Wednesday 18 September 2013

New Mbah Poleng "Manusia Harimau" ; Bagian Lima

Bagian Lima

Beberapa menit kemudian datanglah Triyono yang berlari tunggang langgang. Tri seperti dikejar setan neraka jahanam. Tentu saja semuanya terkejut. Bagaimana mungkin Triyono yang gagah itu sekarang seperti kelinci dikejar serigala. Semuanya langsung meminta Tri untuk menceritakan apa yang terjadi. Tri yang sebenarnya sangat membenci Karno cs, untuk sementara ini mau menganggap mereka sebagai teman. Itu karena sekarang ia sedang ketakutan berat. Rasa takut yang memuncak itulah yang membuat rasa bencinya terhadap Karno cs musnah, atau minimal berkurang. Tri langsung menceritakan semuanya, termasuk kematian Jono.

Mendengar Jono telah tiada, Karno cs bertambah sedih, terutama Mahmud yang teman dekat Jono. Kecemasan mereka semakin bertambah setelah mengetahui adanya monster lain di desa Kidung Angker ini. Tri menceritakan selengkapnya. Makhluk pembunuh Jono itu tidak kalah seram dari Mbah Poleng, bahkan bisa dikatakan lebih jelek. Posturnya juga tinggi besar. Otot-ototnya tidak wajar. Jauh lebih besar dari otot binaragawan kelas berat. Kulitnya terlihat sangat keras, seperti kulit badak atau pohon. Kedua tangannya sebesar pohon pepaya, lebih besar dari tangan Mbah Poleng. Keduanya memakai gelang alumunium. Yang kanan mengenakan kaos tangan besi seperti Mbah Poleng, sedangkan yang kiri tidak, tapi nyaris tidak ada bedanya. Kedua tangannya sama-sama pencabut nyawa.

Kepalanya botak, rambutnya hitam legam, agak gondrong. Panjangnya hampir sebahu. Matanya sangat mengerikan. Bola mata nyaris tidak ada. Hidung besar, bibir maju ke depan, sebagaimana bibir monyet atau gorila. Ia memiliki taring seperti harimau. Itulah yang membuatnya terlihat sangat mengerikan. Gorila bergigi singa, atau monyet jadi-jadian. Ia mengenakan celana dari bulu hewan, atau celana ala Tarsan. Tri melanjutkan, kalau untuk ukuran badan, monyet raksasa itu lebih besar dari manusia harimau, tapi masih kalah tinggi. Tri yang ketakutan, berkata,

“Menurutku..dia lebih jahat dari Mbah Poleng. Dia lebih jelek! Lebih mengerikan!”

“Berarti sekarang monsternya ada dua..” ujar Mahmud. “Mbah Poleng saja sudah bikin kita setengah mati, apalagi ditambah siluman gorila itu.“

“Oh ya Allah..” ujar Ratna seraya menggelengkan kepalanya. Lagi-lagi gadis jelita ini hampir menangis. Sungguh kasihan dia. Sudah berapa kali dia menangis dalam sehari ini. Hening sejenak. Semuanya benar-benar semakin tegang. Tri yang jahat itu pun sekarang terlihat sangat ketakutan. Kini Mahmud cs benar-benar terperangkap di desa Kidung Angker. Mereka sudah merasakan keangkeran Kidung Angker. Benar-benar cocok dengan namanya.

Setelah pada bengong beberapa menit, Wahyu mencoba memecah kesunyian. Katanya, “Mungkin dia temannya Mbah Poleng.. atau malah musuhnya.”

Karno berkata, “Kalau mereka teman, keadaan kita benar-benar gawat. Tapi kalau mereka bermusuhan, kita bisa memanfaatkan keadaan. Seandainya mereka sampai duel, saat itulah kesempatan emas kita untuk minggat dari sini. Soal kendaraan, Insya Allah nomer dua.“

“Mudah-mudahan begitu Kar,” ujar Mahmud. “Yang penting kita bisa pergi dulu dari sini.”

