Tuesday 17 September 2013

New Mbah Poleng "Manusia Harimau" ; Bagian Empat

Bagian Empat

Pagi yang cerah telah tiba. Keindahan Kidung Angker dapat dilihat lagi oleh Karno cs. Aan memohon diri untuk buang air kecil. Ia lihat keadaan WC rumah itu. WC yang sebenarnya cukup besar, namun sudah seperti sarang setan. Maklum saja, sudah bertahun-tahun tidak ada yang merawat. Aan terpaksa kencing sambil menutup hidungnya. Setelah selesai membuang air seni, Aan tidak ingin langsung kembali ke ruang dalam. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan, sekaligus
meninjau keadaan. Dengan membawa pedang sepanjang hampir 50 cm, tanpa gagangnya, Aan berjalan memasuki hutan. Langit masih agak gelap. Hawa dingin membuat Aan menggigil, namun itu tidak membuatnya berhenti berjalan. Ia terus melangkah ke semak belukar lebat. Karena terlalu asyik menikmati pemandangan Aan menjadi lupa kalau dia sudah berada cukup jauh dari teman-temannya yang berada di rumah.

Sambil terus berjalan Aan bergumam, “Gila benar tempat ini. Subhanallah. Indah sekali. Dan Penciptanya jauh lebih indah.” diam sebentar. “Tapi yang sulit kupercaya, tempat ini dulunya desa. Desa Kidung Angker. Berarti di sini pernah ada kehidupan. Tapi kenapa sekarang jadi desa mati? Jadi kuburan raksasa. Hah! Kalau sekarang, secuil tanda kehidupan pun tidak ada. Lalu apa penyebabnya? Apa desa ini pernah dihantam bencana besar? Gempa bumi misalnya. Tsunami, banjir, angin lesus, atau tanah longsor.”

Aan terus keheranan. Ia semakin jauh dari teman-temannya, dan itu tidak ia sadari. Sambil tetap berjalan pelan, ia bicara lagi dalam hati. “Lalu di mana jenazah Rudi? Juga Dayok dan Sur? Hah! Siapa juga Mbah Poleng itu? Apa dia memang orang hebat? Apa dia benar-benar manusia harimau?”

Beberapa detik kemudian Aan tersentak. Ia hentikan langkahnya. Matanya terbentur pada sebuah benda besar yang tertutup semak belukar lebat, dan posisinya agak terpendam di tanah. Dengan penasaran berat, Aan mendekati benda yang sudah menyita perhatiannya itu. Setelah dekat, Aan semakin tersentak. Benda besar itu ternyata mobil Taft biru tua. Mobil itu terperosok di ledokan lebar dan dalam. Moncongnya mencium tanah. Aan melotot. “Ini…ini mobil Rudi!”

Memang benar. Itu mobil Rudi. Aan semakin takut, namun juga semakin penasaran. Perlahan-lahan, tangannya membuka pintu jok kedua mobil tersebut, dan.. ia langsung melangkah mundur. Tampaklah dua tubuh manusia yang langsung rebah di tanah. Dua mayat itu berlumuran darah dan masih berpakaian, tapi sudah compang-camping. Rupanya tubuh itu disandarkan di pintu mobil. Seketika itu juga Aan langsung mencium bau yang teramat sangat busuk. Ia tutup hidung dan mulutnya, lalu melangkah mundur. Diamatinya jasad dua manusia itu dengan teliti. Beberapa detik kemudian ia melotot: “Ya Allah! Rudi! Dewi!”

Kini beralih sejenak ke rumah, di mana Karno sedang mengitari gelas raksasa. Beberapa langkah kemudian Karno terkejut. Di belakang gelas itu ada dua tas besar dan beberapa pakaian. Karno mengamati semua benda itu. Sedetik kemudian ia tersentak, lalu memanggil semua temannya, namun tidak semuanya datang. Yang datang hanya Mahmud, Wahyu, Jono dan Mardi. Sang kekasih sendiri tidak tampak. Ia langsung memperlihatkan barang-barang itu, lalu berkata, “Ini milik Rudi dan Sur. Aku hapal. Lalu tas besar itu..kalau tidak keliru..milik Dayok.“

“Masya Allah!“ ujar Mahmud sambil menggelengkan kepala. Semua pun melongo. Beberapa saat kemudian datanglah semuanya. Triyono berseru; “Ada apa ini?!”

Karno menjawab pertanyaan itu dengan memperlihatkan barang-barang milik Suryadi almarhum. Pria gagah namun sombong ini langsung ikut melongo. Sementara itu, Ratna yang sedang jalan-jalan di ruangan lain, mendadak mencium bau busuk. Setelah dicari, bau itu datang dari balik tiang kayu besar yang sudah roboh di lantai. Dengan jantung bergetar keras, Ratna melangkah pelan ke tiang kayu tersebut. Gumamnya, “Ya ampun, ini bau bangkai apa?! Hih. Tidak mungkin bangkai tikus. Ini bau bangkai hewan besar.“

Dengan keberanian dipaksakan, Ratna terus mendekati tiang kayu itu, dan …tampaklah pemandangan yang sangat mengerikan! Bau busuk itu ternyata bukan dari bangkai binatang. Kini Ratna melihat sesosok tubuh manusia yang sekujur tubuhnya dipenuhi set (ulat putih sepanjang 1 cm). Matanya terpejam, bajunya robek-robek. Tidak salah lagi, itu tubuh Suryadi. Tubuh tak bernyawa itu tergeletak di balik tiang kayu besar. Seketika itu juga Ratna menjerit sepenuh tenaganya. Jeritan penggetar jiwa itu langsung sampai di telinga Karno cs yang sedang mengamati barang-barang milik Rudi almarhum. Karno berseru: “Ya Allah! Ratnaa!!”

Secepat kilat Karno meninggalkan teman-temannya yang masih bengong, namun sedetik kemudian mereka juga sadar. Mahmud berseru: “Semuanya siaga! Bawa senjata masing-masing!”

Sesaat kemudian tibalah Karno di tempat Ratna. Dilihatnya sang kekasih berdiri di samping tiang kayu yang roboh. Gadis jelita itu ketakutan. Karno langsung menghampirinya, lalu memeluk kedua bahunya. “Say! Kamu kenapa?! Ada apa?!”

Ratn memalingkan mukanya, lalu menyahut, “Itu Mas, itu (menunjuk sesuatu di balik tiang kayu)!”

Karno memelototi tempat yang ditunjuk calon istrinya. Dengan segenap nyali yang dimiliki, pemuda bertubuh atletis ini mendekati tiang kayu besar tersebut. Dan…mata Karno melotot bagai telur. Ia berkata lemah, “Masya Allah! Suryadi!”

Ia langsung menutup hidungnya, lalu menjauhi mayat teman baiknya itu. Sesaat kemudian tibalah semuanya. Mereka langsung menanyakan apa yang terjadi, namun Karno tidak menjawab. Ia meminta semuanya untuk langsung melihat sendiri apa yang sudah ia lihat bersama Ratna. Triyono dkk menutup hidungnya. “Brengsek! Bau apa ini?! huh!”

“Bau bangkai tikus raksasa!” sahut Hendik yang mau muntah. Mahmud yang terlihat paling tenang, segera mendekati tiang kayu besar. Sambil menutup hidung, Mahmud berusaha untuk tetap tenang. Ia melangkahkan kakinya dengan slow. Sedetik kemudian Mahmud terperangah. Semua pun ikut mendekat. Begitu melihat mayat Suryadi, semua teman Tri langsung memalingkan muka. Hanya Mahmud yang masih berdiri di samping jasad Sur yang malang. Tri sendiri sebenarnya juga kaget bukan main, tapi karena angkuh, ia berusaha untuk tetap tenang dan berani. Pria gagah namun sombong ini tidak mau kalah oleh Mahmud.

Hening sejenak. Mahmud duduk agak berlutut di samping jasad Suryadi, setelah itu berkata lembut, “Selamat jalan sobatku. Semoga Allah berkenan mengampuni semua dosamu, dan berkenan menerima amal baikmu, walau hanya sedikit. Semoga kita bisa ketemu lagi di akhirat. Amin.” Ratna yang paling ketakutan itu menangis. Hening beberapa detik. Suasana terasa semakin mencekam, padahal hari masih pagi, dan paginya juga cerah. Itu kalau di luar rumah. Kalau di dalam..terasa sangat menakutkan. Di samping gelap karena tidak ada lampu, kehadiran mayat Sur itu membuat Mahmud cs tegang bukan main. Beberapa detik kemudian Mahmud menutup muka Suryadi dengan jaketnya. Triyono yang sudah marah itu berkata. “Kurang ajar! Benar-benar kejam! Huh! akan kubunuh pembunuh itu!”

“Tidak semudah itu Tri..” sahut Mahmud tenang. “Dia sangat tangguh, dan ini buktinya. “

Diam sejenak. Tri semakin geram. “Huh! mungkin dia memang tangguh, tapi aku tidak takut! Dia juga harus tahu kekuatan Triyono!”

“Tapi dia itu siapa?!” tanya Wawan ketakutan. “Apa Mbah Poleng itu?!”

Pertanyaan itu malah membuat Tri semakin marah. Ia membentak, “Aku tidak peduli siapa keparat itu! pokoknya sekarang dia sudah menabuh genderang perang! Dan kita tidak bisa mengelak lagi! Huh!” diam beberapa detik, lalu menyentak lagi. “Oke iblis jahanam! Kuterima tantanganmu! Kami siap menginjak-injak kamu!”

“Mas Tri..” ujar Ratna menangis. “Kalau masih bisa kita hindari, kenapa harus kita hadapi?” diam sebentar, “Ohh..aku bisa merasakan, dia sangat hebat.” Diam sebentar lagi. “Ya sudah Mas-Mas, kita pulang sekarang saja. Sudah cukup ekspedisi kita di desa iblis ini. Kalau ingin selamat, kita harus pergi sekarang! Ayo Mas Mahmud! Mas Wawan! Say (mencengkeram erat pergelangan kanan sang kekasih)!”

Tentu saja Karno bingung berat. Dilihatnya semua kawannya yang tidak atau belum setuju dengan usul Ratna itu. Ia harus memilih. Semua kawannya atau Ratna, sang gadis tambatan hati. Hening beberapa detik. Semuanya tampak bimbang. Ketakutan semakin mencengkeram hati Mahmud cs. Karno sendiri kurang setuju. Alasannya karena ia belum menemukan jasad temannya yang lain. Tentu saja keputusan itu membuat air mata Ratna semakin mengalir deras. Ia benar-benar nyaris histeris. Ia merengek pada Karno. “Say, kamu kok tidak mau pulang sekarang sih? Apa kamu yakin bisa mengatasi pembunuh itu?”

Karno diam saja. Ia benar-benar bingung. Ratna yang ketakutannya sudah memuncak, kembali merengek seperti anak kecil. “Kenapa diam saja? cepat putuskan!”

