memang siapa yang sudah membimbing Rudi ke Kidung Angker?”

Wahyu menoleh ke kanan-kiri, melihat pohon-pohon besar dan semak belukar yang semakin lebat. Tuturnya, “Hampir tidak ada nafas kehidupan. Hah..bisa-bisanya kita sampai sini. Kurang kerjaan juga ya?”

Mahmud tersenyum. “Hanya motivasi kuat yang bisa mengantar kita ke sini.”

Beberapa menit kemudian, Mahmud dkk melihat empat pria yang sedang bekerja di ladang. Yang tiga masih muda. Usia di bawah tiga puluh, yang satu lagi sudah cukup tua. Usianya sudah lima puluh lebih, tapi badannya masih bagus, bahkan cukup kekar. Dada tidak lebar tapi tegap. Perut belum buncit. Otot-otot dan urat di tangannya terlihat jelas. Yak! Siapa lagi dia kalau bukan Wandi. Ia menatap kedatangan rombongan pemuda itu dengan tajam. Ketika Mahmud dkk mendekati Wandi, pria ini berkata, “Kalian mau ke Kidung Angker?”

Mahmud dan Karno saling menatap. Mereka langsung memperkenalkan diri. Percakapan pun terjadi, dan akhirnya Wandi hanya menunjukkan jalan menuju desa Kidung Angker. Setelah itu Wandi dan ketiga temannya meminta ijin untuk kembali bekerja. Namun karena penasaran, Karno memberanikan diri untuk bertanya. “Mungkin Bapak bisa menjelaskan sedikit tentang Mbah Poleng.”

Wandi tersenyum dingin. “Tadi katanya cuma ingin mencari jasad teman kalian, sekarang tambah tanya soal keparat itu. Huh! kalau dituruti, kalian akan terus bertanya. Nanti kalian akan tanya ini-itu.”

Mendengar penjelasan itu, Mahmud, Karno dan Wahyu menjadi malu. Kalau mau jujur, omongan Wandi itu memang benar belaka. Lima sekawan ini menjadi kikuk. Hanya Tri dan enam kawannya yang tetap membusungkan dada, menunjukkan kesombongan mereka. Hening sejenak. Mahmud mendekati Wandi, lalu berkata lembut. “Tujuan utama kami memang hanya itu..tapi apa salah kalau kami tahu sedikit-sedikit tentang Mbah Poleng. Apa kerugian Pak Wandi kalau Bapak menceritakan dia? Kami mohon kemurahan hati Bapak untuk bersedia menceritakan Mbah Poleng, sedikit saja.“

“Iya Pak,” sambung Karno. “Langsung intinya saja. Kita hanya ingin tahu siapa dia, asal-usulnya. ”

Wandi menatap semuanya dengan tajam. Wajahnya netral, tidak marah tidak senang. Sesaat kemudian, bapak-bapak yang masih kekar ini mengangguk. “Mbah Poleng itu bekas ilmuwan alam yang sangat hebat. Dia mantan fisikawan dan biokimiawan.”

Semuanya tersentak, kecuali Triyono, Parjo, Wawan, Hendik, Darkan, Mardi dan Ajun. Tujuh pria ini tetap menyombongkan diri. Wandi melanjutkan, “Nama aslinya Wanto, Wantoro. Gara-gara kesombongannya, juga karena ilmunya yang terlalu tinggi, dia menjadi monster. Manusia harimau.“

Tri menyambung, “Lebih tepat lagi orang gila, atau maniak yang memakai kostum macan. Hua ha haa!!”

Tawa binal itu disambut keenam kawannya. Suara tawa tujuh orang ini lebih jelek dari suara himar (keledai). Tentu saja Wandi langsung naik pitam. Ia membentak, “Aku serius anak muda! Jangan main-main! Mbah Poleng itu ada, dan dia benar-benar siluman!”