“Itu harapan kita semua.” sahut Mardi. “Kuncinya ada di dua monster itu. Mereka berteman atau bermusuhan.”

Setelah itu Mardi duduk di samping Tri yang termangu-mangu. Mardi bertanya, “Nah, sekarang renungkan baik-baik. Apa kamu masih ingin membawa Poleng?”

Tri diam saja. Ia masih terlihat ketakutan. Perangai kerasnya yang beberapa saat tadi masih sering muncul, sekarang seperti musnah 95%. Kesombongannya, kebesaran mulutnya, kekerasan wataknya, ketinggian ambisinya, sekarang tinggal secuil. Mardi mengulang pertanyaannya, namun Tri masih belum memberi jawaban. Beberapa detik kemudian Mardi tersenyum, lalu ia sentuh bahu Tri. “Tidak perlu malu ngomong jujur. Sama aku saja pakai malu.” diam sebentar, “Jadi memburu Poleng atau tidak, pokoknya kamu harus tahu satu hal. Kamu bisa bahagia atau tidak.”

“Kata orang sholeh, ada dua hal yang bisa menghancurkan manusia. Pertama, rasa dengki yang berlebihan, yang membuat kita ingin menghancurkan orang yang kita dengki itu. Kedua, keinginan yang berlebihan. Keinginan yang terlalu tinggi, yang sudah diluar kemampuan kita.“ diam sejenak, “Nah, sekarang jujurlah. Apa keinginanmu sekarang ini masih wajar-wajar saja, atau sudah berlebihan?”

Setelah berkata demikian, Mardi meninggalkan Tri yang masih bengong. Hati kecil Tri membenarkan semua omongan Mardi itu. Kini di batinnya sedang ada duel hebat. Duel antara kekuatan untuk tetap memburu Poleng, dan kekuatan untuk memusnahkan keinginan yang berlebihan itu. Keinginan yang sudah membuat banyak orang celaka. Dada Tri benar-benar sesak. Kali ini ia seperti orang ling lung, seperti orang kaya yang kikir, yang kehilangan hampir seluruh hartanya. Hati nuraninya yang terdalam menjawab, keinginannya untuk menjadikan Mbah Poleng sebagai tambang emasnya memang sudah sangat berlebihan. Buktinya? Dia harus kehilangan teman-temannya secara tragis.

Meskipun beberapa jam tadi Tri sudah mengumumkan permusuhan dengan Parjo, Hendik, Ajun dan yang lain, hati kecilnya masih tetap ada rasa persahabatan dengan enam kawan baiknya itu. Perlahan-lahan, setitik cahaya penyesalan mulai bersinar di hatinya. Namun sudah terlambat. Ia sudah telanjur berbuat sadis terhadap teman-teman baiknya. Semua itu karena akal sehatnya sudah takluk oleh nafsu binatangnya. Pria gagah ini mulai sadar, meskipun masih sombong.

Tanpa terasa, waktu terus berjalan, seiring dengan mentari yang semakin condong ke barat. Senja pun memayungi bumi, termasuk bumi Kidung Angker. Mahmud cs masih pada istirahat sekaligus menyusun rencana untuk meninggalkan Kidung Angker. Tidak ada yang mereka pikirkan selain kunci mobil Kijang Mahmud yang hilang. Sebenarnya mereka bisa naik mobil Tri, namun si pemilik mobil sendiri masih belum mantap untuk meninggalkan desa milik manusia harimau ini. Tri yang imannya sangat lemah itu benar-benar stress berat. Di satu sisi dia sudah mulai sadar, namun di sisi lain ia masih ingin menuruti keinginannya yang selangit. Gawatnya, ambisinya itu masih lebih besar dalam menguasai dirinya. Melihat Tri masih seperti itu, Mardi, Ajun dan yang lain menjadi sebal lagi, bahkan kali ini rasa sebal mereka semakin besar.