Karno menarik nafas sambil memejamkan mata. Beberapa detik kemudian matanya terbuka, dan ia tampak lebih mantap. Ia mengangguk, lalu ia tatap semua kawannya, dan semuapun setuju. Semua kawan Tri juga setuju, meskipun mereka diam saja karena masih angkuh. Tri sendiri hanya diam dengan wajah cemberut, namun sebenarnya ia juga setuju. Ia hanya tidak ingin diperintah terus oleh Mahmud atau Karno. Dalam ekspedisi ini ia tidak pernah merasa jadi bawahan Karno, walaupun hati kecilnya mengakui kalau Karno atau Mahmud memang lebih layak jadi pemimpin. Hati kecilnya mengatakan, Karno dan Mahmud memang memiliki jiwa pemimpin yang besar, terutama Mahmud. Sedangkan dirinya, hanya bisa menjadi pimpinan bagi enam kawannya. Dengan wajah merah hitam karena gengsi berat, Tri berkata: “Baik, kita pulang sekarang! Tapi kalau nanti pembunuh itu menghadang kita, mau tidak mau kita harus perang!”

Ratna yang air matanya mulai mongering, menjawab: “Semoga kita bisa pergi sebelum dia menghadang kita.“

Tanpa pikir panjang lagi, mereka langsung mengemasi barang masing-masing. Walaupun hati Karno belum lega karena baru menemukan jasad Suryadi, ia sudah sadar kalau sekarang ini ia dan semua temannya harus pergi. Keinginan untuk mencari jasad Rudi, Yoyok, Dewi dan Rina, langsung musnah oleh ancaman pembunuh itu. Muda-mudi ini memang masih sayang pada nyawa mereka. Sambil berkemas dengan terburu-buru, Tri yang kesal itu berkata: “Jangan puji dia terus! huh! kita belum tahu siapa dia, belum lihat wujudnya!”

“Tapi kita sudah merasakan kehebatannya Mas..” sahut Ratna. Mahmud menyambung, “Ratna betul Tri. Hati kecilku juga mengatakan, musuh kita ini sangat tangguh. Kemungkinan besar, dia bukan manusia biasa.”

Semua tersentak. Hendik berkata, “Bukan manusia biasa?! lalu apa?! Hantu!? Monster?!”

“Dia iblis!” sahut Jono si pendiam. Ratna yang paling ketakutan, menyambung, ”Itu kita pikir nanti saja. Sekarang yang penting kita pergi dulu dari desa ini.”

Sesaat kemudian, Karno cs sudah siap meninggalkan desa Kidung Angker untuk selamanya. Namun mendadak, HP-nya berbunyi. T

ernyata itu dari Aan yang masih ketakutan. Ia ceritakan semua yang sudah dilihatnya. Karno melotot. “Apa?! Jasad Rudi dan Dewi? Di dalam mobil?!” Semua pun melotot. Namun sedetik kemudian Karno meminta Aan untuk segera kembali ke rumah. Aan pun mengangguk mantap. Setelah menutup HP, Aan menatap jasad Rudi dan Dewi, lalu berkata lirih. “Sobat-sobatku, beristirahatlah di tempat kalian. Semoga Allah berkenan mempertemukan kita lagi. Amin!”

Selesai berdoa, Aan langsung meninggalkan tempat itu dengan berjalan cepat. “Sekarang memang harus pergi! Hah! Desa ini benar-benar angker! Sangat sesuai dengan namanya.”

Namun baru beberapa langkah, Aan harus berhenti. Ia harus menahan detak jantungnya yang bergemuruh. Ia dihadang oleh sesosok manusia yang sangat tinggi dan besar. Kepalanya sangat mirip dengan macan loreng, demikian pula dengan bajunya yang dari kulit harimau. Ia berdiri 4 meter di hadapan Aan. Ia menggeram-geram, siap mengamuk sesaat lagi. Dua pisau panjang di punggung tangan kanannya sudah hampir keluar. Aan melotot. Benarkah sosok di hadapannya itu bukan ilusi? Perlahan-lahan, Mbah Poleng mendekati Aan yang masih bengong. Aan pun tersentak sadar. Ia cabut parang dari sarungnya, lalu ia acungkan ke manusia harimau itu.

“Siapa? Siapa kamu?!”

“Grrr..grrrh..!”

Aan menggelengkan kepala. “Tidak! tidak mungkin! Kamu hanya dongeng! Hanya mitos! Hahh..kamu hanya tipuan!”

Sambil tetap mengacungkan parang ke Mbah Poleng, Aan berhenti melangkah mundur. Mbah Poleng pun berhenti. Kini jarak mereka terpaut sekitar 3 meter. Hening sejenak. Mbah Poleng hanya menggeram-geram. Sedangkan Aan, tegang bukan main. Hati kecilnya mengatakan, siluman harimau di hadapannya itu harus dihindari. Dia harus segera mengambil langkah seribu. Tapi itu sudah tidak mungkin. Toh nanti Mbah Poleng pasti akan mengejarnya juga. Dengan demikian, jika Aan masih ingin selamat, ia harus melakukan satu hal. Menghadapi monster di hadapannya itu.

Setelah hening beberapa detik, Mbah Poleng meraung keras. Aan yang sudah tidak punya pilihan, langsung bertindak cepat. Ia babatkan parangnya, dan tepat mengenai dada kiri Mbah Poleng. Dada yang tergores luka itu hanya berdarah sedikit. Aan langsung mengirim serangan kedua. Tebasan parangnya menyambar dada kanan siluman itu, namun hasilnya masih sama dengan serangan pertama tadi. Mbah Poleng tidak mengerang sedikit pun. Baginya, luka di kedua dadanya itu hanya luka kecil. Melihat keperkasaan monster itu, Aan semakin terperangah. Ia semakin yakin, sosok di hadapannya itu benar-benar bukan manusia. Pemuda pendek berdada tegap ini melotot. “Terkutuk! Makhluk apa kamu ini?!”

“GRAUUNGHH!!!”

Aan yang sudah merasa setengah mati ini kembali menyerang. Ia tusuk perut Mbah Poleng. Tusukan sekuat tenaga itu masuk ke perut Mbah Poleng cukup dalam, kira-kira 5 cm. Namun ketika Aan ingin menusuk lebih dalam, tangannya sudah tidak kuat. Parangnya seperti menusuk pohon. Aan melotot, lalu melangkah mundur. Ia biarkan parangnya menancap di perut Mbah Poleng. Mbah Poleng mencabut parang itu. Kali ini ia mengerang sedikit. Melihat semua itu, Aan semakin melotot. Mbah Poleng langsung mematahkan parang itu menjadi dua, lalu ia lempar ke tanah.

Aan melangkah mundur, lalu mengambil batu sebesar kepala manusia. Batu itu ia lempar sekuat tenaga, dan tepat mengenai muka Mbah Poleng. Namun manusia harimau ini benar-benar perkasa. Pukulan batu itu hanya membuat kepalanya bergerak sedikit. Ia hanya merasa pusing sedikit, setelah itu menggeram keras. Aan yang sudah kehabisan akal, langsung berlari sekuat tenaga. Tentu saja Mbah Poleng marah. Ia menggeram, lalu mengejar mangsanya itu. Aan yang berlari kencang, menoleh ke belakang. Dilihatnya setan itu berada sekitar 6 meter di belakangnya. Ia yang tidak ingin mati konyol, terus berlari sekuat tenaga. Kali ini pandangannya lebih terfokus ke depan, dan tidak ingin melihat belakang lagi.

Beberapa detik kemudian, Aan menoleh ke belakang, dan… monster itu hilang. Aan terkejut. Ia berhenti berlari, lalu mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Ia tengok kanan-kiri, mengawasi keadaan sekitar. Sambil bersandar di pohon, ia kerahkan seluruh panca inderanya. Ia tidak boleh lengah sedikipun. Hening beberapa detik. Setelah itu ia menoleh ke kiri, dan…Mbah Poleng sudah ada di situ. Ia berdiri dengan kokohnya.

Kini beralih ke Karno cs yang masih menunggu Aan. Sesaat kemudian mereka mendengar jeritan keras. Karno berseru, “Itu Aaan!!”

Semua pun melotot, namun mereka tidak tahu harus berbuat apa. Mereka hanya saling menatap. Ratna berseru, “Berarti pembunuh itu sudah dekat. Ohh..sekarang dia mengincar kita. Sekarang dia lagi ke sini! Ayo kita pergi sekarang!”

Mahmud mengangguk, demikian pula dengan semuanya. Mereka siap pergi sesaat lagi. Namun baru saja mereka mau masuk mobil, dari semak belukar di samping rumah muncullah Aan. Ia terluka parah sekali. Muka dan dadanya berlumuran darah. Mahmud berseru: “Ya Allah! Kamu kenapa Ann!?”

Mahmud hendak mendekati Aan, namun Aan melarangnya dengan melambaikan tangan. Melihat lukanya sekarang ini, hanya mukjizat yang bisa membuatnya tetap hidup. Dengan suara terputus-putus, Aan berkata, “Cepat! Kalian harus pergi! Manusia harimau itu benar-benar ada! Cepat pergii!!”

Setelah berkata begitu, Aan menghembuskan nafas terakhirnya. Ia meninggal dengan tubuh tengkurap di ta

nah. Semua terkejut setengah mati. Ratna yang hampir menangis, berkata, “Ya Allah, jadi Engkau juga menghendaki Aan meninggal di sini?!” Mahmud cs terlongong-longong. Bagi mereka, kematian Aan pagi ini seperti mimpi. Benarkah? Benarkah Aan memang sudah meninggalkan mereka? Mahmud cs masih pada bengong. Dari mereka semua, Mahmud yang berada paling dekat dengan jasad Aan. Ia berdiri 2 meter di depan jasad pemuda bertubuh gempal itu. Ratna berkata, “Kalau bisa, kita bawa jenazahnya, tapi kalau tidak, ya sudah. Mau tidak mau, kita harus meninggalkan dia ini di sini. Ohh…”

Karno menggelengkan kepala. Tanpa menatap sang gadis, ia berkata lemah. “Kelihatannya tidak bisa. Nanti kita kerepotan.“

Hening sejenak. Mahmud duduk di samping jenazah Aan, lalu mengelus kepalanya. Tri dkk yang biasanya tampak gagah berani, kini seperti kelinci kelaparan. Sesaat kemudian Ratna berseru. “Ya sudah! Sekarang kita pergi. Ayo semuanya! Mas Mahmud!”

Mahmud mengangguk, lalu berdiri meninggalkan jasad Aan. Namun ketika semuanya hendak menuju mobil, Mbah Poleng muncul dari semak belukar di belakang mereka. Ia mengaum keras. Semuanya tersentak. Ratna berseru: “Ya Allah! Siapa dia?!”