“Aku juga serius Pak tua!” bentak Tri yang juga marah. “Triyono tidak punya waktu untuk main-main! Siapapun yang berani mempermainkan aku, dia pasti mampus! Huhh! Jaman sudah maju begini, masih juga membahas hantu! Huh! akan kubongkar legenda manusia harimau itu, biar kehidupan di sini bisa tentram lagi. Akan kuhancurkan dongeng mistik yang sudah memperbodoh bangsa! Dongeng yang sudah membuat bangsa ini tidak maju-maju!”

Karno menyentak, “ Tri, sabarlah!”

Mahmud mendekati Tri, lalu berkata lirih. “Sabarlah sedikit. Cobalah mengalah sama orang tua.“

Tri yang sudah marah itu menunjuk muka Wandi. “Huh! dia yang memulai! Seharusnya dia yang ngalah sama anak muda! Huh! dasar orang tua tak tahu diri!”

“Apa katamu?!” seru pemuda teman Wandi. “Lancang sekali mulutmu! Pak Wandi ini sudah termasuk orang penting di desa Jati Wangi ini!”

Hendik yang juga sudah emosi, berseru, “Orang-orang bodoh seperti kalian sama sekali tidak tahu iptek! Jadi wajar kalau kalian masih menjunjung tinggi klenik!”

Tentu saja amarah pemuda itu semakin meledak. “Apa katamu (merangsek ke Hendik dan Tri)?!”

Namun Wandi dan kedua temannya langsung mencegahnya. Wandi memelototi pemuda kekar itu, lalu berkata lirih. “Ngapain kamu meladeni orang-orang bodoh ini?! Sudahlah, tidak usah ikut-ikutan! Biar kuurus sendiri!”

Setelah keributan berhasil dihentikan, Wandi mendekati Tri dengan langkah pelan, lalu berkata lembut namun tegas. “Silahkan kalian pergi ke desa Kidung Angker. Pergilah sekarang juga. Berbuatlah sepuas hati kalian.”

Tri tersenyum mengejek, “Untung ada kamu. Huh! kalau tidak, keparat itu (menunjuk pemuda yang tadi ) sudah kupatahkan lehernya.“ Setelah Tri dan enam anak buahnya meninggalkan Wandi dan semuanya, Mahmud bertanya, “Kalian duluan?”

Tri mengangguk. “Kami sudah tahu jalannya. Saranku, kalian jangan terlalu lama menemani orang-orang bodoh ini.“

Alangkah menghinanya kata-kata itu, namun untunglah, Wandi dan ketiga teman mudanya sudah tegar. Wandi hanya menatap Tri dengan tajam, setelah itu tidak terjadi apa-apa lagi. Sesudah mobil Land Cruiser itu pergi, Mahmud dan Karno memohon maaf yang sebesar-besarnya pada Wandi. Pria tua yang badannya masih cukup berotot ini hanya tersenyum. “Yang penting kalian tidak seperti mereka. Ya sudah, silahkan susul mereka. Aku hanya bisa memberi saran, begitu kalian menemukan jasad teman-teman kalian, segeralah pergi dari sana. Pergilah secepat mungkin, dan jangan pernah kembali lagi.”

Mahmud cs tersenyum, lalu berjabat tangan dengan Wandi dan tiga pemuda itu. Mobil Kijang kelabu kembali berjalan. Wandi dan tiga kawannya menatap kepergian mobil itu. Pemuda yang tadi hampir ribut dengan Tri dan Hendik, berkata, “kasihan orang-orang itu. Desa Kidung Angker memang indah, memang enak untuk dijadikan tempat liburan, tapi mereka tidak menyadari bahaya besar di balik keindahannya. Huh! Dasar budak nafsu!”

Wandi tersenyum sinis. “Tapi lima pemuda itu masih lebih baik dari Triyono dkk. Mudah-mudahan Allah masih mau menyelamatkan mereka.“


*****

0 comments:

Post a Comment

 
;