Karena semakin benci, akhirnya mereka memutuskan untuk tidak usah peduli lagi pada Triyono. Wawan berkata lirih, “Malaikat dan iblis sedang bertarung di hatinya, tapi iblis masih lebih kuat. Ya sudah, biarkan saja. Toh dia sudah kelewat gedhe, sudah seharusnya bisa memutuskan jalan hidupnya sendiri.”

Darkan yang kondisi fisiknya paling lemah, menyambung. “Sekali lagi dia kurang ajar seperti tadi siang, kita tidak perlu memaafkan dia lagi.”

*****

Hari yang semakin sore membuat panorama Kidung Angker semakin indah, namun juga semakin sunyi. Untuk beberapa saat, Mahmud cs bisa merasa aman. Mereka berpikir, Mbah Poleng terluka parah, dan sekarang sedang menyembuhkan diri. Itulah yang membuat mereka belum diserang lagi. Lebih dari itu, Karno cs juga berharap, semoga Mbah Poleng sudah tidak menyerang lagi. Namun sayang, harapan itu masih jauh dari kenyataan. Sesaat kemudian Mahmud cs mendengar raungan Mbah Poleng. Raungan yang membuat mereka kembali tegang. Rupanya Mbah Poleng sudah ada di luar rumah. Mau tidak mau, Karno cs yang sebenarnya masih ingin istirahat itu langsung siaga. Kini mereka memutuskan untuk bersembunyi. Mungkin karena mereka sudah merasa tidak mampu lagi menghadapi setan itu.

Sedetik kemudian kaca jendela salah satu rumah itu hancur, dan muncullah si macan loreng. Malang bagi Mahmud, Wahyu, Karno dan Ratna. Empat sekawan ini tidak sempat bersembunyi. Tri sendiri sudah sempat bersembunyi, walaupun tadi hampir ketahuan. Tri bersembunyi di balik lemari pendek. Ia bisa mengintip dari situ. Kini ia mengintip Wahyu dan Mahmud yang sudah berhadapan dengan Mbah Poleng. Mahmud meminta tiga temannya melangkah mundur, bahkan kalau perlu lari. Mahmud mengacungkan tombak kayunya ke Mbah Poleng. Dengan membelakangi Wahyu, Karno dan gadisnya, Mahmud berseru, “Cepat kalian lari dulu! lari atau sembunyi! Keparat ini akan kuhadapi!”

“Tapi itu tidak mungkin Mud!” seru Wahyu ketakutan. Karno menyambung, “Kalau kamu menghadapi dia sendirian, berarti kita harus siap kehilangan kamu sebentar lagi. Tidak Mud! Tidak! kamu saudaraku, aku tidak mungkin ninggal kamu! Huh (memelototi Mbah Poleng yang menggeram-geram)! Terkutuk! Kamu tidak boleh membunuh lagi! Sekarang kamu akan kuhadapi!”

Karno menghunus pedangnya, tapi Ratna mencegah. “Jangan Mas! kamu tidak akan mampu!”

“Ratna benar!” sambung Mahmud. “Sekarang sembunyilah! Atau lari! Kamu juga Yu!”

Wahyu menggelengkan kepala. Ia malah mengambil cluritnya yang tergeletak di tanah. Sedetik kemudian ia sudah siap fight. Ujarnya, “Aku tidak mau kehilangan teman lagi, apalagi teman sebaik kamu.”

“Aku juga!” seru Karno mantap. Lalu ia memelototi Mbah Poleng. “Hei setan! makhluk terkejam yang pernah kulihat! Rasakan derita Rudi, Sur dan Yoyok!” Mbah Poleng mengaum sekeras guntur. Berani sekali manusia-manusia kecil dihadapannya itu menantangnya dengan gagah. Ia langsung menyerang Mahmud yang berada paling dekat dengan dirinya. Kedua tangannya beraksi. Tangan kiri yang besi, dan tangan kanan yang ada cakar maut. Mahmud menahan semua itu dengan tombaknya. Duel sengit pun terjadi. Untuk beberapa detik, Mbah Poleng belum bisa menembus pertahanan Mahmud. Pria gagah ini ternyata cukup mahir bermain tombak. Kini ia bisa mengimbangi Mbah Poleng, padahal postur mereka jauh berbeda. Postur Mahmud yang tinggi sedang itu hanya sama dengan dagu Mbah Poleng.