Mbah Poleng menggeram-geram, siap menerkam Mahmud cs. Mahmud langsung mengeluarkan senapan pemburunya, demikian pula dengan Jono, Tri, Hendik dan Parjo. Lima pria ini menodongkan senjata api mereka ke Mbah Poleng. Sedangkan Karno dan yang lain, yang hanya membawa senjata tajam, berdiri di belakang mereka. Karno berkata, “Masya Allah! Mimpikah aku?! Dia..dia manusia harimau!”

“Apa-apaan ini?!” ujar Parjo dengan tetap menodongkan pistolnya. “Kamu ini apa ha?! Siapa!?”

Tri yang sebenarnya juga gemetar, ikut membentak. “Jadi kamu Mbah Poleng? Iya?! Huh! jadi kamu yang membunuh teman-teman kami?!”

Darkan yang memegang kapak, berseru: “Jadi kamu memang iblis sungguhan?! Atau makhluk ruang angkasa yang nyasar ke bumi?!”

“Dia bukan siapa-siapa!” bentak Hendik. “Dia hanya orang gila yang pakai topeng macan!”

“Hah! Benar juga!” sahut Tri. “Hei maniak! sinting! Sebelum kuledakkan perut dan kepalamu, sebaiknya kamu buka topeng murahanmu itu, biar kami bisa melihat wajahmu. Huh! Ayo buka! Cepat!!”

“GRAUUNGH!” bentak Manusia harimau. Berani sekali manusia-manusia kecil di hadapannya itu menantang dirinya. Tentu saja amarahnya meledak. Kedua tangan besarnya siap menelan korban lagi. Kini ia berdiri 6 meter di hadapan Mahmud cs. Tri membentak, “Brengsek! Manusia harimau gadungan! Kamu memang ingin mati ya? Huh! baiklah. Karena kamu sudah membunuh teman-teman kami, sekarang kamu harus mampus!”

Sedetik kemudian Mbah Poleng merangsek maju. Mahmud berteriak. “TEMBAK!” Sekitar sepuluh peluru menghujam perut, dada dan lengan kiri Mbah Poleng yang di atas siku. Untuk bagian lengan hanya terserempet, sedangkan bagian tubuh terkena telak. Peluru-peluru itu masuk ke tubuh Mbah Poleng, namun monster ini hanya kesakitan sedikit. Tentu saja semuanya terperangah. Mahmud cs semakin yakin, makhluk di hadapan mereka itu memang setengah iblis, atau bahkan iblis sendiri. Mahmud yang melotot, berkata, “Tiada daya dan kekuatan, kecuali dari Allah. Apa-apaan ini!? dia tidak mempan peluru!”

Ratna yang berdiri di samping Karno, menyambung. “Ohh…dia benar-benar setan!”

“Siapa kamu sebenarnya?!” bentak Tri yang sebenarnya ketakutan. “Apa kamu memang iblis dari neraka jahanam?! Haa!? Cepat buka topengmu!”

Karno menyahut, “Bukan topeng Tri! Itu sungguhan! “



“Aku juga ragu kalau topeng..” sambung Wawan. “Topeng tidak sebagus itu.“

Tri melongo. Kalau tidak angkuh, ia langsung mengakui kebenaran di hadapannya itu. Pria kekar ini seperti merasa takut untuk yang pertama kali dalam hidupnya. Ia melotot. “Lantas apa dia?!”

“Itu tidak penting lagi,” sahut Mahmud lebih tenang. “Yang penting sekarang dia atau kita yang akan takluk.“

Mbah Poleng menggeram. Darah yang mengalir di tubuhnya semakin banyak, namun itu belum mengurangi kekuatan fisiknya. Itu masih dia anggap luka ringan. Sesaat kemudian Mbah Poleng meraung keras, tanda akan menyerang lagi. Makhluk setengah hewan ini mengambil batu sebesar dua kepala kerbau, lalu ia lemparkan ke Mahmud cs. Namun para pemuda tangguh ini sudah siaga, sehingga mereka masih luput dari maut. Batu besar itu hanya menghujam tanah. Mbah Poleng geram melihat mangsanya belum berhasil dilumatnya. Ia ganti meraih kayu sebesar paha pegulat kelas berat, lalu ia lemparkan ke orang-orang yang sudah dianggapnya lancang. Orang-orang yang sudah berani menjamah tempat tinggalnya ini. Kayu itu melayang kencang, namun lagi-lagi Mahmud dkk masih beruntung. Serangan kayu besar itu berhasil mereka hindari.

Namun akibat menghindari kayu tersebut, konsentrasi mereka menjadi agak buyar. Di saat itulah Mbah Poleng melihat celah untuk mendekati Karno cs, dan berhasil. Ia cengkeram pentung kayu Ajun, lalu ia lempar ke tanah. Melihat Ajun sudah tidak bersenjata, Mbah Poleng langsung menebaskan cakar besi di tangan kanannya. Pisau sepanjang sekitar 25 cm itu menyerempet dada kanan-kiri Ajun. Meskipun tidak telak, Ajun mengerang keras. Ia melangkah mundur. Dadanya yang tergores luka langsung berdarah. Melihat Ajun nyaris tidak berdaya, Mbah Poleng terus merangsek. Namun mendadak perutnya tertusuk tombak dan pedang.

Langkahnya terhenti. Rupanya itu pedang milik Wawan dan tombak milik Darkan. Wawan membentak, “Makan ini, keparat! Huh! makhluk apa kamu ini! dari mana asalmu?!”

Darkan yang terus menekan tombaknya di perut Mbah Poleng, menyambung, “Makhluk sejelek kamu tidak pantas tinggal di sini! Huh! binatang! Kembalilah ke tempat asalmu! Neraka!”

Mbah Poleng menggeram-geram, menahan dua senjata tajam itu. Kali ini dia merasa sakit. Tangan kirinya yang mengenakan kaos tangan dan gelang besi, langsung meninju muka Wawan dengan mantapnya. Wawan pun terjengkang ke belakang. Hidungnya berdarah cukup banyak. Mbah Poleng ganti mematahkan tombak Darkan yang menancap di perutnya. Tombak itu patah, dan cakar besi Mbah Poleng menyambar dada Darkan. Pria Ambon ini mengerang kesakitan. Ia melangkah mundur. Lukanya hampir sama dengan luka Ajun. Kulit dadanya tergores sekitar 8 cm. Melihat dua pemuda gagah itu sudah tidak berdaya, Mbah Poleng langsung ingin menyerang lagi. Melihat Darkan dan Wawan dalam bahaya, Triyono berteriak. “Setan macan busuk!!”

Mbah Poleng menoleh ke samping. Dilihatnya Triyono yang menantangnya dengan berani. Tri menodongkan senapannya ke Mbah Poleng. Begitu manusia macan loreng ini pasang kuda-kuda, Tri langsung meledakkan senapannya. “Setan terkutuk!! Sudah cukup kamu bunuh Rudi dan Aan! Makan inii!!”

Triyono memberondongkan peluru senapannya. Ada sekitar delapan peluru yang menusuk dada, bahu dan perut Mbah Poleng. Ia mengerang dan melangkah mundur. Kali ini ia benar-benar sudah bisa dilukai. Hendik berseru: “Terus Boss! teruss! Dia kesakitan!” Tri yang terus menembak, berseru: “Telan ituu! Siluman harimau brengsek!”

Mbah Poleng terus melangkah mundur, dan akhirnya jatuh berlutut, namun hanya sekitar 5 detik. Begitu Tri berhenti menembak, makhluk ini langsung memungut batu sebesar bola sepak, lalu ia lemparkan ke Tri. Batu itu melayang ke muka Tri, namun Tri berhasil menghindarinya dengan menggerakkan kepalanya ke samping kiri. Namun malang bagi Darkan. Setelah gagal menghujam kepala Tri, batu itu berhasil mengenai muka Darkan yang kebetulan berdiri di belakang Tri persis. Darkan merasa kepalanya seperti diinjak gajah. Begitu ia roboh, Mbah Pleng langsung kabur. Hendik berteriak, “Monster brengsek! Jangan kabur duluu! kita belum selesai! Heii!”

“Ternyata kamu juga pengecut!” sambung Parjo. Ia dan Hendik hendak menembak Mbah Poleng yang berlari ke hutan, namun Tri langsung mencegah. Demikian pula dengan Karno dan Mahmud. Karno berkata, “Kalian harus hemat peluru. Lihat tadi! dia terluka. Kalian sudah berhasil meluka dia.“

Tri berkata, “Berarti dia juga bisa mati. Huh! akan kuburu keparat itu! lihat saja nanti!”

“Tapi kita harus hemat peluru,” sahut Mahmud. “Kita memang sudah berhasil melukainya, tapi kalian lihat sendiri tadi. Sudah berapa peluru yang kita tembakkan ke tubuhnya, tapi dia belum mati. Dia hanya terluka, dan lukanya juga tidak begitu parah.” Diam sebentar. Ditatapnya tempat Mbah Poleng kabur tadi, setelah itu bicara lagi. “Dia benar-benar bukan manusia. Dia sakti mandraguna.“

Mendengar kata-kata itu, semuanya kian terperangah. Mau tidak mau, semua harus mengakui, makhluk di hadapan mereka tadi, makhluk yang sudah duel dengan mereka tadi, benar-benar bukan manusia biasa seperti mereka. Hening beberapa detik. Ketegangan semakin mencengkeram jiwa Mahmud cs. Mereka masih merasa berat untuk menerima kematian Aan yang baru terjadi beberapa menit tadi. Setelah pada diam, Tri malah menunjukkan sikap aneh. Di saat semua kawannya ketakutan, ia malah tersenyum. Yah, senyuman angkuhnya muncul lagi. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ide bagus. Bagus sekali. Yah..aku harus melakukan itu (mengepalkan lima jari kanannya ), apapun yang terjadi. Harus!”

Parjo yang berdiri di sampingnya, terkejut. “Apa maksudmu?”

Diam sejenak. Dengan wajah penuh hawa kesombongan, Triyono berkata, “Dia benar-benar nyata..bukan tipuan. Berarti dia termasuk salah satu keajaiban dunia.“ diam sebentar, “Kita tidak wajib membunuhnya. Kita bunuh kalau sudah sangat terpaksa.”

Semuanya tersentak. Kenapa Triyono tiba-tiba berubah? Pria kekar ini bicara lagi dengan tersenyum. “Tidak sia-sia aku bawa bius macan. Hah! Bius itu akan kupakai untuk dia, setelah itu kita bawa pulang. Kita bawa dia ke kota, lalu kita komersialkan. Ha ha haa! Aku bisa kaya! Kayaa! Aku bisa kondang! Ha ha haa !”

Semuanya melotot. Parjo berkata agak membentak, “Itu tidak mungkin Tri! Kamu jangan gila!” Tri tersenyum sinis. “Aku masih waras seratus persen. Hah! Makhluk aneh itu benar-benar bisa kujadikan tambang emas. Sekarang aku sudah tidak peduli siapa dia, dari mana asal-usulnya. Pokoknya dia harus bisa kubawa pulang.” diam sebentar. “Nah teman-temanku, sekarang kita tidak perlu membunuh dia. Sekarang tugas kita hanya membuat dia pingsan.“

Diam sejenak. Jangankan Karno dkk, semua kawan Tri saja nyaris tidak setuju dengan usul Tri itu. Sesaat kemudian Tri mengeluarkan senapannya di mobil, lalu ia isi dengan empat peluru berbentuk panah kecil. Panjangnya 10 cm. Tri yang sudah nyaris lupa diri ini tersenyum angkuh. “Tidak semua bahaya mengandung keburukan. Bahaya yang membawa keberuntungan juga ada. Contohnya ya sekarang ini. Ha ha haa!!”

“Kurasa idemu terlalu gila Tri,” ujar Karno cemas. “Kamu harus pikir resikonya. Resikonya besar sekali.”

Tri mendekati Karno. Dengan wajah netral, tidak marah tidak senang, Tri berujar, “Semua pekerjaan mengandung resiko, Mas Karno ganteng. Dan aku selalu siap menghadapi resiko seberat apapun. Ketahuilah yang satu ini.” diam beberapa detik, lalu berkata mantap, “Triyono selalu bisa meraih apapun yang dia inginkan.“

Setelah berkata begitu, Tri meninggalkan Karno yang bengong. Diam beberapa saat. Setelah Tri masuk lagi ke rumah, Karno mendekati Parjo, lalu berkata lirih. “Keinginannya itu sudah kelewatan. Keinginannya itu lebih mengerikan dari nafsu binatang. Kamu harus berusaha menyadarkan dia. Kamu yang paling dekat sama dia, jadi kamulah harapan kita.“

Parjo mengangguk. “Aku akan berusaha.”

Setelah suasana terasa agak tenang, Mahmud cs kembali ke rumah sambil menggotong jasad Aan yang malang. Niat mereka untuk segera kabur dari desa ini untuk sementara tertunda. Hanya satu orang yang masih ingin bermain di Kidung Angker ini, dan dia terlihat senang sekali. Jasad Aan yang terbujur kaku, sangat menusuk hati semuanya, kecuali dia. Pria yang satu ini terlihat tidak peduli. Ia menganggap kematian Aan itu hal yang biasa saja. Untuk saat ini, hatinya sudah tertambat pada ambisi iblisnya. Membawa pulang Mbah Poleng.

Hening untuk beberapa menit. Mahmud cs masih terlongong-longong di hadapan jenazah Aan yang mukanya sudah ditutup kain. Hari masih pagi, suasana Kidung Angker masih indah. Panoramanya yang bagai firdaus, masih bisa dinikmati oleh semua mata yang ingin melihat. Namun semua itu tidak ada artinya bagi Mahmud dkk. Mereka masih kurang percaya dengan kengerian yang sedang mereka alami ini. Mereka masih seperti mimpi. Beberapa jam kemudian hari semakin siang. Semuanya sepakat untuk segera meninggalkan Kidung Angker, kecuali Triyono. Ia masih bersikeras untuk tetap di desa ini. Semua konconya sudah berusaha keras untuk membujuk dan menyadarkannya, namun masih sia-sia. Akibatnya, mereka malah bertengkar. Parjo yang sudah marah itu berkata, “Aku bukan tangan kananmu lagi! Sekarang aku anak buah Mahmud, atau Karno!”

Mendengar itu, muka Tri memerah. Parjo melanjutkan, “Hanya orang sinting yang mau menuruti keinginanmu itu!”

Wawan menyambung, “Aku masih ingin hidup, jadi aku ikut Mahmud saja. Kita masih belum tahu, siapa Mbah Poleng tadi. Kelihatannya dia belum menunjukkan seluruh kekuatannya. Tapi yang jelas, dia terlalu tangguh untuk kita lawan.“

Hendik menyambung, “Sebenarnya aku masih ingin setia sama kamu, Mas Triyono yang gagah. Tapi karena sekarang kamu punya ambisi iblis, dengan sangat berat hati, aku tidak bisa ikut kamu lagi. Aku hanya bisa berdoa, semoga Allah berkenan membalas kebaikanmu selama ini. Amin!” Mardi menambah, “Cukup sampai sini aku memanggilmu Boss. Sekarang kamu Boss untuk dirimu sendiri.”

Mendengar celotehan-celotehan itu, emosi Tri meledak. “Ya sudah! Sekarang kalian pergi dari sini! Aku juga sudah muak sama kalian! Huh! Aku tidak pernah punya anak buah pengecut! jadi kesetiaan kalian selama ini tak perlu kuanggap! Huh! bagus! Bagus sekali! Sekarang anak buahmu (Mahmud) banyak! Anak buah rampasan!”

Dengan tenang Mahmud menyahut, “Sadarlah Tri, musuh kita ini sangat hebat. Kamu jangan terlalu percaya diri. Waspadalah. Walaupun kamu bisa melawan dia, kamu akan takluk oleh kesombonganmu. Nah, kesombongan itu yang harus kamu lawan.“

“Cukup! Tidak usah ceramah! Kamu bukan ustadz!”

“Aku hanya ingin menyelamatkan kamu. Lihatlah teman-temanmu yang begitu setia. Kamu butuh mereka, dan merekapun butuh kamu. Mereka siap bantu kamu, kapanpun kamu mau.”

Parjo mengangguk, lalu berdiri di samping Mahmud. “Masih ada kesempatan untuk lolos dari cengkeraman iblis itu. Nah, pikirkanlah baik-baik. Apa kamu masih ingin di desa neraka ini? apa kamu masih ingin memenuhi ambisi gilamu itu?”

“Mumpung kami belum berubah pikiran,” sambung Wawan. “Mumpung kami masih menganggapmu teman. Nanti kalau kami sudah tidak menganggapmu teman, kamu benar-benar akan menghadapi bahaya besar.“ diam sebentar, “Nah, renungkanlah dengan hatimu yang terdalam, bukan dengan hawa nafsumu.” Diam beberapa detik. Sebenarnya Tri cukup tersentuh dengan segala nasehat kawan-kawannya itu, namun karena masih sombong, akhirnya Tri kembali membentak. “Huh! kalian tidak usah ceramah! Kalian benar-benar sudah berubah! Oke, silahkan kalau kalian mau pergi sekarang. Ikuti saja kemauan boss baru kalian ini (menunjuk Mahmud)!”

Mahmud yang bingung, memotong, “Bukan Tri! Aku bukan boss baru mereka. Kita semua yang di sini teman, jadi..”

“Diam kamu! Huh! tidak usah ceramah lagi! sekarang aku mau ngomongin bocah-bocah tolol ini! Huh! bocah-bocah pengecut! Sekarang kalian mau pulang naik apa? haa?! Mobil itu milikku! Hah! Apa kalian mau jalan?!”

Diam sejenak. Pertanyaan itu membuat Parjo cs terkejut, terkejut karena sadar. Enam sekawan ini saling menatap. Namun sedetik kemudian Jono berujar, “Kalian bisa naik Kijang kami. Kita usahakan cukup, walaupun desak-desakan.”

“Sebelas orang?” tanya Mahmud tenang, setelah itu mengangguk. “Insya Allah cukup. Atau begini saja. Nanti kita sewa mobil di desanya Pak Wandi. Yah, mudah-mudahan ada penduduk sana yang punya mobil. Berapapun tarifnya, akan kita bayar. Nah, gimana? setuju?”

Semuanya diam sambil saling menatap. Sedetik kemudian Wahyu berkata, “Itu kalau mereka mau menolong kita, kalau tidak? Kita kan sudah kurang ajar, berani datang ke desa iblis ini.”

Mahmud menyahut, “Yah, mungkin memang berat. Tapi kalau mereka melihat kita sudah sadar, apalagi kita juga sudah berniat meninggalkan desa ini untuk selamanya, Insya Allah, masih ada kemungkinan mereka mau memaafkan kita, menolong kita.“

“Betul sekali!” sambung Ratna, “Kalau perlu kita minta maaf yang sebesar-besarnya. Dan kalau Pak Wandi itu benar-benar orang baik, Insya Allah, dia pasti mau menolong kita.“

Karno tersenyum. “Makasih ya Allah, sudah memberiku calon istri bagai bidadari. Say, kamu memang cantik luar dalam.”

Ratna tersipu. Sesaat kemudian, Mahmud yang kini dianggap boss, langsung mengajak semua anak buahnya untuk segera pergi. Ekspedisi mereka di desa Kidung Angker ini sudah cukup. Mereka sudah mendapat kesenangan, tapi juga kesengsaraan. Kini Mahmud cs masih berkumpul di ruang keluarga rumah itu. Ruang tempat ditemukannya jasad Suryadi. Mereka masih berharap Triyono mau ikut. Tri yang sedang asyik membersihkan senapannya, tidak tahu kalau Karno dkk masih berdiri di belakangnya. Dia duduk di dekat jendela, dengan posisi membelakangi Karno dkk. Beberapa detik kemudian barulah dia sadar. Melihat orang-orang itu belum pergi, wajahnya memerah. Ia berkata,

“Apa lagi yang kalian tunggu?! Cepat pergi! Tinggalkan aku! Huh! kalian pengecut! Tidak punya ambisi besar seperti aku! Huh! Kalau mental kalian seperti ini, gimana mau berkembang?! Gimana mau jadi manusia tangguh!?”

Tri kembali menatap jendela sambil latihan menembak. Beberapa detik kemudian, saat ia kembali menatap Mahmud cs, ia marah lagi. Ia berdiri. “Kenapa kalian belum pergi? Haa?! Apa kalian berubah pikiran? Apa sekarang kalian mau menemani aku?” diam sejenak, lalu tersenyum angkuh. “Oo, iya-iya (mengangguk-angguk). Aku tahu kenapa kalian belum pergi. Aku tahu. Hah!” diam lagi, lalu berkata dengan angkuhnya. “Kalian pasti butuh aku. Kalian pasti membutuhkan Triyono yang tangguh ini. ha ha haa! Yah, itu wajar, soalnya memang hanya aku yang bisa memimpin kalian. Betul tidak?!”

Mahmud berkata lembut, “Mas Triyono, ketangguhanmu akan selalu kami butuhkan. Ketangguhanmu sudah kami akui. Makanya, kami pergi lima menit lagi. Apapun yang terjadi, kami masih tetap nunggu kamu.“

Wawan menyambung, “Kalau sudah lima menit lebih, ya sudah, kami pergi. Tetaplah di sini untuk menuruti nafsu gilamu. Berbuatlah sesuka hatimu, toh sudah tidak ada yang peduli.“

Setelah lima menit lebih, akhirnya Mahmud cs mantap untuk meninggalkan Triyono. Hendik yang marah itu mendekati Tri yang masih duduk di dekat jendela, lalu berkata agak membentak. “Sudah cukup aku menganggapmu kakak. Huh! mulai sekarang, kamu bukan kakakku lagi! Aku tidak punya kakak berambisi iblis!”