Berkali-kali Mbah Poleng ingin menebaskan cakar besinya ke tubuh Mahmud, namun masih belum berhasil. Mahmud bisa menjadikan tombak kayunya sebagai perisai bagi dirinya. Bahkan sesaat kemudian tombak itu berhasil mengenai perut Mbah Poleng, walau hanya nyerempet. Semangat duel Mahmud memang luar biasa. Siluman harimau itu belum bisa membuatnya melangkah mundur. Namun beberapa detik kemudian, perbedaan kekuatan fisik mereka mulai terlihat. Mahmud yang ngos-ngosan itu melangkah mundur. Tenaganya mulai melemah. Ia harus sadar, makhluk di hadapannya itu lebih kuat dari banteng.

Sedetik kemudian dua tangan Mbah Poleng berhasil menangkap tombak kayu Mahmud, lalu ia patahkan dengan tangan kanannya. Mahmud melongo, dan itu langsung dimanfaatkan oleh Poleng. Dua cakar besinya menebas lengan kiri Mahmud yang di bawah siku, yang bagian tulang hasta. Mahmud mengerang, lalu melangkah mundur. Melihat Mahmud terdesak, Wahyu langsung bertindak dengan keberanian sepuluh tentara yang sudah terlatih. Ia babatkan cluritnya ke Mbah Poleng, namun berhasil ditangkis oleh siluman harimau ini. Tangan kirinya menahan laju clurit itu. Sedetik kemudian, cakar besi dan clurit itu beradu.

Namun hal itu hanya berlangsung beberapa detik. Cakar maut Mbah Poleng langsung mementalkan clurit Wahyu ke tanah. Terlihat sekali kalau pemuda lumayan tampan ini tidak sekuat Mahmud. Melihat Wahyu melongo, Mbah Poleng malah memasukkan cakar besinya ke sarungnya yang ada di punggung tangan kanan. Sedetik kemudian, ganti tangan kirinya yang bertindak. Tangan besar itu menghujam muka Wahyu dengan keras. Wahyu pun roboh. Hidung dan mulutnya berdarah cukup deras. Rupanya Mbah Poleng tidak ingin langsung membunuh mangsanya. Ia ingin melukai calon korbannya dengan cara lain.

Kini Wahyu masih duduk setengah berbaring di lantai. Mbah Poleng pun mendekatinya, lalu ia angkat cakar besinya di samping bahu. Sesaat lagi cakar maut itu siap mengantar Wahyu ke alam kubur. Mbah Poleng menggeram, tanda akan membuat korban lagi. Namun ketika ia mau menusuk tubuh Wahyu, mendadak ada kayu sebesar lengan yang menghujam mukanya. Rupanya itu ulah Karno. Ia sudah siap duel dengan pedangnya. Mbah Poleng ganti memelototi Karno yang menantangnya. Mahmud pun sudah siap duel lagi. Ia acungkan parangnya ke Mbah Poleng, lalu menatap Karno. “Ayo kita keroyok!”

Karno mengangguk mantap, namun Ratna mengajaknya lari atau mundur. Gadis jelita ini berseru, “Jangan gila Mas! kita lari saja!”

“Inginnya begitu Say! Tapi itu nanti! Sekarang sudah terlambat. Kalau mau lari, sekarang kita harus menahannya dulu! “

“Tapi..”

“Aku sudah tidak punya pilihan! Nah, sekarang menyingkirlah dulu.”

Ratna yang mau menangis, akhirnya mau menuruti perintah sang pria pujaan hati. Ia menepi ke tembok, lalu menatap Wahyu yang malang. “Mas Wahyu, lukamu parah ya?”