Tanpa menatap Hendik, Tri tersenyum sinis. Dengan tetap merokok, Tri berkata, “Mampuslah orang-orang yang berani mengkhianati Triyono. Lihat saja.”

Mendengar itu, Hendik menghentikan langkahnya, lalu kembali menatap Tri. Dengan wajah penuh kebencian, pemuda tinggi besar ini berujar, “Lebih baik mampus daripada jadi anak buahmu.”

Setelah berkata begitu, Hendik menjauhi Tri yang terlihat sok tenang. Mahmud berkata, “Kami duluan ya Tri. Semoga kamu sukses meraih apa yang kamu inginkan.”

Karno menyambung, “Kami hanya pesan satu hal. Kamu harus hati-hati.“

Tri tidak menatap Karno dkk, bahkan juga tidak mendengar. Ia tetap asyik dengan rokok, minuman dan senapannya. Mahmud cs pun pergi. Namun baru saja mereka sampai di pintu keluar ruangan itu, terdengarlah suara yang teramat keras. Salah satu dinding kayu ruangan itu jebol, dan muncullah sosok tinggi besar berwajah harimau. Ia mengaum keras. Mahmud cs langsung siaga. Tri yang tadi masih bersantai, kini langsung waspada penuh. Karno berteriak, “Awas semuanyaa! Mud! Ndik! Siapkan pistol dan senjata kalian!”

Mereka yang membawa senjata api, langsung menghadang Mbah Poleng. Kini Mahmud, Parjo, Hendik dan Jono sudah menodongkan senjatanya ke Mbah Poleng. Mahmud dan Hendik membawa senapan, sedangkan Jono dan Parjo membawa pistol. Tri yang berdiri agak jauh dari semua kawannya, juga sudah menodongkan dua pistolnya. Kini Mbah Poleng berdiri di tengah Tri dan Mahmud cs. Ia menggeram-geram, siap menumpahkan darah lagi. Tri yang gembira sekaligus ketakutan ini berkata. “Luar biasa! Kamu benar-benar nyata. Kamu bukan tipuan! Ha haa! Kamu benar-benar calon tambang emasku!”

Mbah Poleng mengaum, lalu mendekati Tri yang posisinya paling dekat dengan dia. Dengan tetap menodongkan dua pistol, Tri melangkah mundur. “Jangan marah, Poleng, manusia harimau. Sebentar lagi kita jadi teman akrab. Sebentar lagi aku jadi majikanmu. Ha haa!”

“GRAUUNGNGH!!!” sahut Poleng. Tri yang sok jagoan ini berkata, “Tenang bodoh, tenang! Aku calon majikanmu! Berikan penghormatanmu!” Mbah Poleng semakin dekat dengan Tri. Nafsu membunuhnya semakin menggelora. Melihat Tri yang bodoh ini dalam bahaya, Mahmud berseru: “Tembak dadanya Trii! Dadanya terbukaa! Cepaat!!”

“Diam kamu! bodoh! Masa’ aku mau membunuh tambang emasku?!”

“Tapi nanti kamu yang terbunuh! Kamu bukan pawang, dan dia juga bukan harimau!”

“Grrrh..grrh…! ujar Mbah Poleng yang kini hanya berdiri sekitar 1,5 meter di hadapan Tri. Tentu saja Tri semakin bingung. Kedua tangannya yang memegang pistol, bergetar. Ia menggelengkan kepala. “Kamu..kamu ini siapa ha? Dari mana asalmu? Hah! Ha haa! Jangan bunuh aku, karena aku juga tidak ingin bunuh kamu. Hah! Tenanglah. Kita tidak perlu bermusuhan lagi. Sekarang kita kenalan dulu. Ayo!”

Mbah Poleng semakin marah. Ia keluarkan dua pisau besar di punggung tangan kanannya. Sedetik kemudian, cakar besi itu menyambar muka Tri yang bagian pipi kiri. Walaupun pukulan itu tidak begitu telak, Tri sudah kesakitan. Pipi kirinya berdarah, tapi tidak banyak. Melihat Tri dalam bahaya besar, Mahmud berteriak. “Siluman busuk! Tinggalkan dia!!”

Mahmud meledakkan senapannya. Sekitar lima peluru menusuk punggung lebar manusia harimau itu. Tembakan itu membuatnya berhenti menyerang Tri. Ia kesakitan, lalu membalikkan tubuh. Sekarang ia ganti ingin menyerang Mahmud dkk. Melihat monster itu mendekat, Mahmud terus menembak. Tri berteriak, “Jangan tembak diaa!!”

Namun senapan Mahmud terus melukai Mbah Poleng. Melihat itu, Tri langsung meledakkan pistol di tangan kanannya, dan menyerempet bahu kiri Mahmud. Pria gagah ini mengerang, namun ia terus menembak sampai pelurunya habis. Tri yang sudah lupa diri itu langsung melemparkan pistol di tangan kanannya, dan mengenai sasaran dengan telak. Pistol itu menghujam pipi dan dahi Mahmud bagian kiri, yang di dekat mata. Tri melotot, “Jangan bunuh dia, goblog!”

Semua terperangah. Inikah Triyono kalau sudah marah besar?! Dia tega hampir membunuh Mahmud, padahal Mahmud sudah menolongnya. Mahmud jatuh berlutut, seiring dengan Mbah Poleng yang berhenti menyerang. Manusia harimau ini juga berlutut. Mungkin karena lukanya yang sudah cukup parah. Hening beberapa detik. Karno yang sejak tadi masih bersabar terhadap perilaku Tri, kali ini marah besar. Dengan muka berapi-api, ia memelototi Tri. “Keterlaluan kamu Tri! Bangsat! Huh! Dia sobatku! Kalau dia sampai celaka, kupatahkan lehermu!”

“Patahkan saja sekarang! Ayo!”

Karno menggelengkan kepala. Meskipun sudah mengamuk, ia masih lebih bisa mengendalikan dirinya daripada Tri. Katanya, “Iblis macam apa yang sudah membuat kamu segila ini! hah! Kamu tega melukai orang yang sudah menyelamatkan jiwamu!”

“Menyelamatkan apa haa?! Huh (memelototi Mahmud yang duduk di lantai)! Dia justru mencelakakan aku! Hah! dia hampir menghancurkan tambang emasku ini!”

Wawan yang juga sudah marah, berseru, “Tutup mulutmu ! Keparat! Budak nafsu! Huh! sekarang dengarkan baik-baik!” diam sejenak, lalu bertutur dengan nada lebih lembut, “Kalau kamu memang mau membawa siluman ini (menunjuk Poleng yang masih menahan lukanya), tidak harus dalam keadaan hidup. Seumpama dia sudah mati, dia tetap akan menjadi tontonan yang menakjubkan. Dia tetap akan menjadi salah satu keajaiban dunia. Keajaiban dunia dari Nusantara.” Diam lagi sebentar. Ia atur nafasnya, lalu melanjutkan, “Seumpama kamu membawa pulang bangkainya, dia tetap akan bernilai lebih! Tapi kalau dia masih hidup begini, sangat sulit bagi kamu untuk menjinakkan atau melumpuhkan dia.”

“Kamu harus tahu Tri…sobatku. Keparat ini bukan macan biasa! dia siluman macan! Pawang yang sudah ahli saja kadang kesulitan menjinakkan macan, apalagi kamu, yang bukan pawang macan, yang sama sekali tidak tahu seluk beluk macan!” diam sejenak, “Kamu sudah lihat sendiri keganasannya, kekuatannya. Percayalah Tri, Sobatku. Monster ini tidak bakal bisa kamu jadikan tambang emas. Dia tidak akan bisa membahagiakan hidupmu. Justru sebaliknya! Dia akan menjadi ancaman jiwamu seumur hidup. “

“Cukup!!” bentak Tri. Wawan menggelengkan kepala. “Matamu memang sudah buta! Buta karena nafsu!”

Tri membentak, “Dia tetap akan kubawa pulang! dialah tambang emasku!” diam sejenak, lalu memelototi Mahmud yang masih duduk di lantai. “Dan kamu sok jagoan! Sekali lagi kamu melakukan tadi, kamu mampus! Huhh! Aku tidak main-main!”

“TRIII!!!” bentak Karno yang amarahnya mencapai puncak. “Dia sudah nolong kamu! Huh! Kamu memang iblis! IBLIS !!”

“Diam kamu!! Huh! Kamu mau duel?!”

“Baik! Ayo (menaruh tasnya di lantai)!!”

Namun Ratna langsung mencengkeram kedua lengan kekar Karno. Gadis jelita ini menangis. “Jangan Mas! jangan! Kumohon!”

Tri yang sudah siap duel, membentak: “Sudah bagus dia (Mahmud) hanya kubuat seperti ini! Kalau aku sudah lupa diri, sekarang boss kalian ini sudah di akhirat!”

Karno memelototi Tri, “Sekarang ini kamu sudah lupa diri! Huh! kamu lebih hina dari anjing!!”

“Apa katamu?!”

“Kamu lebih hina dari anjing !”

Kepalan kanan Tri langsung menghujam mulut Karno. Pukulan mantap itu mengenai sasaran dengan telak. Bibir Karno berdarah. Karno melotot. Tubuhnya bergetar keras, menahan energi amarah yang dahsyat. Sedetik kemudian ia berteriak. Pemuda keren ini hendak merangsek Tri, namun Ratna tetap menghalanginya sekuat tenaga. Karena kewalahan, akhirnya Ratna berlutut. Ia menangis sesenggukan. “Jangan Mas! Kendalikan dirimu! Ingat Allah Mas! ingat!”

Wahyu dan Jono pun ikut menghadang Karno. Wahyu mencengkeram kedua bahu Karno. “Kendalikan dirimu! Ingat Allah! Huh ( menatap Tri )! Dia orang gila! Kenapa kamu ladeni?!”

Tri tersenyum mengejek, “Kalau bukan karena cewekmu yang cantik ini, kamu sudah mampus!”

“Bajingan kamu!” bentak Hendik yang tiba-tiba menonjok muka Tri. Sedetik kemudian hidung dan bibir Tri berdarah. Tri memelototi Hendik, setelah itu ganti ia tonjok muka Hendik. Tri langsung mengirim serangan kedua. Ia gajul perut Hendik dengan kaki kanannya. Hendik nyaris roboh. Perutnya seperti dihantam debog (pohon pisang). Melihat Hendik sempoyongan, tangan kiri Tri langsung memukul bahu kanan Hendik yang di dekat leher. Hendik pun jatuh berlutut.

Sedetik kemudian Tri harus merasa sakit lagi. Ada tangan kekar yang memukul pipi kanannya. Ternyata itu Wawan. Betapa geramnya Tri, mukanya dijotos dua kali. Apalagi sekarang Wawan menantangnya dengan berani. Tri mengamuk. Ia lepaskan tinju kanannya, namun tangan kiri Wawan berhasil mengeblok tinju dahsyat itu. Wawan ganti mengirim kepalan kanannya ke muka Tri, namun tangan Wawan yang cukup kekar itu belum mengenai sasaran. Tangan kiri Tri yang lebih kekar menangkisnya. Melihat pertahanan Wawan terbuka, Tri kembali menghujamkan bogem kanannya, dan…tepat mengenai muka Wawan. Tri langsung mengirim tiga pukulan beruntun, semuanya dengan tangan kanan. Bogem seberat 10 kg itu menghajar perut Wawan dengan telak. Wawan terhuyung-huyung.

Melihat bekas sobatnya itu hampir roboh, Tri kembali mengirim serangan yang lebih dahsyat. Ia kirim tendangan berputar dengan kaki kanannya. Kaki besi itu menghujam kepala Wawan. Wawan pun roboh. Nafasnya tersengal-sengal. Darah dari hidungnya mengalir deras. Hening sejenak. Tri yang sudah kesetanan ini berkata, ”Cuma segitu berani nantang aku. Huh! Sekarang sudah terbukti, aku yang terkuat! Jadi wajar kalau aku yang memimpin kalian!” diam sejenak, lalu membentak, “Ayo! Siapa lagi yang mau maju!”

Tidak ada lagi yang ingin maju, kecuali Mbah Poleng. Ia mengaum keras, lalu berdiri tegak. Rupanya ia sudah selesai memulihkan lukanya. Kini ia siap menyerang lagi. Mahmud cs pun siaga. Tri langsung menjauh, lalu mengambil pistol dan senapan biusnya. Karno berseru, “Sekarang kita hanya bisa menahan dia. Setelah itu kita harus lari!”

Semua mengangguk. Ratna bertanya, “Mas Mahmud, lukamu?”

Mahmud meringis sedikit, “Tidak apa-apa, hanya luka kecil. Kita malah harus memperhatikan luka Darkan dan Ajun. Gimana Jun? Lukamu? ” Ajun yang merintihkan dadanya itu menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa Bung, aku masih kuat. Tapi kalau Darkan, kelihatannya lebih parah.”

Semua menatap Darkan yang bersandar di lemari. Mardi yang duduk di sampingnya, berkata, “Lukanya cukup parah.“ Darkan yang masih terus merintih itu berkata, “Tidak apa-apa! Aku masih kuat! Uuhh…hanya jalan sampai mobil kan?” Mahmud mengangguk. “Nanti kamu kita beri tempat longgar.”

“GRAAUUNGNGH!!!” bentak Mbah Poleng. Semua langsung bersiap menahan monster itu. Kini yang masih punya senjata api tinggal Parjo, Hendik dan Jono. Mereka benar-benar harus menghemat sisa peluru mereka. Sekarang tiga orang ini membelakangi Karno dan yang lain. Mereka memutuskan untuk menghadang laju siluman harimau itu. Bahkan beberapa detik kemudian Hendik meminta semuanya untuk segera masuk ke mobil. Tentu saja Karno terkejut, namun akhirnya mau. Karno berseru, “Kalian juga harus segera lari! Jangan lama-lama menahan dia!”

“Tenang sajalah!” sahut Hendik agak membentak. “Kalau kalian masih di sini, kita malah tidak bisa konsentrasi!”

Karno dan semuanya masih ragu, namun mereka harus segera mengambil keputusan. Dalam keadaan segenting ini mereka harus bertindak cepat. Kini Mbah Poleng dihadang Parjo, Hendik dan Jono. Pistol mereka sudah siap meledak sesaat lagi. Hendik yang berdiri di tengah, berkata, “Par, Jon, kita harus cermat. Tembak dadanya, kepalanya, atau bagian-bagian yang vital.“

Parjo dan Jono mengangguk. Sedetik kemudian Mbah Poleng mengaum, lalu menerkam tiga pemuda kekar ini, namun peluru mereka lebih cepat. Sekitar lima peluru kembali menusuk tubuh Mbah Poleng, bahkan juga ada satu peluru yang mengenai dahinya. Mbah Poleng mengerang, namun dia benar-benar sakti mandraguna. Ia terus bergerak maju. Hendik melotot. “Apa-apaan ini?! banteng dan beruang saja sudah pasti mati!”

“ Dia bukan banteng!” jawab Parjo. “Dia siluman harimau!”

Kini Mbah Poleng menundukkan kepalanya. Darah di sekujur tubuhnya sudah cukup banyak. Ia berdiri 2 meter di hadapan Hendik, Parjo dan Jono. Hening sesaat. Mbah Poleng diam saja, padahal masih berdiri. Hanya kepalanya yang tertunduk ke bawah. Tentu saja tiga pria ini keheranan. Tri pun tidak mengerti dengan sikap makhluk buruannya itu. Ia berseru, “Hei! Kamu kenapa?! Sekarat ya? Lukamu parah?! hei!”

Diam beberapa detik. Mbah Poleng tetap berdiri dengan kepala tertunduk. Parjo berkata lirih, “Waspada semua! Binatang ini tidak hanya kuat, tapi juga cerdas.“

“Itulah calon hewan piaraanku.“ jawab Tri. Melihat kejanggalan itu, Hendik meminta dua kawannya bergerak melingkar. Hendik tetap berdiri di hadapan Poleng, sedangkan Jono dan Parjo bergerak ke samping. Kini Jono berdiri di samping kanan Poleng, dan Parjo di samping kirinya. Masing-masing terpaut 1,5 meter. Hening sesaat. Semuanya tegang, tak terkecuali Tri. Parjo, Jono dan Hendik tidak berani bersuara. Mereka hanya saling melirik dan memberi isyarat. Setelah beberapa detik, Hendik menjadi sebal. Darah mudanya bergolak. Ia arahkan pistolnya ke dada Poleng. “Makhluk terjelek di dunia, kamu membuatku bingung! rasakan ini!”

“JANGAAN!!” seru Tri, namun terlambat. Pistol Hendik meledak dua kali, dan tepat mengenai dada Poleng bagian tengah. Dua peluru itu hanya bisa menancap sedikit di tubuh Poleng yang seperti baja. Hendik ingin meledakkan pistolnya lagi, namun pelurunya sudah habis. Seiring dengan itu, mata Poleng terbuka dengan melotot, lalu ia angkat kepalanya. Hendik terkejut. Manusia harimau ini mengaum, lalu ia cekik leher Hendik dengan tangan kirinya yang memakai kaos tangan besi. Hendik tidak bisa bernafas. Gerakan Poleng yang teramat cepat itu membuat Parjo dan Jono tidak sempat berbuat apapun. Poleng pun menusuk ulu hati Hendik dengan cakar besinya, lalu ia lempar tubuh Hendik ke Parjo. Tentu saja Parjo kelabakan.

Parjo roboh bersama tubuh besar Hendik. Parjo mengguncang kedua bahu Hendik. Hendik muntah darah, seiring dengan darah yang membasahi perutnya. Matanya melotot, merasakan sakit yang teramat sangat. Parjo yang sudah setengah histeris itu berseru.“Ndik! Jangan mati dulu! Bertahanlah! Ohh..NDIIK!!”

Sedetik kemudian Hendik menutup matanya, seiring dengan kepalanya yang terkulai di lantai. Pergi sudah. Hendik pergi menyusul Aan, Rudi dan Dewi. Parjo terus mengguncang-guncangkan tubuhnya. Jono pun hanya bisa melongo. Sedangkan Tri, hanya terlihat kaget sedikit, setelah itu sudah tidak peduli. Sesaat kemudian Mbah Poleng kembali mengaum keras, lalu ingin menyerang Parjo yang masih memangku tubuh Hendik. Jono yang sudah bisa mengendalikan dirinya itu langsung bertindak. Ia ledakkan pelurunya dua kali, dan mengenai punggung Mbah Poleng. Monster ini kembali mengerang, setelah itu ia balikkan tubuhnya, dan ganti ingin menyerang Jono.

Dengan kecepatan yang sulit dinalar, dua pisau besar di tangan kanannya menyambar pistol di tangan kanan Jono. Pistol itu jatuh di lantai, dan sangat susah bagi Jono untuk memungutnya. Melihat Jono sudah tidak berpistol, cakar besi Mbah Poleng kembali bertindak. Cakar maut itu menyambar tangan kiri Jono yang di bawah siku. Jono berteriak, lalu melangkah mundur. Lengan kirinya berdarah. Mbah Poleng mendekatinya. Sambil meringis, Jono mencabut pisau besar di pinggang kirinya.

Melihat Jono dalam bahaya, Parjo langsung berdiri, lalu menembakkan satu pelurunya, dan menyambar bahu kiri Mbah Poleng. Ia membentak. “Setan terkutuk! Rasakan derita saudara-saudaraku!”

Mbah Poleng berhenti merangsek Jono, lalu menoleh ke belakang. Di saat itulah, Jono mendapat kesempatan emas. Ia tusukkan pedang pendeknya ke perut Mbah Poleng sekuat tenaga. Mbah Poleng mengerang cukup keras, meskipun pisau itu tidak terlalu dalam menusuk perutnya. Ia tidak jadi menyerang Parjo. Perhatiannya kembali tertuju ke Jono. Dengan segenap tenaga, Mbah Poleng mencabut pisau besar itu. Melihat keperkasaan siluman harimau ini, Parjo dan Jono semakin bingung. Cara apalagi yang harus mereka lakukan untuk mengalahkan monster di hadapan mereka itu? Benarkah dia tidak bisa mati? Parjo dan Jono yang kehabisan akal itu pada bengong. Hanya Tri yang terlihat gembira.

Parjo yang melihat luka di tangan kiri Jono cukup serius, langsung meminta Jono untuk segera pergi. Untuk beberapa detik Jono bimbang, namun akhirnya mau. Setelah Jono keluar rumah menyusul Karno dan yang lain, Parjo kembali menembakkan satu peluru, dan tepat mengenai dada kanan Mbah Poleng. Namun ketika Parjo hendak meledakkan pistolnya lagi, Tri berteriak sekuat tenaga, lalu mencengkeram tangan kanan Parjo yang memegang pistol, kemudian ia arahkan pistol bekas anak buahnya itu ke atas, lalu ke samping. Tentu saja Parjo marah. Ia membentak, “Brengsek! Apa-apaan sih kamu!”

Tri pun marah. “Sudah kubilang jangan bunuh dia! Huhh! Jangan hancurkan tambang emaskuu!”

“Terkutuk kamu Tri! Bangsat! Dalam keadaan hidup mati begini kamu masih memikirkan uang! Huh! jadi mainanmu ini lebih berarti dari nyawa Hendik?!”