Wahyu yang pusing itu menggelengkan kepala. Sementara itu, Tri yang mengintip semua kejadian mengerikan ini, terlihat semakin bingung. Begitu melihat Mbah Poleng, keinginan iblisnya kembali menguat. Ia bergumam, “Tidak! tidak boleh kuurangkan niatku ini! Tidak boleh! Ambisiku yang selangit ini tetap harus terwujud! Ambisi untuk menangkap monster harimau itu, lalu kujadikan tambang emas seumur hidupku. Hah haa!” diam sebentar, lalu melanjutkan, “Aku sudah jauh-jauh ke sini! Kalau pulang tidak bawa apa-apa, rasanya seperti kehilangan harga diri. Huh! sejak dulu Triyono memang sudah begini. Triyono memang ambisius. Triyono selalu memiliki cita-cita selangit! Hahh! Kalau aku sudah menginginkan sesuatu, apapun resikonya, tetap harus bisa kuraih. Harus bisa kuraih!“

Inilah contoh orang yang belum ingin tobat dengan sungguh-sungguh. Inilah contoh jiwa yang masih lebih banyak dikuasai hawa nafsu. Sekarang kita lihat duel sengit antara Mbah Poleng dengan Mahmud dan Karno. Mahmud menyerang duluan. Ia babatkan parangnya tiga kali, namun semua berhasil ditangkis Mbah Poleng. Parang itu diadu dengan gelang alumunium yang membungkus lengan kirinya. Sesekali juga ditangkis dengan cakar besinya yang sudah merenggut banyak nyawa. Melihat Mahmud kewalahan, Karno langsung membantu. Ia babatkan pedangnya beberapa kali, dan akhirnya berhasil. Meskipun tidak telak, pedangnya sudah dua kali mengenai sasaran. Yang pertama mengenai dada, yang kedua mengenai tangan kiri monster itu.

Namun karena sakti mandraguna, luka itu tidak membuat Mbah Poleng berhenti bergerak. Ia malah semakin marah, sehingga membuat tenaganya berlipat ganda. Kedua tangannya terus menangkis dan menyerang Karno-Mahmud. Beberapa detik kemudian Mahmud dan Karno berhasil mengepres cakar besi Mbah Poleng, namun pertahanan mereka menjadi agak terbuka. Mbah Poleng yang tangan kanannya terkunci, langsung menggunakan tangan kirinya yang tidak kalah dahsyat. Tangan besinya menghujam muka Mahmud. Pukulan halilintar itu membuat Mahmud terhuyung-huyung.

Mbah Poleng juga sudah berhasil membuat Karno mundur. Melihat Mahmud sempoyongan, Mbah Poleng langsung mengirim serangan lagi. Cakar besinya menebas dada kanan-kiri Mahmud. Tebasan yang cukup telak mengenai sasaran itu membuat Mahmud mengerang, dan akhirnya roboh. Kini pemuda gagah ini duduk di lantai. Sementara itu, Darkan, Wawan, Mardi dan Ajun yang mengintip dari tempat persembunyian mereka, menjadi ingin keluar. Mereka sembunyi di kamar. Empat pemuda ini ketakutan, namun mereka juga tidak ingin melihat Karno dan Mahmud teraniaya, apalagi sampai terbunuh. Darkan yang duduk bersandar di tembok, berkata, “Kita benar-benar sudah tidak mampu menolong mereka. Menolong diri kita saja hampir tidak bisa.“

“Iya sih.” Jawab Wawan. “Tapi sesuai janji kita. Apapun bahaya yang kita hadapi, kita harus tetap bersatu. Oh, kasihan banget mereka. Kalau begini terus, aku bisa jadi pengecut. Aku tega membiarkan mereka teraniaya, apalagi sampai terbunuh. Padahal mereka sudah menolong kita.“ “Ya sudah! Kita keluar!” sahut Mardi. Ajun berseru, “Jangan! Nanti saja, kalau mereka benar-benar sudah terancam. Sekarang ini kita tidak bisa membantu apapun. Nanti kita malah jadi gangguan bagi dua jagoan itu.“

Sekarang kembali ke duel. Sesaat kemudian cakar besi Mbah Poleng berhasil mementalkan pedang Karno ke lantai. Melihat dada dan tubuh Karno terbuka, Mbah Poleng langsung memanfaatkannya. Cakar besinya menebas perut Karno, namun tidak begitu telak. Meskipun begitu, Karno sudah kesakitan. Ia melangkah mundur sambil memegangi perutnya yang berdarah agak banyak. Ratna yang tidak bisa apa-apa itu menjerit. Mbah Poleng langsung mengirim serangan berikutnya. Dua pisau mautnya kembali mengancam nyawa Karno. Kali ini pipi kiri Karno yang tertebas. Sedetik kemudian terbentuklah dua garis luka di pipi pemuda keren ini. Beruntung, saat Mbah Poleng memukul sekuat tenaga tadi, ia sempat melangkah mundur, sehingga dua pisau maut itu hanya nyerempet pipinya.

Kini di tubuh Karno ada dua luka yang cukup parah. Karno pun akhirnya berlutut. Bagi Mbah Poleng, Karno dan Mahmud-lah yang paling tangguh dari semua mangsanya. Namun sekarang, dua mangsa terkuat itu sudah berhasil ia taklukkan. Ia menggeram-geram, memelototi Karno dan Mahmud yang sudah tidak berdaya. Sekarang ia tinggal pilih, siapa yang ingin ia habisi terlebih dulu. Setelah merenung beberapa detik, akhirnya ia lebih tertarik untuk melumat Karno dulu. Ia menggeram-geram, lalu mendekati Karno dengan langkah pelan namun mantap. Karno yang duduk di lantai itu bergerak mundur, dan akhirnya bersandar di tembok.

Ratna yang melihat itu, hanya bisa menangis dan merintih. Mendengar rintihan mengiba itu, Mbah Poleng ganti memelototi Ratna, namun hanya beberapa detik. Ia kembali menatap Karno, lalu mengangkat cakar mautnya di depan dada. Kini ia hanya berdiri sekitar 1,8 meter di hadapan Karno. Melihat siluman macan loreng itu semakin dekat, Karno hanya bisa pasrah. Ratna yang menangis histeris, berseru, “Jangan Mbah Poleng! Jangan bunuh diaa! Kumohoon! Ampuni diaa!”

Mbah Poleng agak terkejut. Perlahan-lahan ia menoleh ke belakang. Dilihatnya seorang gadis jelita yang menangis sesenggukan, memohon belas kasihnya. Karena sangat serius dalam memohon, Ratna sampai berlutut di hadapan Mbah Poleng. Sungguh kasihan gadis muda ini. Siapa yang tidak kasihan melihat gadis secantik mutiara ini menangis pilu. Mbah Poleng pun mengurungkan niatnya untuk membunuh Karno. Ia mendekati Ratna dengan perlahan. Dilihatnya pipi Ratna yang basah oleh air mata ketakutan. Ratna menangis dengan sepenuh hatinya, bukan sekedar dengan matanya.

Ia berlutut sambil melihat atas, melihat wajah Mbah Poleng yang lebih mengerikan dari harimau sungguhan. Dengan air mata ketakutan dan derita, Ratna berkata lembut. “Ampuun. Ampuni pacarkuu, ampuni kamii! Kumohoon! Uhu-uhuu! Ampuni kamii. Kumohoon. Berilah sedikit belas kasihanmu, tuan..eh, Mbah Poleng. Uhu-uhuu! Kasihanilah kami, tuan Mbah Poleng..penguasa desa Kidung Angker. Uhu-uhuu! Maafkanlah kelancangan kamii! kumohoon! Maafkanlah…dengan sedikit belas kasihmuu. Uhu-hu-huuu!”