Melihat dua orang ini malah bertengkar sendiri, Mbah Poleng mengaum keras, siap menyerang lagi, namun tidak jadi. Perhatiannya lebih tertuju ke Karno cs yang sudah berada di luar rumah. Sedetik kemudian tubuh besarnya berlari keluar. Rupanya dia sudah tidak mempedulikan Parjo atau Tri, dan lebih tertarik untuk membinasakan Karno cs dulu. Parjo yang masih dihalangi Tri, langsung bertindak tegas. Ia lepaskan tangannya dari cengkeraman tangan Tri, lalu ia hujamkan bogemnya ke muka Tri, setelah itu berlari keluar. Bogeman itu cukup membuat Tri kesakitan. Hidungnya berdarah sedikit, namun ia langsung kembali bergerak cepat. Parjo yang melihat Mbah Poleng mau menyerang Karno dkk yang belum pada naik mobil, berteriak keras sambil menodongkan pistolnya. “Awas Karr! Belakangmuu!!”

Mahmud cs terkejut. Dilihatnya Mbah Poleng berdiri sekitar 5 meter dari mereka, dan siap menyerang sesaat lagi. Melihat itu, Parjo langsung meledakkan pistolnya lagi. Satu peluru menyerempet lengan kiri Mbah Poleng. Namun ketika Parjo hendak menembak lagi, Tri menempelkan pistolnya ke punggung Parjo yang dekat pinggang, lalu menembaknya tiga kali. Perut Parjo banjir darah. Semuanya melotot. Semuanya tidak percaya. Benarkah? Benarkah Tri tega berbuat sekeji itu?

Hening beberapa detik. Mbah Poleng pun keheranan. Perlahan-lahan, Parjo membalikkan tubuhnya, lalu memelototi Tri. Sambil muntah darah, pria malang ini berkata, “Setan terkutuk! Kamu…kamulah setan terkutuk itu. Kemurkaan Allah, segera menimpamu…iblis terkutuk!” Setelah berkata demikian, Parjo berlutut di hadapan Tri. Sedetik kemudian, tubuhnya yang hancur itu rebah di tanah dengan perlahan. Parjo pun kembali ke hadirat ilahi. Tri yang melihat bekas kawannya sudah mati, sama sekali tidak sedih. Justru sebaliknya, dia malah gembira. Ia tersenyum mengejek. “Huh! inilah akibat berani melawan Triyono! “

Karno yang bara emosinya meledak, membentak sekuat tenaga. “Bajingan kamu!!” diam beberapa detik. Tri malah tertawa mengejek. Karno melanjutkan, “Teman sendiri kamu bunuh! Huh! Iblis! Kamu lebih iblis dari monster ini (menunjuk Mbah Poleng )!”

“Iblis! Bersiaplah masuk nerakaa!” sambung Jono yang mukanya merah menyala seperti api. Wahyu pun membentak, “Jahanam kamu Tri! Huhh! Kamu nggak akan bisa mendapatkan mainanmu ini. Nanti kamu juga tewas di tangannya! Lihat saja, iblis!”

Tri tertawa mengejek, lalu melotot. “Siapapun yang berani menghalangi keinginanku, dia pasti hancur! Hancur!”

Mahmud yang sedari tadi masih bersabar, kini juga marah besar. Ia melotot. “Mungkin kamu bisa menghancurkan kami, tapi kamu juga akan hancur! Hancur oleh nafsu iblismu sendiri!”

“GRAAUUNGNGH!!!” bentak Mbah Poleng. Raungan keras itu langsung melerai pertengkeran Triyono dan Mahmud cs. Mbah Poleng kembali menyerang Mahmud dkk. Jono berseru, “Waduh! Aku sudah tidak punya pistol!”

Mahmud menyahut, “Tenang, aku masih ada ini (senapan).”

Sambil menghadang Mbah Poleng, Mahmud meminta semuanya untuk segera masuk ke mobil. Mereka pun menuruti perintah Mahmud. Namun ketika Karno sudah siap menyalakan mesin Kijang tersebut, ia kebingungan. Rupanya kunci mobil itu tidak ada. Ia tanyakan ke Mahmud, dan Mahmud malah mengatakan, “Lho! Tadi sudah kuserahkan ke kamu kan?”

Karno melongo, demikian pula yang lain. Ia mengaku lupa menaruh kontak mobil yang ditungganginya itu, bahkan mungkin sudah terjatuh dari sakunya, terjatuh entah di mana. Karno langsung menepuk dahinya, lalu memukul setir mobil. Semua pun hanya bisa menggelengkan kepala. Ratna yang duduk di sampingnya, bertanya dengan mata berkaca-kaca, “Kamu benar-benar lupa Mas?!”

Karno hanya memejamkan mata sambil menggelengkan kepala. Ratna yang hampir menangis, berkata lagi. “Cobalah kamu ingat. Konsentrasilah.“ Karno yang bingung berat ini hanya bisa menaruh kepalanya di setir. Ratna berkata lagi. “Konsentrasilah Mas! ohh ( menangis )..ini benar-benar gawat! Nanti kita pulang naik apa?!”

“Ketemu tidak Kar?!” seru Mahmud yang menodongkan senapannya ke Mbah Poleng. Dengan wajah merah hitam, Karno menyahut, “Tidak Mud. Kemungkinan besar jatuh, entah di mana.”

Jawaban itu membuat Mahmud melotot. Sedetik kemudian Mbah Poleng menggeram. Mahmud pun siap meledakkan senapannya, namun lagi-lagi Tri berseru seraya menodongkan pistolnya. Ia kembali mengancam. Jika Mahmud berani menembak Mbah Poleng, apalagi sampai Mbah Poleng mati, Tri benar-benar akan menembaknya. Tri membentak. “Aku serius Mud! Akan kuledakkan kepalamu! Sebagaimana aku sudah meledakkan perut keparat ini (menendang tubuh Parjo)!”

Mahmud bengong, namun senapannya tetap siaga, jika sewaktu-waktu harus mengatasi bahaya. Karno cs benar-benar bingung. Kini mereka punya dua musuh. Yang satu manusia setengah hewan, memiliki kekuatan setara tiga kerbau liar, yang satu lagi manusia biasa, tapi berhati iblis. Sekarang manusia berhati iblis ini siap menghabisi Mahmud dkk, jika mereka tidak mau menuruti keinginannya. Hening beberapa detik. Jono yang geram berat itu perlahan-lahan mencari celah untuk menyerang Tri. Jono mengambil parang di jok ketiga mobil Kijang. Ia lakukan itu dengan sangat perlahan. Melihat Tri tidak memperhatikan dirinya, ia langsung memanfaatkan kesempatan emas yang hanya secuil itu. Pria pendiam ini melemparkan parangnya sekuat tenaga, dan..berhasil!

Parang itu mengenai tangan kanan Tri yang memegang pistol. Senjata api itu langsung terpental dari tangan Tri. Sedetik kemudian suasana kembali gaduh. Mbah Poleng meraung keras, lalu merangsek Mahmud yang menodongkan senapannya. Baru saja Mahmud hendak menembak, tangan besar Mbah Poleng bergerak secepat kilat. Kedua tangannya menarik senapan Mahmud, lalu ia patahkan jadi dua. Mahmud melongo, namun ia langsung siaga. Ia cabut pedang di pinggang kirinya, lalu ia tangkis cakar besi Mbah Poleng yang hendak menghujamnya. Kini cakar besi sepanjang 25 cm itu beradu dengan pedang Mahmud yang panjangnya kurang lebih 40 cm. Denting suara dua senjata itu memecah telinga. Mbah Poleng terus merangsek Mahmud yang melangkah mundur.

Namun baru 3-4 gebrakan, tangan Mahmud sudah tidak kuat menahan tangan Mbah Poleng yang sebesar kakinya. Pedang pun terpental dari tangan Mahmud. Selanjutnya, dua pisau besar manusia harimau ini mau memukul muka Mahmud, namun untunglah, Mahmud masih mujur. Ia berhasil melangkah mundur, kemudian menjauh. Triyono yang amarahnya sudah meledak, langsung bertindak. Ia ambil senapan biusnya, lalu ia tembakkan satu peluru, dan tepat mengenai bahu kanan Mbah Poleng yang bagian belakang. Mbah Poleng menggeram, lalu ganti memelototi Tri. Mahmud berseru, “Trii! Apa yang kamu lakukan!?”

“Huh! masih tanya juga!”

Mbah Poleng mengerang, lalu mencabut panah kecil di bahunya. Ia tatap panah sepanjang 10 cm itu, lalu ia lempar ke tanah. Sesaat kemudian ia mengaum sekeras-kerasnya, tanda amarahnya mencapai puncak. Kali ini ia ingin menghabisi semuanya. Ia goncang-goncangkan mobil Kijang. Tentu saja para pengendaranya kalang kabut. Ratna menjerit-jerit. Mahmud meminta mereka untuk segera keluar. Dengan susah payah, Karno, Ratna, Mardi, Ajun, Jono, Wawan dan Darkan yang terluka cukup parah, berusaha keluar dari mobil yang bagai diguncang gempa. Begitu keluar dari mobil, Karno cs langsung lari tunggang langgang. Mereka terpisah. Ada yang berlari ke ladang dan hutan, ada juga yang bersembunyi di sekitar situ saja. Mbah Poleng sendiri mengejar Jono yang berlari ke hutan. Tri yang melihat itu, langsung ikut mengejar. Sambil memegang senapan bius, ia berseru : “Tidak ada yang bisa menghalangi aku! Hah! Kamu tidak boleh lolos, makhluk aneh! Kamu milikku! Kamu asetku yang tak terhingga! Ha haa! Aku akan membawamu pulang!“

Tapi sesaat kemudian Tri terkejut. Sambil berlari menerabas hutan, ia bergumam. “Aneh. Dia sudah kubius dengan bius macan yang terbesar dan terkuat, juga sudah terkena peluru kami berkali-kali..tapi kok masih segar ya?” diam sebentar, lalu bergumam lagi, “Makhluk apa dia? Hahh! Benar-benar hebat! Benar-benar membuat semua orang merinding. Termasuk aku. Hah haa! Tapi aku masih ada tiga bius, dan kurasa ini cukup untuk menidurkan dia. Ha ha haa! Kamu benar-benar aneh tapi nyata. Makanya, aku harus mendapatkan kamu, dan itu bisa kulakukan.“ Tri masih terus asyik dengan keinginannya yang selangit. Sementara itu, di semak belukar yang berada di dekat rumah, muncullah Karno dan Ratna. Dua sejoli ini langsung memanggil teman-temannya, namun tidak ada jawaban. Ratna menangis. “Ya Allah, benarkah kita harus mati di sini?! benarkah kita harus mati mengenaskan?! Ohh…”

Karno langsung memeluk kedua bahu kekasihnya. “Sabar Say, sabar! Tenanglah, untuk sementara kita aman.“

Ratna menaruh kepalanya di dada atletis Karno. Beberapa saat kemudian muncullah Mahmud. Betapa leganya Ratna-Karno melihat sobat terbaik mereka itu masih baik-baik saja. Mereka segera kembali ke rumah, namun baru beberapa langkah, mereka mendengar suara rintihan lelaki. Suara itu datang dari alang-alang di ladang depan rumah. Tiga orang ini terkejut. Mahmud langsung melangkah ke ladang. Sedetik kemudian ia terkejut. Ternyata itu Darkan yang terbaring lemas di balik rumput-rumput gajah. Ratna dan Karno pun mendekat. Mahmud langsung membantu Darkan duduk.

“Kondisinya semakin gawat.” Ujar Karno. “ Kamu nggak apa-apa Dar?”

“Uhh..dadaku..seperti terbelah.”

Ratna melotot. “Ya Allah! Dadanya berdarah lagi!”

Mahmud mengambil kain di tasnya, lalu ia balut luka Darkan. “Bertahanlah Dar, bertahanlah. Insya Allah, kamu masih bisa sembuh.”

“Uhh…air. Aku minta air. Ada air nggak?”

Tiga orang ini saling menatap. Sedetik kemudian Ratna tersentak. “Kelihatannya aku masih punya! Di tasku. Sebentar ya?”

Beberapa detik kemudian Ratna membawa botol AQUA. Darkan langsung meminum air itu, dan langsung habis. Karno duduk di sampingnya.

Setelah merasa agak baik, Darkan bertanya, “Mana setan itu? lari ke mana?”

Karno menyahut, “Tadi kulihat dia mengejar Jono, lalu Tri nyusul. Kalau yang lain kita tidak tahu. Mereka berpencar. Yah, semoga mereka masih baik-baik.”

“Lalu sekarang..kita gimana? Kapan kita pulang?”

Mahmud menjawab, “Untuk sementara belum bisa Dar, kunci mobilku masih hilang. Tapi percayalah. Insya Allah, kita tetap bisa meninggalkan desa neraka ini.”

Hening sebentar. Wajah Darkan menjadi merah, merah karena marah. Pemuda Ambon ini berkata, “Semua ini gara-gara bangsat Tri! Huh! Aku tidak akan memaafkan dia. Gara-gara dia, kita jadi begini. Uhh…aku bersumpah! Akan kubunuh keparat itu! uhuk-uhuk!”

“Sabar Dar, sabar..” sahut Mahmud sambil mengelus dada Darkan. Dengan suara lemah Darkan bicara lagi. “Tujuh tahun kami bersahabat, tapi malah berakhir seperti ini. Uhh..benar-benar di luar dugaan. Semua ini karena dia jadi budak iblis!”

Selanjutnya, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah. Ratna berjalan duluan, sedangkan Mahmud dan sang pacar memapah Darkan. Sementara itu, Jono yang masih berlari masuk hutan, tidak menyadari kalau dirinya sudah jauh dari teman-temannya. Sambil berlari kencang, Jono terus menoleh ke belakang, dan tidak ada siapa-siapa. Akhirnya Jono bisa istirahat sejenak. Ia sembunyikan tubuhnya di balik pohon dan semak-semak lebat. Ia duduk bersandar di pohon, lalu mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Untuk beberapa menit Jono bisa merasa lega, namun ia tetap harus waspada. Menghadapi musuh sekuat Mbah Poleng, ia tidak boleh lengah sedetik pun.

Hening beberapa detik. Jono terus mengawasi keadaan sekitar. Sekarang senjatanya tinggal pisau yang tidak begitu panjang dan tidak besar. Kira-kira sedikit lebih besar dari pisau dapur. Panjangnya tidak lebih dari 20 cm. Setelah menganggap keadaan masih aman, Jono keluar dari persembunyiannya, dan memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia menduga, semua temannya pasti juga kembali ke sana. Namun baru beberapa langkah, ia sudah berhenti. Dilihatnya Tri yang berdiri gagah di dekat pohon. Tangan kanan Tri memegang senapan bius, sedangkan tangan kirinya menggenggam pistol. Kini pistol itu ia todongkan ke Jono.

Dengan wajah penuh kebencian, Tri membentak, “Mana dia?!”

Jono yang kesal, menjawab; “Kenapa tanya aku? Memang siapa yang sudi ngurus setan itu?! huh! aku sendiri lagi berusaha sembunyi dari dia.”

Mata Tri melirik kanan-kiri, lalu memelototi Jono lagi. “Ketahuilah yang satu ini. Kamu, juga teman-temanmu yang goblog itu!” diam sebentar. “Triyono selalu bisa mendapatkan apapun yang Triyono inginkan. Sekarang di sini tinggal kita berdua. Kalau kamu berani macam-macam, kamu langsung kuhabisi, di sini, tanpa diketahui siapapun.” Diam sebentar. “Makanya, sekarang kamu tidak usah macam-macam, tidak usah sok jagoan. Kalau nanti kamu sampai kubunuh, aku bisa bilang ke Karno, kamu dihabisi Mbah Poleng. Ha ha haa!” Dada Jono menjadi panas. Ia menggelengkan kepala. “Kamu benar-benar sudah jadi bedebah! Huhh! Demi menuruti keinginan iblis, kamu tega membunuh sahabat-sahabatmu. Demi keinginan rendah, kamu tega menghabisi orang-orang yang selama ini setia sama kamu! Yang selama ini selalu menuruti keinginanmu! Bahkan mereka juga mau berkorban untuk bossnya yang kurang ajar ini! Huh! setan jenis apa yang sudah merasuki tubuhmu! Aku benar-benar heran!”

Mendengar kata-kata itu, emosi Tri semakin meluap. “Heh! Tidak usah ngoceh! Aku benar-benar bisa membunuh kamu! Tinggal dor, kamu langsung mampus!”

Jono mengangguk-angguk. “Ooo…jadi kamu benar-benar mau bunuh aku?!”

Tiba-tiba, dari semak belukar di belakang Jono, muncullah sesosok tinggi besar. Badannya sebesar Poleng, bahkan lebih besar. Wajahnya mirip gorila. Tri melotot, lalu berteriak, “Di belakangmuuu!!”

Jono menoleh, dan…makhluk yang mirip king kong itu langsung menghujamkan bogem kanannya yang sebesar pohon pepaya. Bogeman itu menghantam muka Jono dengan mantap. Jono pun roboh. Ia benar-benar seperti dihantam pohon pepaya. Dengan hidung dan mulut banjir darah, Jono berusaha bangkit, namun tampaknya sudah tidak bisa. Kini ia hanya bisa duduk. Ia melotot. Sosok yang menyerangnya itu ternyata bukan Mbah Poleng. Tri pun terkejut sekali. Kini di hadapannya berdiri sosok yang tidak kalah mengerikan dari Mbah Poleng. Melihat dua pemuda ini bengong, sosok yang mirip kera raksasa itu langsung bertindak cepat. Ia kembali melepas bogem kanannya ke Jono. Kali ini perutnya yang kena. Jono melotot. Mulutnya menganga. Ia merasakan perutnya seperti berlobang. Sedetik kemudian, kedua tangannya yang mungkin lebih besar dari tangan Mbah Poleng, mematahkan leher Jono.

“KRAK!” bunyi otot dan tulang leher yang patah terdengar keras. Kepala dan tubuh Jono rebah di tanah dengan perlahan. Pergi sudah! Jono sudah pergi ke negeri abadi. Tri yang tadi terlihat sombong, kini hanya bisa melotot. Si makhluk aneh ganti menyerang dia. Sambil melangkah mundur, Tri melotot dan menggelengkan kepala. “Siapa?! Siapa lagi kamu?! Hah! Apa kamu saudaranya Mbah Poleng? Atau yang sebangsa dia?!” “Grrhh..grrhh..!” sahut si makhluk sambil terus mendekati Tri yang melangkah mundur. Suaranya perpaduan gorila, macan dan serigala. Tri langsung meledakkan pistol di tangan kirinya. Empat peluru menusuk dada manusia gorila itu. Namun sebagaimana Mbah Poleng, ia hanya merasa sakit sedikit. Kulit dadanya yang terlihat sangat keras itu seperti menjadi peredam peluru. Saat Tri menembak yang kelima kalinya, makhluk itu menyembunyikan dirinya di balik pohon. Tri terus menembak. “Pengecut! Jangan sembunyii!“

Makhluk itu kembali muncul sambil membawa kayu sebesar lengan petinju kelas berat. Tri langsung menembak lagi, dan tepat mengenai sasaran. Dengan demikian, sudah lima kali makhluk itu tertembak. Tri yang ketakutan, terus bertindak spontan. Ia hendak menembak lagi, namun kali ini pistolnya hanya berbunyi “KLIK!” Tri kelabakan. Ia sudah tidak punya senjata, kecuali senapan bius di tangan kanannya. Melihat Tri kebingungan, monster gorila itu langsung melemparkan kayunya sekuat tenaga, namun tidak mengenai sasaran. Tri masih bisa menghindarinya dengan melangkah mundur.

Si makhluk terus bergerak maju. Tri yang kehabisan akal, terus melangkah mundur. Sedetik kemudian ia berlari sekuat tenaga. Sekarang beralih ke rumah, di mana Mahmud, Dewi dan Karno sedang berusaha mengobati Darkan yang sekarat. Beberapa saat kemudian tibalah Wawan, Mardi dan Ajun. Melihat mereka baik-baik saja, Mahmud dan Karno lega bukan main. Kali ini mereka bertekad untuk terus bersatu. Mereka tidak ingin kehilangan teman lagi.

Sambil beristirahat, Mardi, Ajun dan Wawan menceritakan semua yang mereka alami. Tadi mereka melihat Mbah Poleng, namun Mbah Poleng tidak melihat mereka. Mereka berhasil menyembunyikan diri dengan baik. Mereka sembunyi di semak belukar lebat, dan Mbah Poleng berjalan di depan mereka persis, namun ia tidak menyadari. Setelah keadaan dirasa aman, Wawan, Mardi dan Ajun langsung berlari sekuat tenaga, dan akhirnya bisa sampai sini dengan selamat. Wawan tersenyum, “Kami sudah menduga kalian kembali ke sini. Alhamdulillah, dugaan kami tepat.”

Alangkah leganya tujuh pemuda ini. Untuk sementara ini mereka bisa merasa aman. Waktu istirahat yang hanya secuil ini benar-benar mereka manfaatkan untuk memulihkan diri, menghimpun tenaga, dan menyusun rencana untuk langkah berikutnya. Kini yang mereka cemaskan hanya Jono. Mereka hanya bisa berdoa dan pasrah pada Sang Pencipta.

*****

0 comments:

Post a Comment

 
;