Mbah Poleng yang sekarang berdiri 1 meter dihadapan Ratna, terus menatap gadis cantik itu. Perlahan-lahan, wajahnya mulai berubah. Api kebencian yang tadi bergolak di mukanya, kini berkurang banyak, dan akhirnya musnah. Hawa membunuhnya juga musnah. Beberapa detik kemudian, wajah harimaunya terlihat jauh lebih lembut dibanding tadi. Kini ia menatap Ratna dengan hawa lembut, hawa kasih sayang. Ia masukkan cakar besinya ke sarung. Dilihatnya gadis cantik itu terus menangis.

Namun sedetik kemudian ia melihat Ratna berubah menjadi perempuan lain, perempuan lain yang juga cantik jelita. Otaknya yang sudah kacau balau itu membuat pandangan matanya juga kacau. Baginya, perempuan lain itu persis Ratna. Bukan persis dari segi wajah, bentuk tubuh, jenis rambut, atau dari segi fisik yang lain, namun persis dari sisi sifat dan kepribadian. Otak manusianya yang masih sedikit berfungsi itu teringat dengan sesuatu yang istimewa, yang hingga kini masih tersimpan dalam memorinya.

Perempuan lain dalam imajinasinya itu sekarang ada di hadapannya, dan ia juga sedang menangis seperti Ratna. Hening beberapa detik. Hanya suara tangis Ratna yang terdengar. Bagi manusia berhati lembut, entah lelaki atau perempuan, dia akan ikut menangis melihat Ratna seperti itu. Demikian pula dengan si manusia macan loreng. Sekarang wajahnya berubah drastis. Wajahnya memang tetap seram sebagaimana harimau, tapi harimau yang paling lembut, yang sudah jinak, yang sudah bisa berteman dengan manusia dan semua jenis binatang. Hati kecilnya mengatakan, gadis di hadapannya itu pantas dikasihani. Bahkan selanjutnya, hati kecilnya juga mengatakan, gadis di hadapannya itu haram dibunuh.

Beberapa detik kemudian tangis Ratna mulai berkurang. Ia tahu, monster itu sekarang berdiri tegak di hadapannya, namun ia benar-benar heran sekaligus lega. Kenapa monster itu tidak atau belum menyentuhnya sedikitpun? Perlahan-lahan, Ratna memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya ke atas. Dilihatnya manusia harimau itu seperti melamun. Wajahnya menjadi selembut sutra. Alangkah herannya kekasih Karno ini. Di sisi lain ia bisa merasa lega, namun karena masih takut, Ratna langsung menunduk lagi. Sekarang ia hanya melihat dua kaki besar. Kulit betisnya sangat kasar.

Setelah bengong beberapa detik, Mbah Poleng mulai bertingkah lagi. Mbah Poleng mengulurkan tangan besarnya, lalu menyentuh pipi Ratna. Setelah menyentuh, ia elus pipi halus itu dengan tangan kasarnya. Tentu saja Ratna terkejut. Makhluk kejam itu sekarang berlaku seperti kekasihnya. Dengan suara teramat berat dan teramat serak, Mbah Poleng berkata ;

“Siapa..namamu?”

“BLAARR!!!” Laksana guntur di sore hari yang bolong. Ratna melotot! Benarkah? Benarkah yang baru saja didengarnya itu? Karno dan Mahmud pun takjub. Sama halnya dengan Triyono yang mengintip. Ia bergumam, “Mimpikah aku?! Hahh! Binatang ini juga bisa bicara! Wah, dia benar-benar aset besar yang harus kumiliki! Harus!”

Demikian pula dengan Wahyu, Wawan, Mardi, Ajun dan Darkan yang sudah keluar dari persembunyian mereka. Empat pemuda ini langsung mendekati Mahmud dan Karno yang terluka parah, lalu membantu mereka berdiri. Kini kembali ke Mbah Poleng dan Ratna. Mbah Poleng bertanya lagi, “Siapa…namamu?”

Dengan perasaan tidak karuan, takut sekaligus lega, gadis cantik ini menyahut, “Rat…Ratna. Ratna.”

Diam sejenak. Mbah Poleng menarik tangan kanannya yang menempel di pipi Ratna, lalu menatap Karno. Wajahnya yang tadi lembut, kini menjadi garang lagi. Matanya kembali melotot, seperti saat ia ingin membunuh. Ia menatap Karno dan Ratna dengan kondisi wajah yang berbeda. Ia berkata, “Dan kamu…” Diam beberapa detik. ”Siapa namamu?”

“Karno..” sahutnya tenang. Mbah Poleng berkata, “Karno.” Diam sejenak. “Apa dia..istrimu?”

“Oh bukan, belum (gugup)! Baru calon.”

Poleng kembali menatap Ratna yang masih duduk di depan kakinya. Ia kembali bertingkah lembut terhadap Ratna. Ia belai rambut gadis jelita itu, lalu berkata lembut. “Ratna…”

“I…iya, tuan Mbah Poleng?” sahut Ratna gugup bukan main. Poleng bertanya lagi, “Berapa…umurmu?”

Ratna yang wajahnya tidak karuan, gembira sekaligus masih takut, menyahut lembut, “Dua satu, empat bulan lagi.”

Diam sejenak. Dengan tetap menampakkan wajah lembut, Poleng menarik nafasnya yang berat, lalu kembali menatap Karno dengan tajam. “Kalau kamu tidak bisa menjaga dia, kamu kubunuh!” diam lagi sebentar, “Camkan itu, anak muda!”

Karno yang masih agak takut, mengangguk. “Insya Allah, Mbah Poleng. Aku tulus mencintai dia. Akan kujaga dia semampuku.“

Hening sebentar. Semua yang ada di ruangan itu melongo, termasuk Tri yang sudah menampakkan dirinya. Setelah puas menatap Ratna, Mbah Poleng melangkah mundur dengan perlahan, lalu menatap semuanya dengan tajam. Ia menggeram-geram. Sesaat kemudian ia tinggalkan rumah itu dengan berlari. Mahmud cs langsung lega bukan main. Tri yang masih menatap kepergian Mbah Poleng, menggelengkan kepalanya. Sifat ambisiusnya kembali muncul. Katanya, “Ini benar-benar hebat! Hebat sekali! Ha haa! Luar biasaa! Inilah kejadian paling menakjubkan seumur hidupku. Ha ha haa!”

Sekarang Mbah Poleng sedang berlari sekencang-kencangnya. Ia berlari di rerumputan hijau. Batinnya berseru: “Ini seperti mimpi! MIMPII!! Oh..ini tidak mungkin! Sifat dan kepribadiannya persis Indah! Oh…jangan-jangan dia memang jelmaan Indah! jangan-jangan dia memang pengganti Indah! Oh…ini mustahil!”

Makhluk perpaduan manusia dan harimau ini terus berlomba lari dengan angin sore. Panorama Kidung Angker ikut menyaksikan polahnya yang semakin gila. Ia bergumam lagi. “Oh Ratna, kenapa kamu membuatku teringat Indah? istriku tercinta. Ohh..kalau tahu begini, seharusnya tadi kubunuh saja dia! Hahh! Tapi…dia memang pantas dikasihani, dan aku tidak menyesal mengampuninya.”

Beberapa langkah kemudian, tibalah Poleng di sebuah bukit yang tingginya kira-kira 10 meter. Ia naik ke puncak bukit tersebut. Setelah sampai di puncak, ia nikmati pemandangan Kidung Angker yang menawan. Sambil menggeram-geram, Poleng mengangkat kedua tangannya di atas kepala, lalu meraung sekeras-kerasnya. Raungan harimau ini menggetarkan seluruh pelosok Kidung Angker. Setelah meraung ia berseru; “INDAAAH !!!”

*****

0 comments:

Post a Comment

 
;